Qizha sudah berdiri di depan sebuah rumah elit. Kali ini ia berada di rumah Ameena. Mungkin wanita ini bisa dimintai keterangan mengenai hubungannya dengan Qasam.Berdasarkan penelusurannya yang mencari tahu alamat Ameena melalui Fahri, ia mendapatkan alamat tersebut. Tapi Fahri meminta Qizha supaya tidak memberitahu kepada Qasam kalau dia yang memberitahukan alamat rumah itu. Tentu saja Qizha memegang amanah.Seorang asisten rumah tangga menyembul keluar membuka pintu sesaat setelah Qizha memencet bel pintu.“Selamat pagi! Cari siapa ya, Non?” tanya wanita paruh baya itu.“Cari Ameena. Ada?”“Non Ameena sudah beberapa bulan ke luar negeri, menyusul orang tuanya,” sahut wanita paruh baya itu dengan senyum ramah.“Oh…”“Ada perlu apa, Non? Nanti biar saya sampaikan.”Qizha tersenyum dan menjawab, “Tanya kabar saja.”“Oh, Non ini temennya Non Ameena? Saya nggak pernah lihat.”“Teman lama.” Qizha ingat pernah bertemu dengan Ameena waktu itu. ameena terlihat sangat ramah dan sopa
“Kamu yakin tidak tahu perkara ini?” tanya Qizha ingin meyakinkan dirinya.“Yakin. Setahuku, Qasam tidak punya wanita lain selain kau. tapi entahlah kalau dia pun menyembunyikan hal itu juga dariku,” sahut Fahri.“Bisakah kamu membantuku mencari tahu hal ini?”“Tidak ada clue apa pun, harus mulai dari mana aku mencari tahu hal itu?” Fahri mengangkat pundak.“Begini, aku mendapat informasi kalau Mas Qasam itu menyimpan wanita simpanannya itu di komplek perumahan Puri Indah.” Qizha lalu menyebutkan alamatnya lengkap.“Bukankah itu adalah perumahan elit?”“Ya. Tepat sekali. Kamu bisa cari tahu hal ini di sana.”“Jadwalku saja penuh sekali mengurus pekerjaan milik Qasam. Bagaimana aku akan sempat menyelidiki ini? bahkan saat aku ketahuan menyelidiki ini, pasti aku akan habis di tangan Qasam. Dia akan menggantungku di jembatan hidup- hidup dan menjadikan aku umpan buaya.”“Jangan sampai dia tahu dong,” sergah Qizha.“Siapa yang bakalan tahu kalau tindakanku ini bakalan diketahui a
“Posisi tinggalnya dimana ya tepatnya? Agak lupa saya,” ucap Qizha pura- pura, beginilah caranya memancing untuk dapat mengetahui tempat tinggalnya Qasam.“Saya kurang ingat juga letak persisnya, Mbak. Tapi Mbak bisa ke lantai Sembilan belas, tanya satpam di sana saja,” jawab satpam memberikan arahan.“Makasih, Pak.” Qizha sudah mendapatkan gambaran. Intinya di lantai Sembilan belas. Lift membawa Qizha menuju ke lantai Sembilan belas. Tak sabar rasanya ia ingin menemui siapa wanita yang bersama dengan Qasam?Apakah ada wanita baru di kehidupan suaminya itu? Apakah suaminya benar- benar memiliki wanita simpanan?Keluar dari lift, langkah Qizha bergerak dengan cepat. Namun, makin lama langkahnya itu makin memelan. Hatinya sudah mulai gundah, kakinya pun sedikit lemas. Andai saja dia mengetahui kebenaran ini, apakah ia akan sanggup menghadapinya? Ataukah dia pura- pura tidak tahu saja supaya bisa menjalani rumah tangganya tanpa peduli dengan apa yang terjadi dengan Qasam?Ti
