Qizha ingin menangis menatap gadis di hadapannya itu. Qizha masih sangat ingat dengan wajah gadis ini. Qansha. Sangat mirip dengan Qasam. Ada darah yang sama mengalir di tubuh mereka, gen yang sama, juga keturunan yang sama. Qizha pernah memberikan minuman kepada gadis ini ketika gadis ini bekerja di kantor yang sama, QIzha pernah menyimpan foto wajah gadis ini. Ya, Qizha tentu ingat betul wajah itu. Sedikit pun tak ada perubahan dengan wajah Qansha, masih sama seperti tempo waktu. Benarkah gadis yang ada di hadapannya ini bernama Qanshaa? Qizha tidak salah lihat kan? Ya Tuhan, benar itu adalah Qansha. Sampai beberapa kali Qizha mengdipkan-ngedipkan mata demi memastikan. Dan memang benar pandangannya tidak salah. Dia tidak sedang berhalusinasi.Jadi, apa yang dikatakan oleh Hasan ada benarnya juga. Artinya wanita yang menempati salah satu rumah megah di komplek perumahan elit itu adalah Qansha. Tidak salah lagi. Pasti Qansha. Qasam buru- buru memindahkan Qansha
“Apa urusanmu, Kak Qizha? Ini adalah urusanku dengan keluargaku,” kesal Qansha. “Kalau mereka sampai tahu aku di sini, maka aku tidak akan memaafkanmu selamanya.”“Apakah Mas Qasam memaksamu bersembunyi?” tanya Qizha. “Mas Qasam sudah menceritakan semuanya tentangmu. Kamu ini kakak iparku, istri pengganti Kak Ameena yang gagal menikah dengannya. So, kamu memang menaburkan racun ke minumanku, tapi semua dilakukan tanpa sepengetahuanmu. Aku sudah tahu semua itu. tapi aku diam. Sekarang giliranmu diam meski mengetahui tentangku.”“Kasus kita berbeda, Qansha. Kamu tidak bisa terus bersembunyi begini.”“Keluar, Kak! Keluar sekarang!” Qansha mendorong dada Qizha.“Qansha. Ini masalah besar. Kamu jangan anggap sepele. Ayahku bahkan sampai harus masuk penjara karena tuduhan pembunuhan atas dirimu. Kalau kamu masih hidup, maka tuntutan penjara atas ayahku bukanlah tuntutan atas kematian seseorang.” Qizha menolak saat didorong. “Kamu harus muncul karena kasusmu ini menyangkut
“Cepat, Pak! Saya mau segera sampai rumah!” titah Qizha pada supir taksi. Qizha benar- benar sudah tak sabar ingin segera sampai rumah dan menemui Habiba.Qizha ingin mengatakan semuanya tentang Qansha. Bahwa adik iparnya itu ternyata masih hidup.Habiba tak perlu merasa sedih berkepanjangan atas kepergian Qanhsa, karena sebenarnya Qansha tidaklah pergi. Kasian Habiba bila harus merasa sedih berkepanjangan. Mertuanya itu adalah orang baik.Lagi pula, kenapa Qasam juga tidak mau berterus terang atas masalah ini? dia malah ikutan berkomplot dengan Qansha untuk menyembunyikan keberadaan adiknya itu. sungguh terlalu!Tiba- tiba mobil berhenti mendadak, membuat tubuh Qizha otomatis terdorong maju. “Ada apa, Pak?” tanya Qizha ingin marah, namun urung. Qizha sedang panik dan kesal, malah dibikin makin kesal saat hidung bangirnya hampir menyentuh kursi depannya. Untung saja ia gesit berpegangan.“Ada mobil melintang di depan, Mbak,” sahut supir cemas. “Itu mobil kenapa berhenti men
“Aku mencintaimu!” bisik Qasam di telinga Qizha. Bibir pria itu bergerak di pipi Qizha, napasnya menampar lembut pipi Qizha. Tangis Qizha pecah. Badannya bergetar hebat. “Kau tidak tahu apa yang sudah terjadi. Jangan mengambil negatif dari masalah ini,” bisik Qasam. Dia tadi langsung mencari Qizha begitu mendapat kabar dari Qansha kalau Qizha menemuinya di apartemen. “Lalu aku harus menganggap apa? Aku harus menganggap kamu manusia mulia karena sudah menyakitiku? Kamu membohongi dan melukai hati semua orang? Alasan apa yang bisa membuatku memaklumi perbuatan mu ini?” kesal Qizha. “Jangan katakan ke siapa pun tentang ini. Mereka belum bileh tahu kalau Qansha masih hidup,” jelas Qasam.“Tidak. Aku tidak akan mengikuti omong kosong yang gila ini!” Qizha menyentak lengan Qasam hingga terlepas dari pelukan erat itu. Qizha langsung masuk ke taksi yang melintas. “Qizha!” Qasam mengejar, namun terlambat. Qizha sudah lebih dulu masuk ke taksi. “Sial!” Qasam bergegas masuk ke mobil. Dia
