"Jika kamu masih mencoba mendekati istriku, maka kamu akan menghadapi konsekuensinya. Aku suaminya, dan aku tahu caraku membahagiakan istriku lebih baik daripada pria yang cuma bisa berkoar-koar," lanjut Mas Dewangga lagi.Kemudian Mas Dewangga menggengam tanganku erat-erat dan membawaku pergi dari sana, meninggalkan Kak Dirfan di sana yang sedang tersulut emosi.Aku kagum dengan ketegasan Mas Dewangga. Rasanya seperti ada dinding kokoh yang melindungiku dari segala hal buruk. Dalam hati, aku berharap Kak Dirfan mau menyerah dan berhenti menggangguku.Melihat dia bersama wanita lain di hotel beberapa hari lalu hanya menambah rasa jijik yang selama ini kutahan. Bagaimana bisa dia mengklaim ingin membahagiakanku, sementara dia terus bermain-main dengan wanita lain? Bukankah seharusnya dia menjaga nama baiknya dulu?Entah apa sebenarnya yang dia inginkan. Padahal aku sudah jelas mengatakan padanya bahwa aku bahagia dengan suamiku, tetapi kenapa dia masih saja terus mengejarku?Perlahan,
Setelah ibu pergi, aku merasakan sentuhan lembut di bahuku. Aku berbalik. Mas Dewangga menatapku dengan penuh perhatian, sorot matanya menenangkan."Sayang, kamu baik-baik saja?" Suara lembut Mas Dewangga menyapa telingaku.Aku langsung memeluk tubuhnya dengan erat. Suamiku membalas, mengusap punggungku perlahan, seolah ingin menyalurkan ketenangannya padaku."Mas, kenapa tidak beritahu ibu saja? Lihat tadi, hanya karena mendengar gosip kalau aku dekat dengan donatur itu, ibu langsung bereaksi seperti tadi. Padahal dulu dia yang mendesakku untuk menikah dengan Kak Dirfan," ucapku dengan suara bergetar. "Aku lelah, Mas.""Aku tahu. Tolong bersabar sedikit lagi, ya, Sayang," jawabnya sambil menepuk lembut punggungku. "Sekarang belum saatnya."Aku hanya diam, tak merespons, sedikit kecewa karena Mas Dewangga selalu menunda."Bagaimana kalau kita jemput Abiyan? Sebentar lagi dia pulang. Sekalian kita makan siang di luar, kamu mau?" lanjut Mas Dewangga.Aku yang mendengar ide itu mendongak
"Zoya, ayo kita pulang saja," bujuk Mas Dewangga lembut sambil merangkul bahuku.Aku menggeleng. "Sebentar, Mas. Aku mau membersihkan pecahan piringnya dulu."Aku melangkah ke arah piring yang pecah berantakan."Aku bantu, ya," tawar Mas Dewangga. Aku langsung mengiyakan.Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk membersihkannya. Setelah memastikan semuanya sudah aman, kami pun kembali ke rumah.Di rumah, Abiyan terlihat asyik bermain di lantai dengan mainannya. Mas Dewangga menyarankan agar aku beristirahat di kamar. Tanpa banyak protes, aku langsung mengiyakan.Kami masuk ke kamar. Aku membaringkan diri di kasur, sedangkan Mas Dewangga duduk di tepi ranjang sambil mengambil setumpuk dokumen. Suamiku mulai membacanya dengan teliti, membuat rasa penasaranku muncul."Itu apa, Mas?" tanyaku sambil mengintip dari balik bahunya."Ini dokumen soal fasilitas yang sedang dibangun," jawabnya, lalu membalik halaman demi halaman dengan serius.Melihat dia begitu fokus, aku hanya mengangguk dan mem
Aku tertegun saat melihat siapa yang mengetuk pintu rumah Ibu. Kak Dirfan berdiri di sana, menyapaku dengan senyum yang tak pernah berubah.Aku segera mengalihkan pandangan, berpura-pura sibuk memerhatikan hal lain. Tatapanku tertuju pada kontainer plastik besar yang tergeletak di dekat kaki Kak Dirfan. "Apa itu?" pikirku."Ayo, sini masuk, Dirfan," kata Ibu sambil menuntunnya ke dalam.Kak Dirfan menyeret kontainer itu masuk, meskipun tampak kesusahan. Aku hanya diam, enggan menunjukkan simpati apa pun.Rasa tidak nyaman menguasaiku. Lebih baik aku pulang saja."Bu, kita bicara lain kali saja. Aku pamit dulu," ucapku sambil berbalik hendak keluar, tetapi Ibu mencengkeram lenganku, menghentikan langkahku."Zoya, diam dulu di sini. Temani Dirfan," katanya dengan nada yang lebih mirip perintah daripada permintaan."Tapi, Bu, aku—""Kamu mau Ibu maafkan atau tidak?" potong Ibu yang sukses membuatku terdiam."Tentu, Bu. Aku ingin Ibu memaafkanku," jawabku pelan."Kalau begitu, temani Dir