Qizha ingin menangis menatap gadis di hadapannya itu. Qizha masih sangat ingat dengan wajah gadis ini. Qansha. Sangat mirip dengan Qasam. Ada darah yang sama mengalir di tubuh mereka, gen yang sama, juga keturunan yang sama. Qizha pernah memberikan minuman kepada gadis ini ketika gadis ini bekerja di kantor yang sama, QIzha pernah menyimpan foto wajah gadis ini. Ya, Qizha tentu ingat betul wajah itu. Sedikit pun tak ada perubahan dengan wajah Qansha, masih sama seperti tempo waktu. Benarkah gadis yang ada di hadapannya ini bernama Qanshaa? Qizha tidak salah lihat kan? Ya Tuhan, benar itu adalah Qansha. Sampai beberapa kali Qizha mengdipkan-ngedipkan mata demi memastikan. Dan memang benar pandangannya tidak salah. Dia tidak sedang berhalusinasi.Jadi, apa yang dikatakan oleh Hasan ada benarnya juga. Artinya wanita yang menempati salah satu rumah megah di komplek perumahan elit itu adalah Qansha. Tidak salah lagi. Pasti Qansha. Qasam buru- buru memindahkan Qansha
“Apa urusanmu, Kak Qizha? Ini adalah urusanku dengan keluargaku,” kesal Qansha. “Kalau mereka sampai tahu aku di sini, maka aku tidak akan memaafkanmu selamanya.”“Apakah Mas Qasam memaksamu bersembunyi?” tanya Qizha. “Mas Qasam sudah menceritakan semuanya tentangmu. Kamu ini kakak iparku, istri pengganti Kak Ameena yang gagal menikah dengannya. So, kamu memang menaburkan racun ke minumanku, tapi semua dilakukan tanpa sepengetahuanmu. Aku sudah tahu semua itu. tapi aku diam. Sekarang giliranmu diam meski mengetahui tentangku.”“Kasus kita berbeda, Qansha. Kamu tidak bisa terus bersembunyi begini.”“Keluar, Kak! Keluar sekarang!” Qansha mendorong dada Qizha.“Qansha. Ini masalah besar. Kamu jangan anggap sepele. Ayahku bahkan sampai harus masuk penjara karena tuduhan pembunuhan atas dirimu. Kalau kamu masih hidup, maka tuntutan penjara atas ayahku bukanlah tuntutan atas kematian seseorang.” Qizha menolak saat didorong. “Kamu harus muncul karena kasusmu ini menyangkut
“Cepat, Pak! Saya mau segera sampai rumah!” titah Qizha pada supir taksi. Qizha benar- benar sudah tak sabar ingin segera sampai rumah dan menemui Habiba.Qizha ingin mengatakan semuanya tentang Qansha. Bahwa adik iparnya itu ternyata masih hidup.Habiba tak perlu merasa sedih berkepanjangan atas kepergian Qanhsa, karena sebenarnya Qansha tidaklah pergi. Kasian Habiba bila harus merasa sedih berkepanjangan. Mertuanya itu adalah orang baik.Lagi pula, kenapa Qasam juga tidak mau berterus terang atas masalah ini? dia malah ikutan berkomplot dengan Qansha untuk menyembunyikan keberadaan adiknya itu. sungguh terlalu!Tiba- tiba mobil berhenti mendadak, membuat tubuh Qizha otomatis terdorong maju. “Ada apa, Pak?” tanya Qizha ingin marah, namun urung. Qizha sedang panik dan kesal, malah dibikin makin kesal saat hidung bangirnya hampir menyentuh kursi depannya. Untung saja ia gesit berpegangan.“Ada mobil melintang di depan, Mbak,” sahut supir cemas. “Itu mobil kenapa berhenti men
“Aku mencintaimu!” bisik Qasam di telinga Qizha. Bibir pria itu bergerak di pipi Qizha, napasnya menampar lembut pipi Qizha. Tangis Qizha pecah. Badannya bergetar hebat. “Kau tidak tahu apa yang sudah terjadi. Jangan mengambil negatif dari masalah ini,” bisik Qasam. Dia tadi langsung mencari Qizha begitu mendapat kabar dari Qansha kalau Qizha menemuinya di apartemen. “Lalu aku harus menganggap apa? Aku harus menganggap kamu manusia mulia karena sudah menyakitiku? Kamu membohongi dan melukai hati semua orang? Alasan apa yang bisa membuatku memaklumi perbuatan mu ini?” kesal Qizha. “Jangan katakan ke siapa pun tentang ini. Mereka belum bileh tahu kalau Qansha masih hidup,” jelas Qasam.“Tidak. Aku tidak akan mengikuti omong kosong yang gila ini!” Qizha menyentak lengan Qasam hingga terlepas dari pelukan erat itu. Qizha langsung masuk ke taksi yang melintas. “Qizha!” Qasam mengejar, namun terlambat. Qizha sudah lebih dulu masuk ke taksi. “Sial!” Qasam bergegas masuk ke mobil. Dia
