“Apa maksud kamu, Alden? Pisah? “ Agatha menatap penuh tanya pria yang baru beberapa jam lalu menjadi suaminya. Namun, bukan jawaban yang didapat, melainkan kepergian Alden. Agatha berang. Dia berdecak marah sebelum menyusul suaminya. “Mau ke mana kamu, Sayang?” tanya Agatha berusaha meredam emosinya. Senyumnya tersumir samar di bibir sambil berusaha memegang lengan Alden. “Bukan urusan kamu. Aku tidak mau satu kamar denganmu.” Alden menepis kasar tangan Agatha sebelum memutar gagang pintu. Namun, belum sampai pintu terbuka, Agatha kembali berkata. “Apa kamu lupa dengan ucapan Kakek William, Sayang? Apa perlu aku ingatkan sekarang?” Alden menarik tangannya dari gagang pintu dan menghela napas berat. Dia menunduk dalam sambil mengepalkan tangan. Lalu, memejamkan mata sebelum menyugar rambutnya kasar. Sementara di belakang, Agatha tersenyum puas karena usahanya berhasil untuk mencegah kepergian suaminya. Dia memegang lengan Alden dan membawanya duduj di tepi ranjang.
“Apa kabar, Tha? Makin cantik aja kamu.” Agatha menatap tak percaya pria di depannya. Senyum pria itu masih sama saat terakhir kali bertemu. Mendapat pujian, wanita itu tersenyum simpul sambil menyematkan rambut ke belakang telinga. “Kamu bisa aja. Aku baik, kok. Kamu sendiri gimana?” “Aku juga baik, Tha. Kamu ada acara di sini?” Agatha mengangguk sambil terus memamerkan senyum manisnya. “Mau ketemu sama Mama. Kamu sendiri?” “Oh, aku ada rapat sama klien. Andai enggak buru-buru, aku mau minum teh bareng kamu.” Pria itu mengeluarkan sebuah kartu nama dan menyerahkannya kepada Agatha. “Kalau ada waktu, hubungi aku, Tha.” Agatha menerima benda itu dan segera membacanya. Lalu, kembali menatap pria di depannya sebelum mengangguk. Setelahnya, dia menatap pria itu berlalu hingga hilang di balik pintu kaca. Dia masih menimang kartu itu sebelum memasukkan asal ke dalam tas. Agatha melanjutkan langkah dan langsung memeluk sang ibu begitu sampai. “Udah lama, Ma? Maaf kalau lama nung
“Orang kampungan seperti kalian tak pantas ada di sini. Ini, kan, restoran mahal. Mana sanggup kalian bayar?” Eleanor menghela napas panjang sebelum berbalik. Lalu, menatap tajam dua wanita yang sedang tertawa mengejeknya. “Sudah selesai menghinanya belum? Kalau sudah silakan pergi! Sesama orang kampungan dilarang menghina. Lagian memangnya cuma kalian yang bisa makan di sini? Aku juga. Iya, kan, Sayang?” Eleanor langsung menarik tangan Darren usai tertawa di depan Helena dan Agatha yang memelongo karena ucapannya. Dia segera masuk dan melambaikan tangan di depan ibu dan saudara tirinya itu. “Sialan! Berani banget dia sekarang, Ma! Dapat uang dari mana, sih, dia!” “Iya, Tha. Mama juga heran. Padahal suaminya itu pengangguran, kok, bisa ke sini terus dapat ruangan VVIP lagi.” “Kita harus selidiki nanti, Ma.” Agatha langsung menggandeng Helena dan pergi dari sana. Kedua wanita itu mendengkus kesal sebelum menaiki taksi online yang tadi sudah dipesan. Sementara di rua
