Eleanor bergegas mendekati Agatha dan Helena yang berdiri tak jauh dari sumber api. Dia menatap tumpukan barang yang telah terbakar api sebelum kembali menatap kedua wanita di depannya.
“Kenapa kalian bakar semua barangku? Bukankah aku bilang kalau akan mengambilnya.” “Kalau dipikir-pikir mendingan dibakar saja. Lagipula buat apa kamu ributin barang rombeng itu. Masa suami kamu tidak bisa belikan yang baru?” Helena tertawa mengejek saat kembali memasukkan satu helai baju ke dalam kobaran api. Eleanor mematung dengan kedua mata memerah menahan tangis. Kedua tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia menggeram kesal sebelum akhirnya menyambar buku yang hendak diambil Helena. “Setidaknya semua barang rombeng ini hasil keringatku sendiri, bukan karena merengek kepada Ayah.” “Jaga mulut kamu, Elea!” pekik Helena sambil memelotot. Wajahnya merah padam karena menahan amarah. “Mulai berani kamu, hah!” “Memang benar apa yang aku bilang, kan?” “Kita kasih dia pelajaran saja, Ma. Biar tahu rasa karena sudah berani melawan kita.” Helena langsung menjambak Eleanor, kemudian mendorongnya hingga tersungkur. Sementara, Agatha mendekat dan melayangkan tamparan di kedua pipi adik tirinya. “Ini pelajaran buat pembangkang seperti kamu, Elea!” Agatha hendak kembali melayangkan tamparan. Namun, seseorang berhasil menangkap tangannya. Dia menoleh dan mendapati Darren sedang menatapnya tajam. “Adilkah dua lawan satu?” “Lepas! Jangan halangi aku! Aku mau beri dia pelajaran!” Agatha berusaha melepaskan tangannya dari cekalan Darren, tetapi tenaganya kalah kuat. Dia makin beringas dengan menginjak kaki Darren, bahkan mencakar lengan pria itu. Namun, semua usahanya gagal. Darren tetap bergeming. “Lepas!” Agatha meronta, tetapi Darren tak melepaskan tangannya. “Sakit! Lepaskan atau aku teriak!” Akhirnya Darren melepaskan tangannya. Agatha mundur perlahan sambil memegang pergelangan tangannya yang memerah. Dia mendengkus kesal sebelum mengeluarkan selembar foto dari dalam saku celananya. “Coba selamatkan ini kalau bisa, Elea.” Agatha tersenyum sinis sambil memperlihatkan foto seorang wanita yang sedang tersenyum menghadap kamera. “Kembalikan! Itu satu-satunya foto ibu yang aku punya, Tha.” Agatha tak menggubris. Sedetik kemudian, dia melempar foto itu dalam kobaran api. Lalu, tertawa bahagia sambil bertepuk tangan bersama Helena. “Tidaaak!” seru Eleanor sambil berlari menuju kobaran api. Tanpa pikir panjang, dia mengambil foto yang sudah terbakar ujungnya. Lalu, mendekap benda itu seolah-olah takut akan kembali diambil. “Kalian keterlaluan!” Eleanor tak mempedulikan tangan kanannya yang melepuh karena terkena api. Dia terisak karena foto satu-satunya sang ibu berhasil diselamatkan, meskipun tak lagi utuh. Bukannya meminta maaf, Agatha dan Helena berbalik dan melenggang menuju rumah. Namun, langkahnya tertahan kala suara dehaman seseorang terdengar dari belakang. “Tidakkah kalian merasa bersalah?” Agatha berbalik dan tersenyum sinis melihat Darren menatapnya tajam. “Kita? Merasa bersalah? Harusnya dia yang bersalah karena gara-gara dia ibunya meninggal. Kenapa enggak sekalian saja dia ikut mati bersama ibunya.” Darren tergemap mendengar ucapan Agatha. Dia menggeram kesal dan hendak mendekati Agatha, tetapi suara tangis Eleanor membuatnya urung. Dia berbalik dan berjalan mendekati sang istri yang terguguk di depan kobaran api. Usai kejadian itu, Darren membawa Eleanor ke rumah sakit untuk mengobati luka bakar yang diderita. Lalu, segera pulang karena hari menjelang malam. Dalam mobil yang melaju, keduanya hanya bungkam hingga suara Eleanor