“Aku mau menghentikan pernikahan karena Alden telah menghamili Agatha.”
Perkataan Nayana membuat wajah Alden memucat dan semua anggota keluarga yang hadir untuk melihatnya menikah terkejut. “Nayana! Apa maksudmu?!” Alden bertanya dengan tergagap, tapi kemudian dia menatap ke arah Agatha yang tengah menyunggingkan seringai tipis di sebelah ibunya. Kakek William yang sedang duduk langsung berdiri dan menatap Nayana dengan tatapan tidak senang. “Ini adalah hari baik, Nayana. Bagaimana bisa kamu bercanda dengan membawa topik seperti ini disaat kamu akan menikah!” Mendengar itu, Nayana menyunggingkan senyum miris yang hampir tak kelihatan. Dalam hati, dia juga berharap kalau semua ini memang hanya sebuah lelucon yang akan hilang setelah semua orang tertawa. Namun, kenyataan tak sebaik itu padanya. Sebab, alih-alih menemukan bunga sebagai kejutan pernikahan, Nayana malah menemukan sebuah surat berstempel rumah sakit yang menyatakan Alden sebagai ayah dari bayi yang dikandung adiknya, Agatha. Oleh karena itu, dengan mantap dia mengeluarkan surat itu dari belakang tubuhnya dan menyerahkannya pada Kakek William. “Tidak, Kek. Adikku itu memang sedang hamil Anak Alden dan kandungannya sudah berusia 4 minggu.” Ekspresi pria paruh baya itu berubah dingin dan buru-buru melayangkan wajahnya pada Alden. “Kakek. Aku–” “Diam!” Kakek William memotong perkataan Alden dan menampar cucunya itu hingga tersungkur ke lantai. “Alden! Kamu tidak apa-apa?” Segera setelahnya, Agatha buru-buru mendekat dan menyentuh wajah pria itu yang memerah. Tak menyadari kalau tindakannya itu telah membuat ekspresi Kakek William berubah semakin kelam. “Tidak tahu malu! Berani-beraninya kamu mengkhianati Nayana dengan naik ke ranjang calon adiknya! Bahkan sampai membuatnya hamil, Alden!” Suara Kakek William menggelegar kencang dan menatap cucunya itu dengan penuh amarah. “Mau kamu taruh dimana wajah keluarga kita, hah? Bagaimana dengan pernikahanmu dengan Nayana?!” lanjut pria paruh baya itu lagi. Kali ini, genggaman Kakek William pada tongkat di tangan kanannya itu mengerat dan bergetar penuh amarah. Melihat itu, Alden menatap ke arah kakeknya dan berkata dengan nada menyesal. “Maafkan aku, Kek. Saat itu aku khilaf karena mabuk dan–” “Kita tidak mabuk, Alden. Kita sama-sama sadar dan mau melakukannya! Kita itu suka sama suka.” Agatha memotong perkataan Alden yang langsung membuat Alden menatapnya nyalang. “Diam, Agatha!” Alden membentak dengan frustasi. Kenapa wanita itu sama sekali tidak tahu situasi?! “Aku tidak peduli apa alasanmu, Alden!” Kakek William menanggapi. “Harusnya kamu pikirkan dulu dengan kepalamu konsekuensinya sebelum berani tidur dengan wanita lain!” Mendengar itu, Alden tak lagi mampu menjawab dan memilih untuk memalingkan muka saat bisik-bisik terdengar menyudutkan dirinya dan Agatha. Perlahan Kakek William berbalik menatap Nayana dengan penuh penyesalan. “Nayana, maafkan keluarga Kakek yang tak bisa mendidik Alden dengan baik, tapi Kakek akan memastikan kalau keluarga Wijaya tidak lari dari tanggung jawab.” Mengerti arti perkataan Kakek William, Nayana hanya bisa menggelengkan kepalanya sebelum menggenggam tangan pria paruh baya itu erat. Di kota Malima tempat mereka