“Terima kasih.”
Eleanor langsung memeluk Darren setelah mendapati foto sang ibu utuh kembali. Senyumnya mengembang karena bahagia. Namun, menyadari tindakannya salah, dia segera melerai pelukan. “Ma-maaf.” Eleanor kembali menyunggingkan senyum sambil menatap lekat foto di tangannya. Lalu, setetes bulir bening membasahi pipinya. Namun, dia segera menyekanya. “Sekali lagi terima kasih banyak. Tapi, bagaimana bisa?” Alih-alih menjawab, Darren justru melontarkan tanya. “Apa kamu senang?” “Iya, aku sangat senang sekali.” Eleanor menatap Darren sekalinlagi sebelum kembali ke foto di tangannya. “Semua foto ibu sudah dibuang sama Mama Helena. Untung saja aku berhasil menyembunyikan ini dan menyimpannya.” Eleanor menghela napas berat saat ingatannya kembali beberapa tahun sebelumnya. Helena yang dia anggap bisa memberikan kasih sayang sebagai sosok seorang ibu, justru memberikan beribu luka di hati. Semua sikapnya dianggap salah oleh ibunya Agatha itu. Tak terhitung lagi berapa banyak kata-kata serta pukulan yang diterimanya jika melakukan kesalahan sedikit saja. “Foto ini adalah penyemangatku saat keadaan tidak baik-baik saja. Hanya inilah harta berhargaku sekarang.” Eleanor kembali tersenyum sebelum memasukkan foto sang ibu ke dalam saku bajunya. “Kalau begitu, aku permisi. Sekali lagi terima kasih banyak.” Darren menatap lekat punggung Eleanor yang perlahan menjauh. Lalu, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas hingga membentuk lengkungan. Dia menatap luka di lengannya sebelum menutup ruang kerjanya. Saat tengah malam, Eleanor terjaga karena merasa kehausan. Dia melihat gelas yang kosong di nakas dan menghela napas panjang. Perlahan, dia turun dari ranjang dan meraih gelas sebelum keluar kamar. Eleanor menuruni tangga, tetapi telinganya menangkap suara berisik dari arah dapur. Lampu yang biasanya redup juga sekarang menyala terang. Dia meneruskan langkah dan terkejut melihat Darren sedang bertelanjang dada dan berdiri di depan kompor sambil memasak sesuatu. Wanita itu bergeming karena tak ingin mengagetkan Darren. Eleanor menatap punggung kekar suaminya sambil menelan ludah. Lalu, berbalik dan memilih untuk berlalu. “Kenapa kembali? Bukannya kamu butuh air minum?” Eleanor bergeming sesaat sebelum berbalik dan menatap Darren yang sedang menuang masakannya ke piring. Tampak sekerat daging tenderloin mengepulkan asap. Sontak, aromanya memenuhi ruangan. Wanita itu menelan ludah dengan mata mengerjap pelan. “Mau?” tanya Darren sambil memotong kecil daging di piring dan menyodorkannya kepada sang istri. “Enggak usah. Aku cuma mau ambil air saja, kok.” Eleanor bergegas menuju dispenser dan mengisi penuh gelasnya dengan air. “Aku balik ke kamar lagi.” Darren hanya mengangguk sambil memasukkan sepotong daging ke mulut, kemudian mengunyahnya perlahan seolah-olah sangat menikmatinya. Melihat itu, Eleanor kembali menelan ludah sambil mengusap perutnya tanpa sadar. “Aku tidak keberatan untuk berbagi beberapa potong daging denganmu.” Eleanor tergagap dan segera melepaskan tangan dari perutnya. Lalu, menatap piring yang disodorkan Darren dengan beberapa potong daging di sana. Senyum semringahnya langsung tersumir di bibir. “Terima kasih.” Wanita itu segera memasukkan sepotong daging ke dalam mulut dan mengunyahnya. Namun, gerakannya terhenti kala teringat sesuatu. “Ini lebih enak daripada masakanku kemarin. Kenapa kamu harus berbohong?” “Rasa bagiku nomor sekian. Aku ingin menghargai usahamu memasak.” Eleanor manggut-manggut sambil kembali memakan dagingnya hingga tandas. “Kalau