"Aku mau punya adik!" katanya polos.Ah, anak ini! Mungkin karena keinginannya soal punya adik itu belum terpenuhi, Abiyan jadi berkata begitu. Aku mengulum senyum, merasa geli membayangkan reaksi Mas Dewangga.Namun, sebelum sempat aku beranjak, Abiyan melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih pelan, tetapi masih jelas untuk kudengar."Papa, Abiyan juga mau kita pindah rumah."Hatiku langsung terasa berdebar, dan senyum di wajahku perlahan memudar. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku ingin terus mendengarkan."Kenapa Abiyan ingin pindah?" tanya Mas Dewangga dengan lembut.Akhirnya, aku mencondongkan tubuh sedikit, menajamkan pendengaranku."Aku mau kita pindah agar Paman Jahat tidak mengganggu Mama lagi," jawabnya lirih.Seolah petir menyambar, tubuhku langsung tegang. Mas Dewangga terdiam sejenak, lalu berkata hati-hati, "Abiyan ... Paman siapa yang kamu maksud?""Yang itu, Pa. Abiyan tidak suka kalau dia datang ke rumah. Kata nenek, paman itu akan menjadi ayah baru Ab
"Apakah kepala desa akan menyebutkan nama Mas Dewangga? Apakah semua orang akhirnya akan tahu bahwa suamiku yang berada di balik semua ini?" batinku harap-harap cemas.Jantungku kian berdegup kencang. Bahkan jari-jariku juga tidak bisa diam saking tak sabar menunggu kalimat yang akan keluar dari mulut kepala desa. "Donatur tersebut adalah ... orang yang berinisial D!" lanjut kepala desa yang membuat para warga saling menatap dan bertanya-tanya."Sepertinya Pak Danto, suami Bu Ida. Dia, kan, orang terkaya di sini," kata salah satu ibu-ibu yang duduk di depanku."Benar! Orang yang berinisial D, kan, Pak Danto. Ada juga Pak Dewangga, tapi tidak mungkin. Dia hanya tukang parkir, mana mungkin punya uang banyak, hahaha," balas ibu-ibu yang lain yang membuatku geram."Padahal suamiku yang mendanai pembangunan fasilitas ini, bahkan kepala desa juga tahu," gumamku dengan alis tertekuk dengan mata menatap tajam ke ibu-ibu yang duduk di depanku."Apa, Zoya? Suamimu yang mendanai fasilitas ini?
Perlahan aku memberanikan diri untuk berbalik, dan benar saja, di sana Abiyan tengah berdiri memandangi kami dengan mata yang sudah berlinang air mata dengan bibir yang melengkung ke bawah.Hatiku mencelos melihatnya. Apa anakku mendengar semua ucapan Ibu?Detik berikutnya Abiyan berlari ke arahku dan memelukku yang masih di dalam dekapan Mas Dewangga.Suara isak tangis Abiyan menggema di telingaku. Baik aku maupun Mas Dewangga, kami sama-sama terdiam melihatnya, bingung mau merespons apa."Mama ...." panggil Abiyan di sela-sela tangisnya.Mendengar Abiyan memanggilku sontak membuatku langsung memeluk tubuh kecilnya. Mas Dewangga juga melakukan hal yang sama, memelukku dan juga Abiyan."Mama, kenapa nenek begitu?" tanyanya yang membuat jantungku merosot seketika. Ternyata dugaanku benar, Abiyan memang mendengarnya.Aku belum bersuara, bingung harus menjawab apa. Apalagi anakku sudah melihat wajahku yang berantakan. Sepertinya akan sedikit sulit untuk berkelit di depannya.Aku bisa mer
Setiap langkah yang kuambil terasa semakin berat ketika mendekati Pak Danto. Tatapannya yang tak dapat kujelaskan membuatku diliputi perasaan tak nyaman. Entah mengapa firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres."Apa seharusnya tadi aku pura-pura tidak melihatnya saja, ya?" gumamku dalam hati, sedikit menyesal.Namun, aku sudah terlanjur sampai di hadapannya"Ada apa, Pak?" tanyaku dengan hati-hati.Pak Danto tersenyum tipis, lalu merogoh dompet dari sakunya. "Itu ... saya mau beli gorengan."Aku menarik napas lega. Ternyata hanya itu. Rasa bersalah mulai muncul karena sempat berpikir yang macam-macam."Oh, baik, Pak. Saya bungkuskan, ya," jawabku sambil buru-buru mengambil beberapa gorengan dan memasukkannya ke dalam kantong."Bapak ke sini sedang belanja, ya?" tanyaku basa-basi.Pak Danto menjawab, "Iya, saya antar istri belanja. Di dalam sinyalnya jelek, jadi saya tunggu di sini sambil mengurus beberapa urusan pekerjaan."Aku mengangguk, berusaha terlihat memahami. Saat semu