Qizha berlari melewati halan rumah luas, ia sudah tak sabar ingin bertemu dengan Habiba dan menjelaskan semuanya. Tak perlu ia merasa takut pada Qasam atau pun Qansha untuk mengungkapkan kebenaran ini. Habiba dan Husein harus tahu kalau Qansha masih hidup. Mereka telah menyembunyikan kenyataan besar ini. Qizha mendorong pintu tinggi yang kemudian dia lewati. Tidak ada siapa- siapa di ruangan utama. Sepi. Rumah besar itu seperti tak berpenghuni. Qizha mencari ke ruangan lain. Siapa pun orang pertama yang dia temui, maka dia akan mengatakannya langsung. Namun ia tak menemukan siapa pun.Qizha menaiki anak tangga sambil menelepon Habiba. “Halo! Ada apa, Qizha?” sahut Habiba di seberang telepon. “Mama dimana?” tanya Qizha. “Mama di rumah. Tumben telepon mama. Kemarilah.”Qizha setengah berlari menuju ke lantai dua. Dia menurunkan ponsel dari telinga ketika mendapati Habiba tengah duduk berdua bersama dengan Husein di ruang santai itu. Tersaji makanan enak di meja, sepiring kue gur
Qizha bermain dengan Zein di ruang main yang sengaja di desain khusus untuk anak bermain. Di sana lengkap ada berbagai macam jenis mainan, muali dari mobil-mobilan, bola, tempat mandi bola, perosotan, bahkan permainan untuk lompat-lompatan pun ada.Qizha mengawasi dari jarak beberapa meter, duduk sambil minum jus. Di sisinya ada Arini yang selalu stand by, memberikan apa saja keperluan Qizha.Si kecil mandi bila bersana dengan baby sitter yang tak pernah lepas dari posisi Zein kemana pun pergi. Qizha menatap layar ponselnya yang menunjuk tanggal dua belas, artinya tiga hari lagi Qasam pulang. Lama sekali rasanya menghitung hari. Serindu itu ternyata Qizha pada Qasam? Qizha malu jika mengingat dirinya yang nyaris seperti orang kasmaran dan jatuh cinta. Benda pipih itu kemudian berdering, nama Qasam tertera di layar. Qasam menelepon? Qizha tersenyum senang. Ia langsung menjawab telepon dan mengucap salam.“Kenapa sudah meneleponku? Kangen?” tanya Qizha.“Ha haa… tidak. Aku sama seka
Sudah tiga minggu Qasam pergi ke Jepang sejak terakhir kali Qizha mengantarnya ke bandara, pria itu belum kembali. Kemarin mengaku hanya akan perhi selama dua minggu, tapi ternyata sudah tiga minggu berlalu, Qasam belum kembali.Qizha mengerjakan aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Zein, putra semata wayangnya. Kini, Zein sudah tumbuh makin besar. Usianya satu tahun. Di usia sembilan bulan, Zein sudah bisa berjalan. Sekarang, bocah itu sudah bisa berlari meski belum kencang.Qizha merindukan Qasam. Pria itu memang ngangenin. Sebentar tak ketemu, rasa rindu sudah sampai ke ubun- ubun. Sikap Qasam yang setahun belakangan terlihat memuliakan wanita, membuat Qizha merasa kalau Qasam itu seperti candu. Bayangkan saja, setiap saat, Qizha selalu saja mendapat kelembutan dan perhatian khusus dari suaminya. Lalu beberapa minggu, ia harus berpisah. Tentu saja ia rindu. Qizha baru saja meletakkan tubuh Zein ke kasur tidur khusus balita, berdekatan dengan kas