tinggal, wanita yang gagal menikah biasanya memang akan berkemungkinan besar untuk mengalami diskriminasi dan hinaan. Sebab, mereka dianggap membawa pengaruh dan nasib buruk sehingga biasanya wanita yang gagal menikah akan kesulitan untuk mendapatkan jodoh baru. Mengingat hal itu, Nayana pikir Kakek William merasa bersalah karena takut Nayana tak bisa mendapatkan jodoh di kota Malima. Oleh karena itu, dia berkata akan memastikan keluarga Wijaya terus bertanggung jawab. Di sisi lain, hubungan Nayana dan Kakek William memang sudah seperti kakek dan cucu kandung sehingga semakin wajar bagi Nayana untuk mendapat perkataan itu dari Kakek William. Meski begitu, dia sama sekali tak lagi berniat untuk menikah dengan Alden sehingga dia melepas tangan kakek William untuk bersiap pergi ke ruangan ganti. “Hari ini, biarkan Agatha yang menggantikan aku menikah dengan Alden, Kek.” Perkataan Nayana membuat Agatha yang berdiri di belakang Alden menyunggingkan senyum lebar dan bersiap mengikuti Agatha untuk pergi bertukar pakaian. Namun, sebelum keduanya sempat melangkah lebih jauh, Kakek William sudah lebih dulu berkata dengan tegas. “Tidak akan ada yang menggantikan pernikahanmu hari ini, Nayana. Kamu akan tetap menikah, tapi bukan dengan Alden. Melainkan dengan Darren, cucu sulung kakek.” Nayana membeku di tempat, sedangkan senyum Agatha mengembang semakin lebar. Siapa yang tak mengenal Darren di kota Malima ini? Pria itu adalah sosok anomali yang selalu dianggap sebagai aib bagi keluarga Wijaya. Sebab sepeninggal ayah dan ibunya yang merupakan pewaris utama, Kakek William melewatkan Darren sebagai pewaris selanjutnya dan langsung memberikan perusahaan kepada orang tua Alden. Padahal usia Darren saat itu sudah cukup untuk memimpin perusahaan. Tindakan itu memunculkan rumor kalau Darren adalah sosok yang tak berguna dan tak memiliki kemampuan berbisnis. Bahkan ada rumor lain yang mengatakan kalau Darren adalah sosok yang buruk rupa dan mengerikan sehingga tak pernah memunculkan dirinya pada siapa pun. Bahkan kepada sesama anggota keluarga Wijaya. "Kakek tidak akan memaksamu, Nayana. Tapi, percayalah ini adalah jalan keluar terbaik yang bisa Kakek berikan. Kakek tidak mau rumor tentangmu berkembang liar di luaran sana." Nayana tak tahu lagi harus berkata dan bersikap, karena pikirannya hampa memikirkan pengkhianatan yang dilakukan dua orang terdekat. Wanita itu ingin menolak, tetapi melihat ketulusan di mata tua Kakek William, mau tidak mau dia mengalah. Wanita itu menghela napas berat sebelum mengangguk penuh kepasrahan. Sontak, senyum tersungging di bibir Kakek William. Pria tua itu meraih tangan Nayana dan menggenggamnya erat. "Terima kasih, Nayana. Terima kasih banyak." Pria tua itu segera mengeluarkan ponsel dan terdengar menelepon seseorang. Setelahnya, menyuruh Nayana menuju ruang ganti dan menunggu instruksi selanjutnya. Dalam ruang ganti, Nayana menatap nanar pantulan dirinya di cermin. Ada gurat kesedihan yang tidak dapat disamarkan oleh riasan setebal apa pun. Dia menghela napas berat dan mendongak untuk menahan aliran bulir bening di pelupuk mata yang hampir saja tumpah. Tak berselang lama, suara Kakek William terdengar bersamaan dengan suara pintu