“Puas kamu sekarang, Agatha?”Alden segera berlalu setelah menuang semua isi jeruk hangat ke lantai dan mengembalikan paksa gelas ke tangan Agatha. Sedangkan, wanita itu bergeming karena kejadian yang baru saja terjadi.Agatha mendengkus kesal dan menumpahkan semua amarahnya dengan membanting gelas di tangannya. “Aaargh! Sialan kamu, Alden!”Agatha menjambak rambut lantas berjalan mondar-mandir sambil menggigit kukunya. Dia kembali berpikir cara apalagi yang harus digunakannya untuk menaklukkan Alden. Namun, makin dipikir maka makin berat kepala wanita itu. Akhirnya dia keluar kamar dan memanggil asisten rumah tangga untuk membersihkan serpihan gelas yang berhamburan di lantai.Agatha masih meradang, tetapi melihat Alden yang duduk menyendiri di halaman belakang sambil menyesap rokok, dia mengesampingkan sejenak amarahnya. Lalu, menghela napas panjang sebelum berjalan mendekati suaminya.“Sayang, maafin aku kalau tadi terlalu maksa kamu, ya? Aku cuma khawatir aja sama keadaan kam
Eleanor terjaga saat mendengar suara alarm. Dia meraih ponsel dan mematikan alarmnya. Lalu, duduk dan meregangkan otot sebelum mengedarkan pandangan. Wanita itu tersenyum simpul kala mendapati dirinya sedang berada di kamarnya sendiri. Saat menoleh, tatapannya tertuju kepada teko kaca bermotif bunga di nakas. Ingatannya langsung kembali pada kejadian semalam.“Perasaan ada yang aneh, tapi apa, ya?”Eleanor langsung menggeleng sebelum bangkit dari ranjang dan berjalan menuju balkon. Dia merentangkan tangan sambil menghirup udara segar pagi itu. Senyumnya tersumir di bibir saat mendapati kabut lumayan pekat. Namun, senyum itu semakin lebar ketika matanya menangkap seseorang sedang berjalan menuju ruang olah raga yang terletak di samping kolam.Sontak Eleanor langsung memegang bibirnya kala ingatannya tentang ciuman yang dilakukan Darren berputar di kepala. Senyumnya seketika pudar dan berganti dengan perasaan yang entah.“Ada apa denganku? Kenapa jantungku rasanya enggak karuan, ya?
Eleanor membuka mata perlahan saat merasakan seseorang berusaha untuk membopongnya. Dia terperanjat dan langsung menjauh ketika menyadarinya. Keadaan yang masih gelap membuatnya ketakutan. “Si-siapa kamu? Menjauhlah! A-atau aku ... aku akan ....” “Ini aku.” Mendengar suara bariton milik suaminya, Eleanor langsung mendekapnya erat. Dia menenggelamkan wajah di dada bidang pria itu. Sontak, wangi parfum beraroma Woody langsung menyeruak di indra penciuman Eleanor. Benar dia adalah Darren, suaminya. Eleanor masih mendekap erat suaminya saat kilat dan geledek kembali terdengar. Dia memejamkan mata sambil mengeratkan pelukan. Melihat itu, Darren mengeluarkan tangan dan mengusap lembut punggung Eleanor yang terasa kaku. “Jangan takut! Ada aku di sini.” Eleanor mengangguk dalam keadaan masih memejamkan mata. Tepat saat itulah lampu kembali menyala. Wanita itu segera tersadar dan mengurai pelukan, kemudian menyeka sisa air mata yang mulai mengering. “Ma-maaf, aku ... aku ta
Eleanor perlahan membuka mata kala pantulan sinar matahari menyentuh kulitnya. Dia mengangkat tangan untuk meregangkan otot, tetapi diurungkan ketika menyentuh sesuatu. Wanita itu menoleh dan mendapati Darren masih terpejam dengan posisi setengah duduk. Lalu, sekelebat bayangan tentang kejadian semalam kembali berputar di kepala.Usai mendengar ucapan Darren yang menyuruhnya tidur di dekatnya, Eleanor perlahan merebah. Dia berusaha untuk memejamkan mata, tetapi sangat sulit hingga akhirnya sebuah usapan lembut mendarat di punggungnya. Merasakan kenyamanan, wanita itu pun tertidur.“Sudah bangun?”Eleanor tergagap saat mendengar suara bariton milik suaminya. Dia hanya mengangguk dan sedikit menjauh. Sementara, Darren menggeliat sejenak sebelum bangkit dari sofa.“Pagi ini aku mau jogging, mau ikut?” Eleanor mendongak dan mengerjap pelan sebelum akhirnya tanpa sadar mengangguk. “Oke, aku tunggu lima belas menit lagi.”Darren segera berlalu, sementara Eleanor masih membeku di tempat