Baby sitter terlihat terampil ketika memandikan Zein, bayi yang baru berusia dua minggu. Qizha mengawasi di samping baby sitter. Selama ini, Qizha sendiri yang memandikan bayinya. Baru kali ini ia mengijinkan baby sitter memandikan bayinya, itu pun diawasi olehnya.“Kamu keliahtan terbiasa memandikan bayi,” komentar Qizha.“Iya, Non. Soalnya saya khusus mengurus bayi merah kan dulu sewaktu dip anti asuhan. Dan setelah masuk yayasan, saya juga jadi baby sitter,” sahut wanita yang usianya sekitar empat puluh limaan tahun itu.“Pantesan cekatan. Sini, biar aku yang pakaikan bajunya. Baju dan peralatan untuk si kecil sudah disiapkan?” Qizha mengambil alih bayinya setelah diangkat dari bak mandi.“Sudah, Non.” Qizha melangkah keluar dan segera memasang baju bayi yang sudah disediakan. Termasuk minyak kayu putih dan bedak juga sudah disediakan. Di kamar bayi itu, aroma minyam telon menguar, harum. Arini mendampingi Qizha. Dia bertugas untuk melayani Qizha. Sedangkan baby sit
Qasam membawa air hangat kuku dari pemanas air di sudut kamar sesuai permintaan Qizha dan menyerahkannya kepada istrinya itu. “Ayo minum!”Qasam membantu mendekatkan gelas ke bibir Qizha.“Aku bisa sendiri, Mas,” ucap Qizha dan mengambil alih gelas tersebut lalu meminumnya “Terima kasih, Mas.”Pandangan Qasam kemudian tertuju ke bayi kecil yang ada di samping Qizha. Pipinya tebem, kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Menggemaskan dan lucu sekali. Ini adalah hari pertama Qizha dibawa pulang ke rumah setelah menjalani perawatan selama tiga hari di rumah sakit. Padahal sebenarnya di hari kedua Qizha sudah diijinkan pulang karena kondisinya sehat dan baik-baik saja, namun seperti biasa, Qasam melarang Qizha pulang dan dia diminta untuk dirawat di rumah sakit dengan pantauan dokter. Rumah sakit milik ayahnya, jadi mudah saja baginya mengatur kondisi di rumah sakit.Bahkan, kini Qasam meminta dokter keluarga untuk mengecek kondisi ibu dan bayi ke rumah di tiga hari perta
“Pinggangku sakit banget, Mas!” ucap Qizha sambil memegangi pinggang. Mulutnya meringis. Sebenarnya sudah sejak di perjalanan tadi Qizha merasakan ngilu, namun ia menahannya karena rasa ngilu itu datang dan hilang begitu saja. dia mengira hal itu biasa terjadi seiring kehamilannya yang semakin membesar.Namun, kini rasa ngilu itu makin parah, hampir setiap lima belas menit sekali muncul dan rasanya melilit sampai ke perut bagian bawah. Habiba memegang perut Qizha, rasanya keras menggumpal ke satu titik. Kemudian gumpalan keras itu bergerak menuju ke titik lain. Begitu seterusnya.“Ini Qizha sudah mau melahirkan. Ayo cepat bawa ke rumah sakit,” seru Habiba, membuat Qasam langsung gerak cepat menggendong tubuh Qizha dan membawanya ke mobil.Supir menyetir dnegan kelajuan tinggi mendengar suara ritihan Qizha di belakang. Qasam menggenggam tangan Qizha sambil terus mengatakan kata-kata motifasi.Qizha berkeringat, mukanya makin memucat, lemas sekali. Sesekali meringis menahan s
Semenjak Qizha tahu kalau Sina rujuk dengan Arsen, ia menjadi jauh lebih lega. Kini adiknya itu sudah ada yang menanggung jawabi. Hidupnya tidak lagi mengenaskan, Qizha pun tak perlu mencemaskan keadaannya lagi. Sina kini tinggal bersama sang suami. Setelah balitanya keluar dari rumah sakit, Sina mengunjungi rumah Qasam, menemui Qizha dan Qasam untuk mengucapkan rasa terima kasih. Arsen pun menunjukkan sikap layaknya sebagai saudara ipar. Qizha memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab baru kepada Sina seperti yang dia janjikan. Qasam pun mulai membuka hati pada Sina. Dia tidak ketus lagi melihat sikap Sina yang jelas sudah jauh berubah. Penampilan Sina pun sudah tidak lusuh lagi seperti saat dia menjanda. Sepeninggalan Sina dan Arsen, tinggal lah Qizha dan Qasam yang duduk di ruang tamu berdua. “Mas, kamu udah nggak benci lagi sama Sina, kan?” tanya Qizha sambil.memegang tangan suaminya.“Tidak.” Tatapan Qasam tertuju pada mata bulat istrinya yang menggemaskan. “Dia seperti
