Eleanor memukul kepalanya ketika mengingat pertanyaan konyol yang meluncur dari mulutnya.
“Bodoh! Kenapa juga ini mulut enggak bisa direm!” rutuk Eleanor sambil memukul mulutnya. “Untung saja tadi ada telepon, jadi aku bisa langsung kabur. Coba kalau enggak?” Eleanor merebah dan menatap langit-langit kamarnya. Kamar dengan cat dinding berwarna putih itu tampaknya lega karena hanya ada ranjang, lemari serta kursi yang terletak di sudut. Jendela berukuran besar pun menambah kesan luas, sehingga cahaya matahari masuk dengan leluasa. Wanita itu segera bangkit dan berjalan menuju pintu kaca yang mengarah ke balkon. Dia menghirup udara sore hari sambil tersenyum lebar. Lalu, berjalan keluar dan bersandar di pagar besi. Dia mengedarkan pandangan, kemudian tatapannya tertuju pada kolam renang yang berada tepat di bawah. Eleanor berbalik dan berjalan keluar kamar. Bosan yang melanda membawa langkahnya menjelajahi seisi rumah. Dia turun ke lantai satu dan berjalan menuju dapur. Tangannya mengusap meja dapur yang terbuat dari marmer sambil tersenyum lebar. Lalu, tatapannya berhenti pada oven yang menyatu dengan kompor dengan empat tungku. Puas menjelajahi dapur, Eleanor berjalan keluar dan mendapati kolam renang yang dilihatnya dari kamar tadi. Dia duduk di tepi kolam dan mencelupkan tangan kanannya, kemudian bermain air sesaat. Kini langkahnya kembali menyusuri ruangan yang terletak di samping kolam. Ruangan itu terpisah dari rumah utama. Karena penasaran, Eleanor masuk dan menjelajahi ruangan itu sambil tersenyum. Lalu, tatapannya mengarah kepada satu pintu yang terletak di sudut kiri ruangan. Dia berjalan ke sana dan membukanya. Tampak beberapa alat untuk latihan bela diri tersusun rapi di rak. Eleanor hendak berbalik ketika tanpa sengaja kakinya tersandung sesuatu. Dia menunduk dan menemukan satu bagian lantai yang sedikit terbuka. Tangannya sudah terulur hendak memeriksanya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” “Astaga!” Eleanor segera mundur selangkah saat melihat Darren mendadak muncul sambil melayangkan tatapan tajam. “Ma-maaf, aku cuma penasaran ruangan apa ini.” “Pergilah! Tidak ada yang menarik di sini.” Eleanor mengangguk sebelum berjalan tergesa-gesa meninggalkan ruangan. Namun, langkahnya terhenti kala teringat sesuatu. “Ehm, mau makan apa untuk malam ini? Aku akan memasaknya untukmu.” “Apa saja, pasti akan aku makan.” Eleanor kembali mengangguk sebelum berlari menuju dapur. Sesampainya di sana, dia mengatur napas yang sempat tersengal sebelum membuka lemari pendingin. Lalu, mengamati bahan apa saja yang ada sebelum mengambil beberapa. Beruntungnya selama tinggal di rumah sang ayah, dia sudah terbiasa dengan segala pekerjaan rumah termasuk memasak. Helena sebagai seorang ratu di rumah justru selalu menyuruh Eleanor. Sejak membuka mata hingga hampir terpejam ada saja perintah yang harus dikerjakan. Karena itulah Eleanor tidak kaget saat harus melayani suaminya. Melihat bahan yang ada, Eleanor akan memasak steik daging, kentang tumbuk, salad sayur dan buah. Dengan cekatan, dia mulai memasak sambil bersenandung kecil. Hal yang selalu dilakukannya. Tiga puluh menit kemudian, masakannya sudah tersaji di meja. Dia tersenyum puas sebelum berlari ke ruangan tadi dan mendapati Darren sedang duduk sambil meneguk air dalam botol. Wajah, tubuh, dan rambut pria itu basah oleh keringat. Untuk sesaat, Eleanor membeku di tempat. Namun, dia segera menggeleng lemah setelah ingat tujuannya menemui Darren. “Ehm, makan malam sudah siap. Mau makan sekarang?” Darren menoleh sekilas sebelum kembali meneguk air dalam botol hingga tandas. Lalu, bangkit dan berjalan menuju dapur. Dia menatap meja makan sesaat dan