Darren berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Saat melihat Pak Surya yang datang, dia segera mempersilakan masuk dan mengajak ke ruang kerja. “Ada masalah apa, Pak?” tanya Darren sambil menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi kerjanya. “Ada customer baru yang ingin bertemu dengan Bapak.” Pak Surya mengangsurkan sebuah berkas ke meja dan menjelaskan sedikit tentang pelanggan baru mereka. “Bukankah Bapak bisa menghandle sendiri? Kenapa harus aku diundang juga?” “Saya minta maaf, Pak. Tapi, besok itu saya ... ehm, saya ada keperluan yang tidak bisa ditunda. Ini customer besar, makanya saya tidak bisa sembarangan menyerahkannya kepada orang lain.” Darren menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum akhirnya menyetujui pertemuan besok. Setelah memberikan kepastian, Pak Surya pamit. Sementara itu, Darren kembali ke kamar dan melihat Eleanor duduk di meja rias sambil mengeringkan rambut dengan hair dryer. Dia mendekat dan langsung mengambil alih alat di tangan istr
Darren menoleh untuk menatap wajah istrinya, kemudian mendongak untuk memaku pandangan pada awan yang berarak. “Kamu mempercayainya, Elea?” Eleanor hanya bungkam sambil menatap sang suami. Jujur, hatinya meragu akan berita yang disampaikan tentang kematian orang tua Darren. Siapa yang tidak kenal pengusaha sekaligus penerus perusahaan Wijaya Grup, Rama dan istrinya Indira? Semua orang di Kota Malima pasti mengenalnya, tak terkecuali Eleanor. Wanita itu masih bungkam dan melarikan tatapannya ke hamparan bunga kuning di sekitarnya. “Aku yang paling tahu bagaimana Papa dan Mama selama ini, tapi mereka membuatnya seolah-olah jauh dari gambaranku.” Eleanor kembali menatap sang suami yang kini juga menatapmya. Wanita itu bisa menangkap ada gurat kesedihan yang tercetak di balik manik mata sekelam malam milik suaminya. Terdengar helaan napas panjang yang keluar dari mulut Darren sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “Papa orang paling jujur yang aku kenal setelah Kakek. Dia jug
“Pak Kevin?”Eleanor dan pria yang berdiri di depannya kompak menoleh ke arah datangnya suara. Tampak Darren menatap keduanya bergantian sebelum memaku pandangan kepada sang istri. “Kalian saling kenal?”Eleanor gelagapan mendapat pertanyaan dari suaminya. Dia segera bangkit dan mengulas senyum dan mendekati suaminya sambil menatap Kevin.“Kita satu SMA dulunya, tapi beda kelas. Kevin ini adalah pa—““Jadi Anda ini bos besar yang selalu disebut oleh Pak Surya?” tanya Kevin menginterupsi kalimat Eleanor sambil mengulurkan tangannya. Kevin terkekeh sambil terus menggantungkan tangannya di udara. Sementara Darren menatap pria di depannya sekilas sebelum menyambut uluran tangannya. “Dunia terlalu sempit ternyata.”Darren segera menarik tangannya sebelum duduk bersama dengan Eleanor, sedangkan Kevin menatap keduanya sebelum tersenyum.“Aku sama sekali tidak menyangka akan bertemu lagi denganmu, Elea. Sekian lama tidak ada kabar, sekarang malah kamu datang bersama pemilik RDW Company.