di rumah, makan daging seperti ini hanya saat hari spesial saja. Itu pun daging dengan kualitas biasa. Dan aku hanya makan sedikit karena Ayah yang ambilkan.” Darren menghela napas berat mendengar penuturan istrinya. Meskipun kerap mendapatkan perlakuan buruk dari Agatha dan Helena, Eleanor masih bisa bercerita sambil tersenyum. “Makanlah yang banyak. Aku sudah kenyang.” Darren menyodorkan piringnya yang masih ada beberapa potong daging lagi. Sambil terus tersenyum, Eleanor mengangguk dan memakannya hingga habis. Usai membereskannmeja makan, Eleanor hendak kembali ke kamar. Namun, langkahnya terhenti di tangga saat melihat Darren duduk di ruang keluarga sambil menatap layar ponselnya. Kali itu, Darren sudah memakai kaos berwarna biru muda. Dia berbalik dan memilih duduk di depan suaminya. “Ada yang mau kamu bicarakan?” tanya Darren tanpa melepaskan tatapannya dari ponsel. Namun, setelah mengetik sesuatu, dia menatap Eleanor penuh tanya. “Enggak, aku hanya penasaran saja bagaimana kamu memperbaiki foto ibuku?” Darren menghela napas berat sebelum menjawab. “Hanya itu?” Eleanor mengangguk dan langsung menasang wajah serius untuk mendengarkan penjelasan suaminya. Namun, beberapa detik berlalu, tak ada suara yang keluar dari mulut suaminya. Wanita itu mengerucutkan bibir karena semangat yang sempat membara perlahan redup. “Kalau enggak mau jawab juga enggak apa-apa. Aku ke kamar dulu.” Eleanor melangkah lesu menaiki tangga menuju kamar, kemudian menghempaskan tubuhnya ke ranjang. “Dasar kepo! Kenapa juga harus tanya, sudah mending fotonya diperbaiki. Ini malah nanya yang enggak-enggak.” Eleanor mengentakkan kakinya di ranjang sebelum menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Lalu, dia mengeluarkan foto sang ibu dan mengusapnya. “Aku sayang Ibu. Kapan-kapan aku ajak Darren mengunjungi Ibu.” Eleanor mencium foto itu dan mendekapnya di dada. Tak lama kemudian, suara dengkur halus terdengar dari mulutnya. Sementara itu, Darren masih duduk di ruang keluarga. Dia memeriksa sesuatu sebelum melakukan panggilan. “Jadi kapan mereka akan umumkan?” Darren terlihat mengangguk beberapa kali sebelum membuka suara. “Datang dan laporkan!” Panggilan terputus. Darren meletakkan ponsel di samping. Lalu, menatap halaman belakang yang temaram oleh cahaya lampu taman sambil menyeringai. “Ini baru awal. Aku akan buat kalian ingat siapa Darren sesungguhnya.” *** Keesokan harinya, Eleanor terjaga karena mendengar suara bising di luar. Dia bergegas keluar kamar dan mendapati beberapa orang sedang membersihkan rumah. Wanita itu kebingungan dan memilih untuk berjalan ke dapur. Di sana, dia mendapati Darren sedang menyesap kopi sambil menatap layar tabletnya. Mendengar suara langkah mendekati, pria itu mendongak dan berserobok sesaat dengan istrinya. “Mereka memang rutin datang untuk membersihkan rumah seminggu dua kali.” Eleanor tergemap karena Darren seperti tahu apa yang ingin ditanyakannya. Lalu, memilih untuk berjalan ke lemari pendingin dan membukanya. Melihat tuna dan sayuran segar, wanita itu mempunyai ide untuk membuat roti lapis. Dengan cekatan, dia mengambil roti di meja dapur dan menaruh tuna yang sudah dimasak pedas. Lalu, menumpuk selada dan tomat sebelum menutup dengan roti lagi. “Ini sarapan simpel kalau aku malas masak. Semoga suka, ya?” Eleanor menyodorkan setangkup roti lapis ke hadapan Darren. Lalu, mengunyah roti miliknya sambil memperhatikan orang yang sedang membersihkan ruang keluarga. “Selesaikan sarapanmu dan ikut aku.” Darren mengambil roti lapis dan