Eleanor mengerjap saat mendengar suara alarm. Dia meraba untuk mencari ponsel dan mematikan alarmnya. Lalu, duduk dan meregangkan otot sejenak sebelum berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Senyumnya terkembang ketika berdiri sambil mematut diri di depan cermin. Pagi itu dia mengenakan gaun sebatas betis berwarna kuning pastel.Sambil bersenandung lirih, Eleanor menuruni tangga menuju dapur. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Darren ada di ruang olahraga. Dia segera memutar arah dan berjalan mengendap-endap sampai di sudut luar ruangan.Dalam ruangan berukuran sekitar enam puluh meter persegi itu, Darren sedang berlatih memukul samsak menggunakan sarung tinju. Peluh telah membanjiri wajah dan rambutnya. Bahkan baju bagian belakangnya basah kuyup oleh keringat.Eleanor tak melepaskan tatapannya dari sang suami hingga tanpa sadar senyum tipis tersumir di bibirnya. Namun, aksinya terhenti kala mendengar suara bel. Dia bergegas berlari ke depan untuk membukakan pintu.Wa
Eleanor mengulas senyum tipis untuk meredam sejenak gelebah dalam dada. Lalu, beranjak ke dapur untuk membuat sarapan. Meskipun hatinya merapuh, kewajiban menghidangkan makanan untuk sang suami tetap utama. Bagi wanita itu bentakan dan amarah yang datang dari Darren masih lebih baik dibanding saat Helena dan Agatha yang melakukannya. Kedua wanita yang telah mengambil seluruh hati sang ayah itu telah berhasil memporakpondakan kehidupannya. Namun, Eleanor terus berusaha untuk kuat dan tegar. Asalkan masih bisa tinggal dan hidup di rumah bersama Danu. Sepuluh menit berselang, Eleanor baru selesai membuat ayam panggang. Dia menatap pintu ruang kerja sang suami sebelum menghela napas berat. Lalu, kembali menyelesaikan masakan sebelum menatanya di nampan. Eleanor menarik napas panjang dan mengembuskannya berulang kali sebelum mengetuk pintu ruang kerja Darren. Lalu, membuka pintu dan masuk perlahan. Dia melirik sekilas sang suami yang fokus menatap kertas di tangannya sambil meletakkan
Eleanor tiba setelah hampir satu setengah jam terjebak di jalan karena macet. Bertepatan dengan itu, Danu keluar rumah bersama Helena. Melihat sang anak datang, pria yang memakai kemeja abu-abu itu tersenyum.Eleanor mempercepat langkah dan hendak menyalami sang ayah, tetapi Helena menghadang.“Bukankah kamu buru-buru, Pa? Ayo, jalan sekarang daripada nanti kejebak macet.”“Tapi, Ma. Elea baru saja datang. Lagipula masih ada sepuluh menit lagi, enggak apa-apa, kan?”Helena mendengkus kesal sebelum berlalu ke dalam rumah, sedangkan Danu menyambut kedatangan sang anak sambil tersenyum.“Ayah mau balik ke kantor? Maaf, kalau aku datang sekarang. Ada yang mau aku kasih ke Ayah.”“Enggak apa-apa, Elea. Kita masuk, ya?”Eleanor menggamit lengan sang ayah dan mengajaknya masuk. Lalu, duduk di ruang tamu. Wanita itu segera membuka kotak yang dibawa dan membukanya.“Selamat ulang tahun, Ayah. Semoga sehat selalu.”“Terima kasih, Elea. Seharusnya tidak perlu repot begini.”“Ini hanya