Waktu terasa seperti berhenti berputar saat Eleanor mendapati sang ayah tersungkur di dekat Helena. Dia bergegas mendekati dan merengkuh kepala sangvayah untuk dibaringkan di pahanya. Tangannya bergetar saat mengusap pipi pria yang menjadi cinta pertamanya. Suaranya bahkan tersapu oleh kencangnya isak tangis.“Ayah, bangun. Ayah kenapa?”Eleanor masih berusaha membangunkan sang ayah meskipun tak ada respon. Dia bahkan berontak ketika Helena berusaha menyingkirkannya.“Mau apa kamu ke sini, Elea? Mau apa!” bentak Agatha setelah melihat sang ibu dan Eleanor berusaha memeluk Danu. “Bikin kacau saja!”Melihat keributan yang terjadi, Darren yang baru masuk setelah memarkir mobil segera mendekati ayah mertuanya. Pria itu memeriksa Danu sebelum mengusap bahu sang istri untuk menenangkan.“Ayah hanya pingsan, Elea. Kita bawa ke kamar, nantibaku telepon dokter buat ke sini.”Eleanor segera menyusut air matanya, kemudian berusaha mengangkat tubuh sang ayah bersama Darren dan Helena. Semen
“Yang bener? Proyek kamu berhasil? Aaargh, aku seneng banget!” teriak Agatha sambil meloncat kegirangan sebelum memeluk Kevin. “Jangan lupa sama aku, ya?”“Tentu saja, Sayang.” Kevin mengecup kening Agatha sebelum turun ke bibirnya. “Bisakah kita rayakan kebahagiaan ini sekarang, Sayang?”Agatha hanya mengulas senyum sebelum mengalungkan kedua lengannya ke leher Kevin. Malam itu kedua insan yang dimabuk cinta kembali mengulang dosa yang sama hingga kelelahan di sofa.Agatha memeluk erat Kevin sambil memejamkan mata. Bibirnya terus mengumbar senyum. Peluh masih membanjiri tubuh mereka.“Aku lelah sekali, Kevin. Kamu memang benar-benar nakal.”Kevin hanya tergelak sebelum beringsut duduk untuk mengambil celana boxer yang tergeletak di lantai. Lalu, memakai dan berjalan ke dapur.“Mau kubustkan kopi, Sayang? Siapa tahu kamu mau menginap di sini?”“Memangnya jam berapa ini?” tanya Agatha sambil melempar tatapan ke jam dinding. “Sialan! Sudah jam setengah sepuluh. Aku harus pulang s
Pagi itu mentari masih meringkuk di balik awan yang kelabu. Semburat jingganya hanya sedikit yang terlihat. Titik air bekas hujan semalam bahkan masih belum sepenuhnya hilang. Namun, Eleanor sudah terjaga sejam yang lalu untuk membersihkan diri dan sekarang sedang duduk di depan rias sambil memegang hair dryer untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Melihat pergerakan sang suami, Eleanor menoleh dan tersenyum tipis. “Selamat pagi, Sayang. Tidurmu nyenyak semalam?” Darren menjawab dengan tersenyum sambil mengangguk kecil. Lalu, beringsut duduk dan menatap sang istri yang masih duduk di depan meja rias. “Kenapa tidak membangunkanku, Sayang?” “Tidurmu sangat nyenyak, aku jadi tidak tega membangunkanmu.” Eleanor mulai menyalakan hair dryer dan hendak mengaplikasikan ke rambut. “Biar aku saja. Tunggu sebentar.” Darren turun dari ranjang, menyambar celana boxer dan memakainya sebelum berjalan tergesa-gesa menghampiri istrinya. Darren mengambil alih hair dryer dari tangan s
