"Selamat pagi, Bu Zoya," sapa pria berjas hitam itu dengan senyum ramah.Sejenak aku terdiam, menatap pria itu dengan alis mengernyit. Bagaimana bisa dia tahu namaku? Aku menoleh ke arah Mas Dewangga yang kebetulan tengah memelototi pria berjas itu, seakan mengancamnya untuk segera bungkam. Saat pria itu menyadari tatapan Mas Dewangga, dia langsung tertegun, lalu buru-buru menunduk, menghindari tatapan suamiku."Mas, kamu tidak mau menjelaskan apa pun padaku sekarang?" tanyaku dengan suara bergetar, menuntut penjelasan. Tak ada lagi alasan atau pengelakan untuknya.Mas Dewangga mengembuskan napas panjang, dan wajahnya berubah tegang seiring tangannya mengusap wajah. "Masuk dulu ke mobil, nanti aku jelaskan," jawabnya singkat, nadanya terdengar seperti permintaan dan perintah sekaligus. Tanpa menjawab, aku hanya mengangguk dan segera masuk.Di dalam mobil, pria berjas itu duduk di depan, di sebelah sopir yang membuat tubuhku semakin kaku. Aku mengingat wajah sopir itu dengan jelas.
Setelah beberapa saat di perjalanan yang membuatku tak sabar, akhirnya kami tiba di sebuah hotel yang Mas Dewangga maksud. Bangunannya yang menjulang tinggi dengan eksterior kaca yang berkilauan memantulkan sinar matahari pagi, tampak sangat mewah dan elegan. Begitu memasuki lobi, aku langsung terpukau. Interior hotel ini dihiasi dengan lampu gantung kristal yang berkilauan dan lantai marmer yang seolah memantulkan setiap langkah kami. Ini pertama kalinya aku masuk ke hotel semegah ini.Alvin segera melangkah lebih dulu untuk menghampiri resepsionis, sementara aku dan Mas Dewangga berdiri tak jauh di belakangnya. Aku masih mengagumi segala kemewahan di sekitarku, dan tak sadar mengucap pertanyaan yang sedari tadi menggelitik pikiranku."Mas, apa setiap hari kamu datang ke sini?" tanyaku, mataku masih terpaku pada dinding-dinding yang dihiasi lukisan abstrak berwarna emas dan putih.Mas Dewangga menoleh padaku dan tersenyum tipis, lalu merangkul bahuku dengan hangat. "Tidak setiap
"Mas, bagaimana kalau kita berikan saja pada Ibu?" usulku pada Mas Dewangga. Dengan begitu, Ibu pasti akan berhenti berusaha mendekatkanku dengan Kak Dirfan."Ide yang bagus, tapi nanti saja. Aku masih ingin bermain-main dengan tikus itu," jawab Mas Dewangga santai, dengan senyum yang penuh arti. Aku bisa merasakan kalau suamiku merencanakan sesuatu. Apa pun itu, aku akan mendukungnya.Saat pintu lift terbuka, kami segera melangkah keluar dan menuju mobil yang ternyata masih setia menunggu kedatangan kami.Begitu kami masuk ke dalam, mobil pun segera melaju, membawa aku dan Mas Dewangga pulang.Kami turun di pinggir jalan, di tempat yang sama saat mobil itu menjemput Mas Dewangga tadi pagi. Setelahnya, kami berjalan beriringan menuju rumah dan saling menautkan jemari. Selama perjalanan, pikiranku terbang pada keluarga besar Mas Dewangga.Meski ini hanya prasangkaku, tetapi tetap saja aku merasa takut kalau-kalau keluarga besar Mas Dewangga tidak menyetujui hubungan kami."Sayang, kamu
"Jika kamu masih mencoba mendekati istriku, maka kamu akan menghadapi konsekuensinya. Aku suaminya, dan aku tahu caraku membahagiakan istriku lebih baik daripada pria yang cuma bisa berkoar-koar," lanjut Mas Dewangga lagi.Kemudian Mas Dewangga menggengam tanganku erat-erat dan membawaku pergi dari sana, meninggalkan Kak Dirfan di sana yang sedang tersulut emosi.Aku kagum dengan ketegasan Mas Dewangga. Rasanya seperti ada dinding kokoh yang melindungiku dari segala hal buruk. Dalam hati, aku berharap Kak Dirfan mau menyerah dan berhenti menggangguku.Melihat dia bersama wanita lain di hotel beberapa hari lalu hanya menambah rasa jijik yang selama ini kutahan. Bagaimana bisa dia mengklaim ingin membahagiakanku, sementara dia terus bermain-main dengan wanita lain? Bukankah seharusnya dia menjaga nama baiknya dulu?Entah apa sebenarnya yang dia inginkan. Padahal aku sudah jelas mengatakan padanya bahwa aku bahagia dengan suamiku, tetapi kenapa dia masih saja terus mengejarku?Perlahan,