memasukkannya ke dalam mulut. “Ke mana?” “Ketemu Kakek William. Ada yang mau dibahas.” Eleanor mengangguk dan segera menghabiskan sarapannya. Lalu, bergegas membersihkan diri dan menunggu di teras. Dia mengeluarkan ponsel dan mencoba untuk menghubungi sang ayah. Namun, belum sampai terhubung, Darren sudah keluar. Aroma parfum Woody kembali memenuhi indera penciuman Eleanor saat sang suami melewatinya. Dia terbuai sesaat sebelum mengekori Darren menuju mobil. Perlahan mobil meluncur meninggalkan rumah menuju kediaman Kakek William. Sepanjang perjalanan tak ada yang bersuara hingga akhirnya sampai di tujuan. Eleanor mengernyit kala melihat mobil sang ayah ada di depan rumah Kakek William. Dia bergegas turun dan berjalan masuk. Namun, langkahnya terhenti kala mendengar suara teriakan dari dalam.“Setuju tidak setuju, kamu harus menikahi Agatha minggu depan!”Hanya kalimat itu yang masih terdengar saat Eleanor melewati pintu masuk. Dia berjalan beriringan dengan sang suami menuju ruang keluarga. Suasana menjadi hening saat melihatnya dan Darren tiba.Eleanor segera menyalami orang yang ada di sana satu per satu. Namun, hanya Agatha dan Alden yang menolak. Dia tak ambil pusing dan duduk di samping suaminya.“Kenapa Kakek memanggil kami?” tanya Darren langsung pada intinya.“Kakek cuma mau ajak kalian makan siang bersama saja. Sekalian ada yang mau Kakek bicarakan sama kamu, Darren. Kita ke ruang kerja Kakek sekarang.”Eleanor menatap sekilas sang suami sebelum mengangguk. Lalu, menatap punggung lelaki itu hingga hilang di balik pintu bercat hitam.“Bagaimana kabarmu, Elea? Maaf kalau Ayah belum bisa menjengukmu.”“Tidak apa-apa, Yah. Aku baik-baik saja.”Danu hendak bangkit dari duduk untuk mendekati Eleanor, tetapi Helena segera mencegahnya.“Duduk di sini saja, Pa. B
Darren kembali menutup pintu dan bergeming sesaat. Namun, bayangan tentang apa yang dilihat berhasil membuatnya mengumpat. Dia menghela napas berat sebelum mengetuk pintu.Eleanor berdiri di dekat ranjang dengan wajah kuyu. Rambutnya masih basah, bahkan bibirnya sedikit membiru karena kedinginan. Namun, wanita itu berusaha untuk menyunggingkan senyuman.“Ma-maaf, aku tadi kaget karena ada yang tiba-tiba masuk.”Darren hanya menatap sang istri, kemudian menelisiknya sebelum melempar tanya. “Apa kamu baik-baik saja?”“Iya, cuma agak sedikit kedinginan saja.”“Kita pulang sekarang.”Eleanor terkejut dengan ucapan suaminya. Dia ingin bertanya, tetapi pria itu kembali membuka suara. “Lupakan makan siangnya, kita pulang sekarang. Kakek sudah memberi izin.”Eleanor mengerti. Namun, dia terkejut saat melihat Darren berjalan mendekatinya. Dia segera mundur sampai menabrak lemari. Lalu, memejamkan mata ketika melihat sang suami makin mendekat dan mengulurkan tangannya.“Pakai ini! Aku l
Eleanor mengerjap saat mendengar suara alarm. Dia meraba untuk mencari ponsel dan mematikan alarmnya. Lalu, duduk dan meregangkan otot sejenak sebelum berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Senyumnya terkembang ketika berdiri sambil mematut diri di depan cermin. Pagi itu dia mengenakan gaun sebatas betis berwarna kuning pastel.Sambil bersenandung lirih, Eleanor menuruni tangga menuju dapur. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Darren ada di ruang olahraga. Dia segera memutar arah dan berjalan mengendap-endap sampai di sudut luar ruangan.Dalam ruangan berukuran sekitar enam puluh meter persegi itu, Darren sedang berlatih memukul samsak menggunakan sarung tinju. Peluh telah membanjiri wajah dan rambutnya. Bahkan baju bagian belakangnya basah kuyup oleh keringat.Eleanor tak melepaskan tatapannya dari sang suami hingga tanpa sadar senyum tipis tersumir di bibirnya. Namun, aksinya terhenti kala mendengar suara bel. Dia bergegas berlari ke depan untuk membukakan pintu.Wa