ruang ganti yang dibuka. Nayana menoleh dan berusaha mengulas senyum, meskipun getir. "Saatnya tiba, Nayana. Kamu sudah siap?" Nayana mengangguk. Lalu, Kakek William melangkah masuk dan berdiri di belakang Nayana. Pria tua itu menatap pantulan diri Nayana di cermin dan tersenyum. Tangannya yang penuh keriput menepuk pelan bahu Nayana. "Kamu cantik, Nayana. Sekali lagi maafkan Kakek karena pernikahanmu harus berakhir seperti ini." Nayana hanya mengulas senyum sekilas sebelum mengusap punggung tangan Kakek William yang masih berada di bahunya. Seketika raut wajah pria tua itu berubah sendu. "Kakek harap kamu tidak akan terkejut saat pertama kali bertemu Darren."Nayana menoleh dan menatap pria paruh baya dengan rambut abu-abu yang tadi sempat memarahi Alden. Pria yang bernama Wijoyo dan merupakan kakek Alden itu mengangguk pelan sebelum mengulas senyum tipis.“Tapi aku menolaknya.”Nayana segera menoleh saat mendengar suara bariton yang berasal dari sudut ruangan. Tatapannya segera tertuju kepada seorang pria dengan setelan jas berwarna abu terang. Mereka berserobok sesaat sebelum Nayana memutus pandangan dengan menunduk.“Kakek tidak bisa sesuka hati menyuruhku untuk menikahinya.”“Kenapa tidak? Kamu sudah terlalu lama sendiri, Darrel. Kamu bukan lagi anak muda yang berumur dua puluh lima tahun.” Wijoyo tersenyum tipis kala ucapannya tak dapat dibantah Darrel. “Keputusan Kakek sudah bulat. Kamu harus menikahi Nayana sekarang juga.”“Tidak bisa, kek. Kami belum saling mengenal, bahkan aku baru bertemu dia di sini.”“Itu bukan masalah besar, Darrel. Setelah menikah, kalian pasti akan saling mengenal dan tumbuhlah rasa cinta itu.”“Tapi, Kek ..
“Memangnya apa yang kecil?”Darrel mengabaikan pertanyaan Nayana dan memilih untuk menuju area wardrobe. Dia melepas jas dan kancing kemeja bagian atas sebelum mengetahui bahwa sang istri tengah mengintip. Pria itu tersenyum tipis sambil membuka jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.“Penasaran?”Akhirnya pertanyaan itu terlontar dari bibir Darrel karena melihat Nayana masih mengintip. Merasa keberadaannya diketahui, wanita itu mengerucutkan bibir dan segera berlalu.“Enak saja bilang kecil! Memangnya seberapa besar yang pernah dia pegang!”Nayana bersungut-sungut sebelum berjalan menuju kamar mandi. Dia membuka baju dan menyalakan shower, lalu berdiri di bawahnya. Dia biarkan air dingin mengguyur seluruh kepala dan tubuhnya. Sekejap mata bayangan tentang kejadian tadi pagi kembali menyentak. Wanita itu menggeleng kuat, berusaha untuk mengenyahkan pikiran buruk.“Awas saja kamu, Alden! Aku tidak akan membiarkanmu bahagia sedetik pun. Kamu harus kembalikan tiga tahunku yang
Nayana membuka mata kala suara alarm terdengar memekakkan telinga. Dia perlahan duduk dan mengangkat tangan untuk meregangkan otot. Dengan mata sedikit terbuka, wanita itu meraih ponsel dan membuka layarnya.“Jam lima pagi?”Wanita itu menguap dan melempar ponsel ke samping sebelum menoleh ke ranjang di mana Darrel semalam tidur. Dahinya mengernyit kala tak menjumpai sang suami. Dia mengedarkan pandangan, tetapi tak menemukan batang hidungnya.Nayana beranjak dari sofa dan mengambil ponsel milik Darrel yang berada di nakas, lalu mematikan alarmnya. Dia menguap sekali lagi sebelum berjalan ke pintu yang menuju ke balkon, lalu membuka gordennya. Tangannya memutar handel pintu dan mendorongnya keluar. Udara segar langsung terasa begitu Nayana menginjakkan kaki di balkon. Nayana mengulas senyum sambil mengedarkan pandangan. Seketika tatapannya terhenti pada ruangan yang terletak di samping kolam renang. Dalam minimnya cahaya, wanita itu bisa melihat ada seseorang yang sedang berlari di t
