Eleanor bergegas mendekati Agatha dan Helena yang berdiri tak jauh dari sumber api. Dia menatap tumpukan barang yang telah terbakar api sebelum kembali menatap kedua wanita di depannya.
“Kenapa kalian bakar semua barangku? Bukankah aku bilang kalau akan mengambilnya.” “Kalau dipikir-pikir mendingan dibakar saja. Lagipula buat apa kamu ributin barang rombeng itu. Masa suami kamu tidak bisa belikan yang baru?” Helena tertawa mengejek saat kembali memasukkan satu helai baju ke dalam kobaran api. Eleanor mematung dengan kedua mata memerah menahan tangis. Kedua tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia menggeram kesal sebelum akhirnya menyambar buku yang hendak diambil Helena. “Setidaknya semua barang rombeng ini hasil keringatku sendiri, bukan karena merengek kepada Ayah.” “Jaga mulut kamu, Elea!” pekik Helena sambil memelotot. Wajahnya merah padam karena menahan amarah. “Mulai berani kamu, hah!” “Memang benar apa yang aku bilang, kan?” “Kita kasih dia pelajaran saja, Ma. Biar tahu rasa karena sudah berani melawan kita.” Helena langsung menjambak Eleanor, kemudian mendorongnya hingga tersungkur. Sementara, Agatha mendekat dan melayangkan tamparan di kedua pipi adik tirinya. “Ini pelajaran buat pembangkang seperti kamu, Elea!” Agatha hendak kembali melayangkan tamparan. Namun, seseorang berhasil menangkap tangannya. Dia menoleh dan mendapati Darren sedang menatapnya tajam. “Adilkah dua lawan satu?” “Lepas! Jangan halangi aku! Aku mau beri dia pelajaran!” Agatha berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Darren, tetapi tenaganya kalah kuat. Dia makin beringas dengan menginjak kaki Darren, bahkan mencakar lengan pria itu. Namun, semua usahanya gagal. Darren tetap bergeming. “Lepas!” Agatha meronta, tetapi Darren tak melepaskan tangannya. “Sakit! Lepaskan atau aku teriak!” Akhirnya Darren melepaskan tangannya. Agatha mundur perlahan sambil memegang pergelangan tangannya yang memerah. Dia mendengkus kesal sebelum mengeluarkan selembar foto dari dalam saku celananya. “Coba selamatkan ini kalau bisa, Elea.” Agatha tersenyum sinis sambil memperlihatkan foto seorang wanita yang sedang tersenyum menghadap kamera. “Kembalikan! Itu satu-satunya foto ibu yang aku punya, Tha.” Agatha tak menggubris. Sedetik kemudian, dia melempar foto itu dalam kobaran api. Lalu, tertawa bahagia sambil bertepuk tangan bersama Helena. “Tidaaak!” seru Eleanor sambil berlari menuju kobaran api. Tanpa pikir panjang, dia mengambil foto yang sudah terbakar ujungnya. Lalu, mendekap benda itu seolah-olah takut akan kembali diambil. “Kalian keterlaluan!” Eleanor tak mempedulikan tangan kanannya yang melepuh karena terkena api. Dia terisak karena foto satu-satunya sang ibu berhasil diselamatkan, meskipun tak lagi utuh. Bukannya meminta maaf, Agatha dan Helena berbalik dan melenggang menuju rumah. Namun, langkahnya tertahan kala suara dehaman seseorang terdengar dari belakang. “Tidakkah kalian merasa bersalah?” Agatha berbalik dan tersenyum sinis melihat Darren menatapnya tajam. “Kita? Merasa bersalah? Harusnya dia yang bersalah karena gara-gara dia ibunya meninggal. Kenapa enggak sekalian saja dia ikut mati bersama ibunya.” Darren tergemap mendengar ucapan Agatha. Dia menggeram kesal dan hendak mendekati Agatha, tetapi suara tangis Eleanor membuatnya urung. Dia berbalik dan berjalan mendekati sang istri yang terguguk di depan kobaran api. Usai kejadian itu, Darren membawa Eleanor ke rumah sakit untuk mengobati luka bakar yang diderita. Lalu, segera pulang karena hari menjelang malam. Dalam mobil yang melaju, keduanya hanya bungkam hingga suara Eleanor