Darren mengikuti arah pandang Eleanor, tetapi orang yang dimaksud tersebut sudah pergi. “Siapa?”Eleanor mengernyit heran sebelum menjawab. “Aku tidak yakin, tapi tadi sepertinya ... ah, lupakan saja.”Eleanor mengulas senyum sebelum menyendok makanan dan memasukkannya ke mulut. Dia berbinar karena rasa masakannya yang enak. Sementara di depannya, Darren menyantap makanan sambil sesekali melirik istrinya.Selama sesi makan itu, Eleanor dimanjakan lidahnya oleh berbagai rasa masakan. Meskipun terbilang masakan sederhana, tetapi rasanya seperti di restoran mewah.Usai menyantap makanan hingga selesai, mereka meninggalkan rumah makan itu setelah berpamitan kepada Hana.“Semua masakannya enak, padahal hanya menu sederhana. Seperti masakan rumahan, tetapi rasanya bisa diadu sama restoran mewah. Apa Hana yang memasak semuanya?”Eleanor menoleh dan menatap penuh harap kepada suaminya. Namun, sekian detik menunggu, hanya hening yang terasa. Wanita itu menghela napas panjang sebelum me
Satu jam usai hujan reda, Eleanor duduk di sofa yang berada di ruang keluarga. Di sampingnya, berjarak sekitar satu hasta ada Darren yang duduk sambil menatap layar televisi. Tak ada obrolan antara keduanya, hanya suara dari televisi yang memenuhi ruangan. Setelah kejadian tadi di dapur, mereka sempat canggung hingga akhirnya Eleanor membuka kata lebih dulu.“Ehm, soal hubungan kita ....”“Jika masih ragu, aku bisa menunggu.”Eleanor langsung bungkam sambil meremas jemari. Tinggal seminggu waktu yang dipunya sesuai dengan kesanggupannya. Namun, saat mendekati hari H, dia makin gelisah.Eleanor memejamkan mata sejenak sambil menghela napas panjang sebelum menoleh untuk menatap suaminya.“Aku ... aku akan ....”Suara Eleanor terputus karena mendadak terdengar suara dering ponsel milik Darren. Wanita itu mendesah lirih sebelum menatap layar televisi saat sang suami menjawab panggilan.“Iya, ada apa? Baik, besok aku ke sana.”Darren memutus panggilan dan melirik sang istri yang ma
Rintik hujan mengguyur bumi saat Eleanor membuka mata. Dia menggeliat sesaat sebelum beringsut duduk. Lalu, mengedarkan pandangan dan hanya sepi yang terasa. Rupanya Darren belum kembali ke kamar. Dia memutuskan untuk turun dari ranjang dan berjalan tertatih menuju kamar mandi.Setelahnya, dia berjalan menuju pintu yang menghubungkan dengan balkon dan membukanya. Aroma petrikor langsung menyapa indra penciumannya. Dia memejamkan mata sejenak sebelum memutar tumit dan keluar kamar. Haus yang mendera membuat wanita itu memutuskan untuk turun ke dapur.Sambil tertatih dan berusaha menahan nyeri, Eleanor akhirnya sampai di bawah. Dia mengatur napas sejenak sebelum kembali melangkah menuju dapur dan mengambil gelas sebelum mengisinya dengan air.Wanita itu celingukan karena tak mendapati Darren. Lalu, kembali melangkah tertatih menuju ruang kerja. Samar-samar, dia mendengar suara dua orang sedang berbicara di sana. Dia pun memutuskan untuk melangkah menuju ruang keluarga dan mengempaska