Nayana menatap pergelangan tangannya yang masih memerah. Perih yang dirasa, tak seperti perihnya luka akibat pengkhianatan. Tak ingin terlalu larut dalam sakit hati, dia pun membuka salep yang diberikan Darrel dan mengoleskan tipis-tipis pada lukanya. Wanita sesekali mengipasi dan meniup lukanya karena perih. Lima menit berselang, Nayana kembali menutup salep dan memasukkannya ke dalam tas. Dia menatap cermin dan membenahi sedikit riasannya. Tepat saat itulah, pintu bilik di belakangnya terbuka. Lalu, seorang wanita berbaju hitam keluar. Nayana berserobok dengan wanita itu dan melempar senyum. Lalu, membenahi baju sebelum keluar toilet. Dia melenggang menuju ruangan di mana acara akan berlangsung. Melihat Darrel sedang berbincang dengan Wijoyo, dia segera mendekat sambil mengulas senyum. “Ayo, duduk! Acara segera dimulai.” Darrel segera memeluk pinggang Nayana dan membawa ke kursi paling depan. Pria itu menarik kursi dan mempersilakan sang istri duduk. Semua perlakuan manis Darre
Nayana menatap pergelangan tangannya yang masih memerah. Perih yang dirasa, tak seperti perihnya luka akibat pengkhianatan. Tak ingin terlalu larut dalam sakit hati, dia pun membuka salep yang diberikan Darrel dan mengoleskan tipis-tipis pada lukanya. Wanita sesekali mengipasi dan meniup lukanya karena perih. Lima menit berselang, Nayana kembali menutup salep dan memasukkannya ke dalam tas. Dia menatap cermin dan membenahi sedikit riasannya. Tepat saat itulah, pintu bilik di belakangnya terbuka. Lalu, seorang wanita berbaju hitam keluar. Nayana berserobok dengan wanita itu dan melempar senyum. Lalu, membenahi baju sebelum keluar toilet. Dia melenggang menuju ruangan di mana acara akan berlangsung. Melihat Darrel sedang berbincang dengan Wijoyo, dia segera mendekat sambil mengulas senyum. “Ayo, duduk! Acara segera dimulai.” Darrel segera memeluk pinggang Nayana dan membawa ke kursi paling depan. Pria itu menarik kursi dan mempersilakan sang istri duduk. Semua perlakuan manis Darre
Nayana membuka mata kala suara alarm terdengar memekakkan telinga. Dia perlahan duduk dan mengangkat tangan untuk meregangkan otot. Dengan mata sedikit terbuka, wanita itu meraih ponsel dan membuka layarnya.“Jam lima pagi?”Wanita itu menguap dan melempar ponsel ke samping sebelum menoleh ke ranjang di mana Darrel semalam tidur. Dahinya mengernyit kala tak menjumpai sang suami. Dia mengedarkan pandangan, tetapi tak menemukan batang hidungnya.Nayana beranjak dari sofa dan mengambil ponsel milik Darrel yang berada di nakas, lalu mematikan alarmnya. Dia menguap sekali lagi sebelum berjalan ke pintu yang menuju ke balkon, lalu membuka gordennya. Tangannya memutar handel pintu dan mendorongnya keluar. Udara segar langsung terasa begitu Nayana menginjakkan kaki di balkon. Nayana mengulas senyum sambil mengedarkan pandangan. Seketika tatapannya terhenti pada ruangan yang terletak di samping kolam renang. Dalam minimnya cahaya, wanita itu bisa melihat ada seseorang yang sedang berlari di t