terdengar. “Maaf, seharusnya ini semua tidak terjadi.” Eleanor menunduk dalam sambil menatap foto sang ibu. Ujung atas benda itu menghitam karena terkena api. Alhasil wajah sang ibu hilang sebagian. Lalu, setetes air mata luruh membasahi foto itu. Darren yang duduk di balik kemudi menatap sang istri dalam diam. Tangannya terulur hendak menyentuh bahu Eleanor, tetapi segera ditarik kembali. Lalu, mengambil sekotak tisu dan mengangsurkannya kepada wanita itu. Perlahan mobil berjalan menyusuri jalanan. Eleanor beberapa kali mengusap air matanya yang tak henti mengalir. Hatinya luar biasa sakit dengan perlakuan Agatha dan Helena. Memang bukan pertama kali perlakuan buruk diterimanya, tetapi kali ini lebih sakit. Dia tak habis pikir apa yang membuat mereka begitu membencinya. ‘Ibu, kenapa sakit sekali rasanya? Andai dulu ibu mengajakku, pasti aku akan bahagia. Aku tak akan merasakan dibedakan sama Ayah. Aku tak akan merasakan susahnya cari uang sendiri. Aku juga tak akan merasakan menikah tanpa cinta seperti sekarang.’ Pikiran Eleanor berkecamuk hebat. Isi kepalanya penuh dengan berbagai kata andai hingga perlahan lelah datang mendera. Akhirnya dia tunduk pada kantuk dengan kepala bersandar pada jendela. Darren menoleh sekilas sebelum kembali fokus menatap jalanan hingga sampai di rumah. Usai mematikan mesin mobil, dia menatap Eleanor yang masih tertidur. Lalu, tangannya mengambil foto yang ada di pangkuan sang istri dan memasukkannya ke dalam saku celana. Dengan sangat hati-hati, Darren membopong tubuh sang istri keluar mobil dan membawanya ke kamar untuk dibaringkan, kemudian menyelimutinya. Namun, gerakannya terhenti saat menatap perban yang menutupi telapak tangan Eleanor. Dia menghela napas berat sebelum mengambil secarik kertas dari laci nakas dan menuliskan sebuah catatan sebelum keluar. Menjelang malam, Eleanor terjaga dari tidurnya. Dia perlahan duduk dan mengedarkan pandangan. “Kamar? Sejak kapan aku di sini? Siapa yang membawaku ke sini?” Saat kembali mengedarkan pandangan, mata wanita itu tertuju kepada sebuah catatan yang diletakkan di nakas samping ranjang. Dia mengambil benda itu dan membacanya. “Aku pergi agak lama. Makanlah lebih dulu.” Eleanor mengedikkan bahu sebelum perlahan turun dari ranjang dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci muka. Lalu, menatap cermin di depannya dan terkejut melihat kedua matanya yang bengkak. “Ya, Tuhan. Berapa lama aku menangis tadi? Darren pasti melihatnya, memalukan sekali.” Dia menyentuh bagian yang bengkak sebelum mengusap perutnya yang mendadak berbunyi. Dengan enggan, dia berjalan menuju dapur dan membuat makanan. Tak butuh waktu lama, sepiring nasi dan omelet sudah siap untuk disantap. Sesaat Eleanor menatap pintu kamar Darren. “Memangnya dia ke mana, ya?” Eleanor mengedikkan bahu dan mulai memasukkan sesuap demi sesuap nasi dan omelet ke dalam mulut. Bersamaan dengan tandasnya nasi di piring, suara mobil terdengar memasuki garasi. Dia bergegas bangkit dan berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Lalu, seraut wajah lelah tampak di depan mata. Tanpa kata, Darren melangkah masuk dan duduk di meja makan. Lalu, menuang air di teko kaca ke dalam gelas sebelum menandaskannya. Dia melirik sang istri yang berdiri tak jauh darinya sebelum memilih untuk berlalu. “Tunggu! Ehm, aku ... aku mau minta maaf buat kejadian hari ini. Sekalian aku mau bilang terima kasih karena sudah membawaku ke kamar.” Darren mengangguk sebagai jawaban sebelum kembali meneruskan langkahnya. Namun, tanpa disadari, Eleanor menatap lengan sang suami yang memerah. Wanita itu bergegas