memilih berjalan menuju tangga. “Aku harus mandi. Tunggu lima belas menit lagi.” Eleanor mengangguk dan menatap Darren menaiki satu per satu anak tangga hingga hilang di balik pintu kamarnya. Dia menghela napas berat sebelum mengendus sesuatu. “Astaga, aku juga belum mandi.” Secepatnya, dia berlari menaiki tangga menuju kamar. Lalu, mandi dan berpakaian sebelum kembali turun ke dapur untuk menghangatkan makanan. Tepat saat itulah Darren terlihat duduk di meja makan. “Semoga suka. Maaf kalau ada yang kurang.” Darren menghela napas panjang sebelum memotong daging steik dan memasukkannya ke mulut. Dia mengunyah perlahan sebelum melanjutkan makan hingga selesai. Lalu, mengelap mulut dan bangkit dari duduk. Sementara, Eleanor memelongo karena tidak ada kata yang terucap selama sesi makan malam itu. Dia bahkan tak mendapatkan sepatah kata dari suaminya. “Ehm, apa kamu suka makanannya?” Darren yang hendak melangkah, berhenti sejenak. Dia menatap piring yang telah kosong sebelum menatap Eleanor. Lalu, mengangguk sebagai jawaban sebelum kembali melangkah menaiki tangga menuju ruang kerjanya. “Hanya begitu saja?” tanya Eleanor pada dirinya sendiri. Lalu, menatap piring kosong yang telah ditinggalkan Darren sebelum melanjutkan makannya. Usai membereskan meja makan, Eleanor beranjak ke ruang keluarga dan hendak menyalakan televisi. Namun, ponsel yang ada dalam saku celananya seketika berdering. Dia langsung merogoh saku celana dan melihat siapa yang menelepon. Senyumnya tersumir kala membaca nama Danu yang tertera di sana. “Halo, Yah.” Eleanor langsung menyapa begitu menjawab panggilan. “Heh, kapan mau ambil semua barang kamu? Kalau kelamaan, nanti aku buang. Soalnya kamar kamu mau dijadiin gudang sama Mama.” Eleanor terkejut saat mendengar suara Agatha di ujung telepon. Senyum yang sejak tadi mengembang perlahan pudar. “Besok pagi aku ambil semuanya. Tolong jangan dibuang dulu, ya?” “Aku enggak janji.” Telepon terputus. Eleanor menggeram kesal hingga menggenggam erat ponsel yang masih ada di telinganya. Dia kembali menekan kontak sang ayah, tetapi kali ini panggilannya ditolak. Tak hilang akal, Eleanor mencari kontak Agatha dan melakukan panggilan. Namun, kembali kecewa yang didapat karena Agatha mematikan ponselnya. Eleanor berjalan mondar-mandir sambil menggigit kuku karena khawatir berlebihan. Dia takut semua barangnya benar-benar akan dibuang Helena. Padahal masih ada beberapa foto sang ibu yang tersimpan rapi di salah satu buku kuliahnya. Berulang kali Eleanor menatap jam dinding dan pintu ruang kerja Darren. Ingin rasanya mengetuk pintu itu dan memohon izin agar bisa pulang malam ini. Namun, apa kata tetangga jika tahu hal itu dilakukannya. “Masa iya pengantin baru malah keluyuran, bukannya malam pengantin di kamar.” Eleanor mengacak-acak rambut karena frustasi. Lalu, menghempaskan bobot tubuhnya di sofa sambil menghela napas berat. “Biar besok pagi saja aku pulang. Lagipula sudah terlalu malam sekarang.” Eleanor hendak beranjak saat mendengar langkah kaki menuruni tangga. Dia mendongak dan berserobok dengan Darren. “Butuh sesuatu?” “Aku mau kopi tanpa gula.” “Biar aku buatkan. Tunggu saja di sana, nanti aku antarkan.” Eleanor mengulas senyum di akhir kalimat, tetapi hanya tatapan dingin yang didapatnya. Begitu Darren berbalik ke ruang kerja, wanita itu segera ke dapur dan membuat kopi hitam sebelum mengantarkannya ke atas. Usai mengetuk pintu dan dipersilakan, Eleanor masuk sambil membawa nampan berisi secangkir kopi hitam. Lalu, meletakkannya di meja dan berdiri di dekat sofa. Melihat itu, Darren melayangkan tatapan penuh tanya. “Ada yang mau kamu bicarakan?” Eleanor mengangguk sebelum maju selangkah. Dia