“Memangnya apa yang kecil?”Darrel mengabaikan pertanyaan Nayana dan memilih untuk menuju area wardrobe. Dia melepas jas dan kancing kemeja bagian atas sebelum mengetahui bahwa sang istri tengah mengintip. Pria itu tersenyum tipis sambil membuka jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.“Penasaran?”Akhirnya pertanyaan itu terlontar dari bibir Darrel karena melihat Nayana masih mengintip. Merasa keberadaannya diketahui, wanita itu mengerucutkan bibir dan segera berlalu.“Enak saja bilang kecil! Memangnya seberapa besar yang pernah dia pegang!”Nayana bersungut-sungut sebelum berjalan menuju kamar mandi. Dia membuka baju dan menyalakan shower, lalu berdiri di bawahnya. Dia biarkan air dingin mengguyur seluruh kepala dan tubuhnya. Sekejap mata bayangan tentang kejadian tadi pagi kembali menyentak. Wanita itu menggeleng kuat, berusaha untuk mengenyahkan pikiran buruk.“Awas saja kamu, Alden! Aku tidak akan membiarkanmu bahagia sedetik pun. Kamu harus kembalikan tiga tahunku yang
Nayana menoleh dan menatap pria paruh baya dengan rambut abu-abu yang tadi sempat memarahi Alden. Pria yang bernama Wijoyo dan merupakan kakek Alden itu mengangguk pelan sebelum mengulas senyum tipis.“Tapi aku menolaknya.”Nayana segera menoleh saat mendengar suara bariton yang berasal dari sudut ruangan. Tatapannya segera tertuju kepada seorang pria dengan setelan jas berwarna abu terang. Mereka berserobok sesaat sebelum Nayana memutus pandangan dengan menunduk.“Kakek tidak bisa sesuka hati menyuruhku untuk menikahinya.”“Kenapa tidak? Kamu sudah terlalu lama sendiri, Darrel. Kamu bukan lagi anak muda yang berumur dua puluh lima tahun.” Wijoyo tersenyum tipis kala ucapannya tak dapat dibantah Darrel. “Keputusan Kakek sudah bulat. Kamu harus menikahi Nayana sekarang juga.”“Tidak bisa, kek. Kami belum saling mengenal, bahkan aku baru bertemu dia di sini.”“Itu bukan masalah besar, Darrel. Setelah menikah, kalian pasti akan saling mengenal dan tumbuhlah rasa cinta itu.”“Tapi, Kek ..
“Aku mau menghentikan pernikahan karena Alden telah menghamili Agatha.” Perkataan Nayana membuat wajah Alden memucat dan semua anggota keluarga yang hadir untuk melihatnya menikah terkejut. “Nayana! Apa maksudmu?!” Alden bertanya dengan tergagap, tapi kemudian dia menatap ke arah Agatha yang tengah menyunggingkan seringai tipis di sebelah ibunya. Kakek William yang sedang duduk langsung berdiri dan menatap Nayana dengan tatapan tidak senang. “Ini adalah hari baik, Nayana. Bagaimana bisa kamu bercanda dengan membawa topik seperti ini disaat kamu akan menikah!” Mendengar itu, Nayana menyunggingkan senyum miris yang hampir tak kelihatan. Dalam hati, dia juga berharap kalau semua ini memang hanya sebuah lelucon yang akan hilang setelah semua orang tertawa. Namun, kenyataan tak sebaik itu padanya. Sebab, alih-alih menemukan bunga sebagai kejutan pernikahan, Nayana malah menemukan sebuah surat berstempel rumah sakit yang menyatakan Alden sebagai ayah dari bayi yang dikandung