Siang yang terik mendadak berubah gelap saat kelabu datang membawa rinai hujan. Tetes air yang jatuh membasahi bumi seolah-olah menemani langkah beberapa orang yang dirundung pilu. Pakaian serba hitam yang mereka pakai sebagai pertanda bahwa ada seseorang yang sedang berpulang. Dan di antara orang-orang itu ada sosok Darren yang berjalan sambil menggenggam erat jemari Eleanor. Tak dapat dipungkiri kepergian Kakek William menyisakan kesedihan yang mendalam. Keadaan yang sempat stabil membuat semua orang beranggapan bahwa pria tua itu pasti akan sembuh. Sayangnya, takdir berkata lain. Tepat satu jam usai matahari menyingsing, Kakek William kembali anfal hingga dinyatakan meninggal dunia. Kepergian yang begitu mendadak membuat keluarga besar Wijaya berkabung. Sosok panutan yang tegas dan berwibawa meskipun sudah dimakan usia itu akhirnya menyerah pada takdir-Nya. Tak pelak isak tangis ikut mengiringi tubuh tak bernyawa milik Kakek William menuju tempat peristirahatan terakhirnya.
Darren masih terjaga saat jam dinding menunjuk ke angka dua. Pikirannya menerawang jauh kala kejadian tadi kembali mengusik. Dia menoleh dan mendapati Eleanor sudah terpejam sambil memeluknya erat. Pria itu tersenyum tipis sambil membetulkan selimut yang menutupi tubuh sang istri sebelum turun dari ranjang. Dia duduk sejenak di tepi ranjang sebelum memutuskan untuk keluar kamar.Darren melangkah menuju halaman belakang dan berhenti untuk menatap langit malam yang penuh bintang. Dia menghela napas panjang sebelum kembali melangkah menuju ruang olah raga. Lalu, menyalakan lampu dan kembali melangkah menuju samsak dan melayangkan pukulan keras.Darren memejamkan mata sejenak sebelum menatap nyalang benda di depannya. Lalu, sekuat tenaga dia kembali melayangkan pukulan berulang kali. Satu jam berselang, pria itu duduk melantai sambil mengatur napas yang sempat terengah-engah. Lalu, menunduk dalam sehingga keringat yang membanjiri dahi menetes ke lantai.“Tidak bisa tidur?” tanya seseor
“Aku mau pernikahan ini dibatalkan!” Suara lantang Eleanor langsung menarik perhatian semua anggota keluarga, pun dengan tamu yang hadir di sebuah gedung resepsi. Ya, hari itu rencananya Eleanor akan menikah dengan Alden, pria yang telah berpacaran dengannya selama lima tahun. “Jangan bercanda kamu, El. Kamu akan menikah sebentar lagi.” Suara tegas dan berwibawa milik seorang pria paruh baya bernama William itu terdengar memenuhi ruangan. “Aku tidak bercanda, Kek. Aku serius akan membatalkan pernikahan ini karena ....” Eleanor menarik napas berat sebelum menatap calon suami yang duduk di sampingnya. “Karena Alden telah menghamili Agatha.” “Elea, a-apa maksud kamu?” tanya Alden tergagap. Wajahnya seketika memucat. Alden langsung menatap Agatha yang tengah menyunggingkan seringai tipis di sebelah ibunya. Kakek William yang sedang duduk langsung berdiri dan menatap Eleanor dengan tatapan tidak senang. “Hari ini adalah hari baik, Elea. Bagaimana bisa kamu bercanda dengan memb