Qizha menatap ekspresi wajah adik tirinya yang tak pernah dia lihat selama ini, wajah itu tampak jajh lebih menyedihkan, penuh penyesalan, dan tatapan iba. Ini adalah pemandangan pertama kalinya. Wajah Sina benar-benar tampak sangat mengenaskan. Bahkan tampilannya pun berbada, dia memakai kerudung untuk menutup auratnya. Apakah ini adalah awal bagi Sina untuk taubat? Dari mata adiknya, Qizha tidak melihat dendam dan tatapan kebencian seperti dulu. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.Qizha meraih pundak Sina. “Bawa anakmu ke rumah sakit sekarang. Aku akan mengantarmu.”Sina mengangguk dengan senyum dan air matanya langsung berurai. “Iya, Kak. Makasih.”***Di rumah sakit itu, Qizha dan Sina duduk di depan balita yang terbujur dengan selang infus menusuk di kaki. Si kecil tidur pulas. Qizha didampingi oleh Arini, asisten rumah tangga yang satu itu tak diijinkan jauh dari Qizha. Selalu diminta Qasam untuk mendampingi Qizha. Wajah Sina yang tadinya murung, kini
“Mas, becandanya nggak lucu. Masak ngintip sih?” tanya Qizha yang tak terima suaminya mengucapkan kata-kata konyol tadi. “Ya, kalau aku lagi nganu sama kamu kan itu kepala bawah lagi ngintip ke dalam. He hee…” Qasam makin konyol. Ia kembali mengelus permukaan perut Qizha. Ia merasakan sensasi saat janin di dalam bergerak-gerak. “Dia bergerak. Setiap kali aku memancing dengan elusan, pasti dia bergerak-gerak.” Qasam tersenyum.“Iya, kalau ada pancingan dari luar, bayi kita pasti merespon. Dia tahu ada yang perhatian kepadanya.”“Tendangannya makin hari makin kuat.”“Namanya juga sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari, ya tentu makin kuat dong.”“Hah? Sudah sembilan bulan?” Qasam kaget. “Cepat sekali rasanya? Aku bakalam punya anak nih sebentar lagi?”Qizha tersenyum. “Kamu kok jam segini udah pulang, Mas? Biasanya pulangnya agak malam atau lebih sore. Ini baru jam tiga sore loh.”“Aku kangen sama kamu, makanya cepet- cepet pulang.”“Sekarang sudah mulai bisa gombalin ya? Receh l
Tujuh bulan sudah berlalu. Kini Qizha menghabiskan waktu di rumah saja, menikmati kehamilannya yang sudah membuncit. Dia menghabsikan waktu dengan berjalan santai di sekitar rumah. Pemandangan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar beton setinggi dua meter itu sangat asri. Ada banyak tanaman hijau yang menyejukkan mata, pancuran air pun ada. Qizha ditemani asisten rumah tangga yang setia mengikutinya. Menyediakan apa saja keperluannya. Ah, Qizha benar-benar merasa speerti ratu. Iya, diratukan oleh suaminya.Saat bosan, Qizha pergi ke salon. Menikmati creambath dan berbagai jenis perawatan lainnya.Qizha juga sesekali jalan-jalan ke mall untuk melihat-lihat suasana baru. Dikawal oleh asisten rumah tangga yang ditugaskan menemani. Namanya Arini, asisten rumah tangga yang sopan dan ramah. Dia melayani Qizha mulai dari A sampai Z. dia hafal kapan Qizha harus makan, minum susu, makan buah, dan minum jus. Dia juga mengambilkan handuk saat Qizha mau mandi, menyiapkan p