Setelah kami bertiga siap, kami segera turun ke ruang makan. Di sana, Ayah dan Ibu sudah lebih dulu datang. Begitu melihat kedatangan kami, Ibu berdiri dengan senyum lebar, lalu berjongkok sambil merentangkan tangannya."Cucu kesayangan nenek, sini peluk nenek dulu," serunya dengan nada penuh kehangatan.Abiyan langsung berlari kecil dan memeluk neneknya dengan antusias. Ayah yang duduk di samping ibu tampak tidak mau kalah. Dia ikut berjongkok dan mengulurkan tangannya sambil berkata, "Apa nenek saja yang kamu peluk? Kakek tidak, hm?"Abiyan tertawa kecil lalu berpaling ke arah Ayah, melingkarkan tangannya ke tubuh kakeknya juga. Melihat pemandangan itu, aku tak bisa menahan senyum. Setelahnya, Ayah memberi isyarat kepada pelayan untuk mulai menghidangkan makanan. Aku dan Mas Dewangga duduk bersebelahan, sementara Abiyan sudah mengisi tempat di antara kakek dan neneknya.Tak butuh waktu lama, makanan mulai dihidangkan di atas meja. Aku tertegun melihat menu yang disajikan. Croissan
Mobil berhenti tepat di depan pintu masuk utama. Sopir kami segera turun dan membuka pintu dengan sigap.Dia memberikan sedikit anggukan hormat kepada Mas Dewangga sebelum berkata, "Silakan, Pak."Aku melirik sekilas ke arah pintu utama bangunan megah itu, terpana oleh kemegahannya.Seorang pria berseragam rapi yang sepertinya sudah menunggu kehadiran kami segera memberi salam kepada Mas Dewangga.Aku sempat melirik logo kecil di dada seragam pria itu yang berbentuk seperti buku terbuka. Namun, pandanganku segera teralih ke tulisan besar yang terpampang di atas bangunan megah itu: Elite School.Hatiku seketika berdebar. Aku mengenali nama itu, meski sebelumnya hanya dari cerita-cerita dan berita. Tempat ini adalah salah satu sekolah terbaik dan termahal di kota ini."Ayo," ajak Mas Dewangga, memotong lamunanku.Aku mengikuti langkahnya dengan hati yang makin berdebar. "Apakah Abiyan akan di sekolahkan di sini?" batinku menerka-nerka.Kami pun melangkah masuk ke dalam bangunan megah i
"Kamu hanya perlu bilang, 'Ayo kita kerjakan proyek membuat adik untuk Abiyan'," katanya pelan, dengan senyum menggoda.Tanpa berpikir panjang, aku langsung membekap mulutnya, berusaha menahan tawa yang hampir meledak."Mas, kamu ini benar-benar, deh," kataku sambil terkikik, setengah geli dan setengah khawatir. Dengan Abiyan yang duduk tak jauh dari kami, aku takut dia mendengar dan malah mendesak kami untuk benar-benar memberinya adik.Mas Dewangga hanya terkekeh melihat reaksiku, sementara Abiyan menatap kami bingung, tak mengerti apa yang sedang kami bicarakan.Kami akhirnya memutuskan untuk pulang setelah Mas Dewangga melempar guyonan tadi. Di sepanjang perjalanan, Abiyan terus bertanya-tanya apa yang membuatku dan Mas Dewangga tertawa, tetapi kami hanya saling melempar pandang sambil terkekeh kecil. Aku tak ingin membahasnya lebih lanjut, takut Abiyan malah semakin penasaran.Sesampainya di mansion, Ibu menghampiriku dengan wajah sumringah. "Zoya, nanti malam kita makan malam