menyambar kotak obat dan menyusul Darren. “Tunggu! Boleh aku obati lukamu? Anggap saja ini sebagai permintaan maaf karena sudah melibatkan mu.” Darren menatap lengannya yang terluka karena cakaran Agatha. Namun, belum sempat membuka mulut, Eleanor langsung menariknya ke ruang kerja. Pria itu duduk di sofa, sementara Eleanor membuka kotak obat dan mulai menuangkan cairan antiseptik ke kapas. “Mungkin ini sedikit perih, tapi tahan saja, ya?” Darren bergeming saat sang istri mengoleskan cairan antiseptik pada lukanya. Dia hanya menatap Eleanor dalam diam dan membiarkannya bekerja layaknya seorang dokter. “Selesai. Semoga cepat sembuh, ya?” Eleanor tersenyum sambil merapikan kembali kotak obatnya. Sementara, Darren menatap lengannya yang sudah diolesi salep luka. “Terima kasih.” Eleanor menyunggingkan senyuman sambil mengangguk sebagai jawaban. Dia hendak berlalu, tetapi Darren mencekal pergelangan tangannya. “Ada yang mau aku kasih ke kamu.” Darren mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, lalu memberikannya kepada Eleanor. Sontak, wanita itu membekap mulut dengan mata berkaca-kaca. “Ini, kan ....”“Terima kasih.”Eleanor langsung memeluk Darren setelah mendapati foto sang ibu utuh kembali. Senyumnya mengembang karena bahagia. Namun, menyadari tindakannya salah, dia segera melerai pelukan.“Ma-maaf.” Eleanor kembali menyunggingkan senyum sambil menatap lekat foto di tangannya. Lalu, setetes bulir bening membasahi pipinya. Namun, dia segera menyekanya. “Sekali lagi terima kasih banyak. Tapi, bagaimana bisa?” Alih-alih menjawab, Darren justru melontarkan tanya. “Apa kamu senang?”“Iya, aku sangat senang sekali.” Eleanor menatap Darren sekalinlagi sebelum kembali ke foto di tangannya. “Semua foto ibu sudah dibuang sama Mama Helena. Untung saja aku berhasil menyembunyikan ini dan menyimpannya.”Eleanor menghela napas berat saat ingatannya kembali beberapa tahun sebelumnya. Helena yang dia anggap bisa memberikan kasih sayang sebagai sosok seorang ibu, justru memberikan beribu luka di hati. Semua sikapnya dianggap salah oleh ibunya Agatha itu. Tak terhitung lagi berapa banyak ka
“Setuju tidak setuju, kamu harus menikahi Agatha minggu depan!”Hanya kalimat itu yang masih terdengar saat Eleanor melewati pintu masuk. Dia berjalan beriringan dengan sang suami menuju ruang keluarga. Suasana menjadi hening saat melihatnya dan Darren tiba.Eleanor segera menyalami orang yang ada di sana satu per satu. Namun, hanya Agatha dan Alden yang menolak. Dia tak ambil pusing dan duduk di samping suaminya.“Kenapa Kakek memanggil kami?” tanya Darren langsung pada intinya.“Kakek cuma mau ajak kalian makan siang bersama saja. Sekalian ada yang mau Kakek bicarakan sama kamu, Darren. Kita ke ruang kerja Kakek sekarang.”Eleanor menatap sekilas sang suami sebelum mengangguk. Lalu, menatap punggung lelaki itu hingga hilang di balik pintu bercat hitam.“Bagaimana kabarmu, Elea? Maaf kalau Ayah belum bisa menjengukmu.”“Tidak apa-apa, Yah. Aku baik-baik saja.”Danu hendak bangkit dari duduk untuk mendekati Eleanor, tetapi Helena segera mencegahnya.“Duduk di sini saja, Pa. B
Darren kembali menutup pintu dan bergeming sesaat. Namun, bayangan tentang apa yang dilihat berhasil membuatnya mengumpat. Dia menghela napas berat sebelum mengetuk pintu.Eleanor berdiri di dekat ranjang dengan wajah kuyu. Rambutnya masih basah, bahkan bibirnya sedikit membiru karena kedinginan. Namun, wanita itu berusaha untuk menyunggingkan senyuman.“Ma-maaf, aku tadi kaget karena ada yang tiba-tiba masuk.”Darren hanya menatap sang istri, kemudian menelisiknya sebelum melempar tanya. “Apa kamu baik-baik saja?”“Iya, cuma agak sedikit kedinginan saja.”“Kita pulang sekarang.”Eleanor terkejut dengan ucapan suaminya. Dia ingin bertanya, tetapi pria itu kembali membuka suara. “Lupakan makan siangnya, kita pulang sekarang. Kakek sudah memberi izin.”Eleanor mengerti. Namun, dia terkejut saat melihat Darren berjalan mendekatinya. Dia segera mundur sampai menabrak lemari. Lalu, memejamkan mata ketika melihat sang suami makin mendekat dan mengulurkan tangannya.“Pakai ini! Aku l