mendekap erat nampan di depan dada sambil menatap sang suami. “Ehm, bolehkah besok pagi aku pulang ke rumah? Ada beberapa barang yang harus aku ambil.” Darren mengernyit sesaat sebelum mengangguk. Melihat itu, Eleanor tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Lalu, pergi meninggalkan ruangan menuju kamarnya. Lega, dia akhirnya bisa tertidur lelap malam itu. Keesokan harinya, Eleanor bergegas membuat sarapan usai bangun tidur. Dengan telaten, wanita itu mengambilkan nasi dan lauk sebelum menyerahkannya kepada sang suami. Lalu, makan dalam diam hingga selesai. Setelah membereskan meja makan, Eleanor menyambar tas dan tergesa-gesa keluar rumah. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Darren sudah menunggunya di dalam mobil. “Cepat naik! Aku antar sampai rumah.” Eleanor tersenyum dan memasuki mobil. “Terima kasih. Sebenarnya tidak usah diantar tidak apa-apa. Aku takut kamu sibuk, jadi ....” “Pasang sabukmu! Aku tidak mau kena pelanggaran nantinya.” Eleanor segera menuruti perintah Darren, kemudian duduk sambil menatap ke depan. Sepanjang perjalanan tak ada yang membuka mulut hingga akhirnya sampai di depan rumah bercat hijau muda. Wanita itu segera turun dari mobil, tetapi tatapannya langsung tertuju ke halaman belakang rumah. Asap hitam tampak membumbung tinggi. Dilanda kepanikan, Eleanor setengah berlari menuju halaman belakang. Lalu, tatapannya tertuju kepada Agatha dan Helena yang tertawa sambil menenteng sesuatu. “Apa yang kalian lakukan!”Eleanor bergegas mendekati Agatha dan Helena yang berdiri tak jauh dari sumber api. Dia menatap tumpukan barang yang telah terbakar api sebelum kembali menatap kedua wanita di depannya.“Kenapa kalian bakar semua barangku? Bukankah aku bilang kalau akan mengambilnya.”“Kalau dipikir-pikir mendingan dibakar saja. Lagipula buat apa kamu ributin barang rombeng itu. Masa suami kamu tidak bisa belikan yang baru?” Helena tertawa mengejek saat kembali memasukkan satu helai baju ke dalam kobaran api.Eleanor mematung dengan kedua mata memerah menahan tangis. Kedua tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia menggeram kesal sebelum akhirnya menyambar buku yang hendak diambil Helena.“Setidaknya semua barang rombeng ini hasil keringatku sendiri, bukan karena merengek kepada Ayah.”“Jaga mulut kamu, Elea!” pekik Helena sambil memelotot. Wajahnya merah padam karena menahan amarah. “Mulai berani kamu, hah!”“Memang benar apa yang aku bilang, kan?”“Kita kasih dia pelajaran saja,
“Terima kasih.”Eleanor langsung memeluk Darren setelah mendapati foto sang ibu utuh kembali. Senyumnya mengembang karena bahagia. Namun, menyadari tindakannya salah, dia segera melerai pelukan.“Ma-maaf.” Eleanor kembali menyunggingkan senyum sambil menatap lekat foto di tangannya. Lalu, setetes bulir bening membasahi pipinya. Namun, dia segera menyekanya. “Sekali lagi terima kasih banyak. Tapi, bagaimana bisa?” Alih-alih menjawab, Darren justru melontarkan tanya. “Apa kamu senang?”“Iya, aku sangat senang sekali.” Eleanor menatap Darren sekalinlagi sebelum kembali ke foto di tangannya. “Semua foto ibu sudah dibuang sama Mama Helena. Untung saja aku berhasil menyembunyikan ini dan menyimpannya.”Eleanor menghela napas berat saat ingatannya kembali beberapa tahun sebelumnya. Helena yang dia anggap bisa memberikan kasih sayang sebagai sosok seorang ibu, justru memberikan beribu luka di hati. Semua sikapnya dianggap salah oleh ibunya Agatha itu. Tak terhitung lagi berapa banyak ka