Eleanor segera berjalan ke lemari untuk mengambil gelas, kemudian mengisinya dengan air. Sementara, Darren bersikap biasa sambil merapikan kotak obat. Setelahnya, tatapan pria itu mengarah kepada sang tamubyang tak lain adalah Kakek William.“Ada perlu apa Kakek ke sini?”“Kenapa? Tak bolehkah Kakek mengunjungi cucunya?” tanya Kakek William balik sambil terkekeh saat melihat Eleanor salah tingkah di depan kompor. “Oh, apakah Kakek harus menghubungi dulu sebelum ke sini? Takutnya hal seperti tadi terjadi lagi?”Eleanor menunduk dalam sambil memejamkan mata mendengar celoteh Kakek William. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus sekarang. Berulang kali dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mengambil cangkir dan membuat teh hangat. Lalu, menghidangkannya kepada pria dengan rambut keperakan itu.“Terima kasih, Elea. Duduklah! Ada yang mau Kakek tanyakan padamu.”Eleanor menurut. Dia segera menarik kursi yang ada di samping sang suami sebelum mengempaskan bobo
Eleanor setengah berlari memasuki sebuah ruangan begitu sampai. Dia mengedarkan pandangan sebelum berjalan tergesa-gesa ke sudut ruangan di mana seorang pria sedang ditemani dua orang wanita.“Ayah enggak apa-apa?” tanya Eleanor begitu sampai. Dia hendak memeluk Danu, tetapi Helena segera menyeretnya keluar ruangan.“Masih berani kamu ke sini, Elea? Ayah kamu begini gara-gara kamu!”“Maksud Mama apa? Kenapa gara-gara aku?”Helena mendengkus kesal sebelum menatap tajam sang anak tirinya. “Bukannya kamu disuruh minta maaf tadi? Kenapa enggak kamu lakukan?”Helena merasa dibatas awan melihat kedua mata Eleanor memerah karena menahan tangis. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda itu tersenyum sinis sebelum melanjutkan ucapannya. “Kerjaan Ayah kamu sudah banyak, ditambah kamu yang membangkang sekarang. Jadinya kepikiran dan kurang fokus mengemudi. Untung saja mobilnya cuma masuk parit, coba kalau lebih fatal lagi. Apa enggak menyesal kamu, Elea?”“Cukup, M
Lima hari pasca dirawat, Danu sudah diperbolehkan pulang. Bertepatan dengan itu, dia disibukkan dengan pesta pernikahan antara Agatha dengan Alden. Kaki yang masih dibalut perban menyebabkannya hanya bisa duduk sambil memperhatikan sekitar. Senyum tak pernah lepas dari bibir pria itu saat para tamu yang datang mengucapkan selamat. Tak berselang lama, rombongan keluarga besar Wijaya memasuki ruangan. Tampak Alden diapit oleh kedua orang tuanya, Roni dan Erina. Di belakang mereka ada Kakek William yang menggenggam erat tongkat di tangan kanannya. Lalu, di barisan paling belakang ada Eleanor yang menggamit lengan suaminya, Darren. Danu menatap lekat Eleanor yang memilih duduk di barisan paling depan bersama para tamu. Ada setitik bahagia di hati kala melihat sang anak tersenyum sumringah. Lima menit berselang, Helena memasuki ruangan sambil menggandeng Agatha yang berbalut kebaya putih. Riasan wanita itu tampak lebih tegas dengan pemilihan lipstik berwarna merah terang. Senyum tak p
“Apa maksud kamu, Alden? Pisah? “ Agatha menatap penuh tanya pria yang baru beberapa jam lalu menjadi suaminya. Namun, bukan jawaban yang didapat, melainkan kepergian Alden. Agatha berang. Dia berdecak marah sebelum menyusul suaminya. “Mau ke mana kamu, Sayang?” tanya Agatha berusaha meredam emosinya. Senyumnya tersumir samar di bibir sambil berusaha memegang lengan Alden. “Bukan urusan kamu. Aku tidak mau satu kamar denganmu.” Alden menepis kasar tangan Agatha sebelum memutar gagang pintu. Namun, belum sampai pintu terbuka, Agatha kembali berkata. “Apa kamu lupa dengan ucapan Kakek William, Sayang? Apa perlu aku ingatkan sekarang?” Alden menarik tangannya dari gagang pintu dan menghela napas berat. Dia menunduk dalam sambil mengepalkan tangan. Lalu, memejamkan mata sebelum menyugar rambutnya kasar. Sementara di belakang, Agatha tersenyum puas karena usahanya berhasil untuk mencegah kepergian suaminya. Dia memegang lengan Alden dan membawanya duduj di tepi ranjang.