Kedua pria itu saling berjabat tangan sebelum salah satunya pergi meninggalkan tempat, sedangkan pria yang masih di sana tampak tersenyum penuh arti sambil menatap ke depan. Tak lama ponselnya berdering nyaring. Dia bergegas menjawab panggilan setelah melihat nama yang tertera di layar.“Iya, Pa? Baik, aku ke sana sekarang.”Alden bergegas bangkit dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan tempat menuju gedung Wijaya Grup yang letaknya hanya terpisah oleh dua bangunan. Setibanya di ruang kerjanya, Alden melihat Roni dan Kakek William sudah duduk di sofa. Tampak jelas raut penuh kekesalan terpancar di wajah keduanya. Dengan ragu, Alden mendekat dan duduk di depan kedua pria beda generasi itu.“Dari mana kamu? Bisa-bisanya keluar pada saat jam kerja. Mau memberi contoh buruk pada karyawanmu, hah!” sembur Roni begitu melihat Alden duduk di depannya. Pria paruh baya itu menghela napas panjang sebelum melemparkan setumpuk berkas ke meja. “Kamu mau bikin kita rugi, Alden? Apa-apaan itu, semu
“Belum saatnya, Kek. Tolong sabar sebentar lagi.”Kakek William manggut-manggut sambil menghela napas panjang. Pria tua itu menyandarkan punggung dan menatap langit-langit ruangan. Mata tuanya tampak lelah dan menahan sakit.“Sebelum kamu kembali, Kakek takut tidak ada umur lagi, Darren.”“Jangan bilang begitu, Kek. Aku yakin Kakek pasti panjang umur.”Kakek William kembali menghela napas panjang sebelum menegakkan punggung, kemudian kembali menyesap teh hingga tandas dan bangkit dari duduk. Dia menepuk bahu kanan sang cucu sambil mengulas senyum tipis sebelum memutar tumit. Namun, saat hendak melangkah, tubuh pria tua itu oleng dan hampir saja terjatuh jika Darren tak menangkapnya.“Sakit Kakek kambuh lagi?” tanya Darren sambil memapah sang kakek untuk kembali duduk di kursi. “Biar aku telepon Dokter Cipta.”“Kakek tidak apa-apa, Darren.” Kakek William memegang lengan Darren bermaksud untuk mencegahnya menelepon dokter keluarga. “Kakek hanya butuh istirahat saja.”Darren mengh
Mentari kembali duduk di singgasana setelah menggantikan rembulan. Sinarnya mampu menghangatkan jiwa-jiwa yang dingin karena sapuan angin malam. Namun, semua itu tak berlaku bagi Eleanor yang menatap dingin sang suami usai terjaga dari tidurnya. Tiga kalimat yang diucapkan Darren dalam tidurnya sukses membuatnya kepikiran. Dia menghela napas panjang sesaat sebelum turun dari ranjang dan beranjak ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Saat menatap pantulan dirinya di cermin yang tergantung di atas wastafel, sepasang tangan kekar milik Darren memeluknya dari belakang. “Pagi, Sayang. Kamu selalu terlihat cantik setiap bangun tidur.” Darren berusaha menyematkan kecupan di tengkuk sang istri. Jika biasanya Eleanor akan merinding sambil tersipu malu, tetapi pagi itu berbeda. Wanitanya menghindar dan segera melepaskan tangan Darren dari perutnya. “Kamu masih marah, Sayang?” Eleanor enggan menjawab dan memilih keluar dari kamar mandi. Namun, Darren yang sudah diperam kelesah segera meny
Darren langsung mengempaskan kasar tubuhnya di sofa begitu sampai di rumah. Dia menyandarkan punggung dan menengadah. Dalam temaramnya sorot lampu taman di halaman depan, dia kembali merasakan kesepian. Lalu, satu helaan napas panjang terdengar dari mulutnya.Darren memejamkan mata sejenak dan membawa ingatannya kepada kejadian beberapa jam sebelumnya. Di mana kondisi sang kakek yang dinyatakan koma setelah kembali mengalami serangan jantung. Dia ingin masuk dan menemui sang kakek, tetapi Roni sengaja mencegahnya.“Kamu tidak ada urusannya lagi di sini, Darren. Lagipula Kakek belum tentu ingin dijenguk olehmu.”Darren hanya bisa menggeram kesal sambil mengepalkan tangan mendapat penolakan dari sang paman. Dia hendak melawan, tetapi dua orang penjaga sengaja disewa oleh Roni untuk menjaga ruang ICU di mana Kakek William dirawat.“Kalian ingat wajahnya! Jangan sampai dia menerobos masuk ke dalam!”Darren kembali mendengkus kesal sebelum menatap lekat Kakek William yang masih terpej