"Ma, itu dia anaknya!" Abiyan berbisik dengan semangat, menunjuk ke arah bocah laki-laki itu. "Boleh tidak aku main sama dia nanti?""Tentu saja," jawabku pelan sambil mengusap kepalanya, mencoba menenangkan semangatnya yang meluap-luap.Kak El tersenyum lebar saat masuk, menyapa semua orang dengan anggukan ringan. "Maaf ya, kami agak terlambat. Jalanan sedikit macet.""Tidak apa-apa, El. Silakan duduk," balas Ibu dengan nada hangat. "Kami juga baru saja selesai bersiap."Aku mencoba menyembunyikan rasa canggungku saat Kak El dan keluarganya mengambil tempat duduk di meja. Rasanya seperti sedang berada di antara keluarga yang benar-benar sempurna.Ayah memberi isyarat pada pelayan untuk mulai menghidangkan makanan. Hidangan kali ini lebih beragam dibandingkan dengan makan malam sebelumnya—meja penuh dengan aroma menggoda dari lauk-pauk yang beraneka ragam. Sambil menunggu, Kak El memulai percakapan, memperkenalkan keluarganya dengan antusias."Zoya, kenalkan ini suamiku, Frederick, d
Setelah makan malam selesai, kami berdiri di depan pintu untuk melepas kepergian keluarga Kak El. Ferdinand melambaikan tangan ke arah Abiyan yang berdiri di sampingku, terlihat jelas rona kecewa di wajah anakku."Ferdinand main lagi ke sini, ya," ujar Abiyan pelan, tetapi penuh harap.Kak El yang melihat itu segera membungkuk sedikit dan tersenyum ke arah Abiyan. "Tentu saja, Abiyan. Kalau Ferdinand tidak sempat main ke sini, nanti kamu yang datang ke rumah Tante, ya. Pasti Ferdinand senang."Abiyan tersenyum lebar dan mengangguk antusias. "Iya, Tante!"Aku menghela napas lega melihatnya kembali ceria.Sebelum pergi, Kak El menoleh ke arahku. "Jangan lupa, ya, Zoya. Besok kita belanja. Aku akan menghubungimu pagi-pagi.""Tentu, Kak," jawabku dengan sopan. Kami juga sudah bertukar nomor ponsel tadi.Mobil keluarga Kak El perlahan melaju pergi, lampu belakangnya menghilang di ujung jalan. Aku masih berdiri sebentar di depan pintu, merasa ada banyak hal yang terjadi malam ini, terutama
Mas Dewangga mendorongku hingga tubuhku jatuh telentang di ranjang. Tubuhnya bergerak mendekat, dan sebelum sempat aku berkata apa-apa, bibirnya sudah menyentuh bibirku. Ciumannya lembut, begitu penuh perasaan, hingga membuatku tak mampu melawan. Awalnya aku mencoba menolak dengan meronta kecil, tetapi pelukan hangatnya membuat semua tenagaku luruh. Aku akhirnya menyerah, membiarkan diriku larut dalam ciuman dan pelukan suamiku.Namun, saat suasana mulai memanas, dering ponsel mendadak memecah keheningan. Aku langsung terlonjak dan mendorong tubuh Mas Dewangga dengan gugup. Dia menghela napas kasar, tampak sangat terganggu."Siapa sih yang menelepon pagi-pagi begini?" gumamnya setengah kesal.Aku justru diam-diam bersyukur pada dering ponsel itu. Dengan cepat aku meraih ponsel di meja samping ranjang. Nama Kak El tertera di layar. Aku segera mengangkat panggilan itu."Halo, Kak?" sapaku sambil melirik ke arah Mas Dewangga yang kini kembali bersandar di ranjang sambil menatapku denga
"Ini, ambillah. Gunakan sesuka hatimu," kata Mas Dewangga seraya menyerahkan benda pipih berwarna hitam itu ke arahku. Aku menatapnya dengan pandangan campuran antara terkejut dan kagum. Sebuah kartu dengan desain elegan yang selama ini hanya kulihat di internet kini ada tepat di depan mataku. Blackcard.Astagaaa.Melihatku mematung tanpa reaksi, Mas Dewangga meraih tanganku dan dengan lembut meletakkan kartu itu di sana."Jika dengan belanja bisa mengurangi amarahmu padaku, maka belanjalah sepuasnya," katanya lembut, suaranya penuh keyakinan. "Tidak usah lihat harga. Ambil apa yang kamu suka. Uangnya tidak akan habis, tenang saja."Aku hanya bisa memandangnya dengan ekspresi setengah bingung, setengah terpukau. Suamiku yang satu ini memang benar-benar penuh kejutan. Rasa kesal yang tadi begitu mendominasi perlahan-lahan mulai memudar. Meski begitu, sisa-sisa kekesalan masih ada—walaupun tidak sebesar sebelumnya."Baiklah," jawabku singkat, mencoba tetap terlihat tenang. Aku kemudi