Siapa yang tak mengenal Darren di kota Malima ini? Pria itu adalah sosok anomali yang selalu dianggap sebagai aib bagi keluarga Wijaya. Sebab sepeninggal ayah dan ibunya yang merupakan pewaris utama, Kakek William melewatkan Darren sebagai pewaris selanjutnya. Dia langsung memberikan perusahaan kepada orang tua Alden. Padahal usia Darren saat itu sudah cukup untuk memimpin perusahaan. Tindakan itu memunculkan rumor kalau Darren adalah sosok yang tak berguna dan tak memiliki kemampuan berbisnis. Bahkan ada rumor lain yang mengatakan kalau Darren adalah sosok yang buruk rupa dan mengerikan sehingga tak pernah memunculkan dirinya pada siapa pun. Bahkan kepada sesama anggota keluarga Wijaya. Membayangkan itu saja membuat Eleanor merinding. “Elea?” Eleanor tergagap mendengar namanya disebut. Dia menoleh ke arah Kakek William dan menatapnya penuh tanya. Apa sebenarnya maksud pria paruh baya itu menikahkannya dengan Darren. Apakah Kakek William hendak menjerumuskannya ke dalam pelu
Eleanor menghela napas berat sebelum mengangguk, lalu berjalan beriringan keluar ruangan. Sepanjang koridor menuju pelaminan, jantung wanita itu tak pernah berhenti berdegup kencang. Kedua tangannya sedingin es dan berkeringat. Bayangan tentang wajah Darren terus saja berkelebat di kepala. “Tenang saja, Elea. Semua pasti baik-baik saja.” Eleanor mencoba mengulas senyum. Namun, bibirnya terasa sangat kaku, bahkan kakinya bergetar pelan saat pelaminan sudah tampak di depan mata. Dia berhenti sejenak kala melihat sosok pria yang mengenakan baju pengantin berwarna putih duduk membelakanginya. Eleanor menelan ludah yang terasa pahit saat melewati tenggorokan. Jika dilihat dari belakang, Darren adalah pria yang gagah. Tubuhnya tampak proporsional. Namun, Eleanor langsung menggeleng ketika mengingat julukan yang diberikan untuk pria itu, si buruk rupa. Wanita yang memakai kebaya berwarna putih dengan bagian belakang yang menjuntai menyapu lantai itu mengalihkan tatapannya kepada sang
Eleanor segera berbalik dan tergemap melihat wajah dan sebagian rambut Agatha basah. Namun, belum sempat bertanya apa yang terjadi, suara bariton milik Darren terdengar. “Kelakuanmu tak ubahnya seperti rubah, sangat licik. Jika berani hadapi dari depan.” Dengan susah payah, Eleanor berusaha menelan ludah yang terasa kelat melewati tenggorokan saat mendengar nada dingin dan tajam milik Darren. Sedikit banyak dia tahu apa yang hendak dilakukan Agatha kepadanya. Lalu, tatapannya tertuju kepada sang suami yang berdiri tak jauh darinya. Mereka berserobok sesaat sebelum Darren memilih untuk berlalu. “Sialan! Awas saja kamu, Darren!” seru Agatha sambil mengentakkan kaki. Dia segera berlalu sambil menarik tangan ibunya. Eleanor mengedikkan bahu dan kembali menikmati kudapan di tangannya. Tanpa dia sadari ada seseorang di samping gedung yang menatap sejak tadi. Orang itu mengepalkan tangan sambil menggeram kesal. Lalu, pergi meninggalkan tempat dengan memendam amarah. Tiga jam yang melelah
Eleanor memukul kepalanya ketika mengingat pertanyaan konyol yang meluncur dari mulutnya. “Bodoh! Kenapa juga ini mulut enggak bisa direm!” rutuk Eleanor sambil memukul mulutnya. “Untung saja tadi ada telepon, jadi aku bisa langsung kabur. Coba kalau enggak?” Eleanor merebah dan menatap langit-langit kamarnya. Kamar dengan cat dinding berwarna putih itu tampaknya lega karena hanya ada ranjang, lemari serta kursi yang terletak di sudut. Jendela berukuran besar pun menambah kesan luas, sehingga cahaya matahari masuk dengan leluasa. Wanita itu segera bangkit dan berjalan menuju pintu kaca yang mengarah ke balkon. Dia menghirup udara sore hari sambil tersenyum lebar. Lalu, berjalan keluar dan bersandar di pagar besi. Dia mengedarkan pandangan, kemudian tatapannya tertuju pada kolam renang yang berada tepat di bawah. Eleanor berbalik dan berjalan keluar kamar. Bosan yang melanda membawa langkahnya menjelajahi seisi rumah. Dia turun ke lantai satu dan berjalan menuju dapur. Tangannya me