“Pak Kevin? Ah, senang bertemu dengan Anda lagi. Ada keluarga yang sakit atau Bapak yang sakit?” tanya Alden sambil mengulurkan tangan kepada Kevin.“Saya sehat, Pak.” Kevin menjabat tangan Alden sebelum melanjutkan ucapannya. “Saya hanya mengambil rekam medis milik Pak Hendra sekalian jalan ke kantor, Pak. Bapak sendiri?”Alden tersenyum canggung sebelum beranjak ke bangku dan mengempaskan bobot tubuhnya di sana. Sementara, Kevin mengikuti dan ikut duduk di samping Alden.“Kakek saya tadi pagi kena serangan jantung, Pak. Dia pingsan dan kami bawa ke sini. Beruntungnya Kakek masih bisa ditolong, meskipun sekarang masih ada di ruang ICU.”“Oh, saya ikut bersedih mendengarnya, Pak. Semoga kakek bapak segera pulih.”Alden manggut-manggut sambil mengaminkan ucapan Kevin. Lalu, bungkam sejenak sebelum kembali membuka mulut. “Saya dengar Bapak buka perusahaan baru, ya? Saya ucapkan selamat, Pak.”“Terima kasih, Pak Alden. Semua juga atas dukungan dari Pak Hendra, bahkan beliau juga me
Derap langkah terdengar memenuhi lorong kala Darren dan Eleanor berjalan tergesa sambil mengedarkan pandangan mencari ruangan yang dituju. Setelah sepuluh menit mencari akhirnya mereka menemukannya. Lima meter sebelum tiba, tampak dua pria dan dua wanita sedang berdiri sambil menatap pintu kaca di depannya.“Bagaimana keadaan Kakek?”Spontan empat orang yang tadi berdiri di depan pintu langsung menoleh saat mendengar tanya dari mulut Darren. Mereka hanya menatap sekilas Darren dan Eleanor sebelum kembali menatap pintu di depannya.Sementara itu, Darren mendengkus kesal karena pertanyaannya belum mendapat jawaban. Dia memejamkan mata sejenak untuk meredam amarah yang telah membuncah. Di saat bersamaan, Eleanor mendekat dan mengusap lembut lengan suaminya.“Sebaiknya kita tunggu saja, mungkin belum ada kabar dari dokternya, Sayang.”Spontan Alden menoleh saat mendengar kata terakhir yang diucapkan Eleanor. Dia mendengkus kesal sebelum kembali mengalihkan tatapan. Selanjutnya, henin
Sepeninggal Darren, orang yang tadi masuk kembali ke kamar. Kakek William hanya tersenyum tipis sambil menatapnya lekat. “Masih penasaran kenapa aku memberinya kunci itu, kan?” Kakek William kembali tersenyum sebelum merebah, tetapi tatapannya masih terpaku kepada orang yang berdiri di samping ranjang. “Dia juga ahli warisku, jika kamu lupa.” “Apa Papa juga lupa skandal tentang keluarganya?” Kakek William menggeleng sebelum tersenyum tipis dan menatap langit-langit kamarnya. “Aku yakin semua berita itu bohong. Mereka sengaja dihasut agar mudah disingkirkan. Sayangnya, aku tidak tidur dan masih mencari kebenaran untuk mereka sampai sekarang.” “Terserah Papa saja. Aku sudah memberikan kebenaran, tetapi Papa masih saja ragu. Jika nanti ada apa-apa, aku tidak akan membantu.” Kakek William terkekeh sebelum miring ke arah tembok dan membelakangi Roni. “Jika sudah tidak ada yang mau kamu katakan lagi, pergilah! Aku mau tidur.” Roni mendengkus kesal sebelum memutar tumit dan
