"Aku mau punya adik!" katanya polos.Ah, anak ini! Mungkin karena keinginannya soal punya adik itu belum terpenuhi, Abiyan jadi berkata begitu. Aku mengulum senyum, merasa geli membayangkan reaksi Mas Dewangga.Namun, sebelum sempat aku beranjak, Abiyan melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih pelan, tetapi masih jelas untuk kudengar."Papa, Abiyan juga mau kita pindah rumah."Hatiku langsung terasa berdebar, dan senyum di wajahku perlahan memudar. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku ingin terus mendengarkan."Kenapa Abiyan ingin pindah?" tanya Mas Dewangga dengan lembut.Akhirnya, aku mencondongkan tubuh sedikit, menajamkan pendengaranku."Aku mau kita pindah agar Paman Jahat tidak mengganggu Mama lagi," jawabnya lirih.Seolah petir menyambar, tubuhku langsung tegang. Mas Dewangga terdiam sejenak, lalu berkata hati-hati, "Abiyan ... Paman siapa yang kamu maksud?""Yang itu, Pa. Abiyan tidak suka kalau dia datang ke rumah. Kata nenek, paman itu akan menjadi ayah baru Ab
"Apakah kepala desa akan menyebutkan nama Mas Dewangga? Apakah semua orang akhirnya akan tahu bahwa suamiku yang berada di balik semua ini?" batinku harap-harap cemas.Jantungku kian berdegup kencang. Bahkan jari-jariku juga tidak bisa diam saking tak sabar menunggu kalimat yang akan keluar dari mulut kepala desa. "Donatur tersebut adalah ... orang yang berinisial D!" lanjut kepala desa yang membuat para warga saling menatap dan bertanya-tanya."Sepertinya Pak Danto, suami Bu Ida. Dia, kan, orang terkaya di sini," kata salah satu ibu-ibu yang duduk di depanku."Benar! Orang yang berinisial D, kan, Pak Danto. Ada juga Pak Dewangga, tapi tidak mungkin. Dia hanya tukang parkir, mana mungkin punya uang banyak, hahaha," balas ibu-ibu yang lain yang membuatku geram."Padahal suamiku yang mendanai pembangunan fasilitas ini, bahkan kepala desa juga tahu," gumamku dengan alis tertekuk dengan mata menatap tajam ke ibu-ibu yang duduk di depanku."Apa, Zoya? Suamimu yang mendanai fasilitas ini?
Perlahan aku memberanikan diri untuk berbalik, dan benar saja, di sana Abiyan tengah berdiri memandangi kami dengan mata yang sudah berlinang air mata dengan bibir yang melengkung ke bawah.Hatiku mencelos melihatnya. Apa anakku mendengar semua ucapan Ibu?Detik berikutnya Abiyan berlari ke arahku dan memelukku yang masih di dalam dekapan Mas Dewangga.Suara isak tangis Abiyan menggema di telingaku. Baik aku maupun Mas Dewangga, kami sama-sama terdiam melihatnya, bingung mau merespons apa."Mama ...." panggil Abiyan di sela-sela tangisnya.Mendengar Abiyan memanggilku sontak membuatku langsung memeluk tubuh kecilnya. Mas Dewangga juga melakukan hal yang sama, memelukku dan juga Abiyan."Mama, kenapa nenek begitu?" tanyanya yang membuat jantungku merosot seketika. Ternyata dugaanku benar, Abiyan memang mendengarnya.Aku belum bersuara, bingung harus menjawab apa. Apalagi anakku sudah melihat wajahku yang berantakan. Sepertinya akan sedikit sulit untuk berkelit di depannya.Aku bisa mer
Setiap langkah yang kuambil terasa semakin berat ketika mendekati Pak Danto. Tatapannya yang tak dapat kujelaskan membuatku diliputi perasaan tak nyaman. Entah mengapa firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres."Apa seharusnya tadi aku pura-pura tidak melihatnya saja, ya?" gumamku dalam hati, sedikit menyesal.Namun, aku sudah terlanjur sampai di hadapannya"Ada apa, Pak?" tanyaku dengan hati-hati.Pak Danto tersenyum tipis, lalu merogoh dompet dari sakunya. "Itu ... saya mau beli gorengan."Aku menarik napas lega. Ternyata hanya itu. Rasa bersalah mulai muncul karena sempat berpikir yang macam-macam."Oh, baik, Pak. Saya bungkuskan, ya," jawabku sambil buru-buru mengambil beberapa gorengan dan memasukkannya ke dalam kantong."Bapak ke sini sedang belanja, ya?" tanyaku basa-basi.Pak Danto menjawab, "Iya, saya antar istri belanja. Di dalam sinyalnya jelek, jadi saya tunggu di sini sambil mengurus beberapa urusan pekerjaan."Aku mengangguk, berusaha terlihat memahami. Saat semu