Begitu kami melangkah masuk ke dalam toko parfum, mataku langsung terpana melihat deretan botol parfum yang berjajar rapi di atas rak kaca. Botol-botol itu hadir dalam berbagai bentuk dan ukuran, dari yang kecil mungil berbentuk bulat, hingga yang tinggi ramping dengan desain modern. Lampu-lampu kecil di sekitar rak memantulkan kilauan cahaya, menciptakan suasana yang elegan dan mewah.Aroma manis yang lembut segera menyapa indra penciumanku. Wangi campuran bunga, kayu manis, dan sentuhan citrus memenuhi ruangan, membuatku merasa seperti berada di taman penuh bunga yang segar.Kak El berjalan lebih dulu, tampak percaya diri menyusuri lorong di antara rak-rak itu. Sementara itu, aku masih sibuk menoleh ke sana kemari, terpesona oleh suasana toko yang begitu mewah.Beberapa saat kemudian, mataku menangkap sosok Kak El yang tengah berbincang dengan seorang staff toko. Karena penasaran, aku segera menghampirinya."Kak El, sedang apa?" tanyaku pelan, mencoba mendengar apa yang mereka bic
Aku segera menoleh, dan pandanganku bertemu dengan sosok yang tak pernah kusangka akan kutemui di sini."Mas?" Suaraku lirih, nyaris berbisik. Ketidakpercayaan menguasai pikiranku.Aku bisa menangkap tatapan dingin suamiku mengarah pada Alex yang berdiri di dekatku. Meski tanpa mengatakan apa pun, ekspresinya sudah cukup untuk menunjukkan perasaannya.Tanpa banyak basa-basi, Mas Dewangga menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku menjauh dari sana.Langkahnya cepat dan mantap, sementara aku berusaha mengimbanginya dengan susah payah. Cengkeramannya tak menyakitkan, tetapi cukup untuk membuatku sulit menghentikan langkahku."Mas, bisa pelan sedikit jalannya?" pintaku sambil setengah berlari mengikutinya. Namun, dia tetap melangkah seperti tak mendengar apa pun.Kami terus berjalan hingga sampai di parkiran. Mas Dewangga membuka pintu mobil dan menatapku sejenak. "Masuk," katanya singkat.Aku menurut tanpa berani membantah. Setelah aku duduk dan Mas Dewangga juga masuk, dia memban
Beberapa menit setelah Mas Dewangga keluar dari kamar, aku memutuskan untuk berendam di bathtub. Kata itu selalu terdengar elegan, meskipun kenyataannya aku hanya ingin menenggelamkan diri dalam air hangat untuk mengusir beban pikiran. Suara gemericik air yang mengisi bathtub membuat suasana kamar mandi terasa damai. Aku menambahkan beberapa tetes minyak esensial dengan aroma lavender, berharap wangi itu bisa menenangkan pikiranku yang masih gelisah.Sambil berendam, aku menyusun rencana untuk pergi ke tokoku hari ini. Sudah cukup aku menuruti larangan Mas Dewangga selama beberapa hari terakhir. Dia mungkin berpikir itu untuk kebaikanku, tetapi aku butuh ruang sendiri. Kali ini, aku memutuskan untuk melakukannya tanpa izin darinya.Setelah selesai bersiap-siap, aku melirik jam dinding, tepat pukul sembilan pagi.Dengan langkah mantap, aku meminta sopir untuk mengantarku ke toko kue. Dalam perjalanan, aku membayangkan aroma manis dan suasana hangat yang selalu kurindukan dari tokok