Eleanor mengerjap saat mendengar suara alarm. Dia meraba untuk mencari ponsel dan mematikan alarmnya. Lalu, duduk dan meregangkan otot sejenak sebelum berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Senyumnya terkembang ketika berdiri sambil mematut diri di depan cermin. Pagi itu dia mengenakan gaun sebatas betis berwarna kuning pastel.Sambil bersenandung lirih, Eleanor menuruni tangga menuju dapur. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Darren ada di ruang olahraga. Dia segera memutar arah dan berjalan mengendap-endap sampai di sudut luar ruangan.Dalam ruangan berukuran sekitar enam puluh meter persegi itu, Darren sedang berlatih memukul samsak menggunakan sarung tinju. Peluh telah membanjiri wajah dan rambutnya. Bahkan baju bagian belakangnya basah kuyup oleh keringat.Eleanor tak melepaskan tatapannya dari sang suami hingga tanpa sadar senyum tipis tersumir di bibirnya. Namun, aksinya terhenti kala mendengar suara bel. Dia bergegas berlari ke depan untuk membukakan pintu.Wa
Eleanor mengulas senyum tipis untuk meredam sejenak gelebah dalam dada. Lalu, beranjak ke dapur untuk membuat sarapan. Meskipun hatinya merapuh, kewajiban menghidangkan makanan untuk sang suami tetap utama. Bagi wanita itu bentakan dan amarah yang datang dari Darren masih lebih baik dibanding saat Helena dan Agatha yang melakukannya. Kedua wanita yang telah mengambil seluruh hati sang ayah itu telah berhasil memporakpondakan kehidupannya. Namun, Eleanor terus berusaha untuk kuat dan tegar. Asalkan masih bisa tinggal dan hidup di rumah bersama Danu. Sepuluh menit berselang, Eleanor baru selesai membuat ayam panggang. Dia menatap pintu ruang kerja sang suami sebelum menghela napas berat. Lalu, kembali menyelesaikan masakan sebelum menatanya di nampan. Eleanor menarik napas panjang dan mengembuskannya berulang kali sebelum mengetuk pintu ruang kerja Darren. Lalu, membuka pintu dan masuk perlahan. Dia melirik sekilas sang suami yang fokus menatap kertas di tangannya sambil meletakkan
Eleanor tiba setelah hampir satu setengah jam terjebak di jalan karena macet. Bertepatan dengan itu, Danu keluar rumah bersama Helena. Melihat sang anak datang, pria yang memakai kemeja abu-abu itu tersenyum.Eleanor mempercepat langkah dan hendak menyalami sang ayah, tetapi Helena menghadang.“Bukankah kamu buru-buru, Pa? Ayo, jalan sekarang daripada nanti kejebak macet.”“Tapi, Ma. Elea baru saja datang. Lagipula masih ada sepuluh menit lagi, enggak apa-apa, kan?”Helena mendengkus kesal sebelum berlalu ke dalam rumah, sedangkan Danu menyambut kedatangan sang anak sambil tersenyum.“Ayah mau balik ke kantor? Maaf, kalau aku datang sekarang. Ada yang mau aku kasih ke Ayah.”“Enggak apa-apa, Elea. Kita masuk, ya?”Eleanor menggamit lengan sang ayah dan mengajaknya masuk. Lalu, duduk di ruang tamu. Wanita itu segera membuka kotak yang dibawa dan membukanya.“Selamat ulang tahun, Ayah. Semoga sehat selalu.”“Terima kasih, Elea. Seharusnya tidak perlu repot begini.”“Ini hanya