“Akhirnya kamu sadar juga, Agatha.” Kalimat itulah yang pertama kali didengar Agatha begitu membuka mata. Dia beringsut duduk dan mengedarkan pandangan begitu melihat sedang berada di ruangan yang asing baginya. “Saya di mana?” tanyanya sambil memegang pelipis karena sedikit nyeri. “Mana Alden?” “Kamu ada di kamar tempat saya menginap, Agatha. Alden dan lainnya sedang menunggu di luar.” Wanita yang diketahui sebagai istri Pak Hendra dan sejak tadi duduk di tepi ranjang menemani Agatha segera menyerahkan gelas berisi air kepadanya. “Lebih baik kamu minum dulu, Agatha. Atau mau saya panggilkan dokter supaya kamu diperiksa?” “Tidak usah, Bu. Saya sudah lebih baik.” Agatha menerima gelas berisi air dan segera meneguknya hingga tersisa separuh. “Saya mau pulang saja, soalnya kepala saya sedikit pusing.” Agatha meletakkan gelas ke nakas sebelum berusaha untuk bangkit sambil dibantu istri Pak Hendra. Lalu, beranjak keluar kamar dan melihat beberapa pria sedang duduk melingkar t
Agatha menelan ludah dengan susah payah sebelum mengengguk lemah di hadapan Alden. Lalu, menatap pria itu menjauh hingga keluar dari kamar. Setelahnya, wanita itu menggeram kesal sambil memukul ranjang.“Aku harus lakukan sesuatu.”Usai keluar kamar, Alden berlalu menuju ruang kerja sang ayah. Namun, langkahnya terhenti saat seseorang memegang bahunya. Dia menoleh dan melihat sang ayah yang sedang membawa secangkir kopi.“Satu jam lagi ikut Papa, Alden.”“Ke mana, Pa? Alden capek.”“Papa ada undangan anniversary wedding salah satu rekanan bisnis Wijaya Grup. Kamu harus ikut, jangan lupa ajak Agatha.”“Tapi, Pa ....”Roni segera berlalu sambil melambaikan tangan. Sementara, Alden mendengkus kesal sebelum kembali berlalu menuju kamar. Dia langsung mendekati ranjang begitu mengetahui Agatha sedang berbaring sambil memainkan ponsel.“Bersiaplah, Agatha. Satu jam lagi Papa mengajakmu menghadiri anniversary wedding salah satu rekanan bisnisnya.”Agatha segera duduk dan mengerjap pe
“Belum saatnya, Kek. Tolong sabar sebentar lagi.”Kakek William manggut-manggut sambil menghela napas panjang. Pria tua itu menyandarkan punggung dan menatap langit-langit ruangan. Mata tuanya tampak lelah dan menahan sakit.“Sebelum kamu kembali, Kakek takut tidak ada umur lagi, Darren.”“Jangan bilang begitu, Kek. Aku yakin Kakek pasti panjang umur.”Kakek William kembali menghela napas panjang sebelum menegakkan punggung, kemudian kembali menyesap teh hingga tandas dan bangkit dari duduk. Dia menepuk bahu kanan sang cucu sambil mengulas senyum tipis sebelum memutar tumit. Namun, saat hendak melangkah, tubuh pria tua itu oleng dan hampir saja terjatuh jika Darren tak menangkapnya.“Sakit Kakek kambuh lagi?” tanya Darren sambil memapah sang kakek untuk kembali duduk di kursi. “Biar aku telepon Dokter Cipta.”“Kakek tidak apa-apa, Darren.” Kakek William memegang lengan Darren bermaksud untuk mencegahnya menelepon dokter keluarga. “Kakek hanya butuh istirahat saja.”Darren mengh
Kedua pria itu saling berjabat tangan sebelum salah satunya pergi meninggalkan tempat, sedangkan pria yang masih di sana tampak tersenyum penuh arti sambil menatap ke depan. Tak lama ponselnya berdering nyaring. Dia bergegas menjawab panggilan setelah melihat nama yang tertera di layar.“Iya, Pa? Baik, aku ke sana sekarang.”Alden bergegas bangkit dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan tempat menuju gedung Wijaya Grup yang letaknya hanya terpisah oleh dua bangunan. Setibanya di ruang kerjanya, Alden melihat Roni dan Kakek William sudah duduk di sofa. Tampak jelas raut penuh kekesalan terpancar di wajah keduanya. Dengan ragu, Alden mendekat dan duduk di depan kedua pria beda generasi itu.“Dari mana kamu? Bisa-bisanya keluar pada saat jam kerja. Mau memberi contoh buruk pada karyawanmu, hah!” sembur Roni begitu melihat Alden duduk di depannya. Pria paruh baya itu menghela napas panjang sebelum melemparkan setumpuk berkas ke meja. “Kamu mau bikin kita rugi, Alden? Apa-apaan itu, semu