Masih dalam dekapan Mas Dewangga, aku memejamkan mata, membiarkan kehangatan pelukannya membungkusku dalam rasa nyaman yang tak tertandingi. Pelukan Mas Dewangga adalah tempat favoritku saat ingin berkeluh kesah. Aku merasa begitu tenang hingga tak sadar terlelap di sana.Ketika terbangun, ternyata hari sudah sore, dan aku mendapati diriku sudah berada di kamar."Sepertinya Mas Dewangga yang menggendongku," gumamku pelan, membayangkan bagaimana suamiku membopongku ke sini.Pikiran dan tubuhku kini terasa lebih segar dari sebelumnya, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang masuk ke dalam tubuhku dan menjadikanku lebih siap menghadapi rintangan di depan sana.Aku bergegas keluar menuju ruang tamu, tetapi Mas Dewangga tak ada di sana. Di tengah keheningan, terdengar suara tangis yang familiar dari luar rumah. Jantungku berdegup cepat saat mengenali suara itu, suara Abiyan.Aku mengintip dari jendela dan melihat Abiyan sedang dibawa paksa, lengannya dicengkeram oleh salah satu dari tiga
Esok paginya, kami beraktivitas seperti biasa. Mas Dewangga mengantar Abiyan ke sekolah, sementara aku tetap di rumah sesuai perintahnya.Untuk sementara waktu, aku tidak akan keluar rumah hingga gosip panas tentang diriku mereda. Sekeras apa pun aku membela diri, ibu-ibu di luar sana pasti tidak akan percaya."Aku hanya perlu menunggu sampai Mas Dewangga menjalankan rencananya. Semoga saja secepatnya," gumamku sembari bersandar ke dinding.Suasana hening di ruang tamu membuatku sedikit relaks, meski bayang-bayang masalah terus menghantui benakku.Tok, tok, tok!Suara ketukan pintu yang keras membuyarkan lamunanku. Jantungku berdegup kencang, pikiranku langsung menerka-nerka siapa yang berdiri di balik pintu."Apakah itu Bu Ida?" bisikku, menelan saliva dengan gugup.Jika benar itu Bu Ida, aku tidak tahu harus berkata apa. Terlebih lagi, aku hanya sendirian di sini, tanpa Mas Dewangga.Dengan langkah perlahan, aku bangkit dan menuju pintu. Ketukan kasar itu membuatku yakin siapa pun y
Aku mengerjap, mencoba membaca sorot matanya yang penuh arti. Ada kekhawatiran kecil yang mengusikku, tetapi aku berusaha tetap tenang."Apa yang ingin kamu bicarakan, Mas?" tanyaku dengan suara yang sedikit bergetar.Mas Dewangga menarik napas dalam, seolah menimbang kata-kata yang akan diucapkannya. "Zoya, aku ingin kita mempertimbangkan sesuatu," katanya yang membuatku semakin penasaran.Jantungku berdegup semakin cepat. Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diriku dan menanti penjelasan selanjutnya."Bagaimana kalau kita pindah rumah ke rumah orang tuaku?" kata Mas Dewangga sembari menatap mataku.Detak jantungku berdegup lebih kencang setelah mendengar perkataannya."Kenapa ... kenapa kita harus pindah, Mas?" tanyaku, tak bisa menyembunyikan nada cemas dalam suaraku.Mas Dewangga tersenyum tipis dan meraih tanganku, menggenggamnya erat. "Aku hanya ingin kamu hidup lebih tenang, Zoya. Agar kamu tidak merasa tertekan lagi dengan omongan orang. Di sana, kamu bisa lebih nyaman d
"Kami sedang ronda. Sudah dua malam ini ada kasus pencurian," ujar Pak Mamat, suaranya sedikit diturunkan seperti berbicara soal sesuatu yang sangat serius.Aku membelalakkan mata, tak menyangka ada kabar seperti itu di lingkungan kami. "Ya ampun, saya turut prihatin mendengarnya. Kalau boleh tahu, rumah siapa yang kena musibah?" tanya Mas Dewangga dengan raut prihatin yang tulus.Pak Mamat menarik napas dalam, lalu menjawab, "Rumah Pak Hasan dan rumahnya Pak Dimas. Dua-duanya kehilangan uang jutaan rupiah.""Kasihan mereka. Capek-capek kerja, eh, uangnya diambil orang," sahut Pak Ardi yang berdiri di sebelah Pak Mamat sambil ikut menggeleng.Aku hanya mengangguk, tak ingin ikut berbicara. Di dalam hati, perasaanku terasa campur aduk. Entah mengapa aku bisa merasakan tatapan Pak Mamat dan Pak Ardi yang kadang melirik ke arahku, seakan-akan menimbang-nimbang sesuatu. Aku tahu betul bahwa gosip miring tentangku masih segar di telinga mereka. Meski mereka tidak menanyakan langsung, ra