Eleanor segera berjalan ke lemari untuk mengambil gelas, kemudian mengisinya dengan air. Sementara, Darren bersikap biasa sambil merapikan kotak obat. Setelahnya, tatapan pria itu mengarah kepada sang tamubyang tak lain adalah Kakek William.“Ada perlu apa Kakek ke sini?”“Kenapa? Tak bolehkah Kakek mengunjungi cucunya?” tanya Kakek William balik sambil terkekeh saat melihat Eleanor salah tingkah di depan kompor. “Oh, apakah Kakek harus menghubungi dulu sebelum ke sini? Takutnya hal seperti tadi terjadi lagi?”Eleanor menunduk dalam sambil memejamkan mata mendengar celoteh Kakek William. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus sekarang. Berulang kali dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mengambil cangkir dan membuat teh hangat. Lalu, menghidangkannya kepada pria dengan rambut keperakan itu.“Terima kasih, Elea. Duduklah! Ada yang mau Kakek tanyakan padamu.”Eleanor menurut. Dia segera menarik kursi yang ada di samping sang suami sebelum mengempaskan bobo
Eleanor setengah berlari memasuki sebuah ruangan begitu sampai. Dia mengedarkan pandangan sebelum berjalan tergesa-gesa ke sudut ruangan di mana seorang pria sedang ditemani dua orang wanita.“Ayah enggak apa-apa?” tanya Eleanor begitu sampai. Dia hendak memeluk Danu, tetapi Helena segera menyeretnya keluar ruangan.“Masih berani kamu ke sini, Elea? Ayah kamu begini gara-gara kamu!”“Maksud Mama apa? Kenapa gara-gara aku?”Helena mendengkus kesal sebelum menatap tajam sang anak tirinya. “Bukannya kamu disuruh minta maaf tadi? Kenapa enggak kamu lakukan?”Helena merasa dibatas awan melihat kedua mata Eleanor memerah karena menahan tangis. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda itu tersenyum sinis sebelum melanjutkan ucapannya. “Kerjaan Ayah kamu sudah banyak, ditambah kamu yang membangkang sekarang. Jadinya kepikiran dan kurang fokus mengemudi. Untung saja mobilnya cuma masuk parit, coba kalau lebih fatal lagi. Apa enggak menyesal kamu, Elea?”“Cukup, M
Eleanor terkejut melihat kaca tempat foto yang terpajang di nakas pecah usai terjatuh karena ulahnya. Dia segera berjongkok dan berusaha untuk mengambil benda itu, tetapi tangannya langsung ditahan seseorang. Wanita itu langsung mendongak dan terkejut melihat sang suami.“Ma-maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Ini salahku, nanti akan aku ....”“Lupakan! Memangnya kamu mau ke mana lagi?”Darren menghela napas panjang sebelum mengangkat Eleanor dan membaringkannya ke ranjang. Lalu, mengambil foto tadi dan menaruhnya ke nakas sebelum keluar kamar dan kembali sambil membawa sapu. Tanpa bicara, pria itu membersihkan sisa pecahan kaca dan membawanya keluar.Sementara itu, Eleanor merasa sangat bersalah. Dia menatap hampa foto yang tergeletak asal di nakas sebelum menunduk sambil meremas jemarinya. Mendengar suara langkah mendekat, dia mendongak dan bersitatap dengan sang suami.“Aku minta maaf. Seharusnya aku tidak ....”“Aku bilang lupakan! Itu hanya sebuah foto, yang terpenting kam
“Aku juga tidak tahu. Aku ingat plat nomor mobilnya dan aku yakin itu adalah Alden. Tapi waktu aku mau mendekat, dia malah tancap gas.” Darren mendengkus kesal mendengar ucapan istrinya. Dia menggeretakkan gigi karena menahan amarah. Melihat itu, Eleanor segera mengusap lembut lengan suaminya. “Mungkin dia hanya iseng, jangan dimasukkan ke hati, ya?” Eleanor tersenyum manis, berusaha untuk meredam amarah suaminya. Lalu, saat menyadari tindakannya, dia segera menarik kembali tangannya. “Maaf, aku hanya spontan tadi.” Darren menghela napas panjang sebelum bangkit dari duduk. Namun, saat hendak berlalu, suara Eleanor berhasil menahannya. “Sarapan sudah siap. Sebaiknya segera makan sekarang sebelum dingin dan tidak enak lagi.” Darren mengangguk dan menunggu Eleanor bangkit dari duduk. Meskipun kesakitan, wanita itu tetap memaksakan diri untuk berjalan. Eleanor berjalan lebih dulu, sedangkan Darren di belakangnya sambil diam-diam mengamati. Saat tiba di meja makan, senyum