Qizha berlari melewati halan rumah luas, ia sudah tak sabar ingin bertemu dengan Habiba dan menjelaskan semuanya. Tak perlu ia merasa takut pada Qasam atau pun Qansha untuk mengungkapkan kebenaran ini. Habiba dan Husein harus tahu kalau Qansha masih hidup. Mereka telah menyembunyikan kenyataan besar ini. Qizha mendorong pintu tinggi yang kemudian dia lewati. Tidak ada siapa- siapa di ruangan utama. Sepi. Rumah besar itu seperti tak berpenghuni. Qizha mencari ke ruangan lain. Siapa pun orang pertama yang dia temui, maka dia akan mengatakannya langsung. Namun ia tak menemukan siapa pun.Qizha menaiki anak tangga sambil menelepon Habiba. “Halo! Ada apa, Qizha?” sahut Habiba di seberang telepon. “Mama dimana?” tanya Qizha. “Mama di rumah. Tumben telepon mama. Kemarilah.”Qizha setengah berlari menuju ke lantai dua. Dia menurunkan ponsel dari telinga ketika mendapati Habiba tengah duduk berdua bersama dengan Husein di ruang santai itu. Tersaji makanan enak di meja, sepiring kue gur
Qizha menatap Qasam tajam. Kebohongan Qasam yang dianggap fatal, membuatnya pasrah jika harus berujung dengan perpisahan. Pernikahan mereka sudah sangat menyakitkan sejak Qizha disakiti terus- terusan hanya karena dianggap sebagai pembunuh. Setelah Qasam tahu bahwa Qizha bukanlah pembunuh, apa salahnya Qasam mengatakan yang sejujurnya bahwa Qansha masih hidup. Sedangkan Qasam masih menyembunyikan Qansha dari Qizha. “Sekarang aku sudah bisa mengukur seberapa besar kamu menganggapku sebagai istri. Setelah tahu kalau kamu sembunyikan Qansha, aku baru tahu kalau sampai detik ini aku bukanlah bagian dari hidupmu. Kamu sembunyikan Qansha dari aku karena sebenarnya kamu menganggap aku bukanlah orang yang berharga pada bagian hidupmu,” kesal Qizha.“Tidak ada kaitan antara Qansha dan kamu.”“Sangat berkaitan. Saat kamu menganggap kalau aku adalah orang yang berharga di hidupmu, maka kamu pasti akan langsung kasih tahu hal penting ini ke aku, bukan malah menyembunyikannya,” cecar Qizha yang
Qasam mengemudikan mobil. Sekilas ia melirik Qizha yang duduk di sisinya, istrinya itu diam saja. Wajah Qizha terus- terusan menghadap ke jendela. Sunyi.Tak ada pembicaraan diantara keduanya. Mereka membisu. Qasam menarik sudut bibirnya melihat istrinya yang terus mendiamkannya. Ia malah merasa tertantang, gemas sekali dengan sikap Qizha yang mulai berani marah padanya. Mobil berhenti di lampu merah. Tampak badut menari- nari di lampu merah sambil menawarkan boneka kuda, boneka kucing dan banyak boneka- boneka lainnya berukuran kecil. Qasam tak pernah peduli dengan orang-orang yang menawarkan barang- barang seperti itu. Namun, kali ini ia tertarik. Mendadak Qasam merasa ingin memegang boneka itu. Ia menutunkan kaca dan melambaikan tangan pada badut berbentuk katak. “Berapa harga bonekanya?” tanya Qasam pada badut yang menghampirinya. “Dua puluh lima ribu, Mas,” jawab badut sambil menunjukkan boneka-boneka yang dia pegangi. “Aku ambil yang itu!” Qasam menunjuk boneka kucing wa
“Kamu terus berusaha membujukku hanya karena kesalahanmu sudah terlanjur ketahuan. Ini benar- benar nggak akan mengubah hatiku. Aku sudah tahu siapa kamu yang sebenarnya, Mas,” ucap Qizha yang pendiriannya tak goyah. “Aku menyayangimu.”“Terus saja katakan itu. Tetap saja tidak akan mengubah pandangan dan penilaianki terhadapmu. Semua sudah terbongkar.”“Aku tidak sedang mengubah penilainmu terhadapku. Terserah saja penilaianmu kepadaku bagaimana. Aku tidak akan memaksakannya hanya supaya penilaianmu terhadapku bisa berubah. Hanya saja, aku ingin menunjukkan kalau aku sekarang sudah benar- benar mencintaimu.”“Setelah kamu tidak jujur padaku dan kamu masih bisa bilang kalau kamu cinta? Oke, memang ada cinta, tapi hanya sedikit. kalau kamu sungguh- sungguh cinta, pasti hal sebesar ini tidak akan kamu sembunyikan kepadaku,” sahut Qizha datar.“Pola pikirmu dan cara pandangmu itu jauh berbeda denganku. Kita tidak bisa disamakan. Kau juga tidak bisa memaksakan aku supaya bisa sejalan den