terdengar. “Maaf, seharusnya ini semua tidak terjadi.” Eleanor menunduk dalam sambil menatap foto sang ibu. Ujung atas benda itu menghitam karena terkena api. Alhasil wajah sang ibu hilang sebagian. Lalu, setetes air mata luruh membasahi foto itu. Darren yang duduk di balik kemudi menatap sang istri dalam diam. Tangannya terulur hendak menyentuh bahu Eleanor, tetapi segera ditarik kembali. Lalu, mengambil sekotak tisu dan mengangsurkannya kepada wanita itu. Perlahan mobil berjalan menyusuri jalanan. Eleanor beberapa kali mengusap air matanya yang tak henti mengalir. Hatinya luar biasa sakit dengan perlakuan Agatha dan Helena. Memang bukan pertama kali perlakuan buruk diterimanya, tetapi kali ini lebih sakit. Dia tak habis pikir apa yang membuat mereka begitu membencinya. ‘Ibu, kenapa sakit sekali rasanya? Andai dulu ibu mengajakku, pasti aku akan bahagia. Aku tak akan merasakan dibedakan sama Ayah. Aku tak akan merasakan susahnya cari uang sendiri. Aku juga tak akan merasakan menikah tanpa cinta seperti sekarang.’ Pikiran Eleanor berkecamuk hebat. Isi kepalanya penuh dengan berbagai kata andai hingga perlahan lelah datang mendera. Akhirnya dia tunduk pada kantuk dengan kepala bersandar pada jendela. Darren menoleh sekilas sebelum kembali fokus menatap jalanan hingga sampai di rumah. Usai mematikan mesin mobil, dia menatap Eleanor yang masih tertidur. Lalu, tangannya mengambil foto yang ada di pangkuan sang istri dan memasukkannya ke dalam saku celana. Dengan sangat hati-hati, Darren membopong tubuh sang istri keluar mobil dan membawanya ke kamar untuk dibaringkan, kemudian menyelimutinya. Namun, gerakannya terhenti saat menatap perban yang menutupi telapak tangan Eleanor. Dia menghela napas berat sebelum mengambil secarik kertas dari laci nakas dan menuliskan sebuah catatan sebelum keluar. Menjelang malam, Eleanor terjaga dari tidurnya. Dia perlahan duduk dan mengedarkan pandangan. “Kamar? Sejak kapan aku di sini? Siapa yang membawaku ke sini?” Saat kembali mengedarkan pandangan, mata wanita itu tertuju kepada sebuah catatan yang diletakkan di nakas samping ranjang. Dia mengambil benda itu dan membacanya. “Aku pergi agak lama. Makanlah lebih dulu.” Eleanor mengedikkan bahu sebelum perlahan turun dari ranjang dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci muka. Lalu, menatap cermin di depannya dan terkejut melihat kedua matanya yang bengkak. “Ya, Tuhan. Berapa lama aku menangis tadi? Darren pasti melihatnya, memalukan sekali.” Dia menyentuh bagian yang bengkak sebelum mengusap perutnya yang mendadak berbunyi. Dengan enggan, dia berjalan menuju dapur dan membuat makanan. Tak butuh waktu lama, sepiring nasi dan omelet sudah siap untuk disantap. Sesaat Eleanor menatap pintu kamar Darren. “Memangnya dia ke mana, ya?” Eleanor mengedikkan bahu dan mulai memasukkan sesuap demi sesuap nasi dan omelet ke dalam mulut. Bersamaan dengan tandasnya nasi di piring, suara mobil terdengar memasuki garasi. Dia bergegas bangkit dan berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Lalu, seraut wajah lelah tampak di depan mata. Tanpa kata, Darren melangkah masuk dan duduk di meja makan. Lalu, menuang air di teko kaca ke dalam gelas sebelum menandaskannya. Dia melirik sang istri yang berdiri tak jauh darinya sebelum memilih untuk berlalu. “Tunggu! Ehm, aku ... aku mau minta maaf buat kejadian hari ini. Sekalian aku mau bilang terima kasih karena sudah membawaku ke kamar.” Darren mengangguk sebagai jawaban sebelum kembali meneruskan langkahnya. Namun, tanpa disadari, Eleanor menatap lengan sang suami yang memerah. Wanita itu bergegas