Eleanor bergegas mendekati Agatha dan Helena yang berdiri tak jauh dari sumber api. Dia menatap tumpukan barang yang telah terbakar api sebelum kembali menatap kedua wanita di depannya.“Kenapa kalian bakar semua barangku? Bukankah aku bilang kalau akan mengambilnya.”“Kalau dipikir-pikir mendingan dibakar saja. Lagipula buat apa kamu ributin barang rombeng itu. Masa suami kamu tidak bisa belikan yang baru?” Helena tertawa mengejek saat kembali memasukkan satu helai baju ke dalam kobaran api.Eleanor mematung dengan kedua mata memerah menahan tangis. Kedua tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia menggeram kesal sebelum akhirnya menyambar buku yang hendak diambil Helena.“Setidaknya semua barang rombeng ini hasil keringatku sendiri, bukan karena merengek kepada Ayah.”“Jaga mulut kamu, Elea!” pekik Helena sambil memelotot. Wajahnya merah padam karena menahan amarah. “Mulai berani kamu, hah!”“Memang benar apa yang aku bilang, kan?”“Kita kasih dia pelajaran saja,
Darren masih terjaga saat jam dinding menunjuk ke angka dua. Pikirannya menerawang jauh kala kejadian tadi kembali mengusik. Dia menoleh dan mendapati Eleanor sudah terpejam sambil memeluknya erat. Pria itu tersenyum tipis sambil membetulkan selimut yang menutupi tubuh sang istri sebelum turun dari ranjang. Dia duduk sejenak di tepi ranjang sebelum memutuskan untuk keluar kamar.Darren melangkah menuju halaman belakang dan berhenti untuk menatap langit malam yang penuh bintang. Dia menghela napas panjang sebelum kembali melangkah menuju ruang olah raga. Lalu, menyalakan lampu dan kembali melangkah menuju samsak dan melayangkan pukulan keras.Darren memejamkan mata sejenak sebelum menatap nyalang benda di depannya. Lalu, sekuat tenaga dia kembali melayangkan pukulan berulang kali. Satu jam berselang, pria itu duduk melantai sambil mengatur napas yang sempat terengah-engah. Lalu, menunduk dalam sehingga keringat yang membanjiri dahi menetes ke lantai.“Tidak bisa tidur?” tanya seseor
Siang yang terik mendadak berubah gelap saat kelabu datang membawa rinai hujan. Tetes air yang jatuh membasahi bumi seolah-olah menemani langkah beberapa orang yang dirundung pilu. Pakaian serba hitam yang mereka pakai sebagai pertanda bahwa ada seseorang yang sedang berpulang. Dan di antara orang-orang itu ada sosok Darren yang berjalan sambil menggenggam erat jemari Eleanor. Tak dapat dipungkiri kepergian Kakek William menyisakan kesedihan yang mendalam. Keadaan yang sempat stabil membuat semua orang beranggapan bahwa pria tua itu pasti akan sembuh. Sayangnya, takdir berkata lain. Tepat satu jam usai matahari menyingsing, Kakek William kembali anfal hingga dinyatakan meninggal dunia. Kepergian yang begitu mendadak membuat keluarga besar Wijaya berkabung. Sosok panutan yang tegas dan berwibawa meskipun sudah dimakan usia itu akhirnya menyerah pada takdir-Nya. Tak pelak isak tangis ikut mengiringi tubuh tak bernyawa milik Kakek William menuju tempat peristirahatan terakhirnya.