“Setuju tidak setuju, kamu harus menikahi Agatha minggu depan!”Hanya kalimat itu yang masih terdengar saat Eleanor melewati pintu masuk. Dia berjalan beriringan dengan sang suami menuju ruang keluarga. Suasana menjadi hening saat melihatnya dan Darren tiba.Eleanor segera menyalami orang yang ada di sana satu per satu. Namun, hanya Agatha dan Alden yang menolak. Dia tak ambil pusing dan duduk di samping suaminya.“Kenapa Kakek memanggil kami?” tanya Darren langsung pada intinya.“Kakek cuma mau ajak kalian makan siang bersama saja. Sekalian ada yang mau Kakek bicarakan sama kamu, Darren. Kita ke ruang kerja Kakek sekarang.”Eleanor menatap sekilas sang suami sebelum mengangguk. Lalu, menatap punggung lelaki itu hingga hilang di balik pintu bercat hitam.“Bagaimana kabarmu, Elea? Maaf kalau Ayah belum bisa menjengukmu.”“Tidak apa-apa, Yah. Aku baik-baik saja.”Danu hendak bangkit dari duduk untuk mendekati Eleanor, tetapi Helena segera mencegahnya.“Duduk di sini saja, Pa. B
Darren kembali menutup pintu dan bergeming sesaat. Namun, bayangan tentang apa yang dilihat berhasil membuatnya mengumpat. Dia menghela napas berat sebelum mengetuk pintu.Eleanor berdiri di dekat ranjang dengan wajah kuyu. Rambutnya masih basah, bahkan bibirnya sedikit membiru karena kedinginan. Namun, wanita itu berusaha untuk menyunggingkan senyuman.“Ma-maaf, aku tadi kaget karena ada yang tiba-tiba masuk.”Darren hanya menatap sang istri, kemudian menelisiknya sebelum melempar tanya. “Apa kamu baik-baik saja?”“Iya, cuma agak sedikit kedinginan saja.”“Kita pulang sekarang.”Eleanor terkejut dengan ucapan suaminya. Dia ingin bertanya, tetapi pria itu kembali membuka suara. “Lupakan makan siangnya, kita pulang sekarang. Kakek sudah memberi izin.”Eleanor mengerti. Namun, dia terkejut saat melihat Darren berjalan mendekatinya. Dia segera mundur sampai menabrak lemari. Lalu, memejamkan mata ketika melihat sang suami makin mendekat dan mengulurkan tangannya.“Pakai ini! Aku l
Eleanor mengerjap saat mendengar suara alarm. Dia meraba untuk mencari ponsel dan mematikan alarmnya. Lalu, duduk dan meregangkan otot sejenak sebelum berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Senyumnya terkembang ketika berdiri sambil mematut diri di depan cermin. Pagi itu dia mengenakan gaun sebatas betis berwarna kuning pastel.Sambil bersenandung lirih, Eleanor menuruni tangga menuju dapur. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Darren ada di ruang olahraga. Dia segera memutar arah dan berjalan mengendap-endap sampai di sudut luar ruangan.Dalam ruangan berukuran sekitar enam puluh meter persegi itu, Darren sedang berlatih memukul samsak menggunakan sarung tinju. Peluh telah membanjiri wajah dan rambutnya. Bahkan baju bagian belakangnya basah kuyup oleh keringat.Eleanor tak melepaskan tatapannya dari sang suami hingga tanpa sadar senyum tipis tersumir di bibirnya. Namun, aksinya terhenti kala mendengar suara bel. Dia bergegas berlari ke depan untuk membukakan pintu.Wa
Eleanor mengulas senyum tipis untuk meredam sejenak gelebah dalam dada. Lalu, beranjak ke dapur untuk membuat sarapan. Meskipun hatinya merapuh, kewajiban menghidangkan makanan untuk sang suami tetap utama. Bagi wanita itu bentakan dan amarah yang datang dari Darren masih lebih baik dibanding saat Helena dan Agatha yang melakukannya. Kedua wanita yang telah mengambil seluruh hati sang ayah itu telah berhasil memporakpondakan kehidupannya. Namun, Eleanor terus berusaha untuk kuat dan tegar. Asalkan masih bisa tinggal dan hidup di rumah bersama Danu. Sepuluh menit berselang, Eleanor baru selesai membuat ayam panggang. Dia menatap pintu ruang kerja sang suami sebelum menghela napas berat. Lalu, kembali menyelesaikan masakan sebelum menatanya di nampan. Eleanor menarik napas panjang dan mengembuskannya berulang kali sebelum mengetuk pintu ruang kerja Darren. Lalu, membuka pintu dan masuk perlahan. Dia melirik sekilas sang suami yang fokus menatap kertas di tangannya sambil meletakkan