Eleanor mengulas senyum tipis untuk meredam sejenak gelebah dalam dada. Lalu, beranjak ke dapur untuk membuat sarapan. Meskipun hatinya merapuh, kewajiban menghidangkan makanan untuk sang suami tetap utama. Bagi wanita itu bentakan dan amarah yang datang dari Darren masih lebih baik dibanding saat Helena dan Agatha yang melakukannya. Kedua wanita yang telah mengambil seluruh hati sang ayah itu telah berhasil memporakpondakan kehidupannya. Namun, Eleanor terus berusaha untuk kuat dan tegar. Asalkan masih bisa tinggal dan hidup di rumah bersama Danu. Sepuluh menit berselang, Eleanor baru selesai membuat ayam panggang. Dia menatap pintu ruang kerja sang suami sebelum menghela napas berat. Lalu, kembali menyelesaikan masakan sebelum menatanya di nampan. Eleanor menarik napas panjang dan mengembuskannya berulang kali sebelum mengetuk pintu ruang kerja Darren. Lalu, membuka pintu dan masuk perlahan. Dia melirik sekilas sang suami yang fokus menatap kertas di tangannya sambil meletakkan
Eleanor tiba setelah hampir satu setengah jam terjebak di jalan karena macet. Bertepatan dengan itu, Danu keluar rumah bersama Helena. Melihat sang anak datang, pria yang memakai kemeja abu-abu itu tersenyum.Eleanor mempercepat langkah dan hendak menyalami sang ayah, tetapi Helena menghadang.“Bukankah kamu buru-buru, Pa? Ayo, jalan sekarang daripada nanti kejebak macet.”“Tapi, Ma. Elea baru saja datang. Lagipula masih ada sepuluh menit lagi, enggak apa-apa, kan?”Helena mendengkus kesal sebelum berlalu ke dalam rumah, sedangkan Danu menyambut kedatangan sang anak sambil tersenyum.“Ayah mau balik ke kantor? Maaf, kalau aku datang sekarang. Ada yang mau aku kasih ke Ayah.”“Enggak apa-apa, Elea. Kita masuk, ya?”Eleanor menggamit lengan sang ayah dan mengajaknya masuk. Lalu, duduk di ruang tamu. Wanita itu segera membuka kotak yang dibawa dan membukanya.“Selamat ulang tahun, Ayah. Semoga sehat selalu.”“Terima kasih, Elea. Seharusnya tidak perlu repot begini.”“Ini hanya
Eleanor segera berjalan ke lemari untuk mengambil gelas, kemudian mengisinya dengan air. Sementara, Darren bersikap biasa sambil merapikan kotak obat. Setelahnya, tatapan pria itu mengarah kepada sang tamubyang tak lain adalah Kakek William.“Ada perlu apa Kakek ke sini?”“Kenapa? Tak bolehkah Kakek mengunjungi cucunya?” tanya Kakek William balik sambil terkekeh saat melihat Eleanor salah tingkah di depan kompor. “Oh, apakah Kakek harus menghubungi dulu sebelum ke sini? Takutnya hal seperti tadi terjadi lagi?”Eleanor menunduk dalam sambil memejamkan mata mendengar celoteh Kakek William. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus sekarang. Berulang kali dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mengambil cangkir dan membuat teh hangat. Lalu, menghidangkannya kepada pria dengan rambut keperakan itu.“Terima kasih, Elea. Duduklah! Ada yang mau Kakek tanyakan padamu.”Eleanor menurut. Dia segera menarik kursi yang ada di samping sang suami sebelum mengempaskan bobo