Mentari kembali duduk di singgasana setelah menggantikan rembulan. Sinarnya mampu menghangatkan jiwa-jiwa yang dingin karena sapuan angin malam. Namun, semua itu tak berlaku bagi Eleanor yang menatap dingin sang suami usai terjaga dari tidurnya. Tiga kalimat yang diucapkan Darren dalam tidurnya sukses membuatnya kepikiran. Dia menghela napas panjang sesaat sebelum turun dari ranjang dan beranjak ke kamar mandi untuk membasuh wajah. Saat menatap pantulan dirinya di cermin yang tergantung di atas wastafel, sepasang tangan kekar milik Darren memeluknya dari belakang. “Pagi, Sayang. Kamu selalu terlihat cantik setiap bangun tidur.” Darren berusaha menyematkan kecupan di tengkuk sang istri. Jika biasanya Eleanor akan merinding sambil tersipu malu, tetapi pagi itu berbeda. Wanitanya menghindar dan segera melepaskan tangan Darren dari perutnya. “Kamu masih marah, Sayang?” Eleanor enggan menjawab dan memilih keluar dari kamar mandi. Namun, Darren yang sudah diperam kelesah segera meny
Darren langsung mengempaskan kasar tubuhnya di sofa begitu sampai di rumah. Dia menyandarkan punggung dan menengadah. Dalam temaramnya sorot lampu taman di halaman depan, dia kembali merasakan kesepian. Lalu, satu helaan napas panjang terdengar dari mulutnya.Darren memejamkan mata sejenak dan membawa ingatannya kepada kejadian beberapa jam sebelumnya. Di mana kondisi sang kakek yang dinyatakan koma setelah kembali mengalami serangan jantung. Dia ingin masuk dan menemui sang kakek, tetapi Roni sengaja mencegahnya.“Kamu tidak ada urusannya lagi di sini, Darren. Lagipula Kakek belum tentu ingin dijenguk olehmu.”Darren hanya bisa menggeram kesal sambil mengepalkan tangan mendapat penolakan dari sang paman. Dia hendak melawan, tetapi dua orang penjaga sengaja disewa oleh Roni untuk menjaga ruang ICU di mana Kakek William dirawat.“Kalian ingat wajahnya! Jangan sampai dia menerobos masuk ke dalam!”Darren kembali mendengkus kesal sebelum menatap lekat Kakek William yang masih terpej
“Pak Kevin? Ah, senang bertemu dengan Anda lagi. Ada keluarga yang sakit atau Bapak yang sakit?” tanya Alden sambil mengulurkan tangan kepada Kevin.“Saya sehat, Pak.” Kevin menjabat tangan Alden sebelum melanjutkan ucapannya. “Saya hanya mengambil rekam medis milik Pak Hendra sekalian jalan ke kantor, Pak. Bapak sendiri?”Alden tersenyum canggung sebelum beranjak ke bangku dan mengempaskan bobot tubuhnya di sana. Sementara, Kevin mengikuti dan ikut duduk di samping Alden.“Kakek saya tadi pagi kena serangan jantung, Pak. Dia pingsan dan kami bawa ke sini. Beruntungnya Kakek masih bisa ditolong, meskipun sekarang masih ada di ruang ICU.”“Oh, saya ikut bersedih mendengarnya, Pak. Semoga kakek bapak segera pulih.”Alden manggut-manggut sambil mengaminkan ucapan Kevin. Lalu, bungkam sejenak sebelum kembali membuka mulut. “Saya dengar Bapak buka perusahaan baru, ya? Saya ucapkan selamat, Pak.”“Terima kasih, Pak Alden. Semua juga atas dukungan dari Pak Hendra, bahkan beliau juga me