Eleanor tiba setelah hampir satu setengah jam terjebak di jalan karena macet. Bertepatan dengan itu, Danu keluar rumah bersama Helena. Melihat sang anak datang, pria yang memakai kemeja abu-abu itu tersenyum.Eleanor mempercepat langkah dan hendak menyalami sang ayah, tetapi Helena menghadang.“Bukankah kamu buru-buru, Pa? Ayo, jalan sekarang daripada nanti kejebak macet.”“Tapi, Ma. Elea baru saja datang. Lagipula masih ada sepuluh menit lagi, enggak apa-apa, kan?”Helena mendengkus kesal sebelum berlalu ke dalam rumah, sedangkan Danu menyambut kedatangan sang anak sambil tersenyum.“Ayah mau balik ke kantor? Maaf, kalau aku datang sekarang. Ada yang mau aku kasih ke Ayah.”“Enggak apa-apa, Elea. Kita masuk, ya?”Eleanor menggamit lengan sang ayah dan mengajaknya masuk. Lalu, duduk di ruang tamu. Wanita itu segera membuka kotak yang dibawa dan membukanya.“Selamat ulang tahun, Ayah. Semoga sehat selalu.”“Terima kasih, Elea. Seharusnya tidak perlu repot begini.”“Ini hanya
Eleanor segera berjalan ke lemari untuk mengambil gelas, kemudian mengisinya dengan air. Sementara, Darren bersikap biasa sambil merapikan kotak obat. Setelahnya, tatapan pria itu mengarah kepada sang tamubyang tak lain adalah Kakek William.“Ada perlu apa Kakek ke sini?”“Kenapa? Tak bolehkah Kakek mengunjungi cucunya?” tanya Kakek William balik sambil terkekeh saat melihat Eleanor salah tingkah di depan kompor. “Oh, apakah Kakek harus menghubungi dulu sebelum ke sini? Takutnya hal seperti tadi terjadi lagi?”Eleanor menunduk dalam sambil memejamkan mata mendengar celoteh Kakek William. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus sekarang. Berulang kali dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mengambil cangkir dan membuat teh hangat. Lalu, menghidangkannya kepada pria dengan rambut keperakan itu.“Terima kasih, Elea. Duduklah! Ada yang mau Kakek tanyakan padamu.”Eleanor menurut. Dia segera menarik kursi yang ada di samping sang suami sebelum mengempaskan bobo
Eleanor terkejut melihat kaca tempat foto yang terpajang di nakas pecah usai terjatuh karena ulahnya. Dia segera berjongkok dan berusaha untuk mengambil benda itu, tetapi tangannya langsung ditahan seseorang. Wanita itu langsung mendongak dan terkejut melihat sang suami.“Ma-maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Ini salahku, nanti akan aku ....”“Lupakan! Memangnya kamu mau ke mana lagi?”Darren menghela napas panjang sebelum mengangkat Eleanor dan membaringkannya ke ranjang. Lalu, mengambil foto tadi dan menaruhnya ke nakas sebelum keluar kamar dan kembali sambil membawa sapu. Tanpa bicara, pria itu membersihkan sisa pecahan kaca dan membawanya keluar.Sementara itu, Eleanor merasa sangat bersalah. Dia menatap hampa foto yang tergeletak asal di nakas sebelum menunduk sambil meremas jemarinya. Mendengar suara langkah mendekat, dia mendongak dan bersitatap dengan sang suami.“Aku minta maaf. Seharusnya aku tidak ....”“Aku bilang lupakan! Itu hanya sebuah foto, yang terpenting kam
“Aku juga tidak tahu. Aku ingat plat nomor mobilnya dan aku yakin itu adalah Alden. Tapi waktu aku mau mendekat, dia malah tancap gas.” Darren mendengkus kesal mendengar ucapan istrinya. Dia menggeretakkan gigi karena menahan amarah. Melihat itu, Eleanor segera mengusap lembut lengan suaminya. “Mungkin dia hanya iseng, jangan dimasukkan ke hati, ya?” Eleanor tersenyum manis, berusaha untuk meredam amarah suaminya. Lalu, saat menyadari tindakannya, dia segera menarik kembali tangannya. “Maaf, aku hanya spontan tadi.” Darren menghela napas panjang sebelum bangkit dari duduk. Namun, saat hendak berlalu, suara Eleanor berhasil menahannya. “Sarapan sudah siap. Sebaiknya segera makan sekarang sebelum dingin dan tidak enak lagi.” Darren mengangguk dan menunggu Eleanor bangkit dari duduk. Meskipun kesakitan, wanita itu tetap memaksakan diri untuk berjalan. Eleanor berjalan lebih dulu, sedangkan Darren di belakangnya sambil diam-diam mengamati. Saat tiba di meja makan, senyum