Eleanor setengah berlari memasuki sebuah ruangan begitu sampai. Dia mengedarkan pandangan sebelum berjalan tergesa-gesa ke sudut ruangan di mana seorang pria sedang ditemani dua orang wanita.“Ayah enggak apa-apa?” tanya Eleanor begitu sampai. Dia hendak memeluk Danu, tetapi Helena segera menyeretnya keluar ruangan.“Masih berani kamu ke sini, Elea? Ayah kamu begini gara-gara kamu!”“Maksud Mama apa? Kenapa gara-gara aku?”Helena mendengkus kesal sebelum menatap tajam sang anak tirinya. “Bukannya kamu disuruh minta maaf tadi? Kenapa enggak kamu lakukan?”Helena merasa dibatas awan melihat kedua mata Eleanor memerah karena menahan tangis. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda itu tersenyum sinis sebelum melanjutkan ucapannya. “Kerjaan Ayah kamu sudah banyak, ditambah kamu yang membangkang sekarang. Jadinya kepikiran dan kurang fokus mengemudi. Untung saja mobilnya cuma masuk parit, coba kalau lebih fatal lagi. Apa enggak menyesal kamu, Elea?”“Cukup, M
Lima hari pasca dirawat, Danu sudah diperbolehkan pulang. Bertepatan dengan itu, dia disibukkan dengan pesta pernikahan antara Agatha dengan Alden. Kaki yang masih dibalut perban menyebabkannya hanya bisa duduk sambil memperhatikan sekitar. Senyum tak pernah lepas dari bibir pria itu saat para tamu yang datang mengucapkan selamat. Tak berselang lama, rombongan keluarga besar Wijaya memasuki ruangan. Tampak Alden diapit oleh kedua orang tuanya, Roni dan Erina. Di belakang mereka ada Kakek William yang menggenggam erat tongkat di tangan kanannya. Lalu, di barisan paling belakang ada Eleanor yang menggamit lengan suaminya, Darren. Danu menatap lekat Eleanor yang memilih duduk di barisan paling depan bersama para tamu. Ada setitik bahagia di hati kala melihat sang anak tersenyum sumringah. Lima menit berselang, Helena memasuki ruangan sambil menggandeng Agatha yang berbalut kebaya putih. Riasan wanita itu tampak lebih tegas dengan pemilihan lipstik berwarna merah terang. Senyum tak p
Darren menggoyangkan tangan beberapa kali untuk mengusir kebas karena terlalu lama digenggam oleh Eleanor. Berulang kali dia mencoba untuk pergi, tetapi wanita itu selalu saja berhasil menahan dengan menggenggam jemarinya erat. Akhirnya pria itu pasrah dan baru bisa terlepas ketika sang istri benar-benar pulas tertidur.Pria itu lantas berjalan menuju balkon dan bersandar pada pagar besi sambil membelakangi kamar. Siang yang cerah mendadak gelap karena dipenuhi awan kelabu.“Sepertinya sebentar lagi hujan.”Darren segera mengambil ponsel saat mendengarnya berdering. Melihat nama yang tertera di layar, dia mengernyit heran sebelum menekan tombol berwarna hijau.“Iya, Pak. Ada apa?” Darren mendengarkan orang di ujung telepon berbicara beberapa saat sebelum membuka suara. “Berikan saja nomor yang satunya.”Darren segera memutus panggilan sebelum berbalik dan menatap Eleanor yang masih terlelap. Dia pun beranjak keluar kamar menuju ruang kerjanya. Pria itu duduk di kursi dan membuka
Darren menghela napas panjang saat mendengar permintaan istrinya. Dia kembali melirik jam di pergelangan tangan kirinya sebelum menatap Eleanor. Pria itu kembali menghela napas panjang sebelum duduk di tepi ranjang.Eleanor tersenyum lebar kala permintaannya dikabulkan. Dia segera melepaskan tangan sang suami dan beringsut duduk.“Apa kamu marah?” tanya Eleanor sambil menelisik raut wajah sang suami. “Maaf, aku hanya tidak ingin sendirian setelah kejadian kemarin. Tapi kalau urusanmu lebih ....”“Tidurlah! Aku tidak akan ke mana-mana.”Eleanor kembali merebah sebelum berusaha untuk memejamkan mata. Tak berselang lama, wanita itu sudah tunduk pada kantuk. Sementara itu, Darren terus menatap lekat wajah sang istri hingga mengabaikan satu janji penting dengan seseorang. Dia terlena dengan wajah teduh wanita yang terbaring di ranjangnya. Tangannya terulur untuk mengusap lembut pipi bersemu merah milik Eleanor sebelum menyematkan kecupan di dahinya.Darren hendak beranjak, tetapi tangan El