Agatha terjaga ketika ingin berkemih. Dia berusaha untuk bangun, tetapi tangan kekar seseorang melingkari perutnya. Dia menoleh dan mendapati Kevin masih tertidur pulas di sampingnya. Tangan wanita itu terulur untuk mengusap lembut pipi sang pria sebelum memindahkan tangan dari perutnya. Perlahan Agatha bangkit dan hendak turun dari ranjang, tetapi Kevin mencekal pergelangan tangannya. “Mau ke mana, Sayang?” “Aku harus ke kamar mandi, Kevin.” “Jangan lama-lama. Aku masih menginginkanmu.” Agatha tersenyum manis sebelum bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Dia sama sekali tak merasa risih meskipun Kevin menatapnya lekat. Lekuk tubuh wanita itu sudah membuat Kevin mabuk kepayang dan ingin kembali mengulang indahnya dosa beberapa jam yang lalu. Saat Agatha keluar kamar mandi, Kevin langsung duduk dan mengulurkan tangan. Senyum lebarnya tersumir di bibir kala sang wanita setengah berlari dan menerjangnya hingga terjengkang di ranjang. “Mau lagi?” tanya Agat
Alden tersentak mendengar peringatan yang diucapkan Darren. Kedua matanya langsung menatap lekat ponsel yang tergeletak di depannya. Dahinya berkerut dalam sebagai pertanda bahwa dia sedang berpikir keras.“Jangan berpura-pura lagi, Alden! Aku tahu kamu menyuruhnya untuk memata-matai Elea.”Alden mengalihkan tatapan dari ponsel di depannya kepada Darren. Tahu ke mana arah pembicaraan pria itu, Alden mendengkus kesal. Lalu, menyandarkan punggung sambil menatap penuh ejekan kepada sepupunya.“Kalau iya kenapa?” Alden tersenyum miring sebelum bangkit dari duduk dan mencondongkan tubuhnya ke depan. “Aku akan merebutnya kembali darimu, Darren. Lihat saja nanti.”Darren mendengkus kesal sebelum berbalik dan hendak berlalu, tetapi suara Alden berhasil membuat langkahnya terhenti.“Kamu tak akan berhasil mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku, Darren!”Darren mengepalkan kedua tangannya sebelum segera pergi meninggalkan ruangan. Tidak ada gunanya juga meladeni semua omong kosong
Eleanor tersenyum tipis setelah memasang sabuk pengaman, kemudian melirik sang suami sekilas sebelum menatap jalanan. Sementara, Darren perlahan mulai melajukan mobil meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, hanya suara musik yang terdengar memenuhi kabin.“Kamu senang, Elea?”Eleanor menoleh saat mendengar suara suaminya. Dia tersenyum sambil mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya, dia kembali menatap jalanan.“Ehm, bukankah ini urusan bisnismu, apa tidak apa-apa jika aku ikut?”Darren melirik sang istri sekilas sebelum kembali fokus menatap jalanan. “Aku lebih tenang jika kamu ikut bersamaku. Dan ... anggap saja ini liburan.”Eleanor kembali tersenyum mendengar jawaban suaminya. Lalu, menikmati musik sambil sesekali ikut bersenandung. Sementara di sebelahnya, Darren memperhatikan sambil tersenyum.Hampir dua jam perjalanan, akhirnya mobil yang dikemudikan oleh Darren sampai di hotel yang dituju. Keduanya turun di lobi sebelum melangkah menuju resepsionis. Lalu, berjalan menuj