Keesokan harinya, sikap Mas Dewangga tidak berubah. Aku mencoba mencari celah untuk berbicara dengannya, tetapi sepertinya dia sengaja menjaga jarak. Setiap kali aku mendekat, ada saja alasannya untuk menghindar.Hari itu, aku duduk di sofa ruang tamu, memainkan remote TV tanpa benar-benar menonton. Pikiran tentang Mas Dewangga terus menggangguku. Beberapa hari terakhir, dia seperti orang lain—dingin dan seolah menghindariku."Apa benar karena parfum Alex?" gumamku pelan.Aku tahu seharusnya aku bertanya langsung, tetapi rasanya tidak mudah ketika dia terlihat begitu ... jauh.Akhirnya aku kembali ke kamar untuk menunggunya pulang.Saat Mas Dewangga akhirnya pulang, aku mencoba menyapanya seperti biasa."Mas, sudah makan? Mau aku buatkan sup kesukaanmu?" tanyaku dengan nada yang kubuat sehangat mungkin.Dia hanya mengangguk singkat, berjalan melewatiku tanpa sepatah kata pun."Mas, aku sedang bicara, lho!" tegurku, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba naik."Hmm," gumamnya, tanpa men
Aku duduk di tepi ranjang, menunggu Mas Dewangga selesai mandi. Suara air dari kamar mandi terdengar samar, tetapi cukup untuk membuat pikiranku semakin bising. Aku memainkan ujung pakaian yang kupakai, menggulung-gulung kainnya dengan gelisah.Tadi, aku sempat merasa yakin kalau Mas Dewangga tidak akan mencium aroma itu. Namun, setelah melihat sikap Mas Dewangga yang berubah dingin, aku mulai meragukan semuanya.Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan Mas Dewangga keluar. Rambutnya masih sedikit basah, sementara handuk tergantung di bahunya. Namun, kali ini dia bahkan tidak menoleh ke arahku.Biasanya, meski sekilas, dia akan melirikku atau memberikan senyum kecil, tetapi sekarang dia bersikap seolah aku tidak ada. Dadaku terasa sesak melihatnya."Apa dia mencium aroma parfum Alex di pakaianku?" gumamku pelan. Pikiran itu terus berputar, menambah beban di benakku. Aku ingin bertanya, ingin memastikan. Namun, ketika melihat wajahnya yang datar tanpa ekspresi, niat itu
Aku segera membalikkan badan, memunggunginya, berusaha agar tidak dikenali oleh sosok itu. Dengan langkah pelan, aku bergeser ke arah rak yang berisi tumpukan barang agar tubuhku terlindungi dari pandangan Alex. "Jika saja aku tidak tahu apa yang pernah terjadi antara Alex dan Mas Dewangga di masa lalu, mungkin aku akan menyapanya dengan santai," batinku.Beberapa saat kemudian Mirna akhirnya datang dengan keranjang belanja. Aku langsung memasukkan buah yang sudah kupilih ke dalam keranjang. "Ayo, kita lihat-lihat ke sana," bisikku sambil melangkah dengan cepat.Kami sampai di rak yang penuh dengan barang kebutuhan sehari-hari. Mataku langsung tertuju pada satu produk di rak atas, yang kebetulan aku butuhkan. Sayangnya, posisinya terlalu tinggi. Aku mencoba menjangkau, tetapi jari-jariku masih jauh dari produk itu."Mirna, bisa bantu aku?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya.Mirna hanya tertawa kecil. "Saya lebih pendek dari Nyonya. Bagaimana kalau saya panggilan staff tokonya?""I
Aku memutuskan menunggu Mas Dewangga selesai menelepon. Sambil menunggu, aku merebahkan diri di ranjang. Namun, sudah sepuluh menit berlalu dan suamiku tak kunjung kembali.Perasaan tak menentu mulai merambat. Aku bangkit dan melangkah menuju pintu kamar, lalu mengintip keluar. Koridor sepi, hanya suara detak jam dinding yang memecah keheningan. Aku melangkah keluar, mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri. Namun, sosok yang kucari tidak ada.Ada sedikit kecemasan yang menyelinap di hatiku, tetapi segera kutepis jauh-jauh. Aku mencoba berpikir rasional. "Kira-kira Mas Dewangga akan pergi ke mana di saat-saat begini?" batinku sembari berpikir keras.Bayangan sebuah tempat langsung melintas dalam pikiranku, sebuah taman di dalam ruangan!Dulu, dia pernah menunjukkan tempat itu padaku. Katanya, taman itu adalah tempat favoritnya sejak kecil. Tempat di mana dia merasa damai dan bebas dari segala beban dunia. Mungkin saja dia ada di sana.Langkahku terarah menuju taman itu hingga akhirn