Darren menggoyangkan tangan beberapa kali untuk mengusir kebas karena terlalu lama digenggam oleh Eleanor. Berulang kali dia mencoba untuk pergi, tetapi wanita itu selalu saja berhasil menahan dengan menggenggam jemarinya erat. Akhirnya pria itu pasrah dan baru bisa terlepas ketika sang istri benar-benar pulas tertidur. Pria itu lantas berjalan menuju balkon dan bersandar pada pagar besi sambil membelakangi kamar. Siang yang cerah mendadak gelap karena dipenuhi awan kelabu. “Sepertinya sebentar lagi hujan.” Darren segera mengambil ponsel saat mendengarnya berdering. Melihat nama yang tertera di layar, dia mengernyit heran sebelum menekan tombol berwarna hijau. “Iya, Pak. Ada apa?” Darren mendengarkan orang di ujung telepon berbicara beberapa saat sebelum membuka suara. “Berikan saja nomor yang satunya.” Darren segera memutus panggilan sebelum berbalik dan menatap Eleanor yang masih terlelap. Dia pun beranjak keluar kamar menuju ruang kerjanya. Pria itu duduk di kursi dan
Darren menghela napas panjang saat mendengar permintaan istrinya. Dia kembali melirik jam di pergelangan tangan kirinya sebelum menatap Eleanor. Pria itu kembali menghela napas panjang sebelum duduk di tepi ranjang. Eleanor tersenyum lebar kala permintaannya dikabulkan. Dia segera melepaskan tangan sang suami dan beringsut duduk. “Apa kamu marah?” tanya Eleanor sambil menelisik raut wajah sang suami. “Maaf, aku hanya tidak ingin sendirian setelah kejadian kemarin. Tapi kalau urusanmu lebih ....” “Tidurlah! Aku tidak akan ke mana-mana.” Eleanor kembali merebah sebelum berusaha untuk memejamkan mata. Tak berselang lama, wanita itu sudah tunduk pada kantuk. Sementara itu, Darren terus menatap lekat wajah sang istri hingga mengabaikan satu janji penting dengan seseorang. Dia terlena dengan wajah teduh wanita yang terbaring di ranjangnya. Tangannya terulur untuk mengusap lembut pipi bersemu merah milik Eleanor sebelum menyematkan kecupan di dahinya. Darren hendak beranjak, tetapi
Agatha menatap pantulan dirinya di cermin sambil tersenyum tipis. Lalu, mengalihkan tatapan kepada pria yang masih terlelap di ranjang. Tangannya terulur untuk mengusap perutnya sebelum bangkit dari duduk dan menghampiri Kevin. “Kevin, bangun! Aku harus pergi sekarang juga!” Kevin menggeliat pelan sebelum membuka mata, kemudian duduk dan tersenyum melihat Agatha sudah rapi. Dia lantas bangkit dan berjalan ke kamar mandi tanpa risih Agatha melihatnya dalam keadaan tanpa busana. Usai mandi dan berpakaian, Kevin mengambil kunci mobil dan menggandeng Agatha keluar kamar. Mereka berjalan menuju resepsionis sebelum memberikan laporan akan keluar hotel malam itu. “Terima kasih buat malam ini, Kevin. Untuk sementara kita jangan ketemu dulu.” “Kenapa, Sayang? Terus bagaimana kalau aku kangen nanti.” Agatha tersenyum mendengar ucapan Kevin. Lalu, mengusap lembut pipi pria yang duduk di balik kemudi itu. “Aku hanya tidak mau Alden curiga.” Agatha masih mengulas senyum sambil
Eleanor terkejut melihat kaca tempat foto yang terpajang di nakas pecah usai terjatuh karena ulahnya. Dia segera berjongkok dan berusaha untuk mengambil benda itu, tetapi tangannya langsung ditahan seseorang. Wanita itu langsung mendongak dan terkejut melihat sang suami.“Ma-maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Ini salahku, nanti akan aku ....”“Lupakan! Memangnya kamu mau ke mana lagi?”Darren menghela napas panjang sebelum mengangkat Eleanor dan membaringkannya ke ranjang. Lalu, mengambil foto tadi dan menaruhnya ke nakas sebelum keluar kamar dan kembali sambil membawa sapu. Tanpa bicara, pria itu membersihkan sisa pecahan kaca dan membawanya keluar.Sementara itu, Eleanor merasa sangat bersalah. Dia menatap hampa foto yang tergeletak asal di nakas sebelum menunduk sambil meremas jemarinya. Mendengar suara langkah mendekat, dia mendongak dan bersitatap dengan sang suami.“Aku minta maaf. Seharusnya aku tidak ....”“Aku bilang lupakan! Itu hanya sebuah foto, yang terpenting kam