Setelah ibu pergi, aku merasakan sentuhan lembut di bahuku. Aku berbalik. Mas Dewangga menatapku dengan penuh perhatian, sorot matanya menenangkan."Sayang, kamu baik-baik saja?" Suara lembut Mas Dewangga menyapa telingaku.Aku langsung memeluk tubuhnya dengan erat. Suamiku membalas, mengusap punggungku perlahan, seolah ingin menyalurkan ketenangannya padaku."Mas, kenapa tidak beritahu ibu saja? Lihat tadi, hanya karena mendengar gosip kalau aku dekat dengan donatur itu, ibu langsung bereaksi seperti tadi. Padahal dulu dia yang mendesakku untuk menikah dengan Kak Dirfan," ucapku dengan suara bergetar. "Aku lelah, Mas.""Aku tahu. Tolong bersabar sedikit lagi, ya, Sayang," jawabnya sambil menepuk lembut punggungku. "Sekarang belum saatnya."Aku hanya diam, tak merespons, sedikit kecewa karena Mas Dewangga selalu menunda."Bagaimana kalau kita jemput Abiyan? Sebentar lagi dia pulang. Sekalian kita makan siang di luar, kamu mau?" lanjut Mas Dewangga.Aku yang mendengar ide itu mendongak
"Zoya, ayo kita pulang saja," bujuk Mas Dewangga lembut sambil merangkul bahuku.Aku menggeleng. "Sebentar, Mas. Aku mau membersihkan pecahan piringnya dulu."Aku melangkah ke arah piring yang pecah berantakan."Aku bantu, ya," tawar Mas Dewangga. Aku langsung mengiyakan.Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk membersihkannya. Setelah memastikan semuanya sudah aman, kami pun kembali ke rumah.Di rumah, Abiyan terlihat asyik bermain di lantai dengan mainannya. Mas Dewangga menyarankan agar aku beristirahat di kamar. Tanpa banyak protes, aku langsung mengiyakan.Kami masuk ke kamar. Aku membaringkan diri di kasur, sedangkan Mas Dewangga duduk di tepi ranjang sambil mengambil setumpuk dokumen. Suamiku mulai membacanya dengan teliti, membuat rasa penasaranku muncul."Itu apa, Mas?" tanyaku sambil mengintip dari balik bahunya."Ini dokumen soal fasilitas yang sedang dibangun," jawabnya, lalu membalik halaman demi halaman dengan serius.Melihat dia begitu fokus, aku hanya mengangguk dan mem
Aku tertegun saat melihat siapa yang mengetuk pintu rumah Ibu. Kak Dirfan berdiri di sana, menyapaku dengan senyum yang tak pernah berubah.Aku segera mengalihkan pandangan, berpura-pura sibuk memerhatikan hal lain. Tatapanku tertuju pada kontainer plastik besar yang tergeletak di dekat kaki Kak Dirfan. "Apa itu?" pikirku."Ayo, sini masuk, Dirfan," kata Ibu sambil menuntunnya ke dalam.Kak Dirfan menyeret kontainer itu masuk, meskipun tampak kesusahan. Aku hanya diam, enggan menunjukkan simpati apa pun.Rasa tidak nyaman menguasaiku. Lebih baik aku pulang saja."Bu, kita bicara lain kali saja. Aku pamit dulu," ucapku sambil berbalik hendak keluar, tetapi Ibu mencengkeram lenganku, menghentikan langkahku."Zoya, diam dulu di sini. Temani Dirfan," katanya dengan nada yang lebih mirip perintah daripada permintaan."Tapi, Bu, aku—""Kamu mau Ibu maafkan atau tidak?" potong Ibu yang sukses membuatku terdiam."Tentu, Bu. Aku ingin Ibu memaafkanku," jawabku pelan."Kalau begitu, temani Dir
"Aku mau punya adik!" katanya polos.Ah, anak ini! Mungkin karena keinginannya soal punya adik itu belum terpenuhi, Abiyan jadi berkata begitu. Aku mengulum senyum, merasa geli membayangkan reaksi Mas Dewangga.Namun, sebelum sempat aku beranjak, Abiyan melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih pelan, tetapi masih jelas untuk kudengar."Papa, Abiyan juga mau kita pindah rumah."Hatiku langsung terasa berdebar, dan senyum di wajahku perlahan memudar. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku ingin terus mendengarkan."Kenapa Abiyan ingin pindah?" tanya Mas Dewangga dengan lembut.Akhirnya, aku mencondongkan tubuh sedikit, menajamkan pendengaranku."Aku mau kita pindah agar Paman Jahat tidak mengganggu Mama lagi," jawabnya lirih.Seolah petir menyambar, tubuhku langsung tegang. Mas Dewangga terdiam sejenak, lalu berkata hati-hati, "Abiyan ... Paman siapa yang kamu maksud?""Yang itu, Pa. Abiyan tidak suka kalau dia datang ke rumah. Kata nenek, paman itu akan menjadi ayah baru Ab