“Apa kabar, Tha? Makin cantik aja kamu.” Agatha menatap tak percaya pria di depannya. Senyum pria itu masih sama saat terakhir kali bertemu. Mendapat pujian, wanita itu tersenyum simpul sambil menyematkan rambut ke belakang telinga. “Kamu bisa aja. Aku baik, kok. Kamu sendiri gimana?” “Aku juga baik, Tha. Kamu ada acara di sini?” Agatha mengangguk sambil terus memamerkan senyum manisnya. “Mau ketemu sama Mama. Kamu sendiri?” “Oh, aku ada rapat sama klien. Andai enggak buru-buru, aku mau minum teh bareng kamu.” Pria itu mengeluarkan sebuah kartu nama dan menyerahkannya kepada Agatha. “Kalau ada waktu, hubungi aku, Tha.” Agatha menerima benda itu dan segera membacanya. Lalu, kembali menatap pria di depannya sebelum mengangguk. Setelahnya, dia menatap pria itu berlalu hingga hilang di balik pintu kaca. Dia masih menimang kartu itu sebelum memasukkan asal ke dalam tas. Agatha melanjutkan langkah dan langsung memeluk sang ibu begitu sampai. “Udah lama, Ma? Maaf kalau lama nung
Darren menggoyangkan tangan beberapa kali untuk mengusir kebas karena terlalu lama digenggam oleh Eleanor. Berulang kali dia mencoba untuk pergi, tetapi wanita itu selalu saja berhasil menahan dengan menggenggam jemarinya erat. Akhirnya pria itu pasrah dan baru bisa terlepas ketika sang istri benar-benar pulas tertidur.Pria itu lantas berjalan menuju balkon dan bersandar pada pagar besi sambil membelakangi kamar. Siang yang cerah mendadak gelap karena dipenuhi awan kelabu.“Sepertinya sebentar lagi hujan.”Darren segera mengambil ponsel saat mendengarnya berdering. Melihat nama yang tertera di layar, dia mengernyit heran sebelum menekan tombol berwarna hijau.“Iya, Pak. Ada apa?” Darren mendengarkan orang di ujung telepon berbicara beberapa saat sebelum membuka suara. “Berikan saja nomor yang satunya.”Darren segera memutus panggilan sebelum berbalik dan menatap Eleanor yang masih terlelap. Dia pun beranjak keluar kamar menuju ruang kerjanya. Pria itu duduk di kursi dan membuka
Darren menghela napas panjang saat mendengar permintaan istrinya. Dia kembali melirik jam di pergelangan tangan kirinya sebelum menatap Eleanor. Pria itu kembali menghela napas panjang sebelum duduk di tepi ranjang.Eleanor tersenyum lebar kala permintaannya dikabulkan. Dia segera melepaskan tangan sang suami dan beringsut duduk.“Apa kamu marah?” tanya Eleanor sambil menelisik raut wajah sang suami. “Maaf, aku hanya tidak ingin sendirian setelah kejadian kemarin. Tapi kalau urusanmu lebih ....”“Tidurlah! Aku tidak akan ke mana-mana.”Eleanor kembali merebah sebelum berusaha untuk memejamkan mata. Tak berselang lama, wanita itu sudah tunduk pada kantuk. Sementara itu, Darren terus menatap lekat wajah sang istri hingga mengabaikan satu janji penting dengan seseorang. Dia terlena dengan wajah teduh wanita yang terbaring di ranjangnya. Tangannya terulur untuk mengusap lembut pipi bersemu merah milik Eleanor sebelum menyematkan kecupan di dahinya.Darren hendak beranjak, tetapi tangan El