Agatha menatap pantulan dirinya di cermin sambil tersenyum tipis. Lalu, mengalihkan tatapan kepada pria yang masih terlelap di ranjang. Tangannya terulur untuk mengusap perutnya sebelum bangkit dari duduk dan menghampiri Kevin.“Kevin, bangun! Aku harus pergi sekarang juga!”Kevin menggeliat pelan sebelum membuka mata, kemudian duduk dan tersenyum melihat Agatha sudah rapi. Dia lantas bangkit dan berjalan ke kamar mandi tanpa risih Agatha melihatnya dalam keadaan tanpa busana.Usai mandi dan berpakaian, Kevin mengambil kunci mobil dan menggandeng Agatha keluar kamar. Mereka berjalan menuju resepsionis sebelum memberikan laporan akan keluar hotel malam itu. “Terima kasih buat malam ini, Kevin. Untuk sementara kita jangan ketemu dulu.”“Kenapa, Sayang? Terus bagaimana kalau aku kangen nanti.”Agatha tersenyum mendengar ucapan Kevin. Lalu, mengusap lembut pipi pria yang duduk di balik kemudi itu.“Aku hanya tidak mau Alden curiga.” Agatha masih mengulas senyum sambil menurunkan t
Eleanor terkejut melihat kaca tempat foto yang terpajang di nakas pecah usai terjatuh karena ulahnya. Dia segera berjongkok dan berusaha untuk mengambil benda itu, tetapi tangannya langsung ditahan seseorang. Wanita itu langsung mendongak dan terkejut melihat sang suami.“Ma-maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Ini salahku, nanti akan aku ....”“Lupakan! Memangnya kamu mau ke mana lagi?”Darren menghela napas panjang sebelum mengangkat Eleanor dan membaringkannya ke ranjang. Lalu, mengambil foto tadi dan menaruhnya ke nakas sebelum keluar kamar dan kembali sambil membawa sapu. Tanpa bicara, pria itu membersihkan sisa pecahan kaca dan membawanya keluar.Sementara itu, Eleanor merasa sangat bersalah. Dia menatap hampa foto yang tergeletak asal di nakas sebelum menunduk sambil meremas jemarinya. Mendengar suara langkah mendekat, dia mendongak dan bersitatap dengan sang suami.“Aku minta maaf. Seharusnya aku tidak ....”“Aku bilang lupakan! Itu hanya sebuah foto, yang terpenting kam
“Aku juga tidak tahu. Aku ingat plat nomor mobilnya dan aku yakin itu adalah Alden. Tapi waktu aku mau mendekat, dia malah tancap gas.” Darren mendengkus kesal mendengar ucapan istrinya. Dia menggeretakkan gigi karena menahan amarah. Melihat itu, Eleanor segera mengusap lembut lengan suaminya. “Mungkin dia hanya iseng, jangan dimasukkan ke hati, ya?” Eleanor tersenyum manis, berusaha untuk meredam amarah suaminya. Lalu, saat menyadari tindakannya, dia segera menarik kembali tangannya. “Maaf, aku hanya spontan tadi.” Darren menghela napas panjang sebelum bangkit dari duduk. Namun, saat hendak berlalu, suara Eleanor berhasil menahannya. “Sarapan sudah siap. Sebaiknya segera makan sekarang sebelum dingin dan tidak enak lagi.” Darren mengangguk dan menunggu Eleanor bangkit dari duduk. Meskipun kesakitan, wanita itu tetap memaksakan diri untuk berjalan. Eleanor berjalan lebih dulu, sedangkan Darren di belakangnya sambil diam-diam mengamati. Saat tiba di meja makan, senyum