Eleanor mengerjap pelan kala suara alarm menyapa rungu. Dia meraba untuk mencari ponsel dan segera mematikan alarm. Lalu, beringsut duduk dan menggeliat sejenak sebelum mengedarkan pandangan. “Selamat pagi, Eleanor,” ucap Eleanor pada dirinya sendiri sambil tersenyum. Lalu, mengangkat kedua tangan ke atas dan meregangkan otot. Masih teringat jelas dalam benak kejadian semalam saat Darren memintanya untuk tinggal sejenak di dapur. Wanita itu bergeming sambil menatap tangan sang suami sebelum beralih untuk menatap wajahnya. Aura dingin yang biasanya hinggap berganti dengan kesedihan. Entah apa yang sudah terjadi, yang pasti Darren sedang tidak baik-baik saja. Maka Eleanor memutuskan untuk berdiam diri dan menunggu apa yang akan dilakukan suaminya. Sekian menit berlalu, Darren hanya bungkam sehingga membuat Eleanor mengernyit heran. “Ada yang mau kamu sampaikan?” “Lupakan. Tidurlah!” Darren kembali seperti biasa. Dingin dan misterius sehingga membuat Eleanor menghela napas
Agatha menatap Alden sebelum mengumbar senyuman. Dia mendekat dan hendak memeluk sang suami, tetapi langsung ditepis. “Tadi tanya ke mana aku pergi, sekarang malah cuek.” Agatha mengerucutkan bibir sambil bersedekap. “Aku cuma bertanya. Lagipula bukan urusanku juga mau ke mana saja kamu pergi.” Alden berlalu menuju pintu, tetapi Agatha segera mencegahnya. “Kita sudah menikah dua Minggu lebih, Alden. Tidak maukah kamu melewati malam pertama kita sebagai pengantin baru?” Alden kembali menepis kasar tangan Agatha yang mulai bergerilya di lengannya. Lalu, menatap nyalang sang istri sambil mendengkus kesal. “Inilah risiko yang harus kamu tanggung, Agatha. Kamu tahu aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Jadi jangan berharap ada malam pertama bagi kita.” Usai berucap demikian, Alden langsung keluar kamar dan membanting pintu di belakangnya sehingga membuat Agatha tersentak. Wanita itu mendengkus kesal sebelum mengempaskan kasar tubuhnya ke ranjang. Lalu, memukul bant
Menjelang malam, Agatha mematut diri di cermin setelah mengenakan gaun sebatas lutut yang membentuk lekuk tubuh. Bibir bergincu merah terang itu mengulas senyum tipis sebelum menyambar tas selempang. Lalu, keluar kamar sambil berjalan mengendap-endap.Wanita itu menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan bahwa tak ada orang yang melihatnya keluar rumah. Sayang harapannya hanya sebatas angan karena sang mertua memergokinya saat membuka pintu utama.“Mau ke mana kamu, Agatha?”Agatha tergagap karena tak menyangka akan bertemu mertuanya. Dia mengusap tengkuk sambil tersenyum canggung sebelum menjawab.“Aku mau ke acara ulang tahun temanku, Ma. Terus pulangnya mau mampir ke rumah Papa dulu.”Erina menelisik penampilan sang menantu dari atas sampai bawah sebelum tersenyum sinis. “Alden sudah tahu?”“Nanti aku kasih tahu lewat pesan saja, Ma.” Agatha kembali mengusap tengkuk karena merasa diintimidasi oleh tatapan mertuanya. “Aku pergi dulu, Ma. Takut kemalaman.”Agatha berlalu begit
Darren mengikuti arah pandang Eleanor, tetapi orang yang dimaksud tersebut sudah pergi. “Siapa?”Eleanor mengernyit heran sebelum menjawab. “Aku tidak yakin, tapi tadi sepertinya ... ah, lupakan saja.”Eleanor mengulas senyum sebelum menyendok makanan dan memasukkannya ke mulut. Dia berbinar karena rasa masakannya yang enak. Sementara di depannya, Darren menyantap makanan sambil sesekali melirik istrinya.Selama sesi makan itu, Eleanor dimanjakan lidahnya oleh berbagai rasa masakan. Meskipun terbilang masakan sederhana, tetapi rasanya seperti di restoran mewah.Usai menyantap makanan hingga selesai, mereka meninggalkan rumah makan itu setelah berpamitan kepada Hana.“Semua masakannya enak, padahal hanya menu sederhana. Seperti masakan rumahan, tetapi rasanya bisa diadu sama restoran mewah. Apa Hana yang memasak semuanya?”Eleanor menoleh dan menatap penuh harap kepada suaminya. Namun, sekian detik menunggu, hanya hening yang terasa. Wanita itu menghela napas panjang sebelum me