“Aku juga tidak tahu. Aku ingat plat nomor mobilnya dan aku yakin itu adalah Alden. Tapi waktu aku mau mendekat, dia malah tancap gas.” Darren mendengkus kesal mendengar ucapan istrinya. Dia menggeretakkan gigi karena menahan amarah. Melihat itu, Eleanor segera mengusap lembut lengan suaminya. “Mungkin dia hanya iseng, jangan dimasukkan ke hati, ya?” Eleanor tersenyum manis, berusaha untuk meredam amarah suaminya. Lalu, saat menyadari tindakannya, dia segera menarik kembali tangannya. “Maaf, aku hanya spontan tadi.” Darren menghela napas panjang sebelum bangkit dari duduk. Namun, saat hendak berlalu, suara Eleanor berhasil menahannya. “Sarapan sudah siap. Sebaiknya segera makan sekarang sebelum dingin dan tidak enak lagi.” Darren mengangguk dan menunggu Eleanor bangkit dari duduk. Meskipun kesakitan, wanita itu tetap memaksakan diri untuk berjalan. Eleanor berjalan lebih dulu, sedangkan Darren di belakangnya sambil diam-diam mengamati. Saat tiba di meja makan, senyum
Agatha terjaga ketika ingin berkemih. Dia berusaha untuk bangun, tetapi tangan kekar seseorang melingkari perutnya. Dia menoleh dan mendapati Kevin masih tertidur pulas di sampingnya. Tangan wanita itu terulur untuk mengusap lembut pipi sang pria sebelum memindahkan tangan dari perutnya. Perlahan Agatha bangkit dan hendak turun dari ranjang, tetapi Kevin mencekal pergelangan tangannya. “Mau ke mana, Sayang?” “Aku harus ke kamar mandi, Kevin.” “Jangan lama-lama. Aku masih menginginkanmu.” Agatha tersenyum manis sebelum bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. Dia sama sekali tak merasa risih meskipun Kevin menatapnya lekat. Lekuk tubuh wanita itu sudah membuat Kevin mabuk kepayang dan ingin kembali mengulang indahnya dosa beberapa jam yang lalu. Saat Agatha keluar kamar mandi, Kevin langsung duduk dan mengulurkan tangan. Senyum lebarnya tersumir di bibir kala sang wanita setengah berlari dan menerjangnya hingga terjengkang di ranjang. “Mau lagi?” tanya Agat
Alden tersentak mendengar peringatan yang diucapkan Darren. Kedua matanya langsung menatap lekat ponsel yang tergeletak di depannya. Dahinya berkerut dalam sebagai pertanda bahwa dia sedang berpikir keras.“Jangan berpura-pura lagi, Alden! Aku tahu kamu menyuruhnya untuk memata-matai Elea.”Alden mengalihkan tatapan dari ponsel di depannya kepada Darren. Tahu ke mana arah pembicaraan pria itu, Alden mendengkus kesal. Lalu, menyandarkan punggung sambil menatap penuh ejekan kepada sepupunya.“Kalau iya kenapa?” Alden tersenyum miring sebelum bangkit dari duduk dan mencondongkan tubuhnya ke depan. “Aku akan merebutnya kembali darimu, Darren. Lihat saja nanti.”Darren mendengkus kesal sebelum berbalik dan hendak berlalu, tetapi suara Alden berhasil membuat langkahnya terhenti.“Kamu tak akan berhasil mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku, Darren!”Darren mengepalkan kedua tangannya sebelum segera pergi meninggalkan ruangan. Tidak ada gunanya juga meladeni semua omong kosong