Agatha menatap pantulan dirinya di cermin sambil tersenyum tipis. Lalu, mengalihkan tatapan kepada pria yang masih terlelap di ranjang. Tangannya terulur untuk mengusap perutnya sebelum bangkit dari duduk dan menghampiri Kevin.“Kevin, bangun! Aku harus pergi sekarang juga!”Kevin menggeliat pelan sebelum membuka mata, kemudian duduk dan tersenyum melihat Agatha sudah rapi. Dia lantas bangkit dan berjalan ke kamar mandi tanpa risih Agatha melihatnya dalam keadaan tanpa busana.Usai mandi dan berpakaian, Kevin mengambil kunci mobil dan menggandeng Agatha keluar kamar. Mereka berjalan menuju resepsionis sebelum memberikan laporan akan keluar hotel malam itu. “Terima kasih buat malam ini, Kevin. Untuk sementara kita jangan ketemu dulu.”“Kenapa, Sayang? Terus bagaimana kalau aku kangen nanti.”Agatha tersenyum mendengar ucapan Kevin. Lalu, mengusap lembut pipi pria yang duduk di balik kemudi itu.“Aku hanya tidak mau Alden curiga.” Agatha masih mengulas senyum sambil menurunkan t
Eleanor terkejut melihat kaca tempat foto yang terpajang di nakas pecah usai terjatuh karena ulahnya. Dia segera berjongkok dan berusaha untuk mengambil benda itu, tetapi tangannya langsung ditahan seseorang. Wanita itu langsung mendongak dan terkejut melihat sang suami.“Ma-maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Ini salahku, nanti akan aku ....”“Lupakan! Memangnya kamu mau ke mana lagi?”Darren menghela napas panjang sebelum mengangkat Eleanor dan membaringkannya ke ranjang. Lalu, mengambil foto tadi dan menaruhnya ke nakas sebelum keluar kamar dan kembali sambil membawa sapu. Tanpa bicara, pria itu membersihkan sisa pecahan kaca dan membawanya keluar.Sementara itu, Eleanor merasa sangat bersalah. Dia menatap hampa foto yang tergeletak asal di nakas sebelum menunduk sambil meremas jemarinya. Mendengar suara langkah mendekat, dia mendongak dan bersitatap dengan sang suami.“Aku minta maaf. Seharusnya aku tidak ....”“Aku bilang lupakan! Itu hanya sebuah foto, yang terpenting kam
“Aku juga tidak tahu. Aku ingat plat nomor mobilnya dan aku yakin itu adalah Alden. Tapi waktu aku mau mendekat, dia malah tancap gas.” Darren mendengkus kesal mendengar ucapan istrinya. Dia menggeretakkan gigi karena menahan amarah. Melihat itu, Eleanor segera mengusap lembut lengan suaminya. “Mungkin dia hanya iseng, jangan dimasukkan ke hati, ya?” Eleanor tersenyum manis, berusaha untuk meredam amarah suaminya. Lalu, saat menyadari tindakannya, dia segera menarik kembali tangannya. “Maaf, aku hanya spontan tadi.” Darren menghela napas panjang sebelum bangkit dari duduk. Namun, saat hendak berlalu, suara Eleanor berhasil menahannya. “Sarapan sudah siap. Sebaiknya segera makan sekarang sebelum dingin dan tidak enak lagi.” Darren mengangguk dan menunggu Eleanor bangkit dari duduk. Meskipun kesakitan, wanita itu tetap memaksakan diri untuk berjalan. Eleanor berjalan lebih dulu, sedangkan Darren di belakangnya sambil diam-diam mengamati. Saat tiba di meja makan, senyum
Agatha terjaga ketika ingin berkemih. Dia berusaha untuk bangun, tetapi tangan kekar seseorang melingkari perutnya. Dia menoleh dan mendapati Kevin masih tertidur pulas di sampingnya. Tangan wanita itu terulur untuk mengusap lembut pipi sang pria sebelum memindahkan tangan dari perutnya. Perlahan Agatha bangkit dan hendak turun dari ranjang, tetapi Kevin mencekal pergelangan tangannya. “Mau ke mana, Sayang?” “Aku harus ke kamar mandi, Kevin.” “Jangan lama-lama. Aku masih menginginkanmu.” Agatha tersenyum manis sebelum bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Dia sama sekali tak merasa risih meskipun Kevin menatapnya lekat. Lekuk tubuh wanita itu sudah membuat Kevin mabuk kepayang dan ingin kembali mengulang indahnya dosa beberapa jam yang lalu. Saat Agatha keluar kamar mandi, Kevin langsung duduk dan mengulurkan tangan. Senyum lebarnya tersumir di bibir kala sang wanita setengah berlari dan menerjangnya hingga terjengkang di ranjang. “Mau lagi?” tanya Agat