menyambar kotak obat dan menyusul Darren. “Tunggu! Boleh aku obati lukamu? Anggap saja ini sebagai permintaan maaf karena sudah melibatkan mu.” Darren menatap lengannya yang terluka karena cakaran Agatha. Namun, belum sempat membuka mulut, Eleanor langsung menariknya ke ruang kerja. Pria itu duduk di sofa, sementara Eleanor membuka kotak obat dan mulai menuangkan cairan antiseptik ke kapas. “Mungkin ini sedikit perih, tapi tahan saja, ya?” Darren bergeming saat sang istri mengoleskan cairan antiseptik pada lukanya. Dia hanya menatap Eleanor dalam diam dan membiarkannya bekerja layaknya seorang dokter. “Selesai. Semoga cepat sembuh, ya?” Eleanor tersenyum sambil merapikan kembali kotak obatnya. Sementara, Darren menatap lengannya yang sudah diolesi salep luka. “Terima kasih.” Eleanor menyunggingkan senyuman sambil mengangguk sebagai jawaban. Dia hendak berlalu, tetapi Darren mencekal pergelangan tangannya. “Ada yang mau aku kasih ke kamu.” Darren mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, lalu memberikannya kepada Eleanor. Sontak, wanita itu membekap mulut dengan mata berkaca-kaca. “Ini, kan ....”“Terima kasih.”Eleanor langsung memeluk Darren setelah mendapati foto sang ibu utuh kembali. Senyumnya mengembang karena bahagia. Namun, menyadari tindakannya salah, dia segera melerai pelukan.“Ma-maaf.” Eleanor kembali menyunggingkan senyum sambil menatap lekat foto di tangannya. Lalu, setetes bulir bening membasahi pipinya. Namun, dia segera menyekanya. “Sekali lagi terima kasih banyak. Tapi, bagaimana bisa?” Alih-alih menjawab, Darren justru melontarkan tanya. “Apa kamu senang?”“Iya, aku sangat senang sekali.” Eleanor menatap Darren sekalinlagi sebelum kembali ke foto di tangannya. “Semua foto ibu sudah dibuang sama Mama Helena. Untung saja aku berhasil menyembunyikan ini dan menyimpannya.”Eleanor menghela napas berat saat ingatannya kembali beberapa tahun sebelumnya. Helena yang dia anggap bisa memberikan kasih sayang sebagai sosok seorang ibu, justru memberikan beribu luka di hati. Semua sikapnya dianggap salah oleh ibunya Agatha itu. Tak terhitung lagi berapa banyak ka
“Setuju tidak setuju, kamu harus menikahi Agatha minggu depan!”Hanya kalimat itu yang masih terdengar saat Eleanor melewati pintu masuk. Dia berjalan beriringan dengan sang suami menuju ruang keluarga. Suasana menjadi hening saat melihatnya dan Darren tiba.Eleanor segera menyalami orang yang ada di sana satu per satu. Namun, hanya Agatha dan Alden yang menolak. Dia tak ambil pusing dan duduk di samping suaminya.“Kenapa Kakek memanggil kami?” tanya Darren langsung pada intinya.“Kakek cuma mau ajak kalian makan siang bersama saja. Sekalian ada yang mau Kakek bicarakan sama kamu, Darren. Kita ke ruang kerja Kakek sekarang.”Eleanor menatap sekilas sang suami sebelum mengangguk. Lalu, menatap punggung lelaki itu hingga hilang di balik pintu bercat hitam.“Bagaimana kabarmu, Elea? Maaf kalau Ayah belum bisa menjengukmu.”“Tidak apa-apa, Yah. Aku baik-baik saja.”Danu hendak bangkit dari duduk untuk mendekati Eleanor, tetapi Helena segera mencegahnya.“Duduk di sini saja, Pa. B
Darren kembali menutup pintu dan bergeming sesaat. Namun, bayangan tentang apa yang dilihat berhasil membuatnya mengumpat. Dia menghela napas berat sebelum mengetuk pintu.Eleanor berdiri di dekat ranjang dengan wajah kuyu. Rambutnya masih basah, bahkan bibirnya sedikit membiru karena kedinginan. Namun, wanita itu berusaha untuk menyunggingkan senyuman.“Ma-maaf, aku tadi kaget karena ada yang tiba-tiba masuk.”Darren hanya menatap sang istri, kemudian menelisiknya sebelum melempar tanya. “Apa kamu baik-baik saja?”“Iya, cuma agak sedikit kedinginan saja.”“Kita pulang sekarang.”Eleanor terkejut dengan ucapan suaminya. Dia ingin bertanya, tetapi pria itu kembali membuka suara. “Lupakan makan siangnya, kita pulang sekarang. Kakek sudah memberi izin.”Eleanor mengerti. Namun, dia terkejut saat melihat Darren berjalan mendekatinya. Dia segera mundur sampai menabrak lemari. Lalu, memejamkan mata ketika melihat sang suami makin mendekat dan mengulurkan tangannya.“Pakai ini! Aku l