Agatha terjaga ketika ingin berkemih. Dia berusaha untuk bangun, tetapi tangan kekar seseorang melingkari perutnya. Dia menoleh dan mendapati Kevin masih tertidur pulas di sampingnya. Tangan wanita itu terulur untuk mengusap lembut pipi sang pria sebelum memindahkan tangan dari perutnya. Perlahan Agatha bangkit dan hendak turun dari ranjang, tetapi Kevin mencekal pergelangan tangannya. “Mau ke mana, Sayang?” “Aku harus ke kamar mandi, Kevin.” “Jangan lama-lama. Aku masih menginginkanmu.” Agatha tersenyum manis sebelum bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Dia sama sekali tak merasa risih meskipun Kevin menatapnya lekat. Lekuk tubuh wanita itu sudah membuat Kevin mabuk kepayang dan ingin kembali mengulang indahnya dosa beberapa jam yang lalu. Saat Agatha keluar kamar mandi, Kevin langsung duduk dan mengulurkan tangan. Senyum lebarnya tersumir di bibir kala sang wanita setengah berlari dan menerjangnya hingga terjengkang di ranjang. “Mau lagi?” tanya Agat
Alden tersentak mendengar peringatan yang diucapkan Darren. Kedua matanya langsung menatap lekat ponsel yang tergeletak di depannya. Dahinya berkerut dalam sebagai pertanda bahwa dia sedang berpikir keras.“Jangan berpura-pura lagi, Alden! Aku tahu kamu menyuruhnya untuk memata-matai Elea.”Alden mengalihkan tatapan dari ponsel di depannya kepada Darren. Tahu ke mana arah pembicaraan pria itu, Alden mendengkus kesal. Lalu, menyandarkan punggung sambil menatap penuh ejekan kepada sepupunya.“Kalau iya kenapa?” Alden tersenyum miring sebelum bangkit dari duduk dan mencondongkan tubuhnya ke depan. “Aku akan merebutnya kembali darimu, Darren. Lihat saja nanti.”Darren mendengkus kesal sebelum berbalik dan hendak berlalu, tetapi suara Alden berhasil membuat langkahnya terhenti.“Kamu tak akan berhasil mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku, Darren!”Darren mengepalkan kedua tangannya sebelum segera pergi meninggalkan ruangan. Tidak ada gunanya juga meladeni semua omong kosong
Eleanor tersenyum tipis setelah memasang sabuk pengaman, kemudian melirik sang suami sekilas sebelum menatap jalanan. Sementara, Darren perlahan mulai melajukan mobil meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, hanya suara musik yang terdengar memenuhi kabin.“Kamu senang, Elea?”Eleanor menoleh saat mendengar suara suaminya. Dia tersenyum sambil mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya, dia kembali menatap jalanan.“Ehm, bukankah ini urusan bisnismu, apa tidak apa-apa jika aku ikut?”Darren melirik sang istri sekilas sebelum kembali fokus menatap jalanan. “Aku lebih tenang jika kamu ikut bersamaku. Dan ... anggap saja ini liburan.”Eleanor kembali tersenyum mendengar jawaban suaminya. Lalu, menikmati musik sambil sesekali ikut bersenandung. Sementara di sebelahnya, Darren memperhatikan sambil tersenyum.Hampir dua jam perjalanan, akhirnya mobil yang dikemudikan oleh Darren sampai di hotel yang dituju. Keduanya turun di lobi sebelum melangkah menuju resepsionis. Lalu, berjalan menuj
Eleanor mengerjap pelan kala suara alarm menyapa rungu. Dia meraba untuk mencari ponsel dan segera mematikan alarm. Lalu, beringsut duduk dan menggeliat sejenak sebelum mengedarkan pandangan. “Selamat pagi, Eleanor,” ucap Eleanor pada dirinya sendiri sambil tersenyum. Lalu, mengangkat kedua tangan ke atas dan meregangkan otot. Masih teringat jelas dalam benak kejadian semalam saat Darren memintanya untuk tinggal sejenak di dapur. Wanita itu bergeming sambil menatap tangan sang suami sebelum beralih untuk menatap wajahnya. Aura dingin yang biasanya hinggap berganti dengan kesedihan. Entah apa yang sudah terjadi, yang pasti Darren sedang tidak baik-baik saja. Maka Eleanor memutuskan untuk berdiam diri dan menunggu apa yang akan dilakukan suaminya. Sekian menit berlalu, Darren hanya bungkam sehingga membuat Eleanor mengernyit heran. “Ada yang mau kamu sampaikan?” “Lupakan. Tidurlah!” Darren kembali seperti biasa. Dingin dan misterius sehingga membuat Eleanor menghela napas