Derap langkah terdengar memenuhi lorong kala Darren dan Eleanor berjalan tergesa sambil mengedarkan pandangan mencari ruangan yang dituju. Setelah sepuluh menit mencari akhirnya mereka menemukannya. Lima meter sebelum tiba, tampak dua pria dan dua wanita sedang berdiri sambil menatap pintu kaca di depannya.“Bagaimana keadaan Kakek?”Spontan empat orang yang tadi berdiri di depan pintu langsung menoleh saat mendengar tanya dari mulut Darren. Mereka hanya menatap sekilas Darren dan Eleanor sebelum kembali menatap pintu di depannya.Sementara itu, Darren mendengkus kesal karena pertanyaannya belum mendapat jawaban. Dia memejamkan mata sejenak untuk meredam amarah yang telah membuncah. Di saat bersamaan, Eleanor mendekat dan mengusap lembut lengan suaminya.“Sebaiknya kita tunggu saja, mungkin belum ada kabar dari dokternya, Sayang.”Spontan Alden menoleh saat mendengar kata terakhir yang diucapkan Eleanor. Dia mendengkus kesal sebelum kembali mengalihkan tatapan. Selanjutnya, henin
Sepeninggal Darren, orang yang tadi masuk kembali ke kamar. Kakek William hanya tersenyum tipis sambil menatapnya lekat. “Masih penasaran kenapa aku memberinya kunci itu, kan?” Kakek William kembali tersenyum sebelum merebah, tetapi tatapannya masih terpaku kepada orang yang berdiri di samping ranjang. “Dia juga ahli warisku, jika kamu lupa.” “Apa Papa juga lupa skandal tentang keluarganya?” Kakek William menggeleng sebelum tersenyum tipis dan menatap langit-langit kamarnya. “Aku yakin semua berita itu bohong. Mereka sengaja dihasut agar mudah disingkirkan. Sayangnya, aku tidak tidur dan masih mencari kebenaran untuk mereka sampai sekarang.” “Terserah Papa saja. Aku sudah memberikan kebenaran, tetapi Papa masih saja ragu. Jika nanti ada apa-apa, aku tidak akan membantu.” Kakek William terkekeh sebelum miring ke arah tembok dan membelakangi Roni. “Jika sudah tidak ada yang mau kamu katakan lagi, pergilah! Aku mau tidur.” Roni mendengkus kesal sebelum memutar tumit dan
“Akhirnya kamu sadar juga, Agatha.” Kalimat itulah yang pertama kali didengar Agatha begitu membuka mata. Dia beringsut duduk dan mengedarkan pandangan begitu melihat sedang berada di ruangan yang asing baginya. “Saya di mana?” tanyanya sambil memegang pelipis karena sedikit nyeri. “Mana Alden?” “Kamu ada di kamar tempat saya menginap, Agatha. Alden dan lainnya sedang menunggu di luar.” Wanita yang diketahui sebagai istri Pak Hendra dan sejak tadi duduk di tepi ranjang menemani Agatha segera menyerahkan gelas berisi air kepadanya. “Lebih baik kamu minum dulu, Agatha. Atau mau saya panggilkan dokter supaya kamu diperiksa?” “Tidak usah, Bu. Saya sudah lebih baik.” Agatha menerima gelas berisi air dan segera meneguknya hingga tersisa separuh. “Saya mau pulang saja, soalnya kepala saya sedikit pusing.” Agatha meletakkan gelas ke nakas sebelum berusaha untuk bangkit sambil dibantu istri Pak Hendra. Lalu, beranjak keluar kamar dan melihat beberapa pria sedang duduk melingkar t
Agatha menelan ludah dengan susah payah sebelum mengengguk lemah di hadapan Alden. Lalu, menatap pria itu menjauh hingga keluar dari kamar. Setelahnya, wanita itu menggeram kesal sambil memukul ranjang.“Aku harus lakukan sesuatu.”Usai keluar kamar, Alden berlalu menuju ruang kerja sang ayah. Namun, langkahnya terhenti saat seseorang memegang bahunya. Dia menoleh dan melihat sang ayah yang sedang membawa secangkir kopi.“Satu jam lagi ikut Papa, Alden.”“Ke mana, Pa? Alden capek.”“Papa ada undangan anniversary wedding salah satu rekanan bisnis Wijaya Grup. Kamu harus ikut, jangan lupa ajak Agatha.”“Tapi, Pa ....”Roni segera berlalu sambil melambaikan tangan. Sementara, Alden mendengkus kesal sebelum kembali berlalu menuju kamar. Dia langsung mendekati ranjang begitu mengetahui Agatha sedang berbaring sambil memainkan ponsel.“Bersiaplah, Agatha. Satu jam lagi Papa mengajakmu menghadiri anniversary wedding salah satu rekanan bisnisnya.”Agatha segera duduk dan mengerjap pe