Eleanor mengerjap saat mendengar suara alarm. Dia meraba untuk mencari ponsel dan mematikan alarmnya. Lalu, duduk dan meregangkan otot sejenak sebelum berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Senyumnya terkembang ketika berdiri sambil mematut diri di depan cermin. Pagi itu dia mengenakan gaun sebatas betis berwarna kuning pastel.Sambil bersenandung lirih, Eleanor menuruni tangga menuju dapur. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Darren ada di ruang olahraga. Dia segera memutar arah dan berjalan mengendap-endap sampai di sudut luar ruangan.Dalam ruangan berukuran sekitar enam puluh meter persegi itu, Darren sedang berlatih memukul samsak menggunakan sarung tinju. Peluh telah membanjiri wajah dan rambutnya. Bahkan baju bagian belakangnya basah kuyup oleh keringat.Eleanor tak melepaskan tatapannya dari sang suami hingga tanpa sadar senyum tipis tersumir di bibirnya. Namun, aksinya terhenti kala mendengar suara bel. Dia bergegas berlari ke depan untuk membukakan pintu.Wa
Eleanor mengulas senyum tipis untuk meredam sejenak gelebah dalam dada. Lalu, beranjak ke dapur untuk membuat sarapan. Meskipun hatinya merapuh, kewajiban menghidangkan makanan untuk sang suami tetap utama. Bagi wanita itu bentakan dan amarah yang datang dari Darren masih lebih baik dibanding saat Helena dan Agatha yang melakukannya. Kedua wanita yang telah mengambil seluruh hati sang ayah itu telah berhasil memporakpondakan kehidupannya. Namun, Eleanor terus berusaha untuk kuat dan tegar. Asalkan masih bisa tinggal dan hidup di rumah bersama Danu. Sepuluh menit berselang, Eleanor baru selesai membuat ayam panggang. Dia menatap pintu ruang kerja sang suami sebelum menghela napas berat. Lalu, kembali menyelesaikan masakan sebelum menatanya di nampan. Eleanor menarik napas panjang dan mengembuskannya berulang kali sebelum mengetuk pintu ruang kerja Darren. Lalu, membuka pintu dan masuk perlahan. Dia melirik sekilas sang suami yang fokus menatap kertas di tangannya sambil meletakkan
Eleanor tiba setelah hampir satu setengah jam terjebak di jalan karena macet. Bertepatan dengan itu, Danu keluar rumah bersama Helena. Melihat sang anak datang, pria yang memakai kemeja abu-abu itu tersenyum.Eleanor mempercepat langkah dan hendak menyalami sang ayah, tetapi Helena menghadang.“Bukankah kamu buru-buru, Pa? Ayo, jalan sekarang daripada nanti kejebak macet.”“Tapi, Ma. Elea baru saja datang. Lagipula masih ada sepuluh menit lagi, enggak apa-apa, kan?”Helena mendengkus kesal sebelum berlalu ke dalam rumah, sedangkan Danu menyambut kedatangan sang anak sambil tersenyum.“Ayah mau balik ke kantor? Maaf, kalau aku datang sekarang. Ada yang mau aku kasih ke Ayah.”“Enggak apa-apa, Elea. Kita masuk, ya?”Eleanor menggamit lengan sang ayah dan mengajaknya masuk. Lalu, duduk di ruang tamu. Wanita itu segera membuka kotak yang dibawa dan membukanya.“Selamat ulang tahun, Ayah. Semoga sehat selalu.”“Terima kasih, Elea. Seharusnya tidak perlu repot begini.”“Ini hanya