"Nara, ingat ini baik-baik. Istriku harus pulang jam dua belas siang. Jika lewat dari itu, kamu akan saya pecat. Mengerti?" kata Mas Dewangga dengan tegas.Wajah Nara seketika memucat. "Ba-bapak tenang saja. Saya pastikan Bu Zoya pulang tepat waktu."Aku menahan tawa melihat ekspresi Nara yang panik. Setelah memberikan pesan itu, Mas Dewangga kembali ke mobil, memastikan aku baik-baik saja sebelum akhirnya pergi ke kantor.Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh dan menggeleng sambil tersenyum kecil. Di balik sikap tegasnya, aku tahu dia hanya khawatir. Sungguh, memiliki suami seperti Mas Dewangga adalah anugerah sekaligus tantangan tersendiri.Hari ini, aku kembali beraktivitas seperti biasa di toko. Menata barang di rak, mencatat stok, dan sesekali melayani pelanggan yang datang. Semua terasa normal, kecuali satu hal: Nara, asistenku, jadi lebih cerewet dari biasanya."Bu, jangan lupa ya, jam dua belas harus pulang. Jangan sampai terlewat. Ah, iya, Ibu juga jangan terlalu ban
"Mama!" seru Abiyan sambil berlari kecil ke arahku. Dia memelukku erat, seolah tidak bertemu berhari-hari."Abiyan, kamu sudah pulang? Bagaimana sekolahmu hari ini?" tanyaku sambil membelai rambutnya yang sedikit berantakan."Asyik, Ma. Tadi aku dapat nilai bagus di pelajaran Matematika," jawabnya penuh semangat."Hebat sekali anak Mama. Sudah makan belum? Ayo kita makan bersama," ajakku sambil menggandeng tangannya ke meja makan.Aku meminta pelayan untuk menyiapkan makanan juga untuk Abiyan. Kami duduk bersama, menunggu hidangan selesai disiapkan. Tidak lama kemudian, Ibu datang dan ikut bergabung di meja makan."Bagaimana sekolahmu hari ini, Abiyan?" tanya Ibu sambil tersenyum."Bagus, Nek. Abiyan dapat nilai bagus," jawabnya dengan bangga.Ibu mengangguk puas, lalu menatapku dan Abiyan bergantian. Kemudian, dengan nada serius namun penuh kasih, Ibu berkata kepada Abiyan, "Abiyan, mulai sekarang kamu harus menjaga Mama, ya. Mama sedang butuh banyak istirahat."Kata-kata Ibu membu
Perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu lambat. Udara pagi yang sejuk seharusnya membuatku merasa lebih baik, tetapi pusing dan mual ini membuatku lemas. Mas Dewangga, yang duduk di belakang kemudi, sesekali melirikku dengan wajah khawatir.Aku melirik jam di dashboard mobil. Baru pukul delapan pagi. Biasanya, aku sudah bersiap-siap ke toko, tetapi hari ini, dengan kondisiku seperti ini, kemungkinan besar Mas Dewangga tidak akan mengizinkanku pergi."Mas, kalau aku tetap pergi ke toko hari ini, boleh tidak?" tanyaku pelan, mencoba mencari celah."Lebih baik kamu istirahat saja setelah kita pulang dari rumah sakit. Kamu sudah terlalu banyak bekerja akhir-akhir ini, Sayang," jawabnya lembut, tetapi tegas.Sudah kuduga. Sambil menahan pusing, aku meraih ponsel dan menghubungi Nara, asistenku yang selalu bisa diandalkan.Begitu panggilan tersambung, aku segera berkata, "Nara, sepertinya hari ini aku tidak bisa berangkat ke toko. Aku dalam perjalanan ke rumah sakit."["Bu Zoya tidak e