Alden tersentak mendengar peringatan yang diucapkan Darren. Kedua matanya langsung menatap lekat ponsel yang tergeletak di depannya. Dahinya berkerut dalam sebagai pertanda bahwa dia sedang berpikir keras.“Jangan berpura-pura lagi, Alden! Aku tahu kamu menyuruhnya untuk memata-matai Elea.”Alden mengalihkan tatapan dari ponsel di depannya kepada Darren. Tahu ke mana arah pembicaraan pria itu, Alden mendengkus kesal. Lalu, menyandarkan punggung sambil menatap penuh ejekan kepada sepupunya.“Kalau iya kenapa?” Alden tersenyum miring sebelum bangkit dari duduk dan mencondongkan tubuhnya ke depan. “Aku akan merebutnya kembali darimu, Darren. Lihat saja nanti.”Darren mendengkus kesal sebelum berbalik dan hendak berlalu, tetapi suara Alden berhasil membuat langkahnya terhenti.“Kamu tak akan berhasil mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku, Darren!”Darren mengepalkan kedua tangannya sebelum segera pergi meninggalkan ruangan. Tidak ada gunanya juga meladeni semua omong kosong
Eleanor tersenyum tipis setelah memasang sabuk pengaman, kemudian melirik sang suami sekilas sebelum menatap jalanan. Sementara, Darren perlahan mulai melajukan mobil meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan, hanya suara musik yang terdengar memenuhi kabin.“Kamu senang, Elea?”Eleanor menoleh saat mendengar suara suaminya. Dia tersenyum sambil mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya, dia kembali menatap jalanan.“Ehm, bukankah ini urusan bisnismu, apa tidak apa-apa jika aku ikut?”Darren melirik sang istri sekilas sebelum kembali fokus menatap jalanan. “Aku lebih tenang jika kamu ikut bersamaku. Dan ... anggap saja ini liburan.”Eleanor kembali tersenyum mendengar jawaban suaminya. Lalu, menikmati musik sambil sesekali ikut bersenandung. Sementara di sebelahnya, Darren memperhatikan sambil tersenyum.Hampir dua jam perjalanan, akhirnya mobil yang dikemudikan oleh Darren sampai di hotel yang dituju. Keduanya turun di lobi sebelum melangkah menuju resepsionis. Lalu, berjalan menuj
Eleanor mengerjap pelan kala suara alarm menyapa rungu. Dia meraba untuk mencari ponsel dan segera mematikan alarm. Lalu, beringsut duduk dan menggeliat sejenak sebelum mengedarkan pandangan. “Selamat pagi, Eleanor,” ucap Eleanor pada dirinya sendiri sambil tersenyum. Lalu, mengangkat kedua tangan ke atas dan meregangkan otot. Masih teringat jelas dalam benak kejadian semalam saat Darren memintanya untuk tinggal sejenak di dapur. Wanita itu bergeming sambil menatap tangan sang suami sebelum beralih untuk menatap wajahnya. Aura dingin yang biasanya hinggap berganti dengan kesedihan. Entah apa yang sudah terjadi, yang pasti Darren sedang tidak baik-baik saja. Maka Eleanor memutuskan untuk berdiam diri dan menunggu apa yang akan dilakukan suaminya. Sekian menit berlalu, Darren hanya bungkam sehingga membuat Eleanor mengernyit heran. “Ada yang mau kamu sampaikan?” “Lupakan. Tidurlah!” Darren kembali seperti biasa. Dingin dan misterius sehingga membuat Eleanor menghela napas