Eleanor segera berjalan ke lemari untuk mengambil gelas, kemudian mengisinya dengan air. Sementara, Darren bersikap biasa sambil merapikan kotak obat. Setelahnya, tatapan pria itu mengarah kepada sang tamubyang tak lain adalah Kakek William.“Ada perlu apa Kakek ke sini?”“Kenapa? Tak bolehkah Kakek mengunjungi cucunya?” tanya Kakek William balik sambil terkekeh saat melihat Eleanor salah tingkah di depan kompor. “Oh, apakah Kakek harus menghubungi dulu sebelum ke sini? Takutnya hal seperti tadi terjadi lagi?”Eleanor menunduk dalam sambil memejamkan mata mendengar celoteh Kakek William. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus sekarang. Berulang kali dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mengambil cangkir dan membuat teh hangat. Lalu, menghidangkannya kepada pria dengan rambut keperakan itu.“Terima kasih, Elea. Duduklah! Ada yang mau Kakek tanyakan padamu.”Eleanor menurut. Dia segera menarik kursi yang ada di samping sang suami sebelum mengempaskan bobo
Eleanor setengah berlari memasuki sebuah ruangan begitu sampai. Dia mengedarkan pandangan sebelum berjalan tergesa-gesa ke sudut ruangan di mana seorang pria sedang ditemani dua orang wanita.“Ayah enggak apa-apa?” tanya Eleanor begitu sampai. Dia hendak memeluk Danu, tetapi Helena segera menyeretnya keluar ruangan.“Masih berani kamu ke sini, Elea? Ayah kamu begini gara-gara kamu!”“Maksud Mama apa? Kenapa gara-gara aku?”Helena mendengkus kesal sebelum menatap tajam sang anak tirinya. “Bukannya kamu disuruh minta maaf tadi? Kenapa enggak kamu lakukan?”Helena merasa dibatas awan melihat kedua mata Eleanor memerah karena menahan tangis. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda itu tersenyum sinis sebelum melanjutkan ucapannya. “Kerjaan Ayah kamu sudah banyak, ditambah kamu yang membangkang sekarang. Jadinya kepikiran dan kurang fokus mengemudi. Untung saja mobilnya cuma masuk parit, coba kalau lebih fatal lagi. Apa enggak menyesal kamu, Elea?”“Cukup, M
Darren berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Saat melihat Pak Surya yang datang, dia segera mempersilakan masuk dan mengajak ke ruang kerja.“Ada masalah apa, Pak?” tanya Darren sambil menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi kerjanya.“Ada customer baru yang ingin bertemu dengan Bapak.” Pak Surya mengangsurkan sebuah berkas ke meja dan menjelaskan sedikit tentang pelanggan baru mereka.“Bukankah Bapak bisa menghandle sendiri? Kenapa harus aku diundang juga?”“Saya minta maaf, Pak. Tapi, besok itu saya ... ehm, saya ada keperluan yang tidak bisa ditunda. Ini customer besar, makanya saya tidak bisa sembarangan menyerahkannya kepada orang lain.”Darren menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum akhirnya menyetujui pertemuan besok. Setelah memberikan kepastian, Pak Surya pamit. Sementara itu, Darren kembali ke kamar dan melihat Eleanor duduk di meja rias sambil mengeringkan rambut dengan hair dryer. Dia mendekat dan langsung mengambil alih alat di tangan istrinya. Lalu, me
Darren berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Saat melihat Pak Surya yang datang, dia segera mempersilakan masuk dan mengajak ke ruang kerja. “Ada masalah apa, Pak?” tanya Darren sambil menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi kerjanya. “Ada customer baru yang ingin bertemu dengan Bapak.” Pak Surya mengangsurkan sebuah berkas ke meja dan menjelaskan sedikit tentang pelanggan baru mereka. “Bukankah Bapak bisa menghandle sendiri? Kenapa harus aku diundang juga?” “Saya minta maaf, Pak. Tapi, besok itu saya ... ehm, saya ada keperluan yang tidak bisa ditunda. Ini customer besar, makanya saya tidak bisa sembarangan menyerahkannya kepada orang lain.” Darren menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum akhirnya menyetujui pertemuan besok. Setelah memberikan kepastian, Pak Surya pamit. Sementara itu, Darren kembali ke kamar dan melihat Eleanor duduk di meja rias sambil mengeringkan rambut dengan hair dryer. Dia mendekat dan langsung mengambil alih alat di tangan istr