Agatha terjaga ketika ingin berkemih. Dia berusaha untuk bangun, tetapi tangan kekar seseorang melingkari perutnya. Dia menoleh dan mendapati Kevin masih tertidur pulas di sampingnya. Tangan wanita itu terulur untuk mengusap lembut pipi sang pria sebelum memindahkan tangan dari perutnya. Perlahan Agatha bangkit dan hendak turun dari ranjang, tetapi Kevin mencekal pergelangan tangannya. “Mau ke mana, Sayang?” “Aku harus ke kamar mandi, Kevin.” “Jangan lama-lama. Aku masih menginginkanmu.” Agatha tersenyum manis sebelum bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Dia sama sekali tak merasa risih meskipun Kevin menatapnya lekat. Lekuk tubuh wanita itu sudah membuat Kevin mabuk kepayang dan ingin kembali mengulang indahnya dosa beberapa jam yang lalu. Saat Agatha keluar kamar mandi, Kevin langsung duduk dan mengulurkan tangan. Senyum lebarnya tersumir di bibir kala sang wanita setengah berlari dan menerjangnya hingga terjengkang di ranjang. “Mau lagi?” tanya Agat
Alden tersentak mendengar peringatan yang diucapkan Darren. Kedua matanya langsung menatap lekat ponsel yang tergeletak di depannya. Dahinya berkerut dalam sebagai pertanda bahwa dia sedang berpikir keras.“Jangan berpura-pura lagi, Alden! Aku tahu kamu menyuruhnya untuk memata-matai Elea.”Alden mengalihkan tatapan dari ponsel di depannya kepada Darren. Tahu ke mana arah pembicaraan pria itu, Alden mendengkus kesal. Lalu, menyandarkan punggung sambil menatap penuh ejekan kepada sepupunya.“Kalau iya kenapa?” Alden tersenyum miring sebelum bangkit dari duduk dan mencondongkan tubuhnya ke depan. “Aku akan merebutnya kembali darimu, Darren. Lihat saja nanti.”Darren mendengkus kesal sebelum berbalik dan hendak berlalu, tetapi suara Alden berhasil membuat langkahnya terhenti.“Kamu tak akan berhasil mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku, Darren!”Darren mengepalkan kedua tangannya sebelum segera pergi meninggalkan ruangan. Tidak ada gunanya juga meladeni semua omong kosong
Eleanor tersenyum tipis setelah memasang sabuk pengaman, kemudian melirik sang suami sekilas sebelum menatap jalanan. Sementara, Darren perlahan mulai melajukan mobil meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, hanya suara musik yang terdengar memenuhi kabin.“Kamu senang, Elea?”Eleanor menoleh saat mendengar suara suaminya. Dia tersenyum sambil mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya, dia kembali menatap jalanan.“Ehm, bukankah ini urusan bisnismu, apa tidak apa-apa jika aku ikut?”Darren melirik sang istri sekilas sebelum kembali fokus menatap jalanan. “Aku lebih tenang jika kamu ikut bersamaku. Dan ... anggap saja ini liburan.”Eleanor kembali tersenyum mendengar jawaban suaminya. Lalu, menikmati musik sambil sesekali ikut bersenandung. Sementara di sebelahnya, Darren memperhatikan sambil tersenyum.Hampir dua jam perjalanan, akhirnya mobil yang dikemudikan oleh Darren sampai di hotel yang dituju. Keduanya turun di lobi sebelum melangkah menuju resepsionis. Lalu, berjalan menuj