Darren tersadar dan segera menjauh mendengar pertanyaan dari istrinya. Dia memilih berjalan ke balkon dan duduk di salah satu bangku yang ada di sana. “Kamu belum jawab pertanyaanku?” Pria itu menoleh sekilas sebelum kembali menatap ke depan. Merasa diabaikan, Eleanor mendekat dan duduk di samping suaminya. Dia hendak membuka mulut, tetapi sang suami lebih dulu membuka kata. “Ya, maksudnya dulu saat kita belum dilahirkan ke dunia. Tapi nama kita sudah disandingkan dalam takdir-Nya.” Bibir Eleanor membulat membentuk huruf O setelah mendengar jawaban suaminya. Dia tersenyum semringah sambil menatap langit yang kelabu. “Sepertinya akan turun hujan. Aku harap tak ada geledek yang datang.” “Kenapa kamu takut geledek, Sayang?” Eleanor menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian pikirannya menerawang jauh menembus masa kelam di saat dia masih berumur sepuluh tahun. “Aku pernah pulang telat karena terlalu asyik bermain dengan temanku. Waktu itu lang
Eleanor menoleh dan terkejut melihat Alden berdiri dua meter darinya. Senyum yang semula tersumir di bibir lesap dan berganti dengan ketidaknyamanan. “A-Alden?” Hanya satu kata yang mampu diucapkan Eleanor begitu melihat Alden berjalan mendekat. Dia segera bangkit dari duduk dan melangkah mundur. “Lima tahun memang bukan waktu yang singkat untuk bisa melupakanku bukan?” Eleanor menggeleng sambil terus melangkah mundur saat Alden mendekat. Namun, saat kesekian kali menghindar, Alden sigap menangkap pergelangan tangannya. Pria itu menarik Eleanor hingga tak berjarak dengan tubuhnya. Alden tersenyum bahagia karena bisa menatap wajah cantik Eleanor yang dulu bisa membuatnya menggila. Sayangnya, senyum itu berubah dengkus kesal saat melihat sebuah tanda merah samar di ceruk leher Eleanor. “Kamu sudah tidur dengannya, El?” “Bukan urusan kamu lagi, Al!” sentak Eleanor sambil berusaha melepaskan tangan Alden. “Urus saja Agatha dan calon anak kamu!” “Aaargh!” Alden berte
Darren dengan sigap mendekap sang kakek dan menuntunnya menuju kamar. Dalam ruangan dengan nuansa serba putih itu, Darren membaringkan sang kakek dan duduk di tepi ranjang. Pria itu menoleh saat mendengar suara pintu dibuka dan melihat Eleanor masuk sambil membawa segelas air.“Terima kasih, Elea.” Darren mengambil gelas dan segera memberikannya kepada sang kakek. “Minum dulu, Kek. Di mana obatnya?”Darren bergegas membuka laci pertama dan menemukan satu botol kaca penuh dengan tablet berwarna putih. Dia mengambil satu butir dan memberikannya kepada Kakek William. Selang lima menit usai menenggak obat, nyeri di dada kiri Kakek William berangsur mereda.“Kamu masih ingat tempat menyimpannya, Darren?”“Ternyata Kakek yang tidak berubah.”Kedua pria beda generasi itu saling tatap sebelum tertawa bersama. Sementara di belakang Darren, Eleanor menatap penuh tanya.“Ini obrolan antar pria, Elea.” Kakek William seolah-olah menjawab pertanyaan di kepala Eleanor. Mendengar itu, Eleanor m
“Aku haus.” Darren segera berlalu dari kamar dan kembali sambil membawa segelas air minum, kemudian menyodorkan kepada istrinya. Usai meneguk air dalam gelas hingga tandas, Eleanor meletakkan gelas di nakas dan menatap Darren. “Kakek William menyuruhmu datang ke rumahnya?” Darren mengangguk lemah sebelum berlalu ke wardrobe dan mengganti bajunya dengan setelan celana kain hitam dan kemeja biru tua. Dia kembali menemui Eleanor sambil memegang jam tangan dan duduk di tepi ranjang. Lalu, mengganti tali jam tangannya dengan hadiah pemberian dari istrinya. Eleanor memperhatikan sang suami hingga selesai sebelum mencoba untuk bangkit sambil menahan nyeri. “Mau ke mana?” tanya Darren sambil mengernyit heran. “Aku mau ikut ke rumah Kakek William.” “Tidak perlu. Biar aku sendiri karena kamu masih kesakitan begitu.” Eleanor menggeleng lemah sebelum kembali berjalan menuju pintu. Dia sengaja mengulas senyum karena tidak mau sang suami mengkhawatirkannya. “Sakitnya sudah
Eleanor mengerjap kala sinar mentari menyentuh kulitnya. Dia tergagap dan hendak bangkit, tetapi sesuatu menahannya. Dia menoleh dan mendapati seraut wajah terlihat damai dalam tidurnya. Lalu, sekelebat bayangan tentang kejadian semalam kembali berputar di kepala.Spontan Eleanor menggigit bibir bagian bawah sebelum memejamkan mata sejenak. Lalu, perlahan melepaskan tangan kiri sang suami yang semalaman memeluk perutnya. Dengan gerakan pelan, dia beringsut duduk dan hendak turun dari ranjang.“Aduh!” seru Eleanor saat merasakan bagian bawah tubuhnya berkedut nyeri. Dia sampai menggigit bibir untuk menahan sakit yang mendera sebelum kembali mencoba untuk bangkit.“Jangan dipaksakan. Tunggu sebentar.” Eleanor menoleh, tetapi segera berpaling saat melihat Darren sedang memakai celana boxernya. “Sakit?”Kali ini Eleanor mengangguk lemah saat melihat sang suami mendekat dan berdiri di hadapannya. Perlahan pria itu membopong sang istri, tetapi cengkeraman erat di lengan membuatnya menge
Bahu Eleanor merosot saat mengetahui bahwa Darren tengah terlelap di sofa sambil memeluk bantal. Wajah teduh pria itu membuat Eleanor tak sampai hati membangunkannya. Akhirnya dia memilih untuk meletakkan kue dan tas kertas ke meja kerja dan duduk di kursinya. Selang sepuluh menit kemudian, Darren terlihat menggeliat sebelum membuka mata. Tepat saat itulah Eleanor bangkit dan segera mendekatinya sambil membawa kue. “Selamat ulang tahun.” Darren bergeming sejenak setelah melihat kue di tangan istrinya. Lalu, tatapannya beralih kepada Eleanor yang ternyata masih mengenakan celemek dengan beberapa bagian wajahnya terkena tepung. “Kenapa? Kuenya jelek, ya? Maaf, aku hanya bisa membuatnya seperti ini. Tapi aku jamin rasanya pasti enak, kok.” Melihat suaminya masih bungkam, Eleanor yang awalnya antusias menjadi tak bersemangat. Dia menghela napas panjang sebelum menarik kembali kue di hadapan Darren. Dia memutar tumit dan hendak berlalu, tetapi Darren segera mencekal pergelang
Agatha memutar bola mata malas sebelum melangkah masuk dan mengempaskan kasar tubuhnya ke sofa. Dia memejamkan mata dan menghela napas panjang. Sementara, Helena duduk di sofa single dan menatap sang anak penuh tanya. “Kamu kenapa, Sayang? Ada masalah dengan suamimu?” Agatha melirik sekilas sebelum kembali memejamkan mata dan menghela napas panjang kembali. “Andai tahu begini akhirnya, aku tidak akan pernah mau mengikuti semua permainan Mama.” Helena membeliak mendengar ucapan sang anak, kemudian bangkit dari duduk dan mendekatinya. “Jangan keras-keras, Agatha. Jangan sampai papamu mendengarnya.” Wanita yang suka menggerai rambut bergelombangnya itu celingukan sebelum menepuk lengan Agatha. Agatha segera membuka mata dan beringsut duduk. Dia mengerucutkan bibir sambil mendengkus kesal. “Aku harus bagaimana sekarang, Ma? Punya suami, tapi seperti janda. Alden sama sekali tidak mau menyentuhku.” “Bukankah kamu sudah memberinya ‘itu’?” “Gagal semuanya, Ma. Sekarang