Eleanor mengerjap pelan kala suara alarm menyapa rungu. Dia meraba untuk mencari ponsel dan segera mematikan alarm. Lalu, beringsut duduk dan menggeliat sejenak sebelum mengedarkan pandangan. “Selamat pagi, Eleanor,” ucap Eleanor pada dirinya sendiri sambil tersenyum. Lalu, mengangkat kedua tangan ke atas dan meregangkan otot. Masih teringat jelas dalam benak kejadian semalam saat Darren memintanya untuk tinggal sejenak di dapur. Wanita itu bergeming sambil menatap tangan sang suami sebelum beralih untuk menatap wajahnya. Aura dingin yang biasanya hinggap berganti dengan kesedihan. Entah apa yang sudah terjadi, yang pasti Darren sedang tidak baik-baik saja. Maka Eleanor memutuskan untuk berdiam diri dan menunggu apa yang akan dilakukan suaminya. Sekian menit berlalu, Darren hanya bungkam sehingga membuat Eleanor mengernyit heran. “Ada yang mau kamu sampaikan?” “Lupakan. Tidurlah!” Darren kembali seperti biasa. Dingin dan misterius sehingga membuat Eleanor menghela napas
Agatha menatap Alden sebelum mengumbar senyuman. Dia mendekat dan hendak memeluk sang suami, tetapi langsung ditepis. “Tadi tanya ke mana aku pergi, sekarang malah cuek.” Agatha mengerucutkan bibir sambil bersedekap. “Aku cuma bertanya. Lagipula bukan urusanku juga mau ke mana saja kamu pergi.” Alden berlalu menuju pintu, tetapi Agatha segera mencegahnya. “Kita sudah menikah dua Minggu lebih, Alden. Tidak maukah kamu melewati malam pertama kita sebagai pengantin baru?” Alden kembali menepis kasar tangan Agatha yang mulai bergerilya di lengannya. Lalu, menatap nyalang sang istri sambil mendengkus kesal. “Inilah risiko yang harus kamu tanggung, Agatha. Kamu tahu aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Jadi jangan berharap ada malam pertama bagi kita.” Usai berucap demikian, Alden langsung keluar kamar dan membanting pintu di belakangnya sehingga membuat Agatha tersentak. Wanita itu mendengkus kesal sebelum mengempaskan kasar tubuhnya ke ranjang. Lalu, memukul bant
Menjelang malam, Agatha mematut diri di cermin setelah mengenakan gaun sebatas lutut yang membentuk lekuk tubuh. Bibir bergincu merah terang itu mengulas senyum tipis sebelum menyambar tas selempang. Lalu, keluar kamar sambil berjalan mengendap-endap.Wanita itu menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan bahwa tak ada orang yang melihatnya keluar rumah. Sayang harapannya hanya sebatas angan karena sang mertua memergokinya saat membuka pintu utama.“Mau ke mana kamu, Agatha?”Agatha tergagap karena tak menyangka akan bertemu mertuanya. Dia mengusap tengkuk sambil tersenyum canggung sebelum menjawab.“Aku mau ke acara ulang tahun temanku, Ma. Terus pulangnya mau mampir ke rumah Papa dulu.”Erina menelisik penampilan sang menantu dari atas sampai bawah sebelum tersenyum sinis. “Alden sudah tahu?”“Nanti aku kasih tahu lewat pesan saja, Ma.” Agatha kembali mengusap tengkuk karena merasa diintimidasi oleh tatapan mertuanya. “Aku pergi dulu, Ma. Takut kemalaman.”Agatha berlalu begit
Darren mengikuti arah pandang Eleanor, tetapi orang yang dimaksud tersebut sudah pergi. “Siapa?”Eleanor mengernyit heran sebelum menjawab. “Aku tidak yakin, tapi tadi sepertinya ... ah, lupakan saja.”Eleanor mengulas senyum sebelum menyendok makanan dan memasukkannya ke mulut. Dia berbinar karena rasa masakannya yang enak. Sementara di depannya, Darren menyantap makanan sambil sesekali melirik istrinya.Selama sesi makan itu, Eleanor dimanjakan lidahnya oleh berbagai rasa masakan. Meskipun terbilang masakan sederhana, tetapi rasanya seperti di restoran mewah.Usai menyantap makanan hingga selesai, mereka meninggalkan rumah makan itu setelah berpamitan kepada Hana.“Semua masakannya enak, padahal hanya menu sederhana. Seperti masakan rumahan, tetapi rasanya bisa diadu sama restoran mewah. Apa Hana yang memasak semuanya?”Eleanor menoleh dan menatap penuh harap kepada suaminya. Namun, sekian detik menunggu, hanya hening yang terasa. Wanita itu menghela napas panjang sebelum me