Kedua pria itu saling berjabat tangan sebelum salah satunya pergi meninggalkan tempat, sedangkan pria yang masih di sana tampak tersenyum penuh arti sambil menatap ke depan. Tak lama ponselnya berdering nyaring. Dia bergegas menjawab panggilan setelah melihat nama yang tertera di layar.“Iya, Pa? Baik, aku ke sana sekarang.”Alden bergegas bangkit dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan tempat menuju gedung Wijaya Grup yang letaknya hanya terpisah oleh dua bangunan. Setibanya di ruang kerjanya, Alden melihat Roni dan Kakek William sudah duduk di sofa. Tampak jelas raut penuh kekesalan terpancar di wajah keduanya. Dengan ragu, Alden mendekat dan duduk di depan kedua pria beda generasi itu.“Dari mana kamu? Bisa-bisanya keluar pada saat jam kerja. Mau memberi contoh buruk pada karyawanmu, hah!” sembur Roni begitu melihat Alden duduk di depannya. Pria paruh baya itu menghela napas panjang sebelum melemparkan setumpuk berkas ke meja. “Kamu mau bikin kita rugi, Alden? Apa-apaan itu, semu
“Belum saatnya, Kek. Tolong sabar sebentar lagi.”Kakek William manggut-manggut sambil menghela napas panjang. Pria tua itu menyandarkan punggung dan menatap langit-langit ruangan. Mata tuanya tampak lelah dan menahan sakit.“Sebelum kamu kembali, Kakek takut tidak ada umur lagi, Darren.”“Jangan bilang begitu, Kek. Aku yakin Kakek pasti panjang umur.”Kakek William kembali menghela napas panjang sebelum menegakkan punggung, kemudian kembali menyesap teh hingga tandas dan bangkit dari duduk. Dia menepuk bahu kanan sang cucu sambil mengulas senyum tipis sebelum memutar tumit. Namun, saat hendak melangkah, tubuh pria tua itu oleng dan hampir saja terjatuh jika Darren tak menangkapnya.“Sakit Kakek kambuh lagi?” tanya Darren sambil memapah sang kakek untuk kembali duduk di kursi. “Biar aku telepon Dokter Cipta.”“Kakek tidak apa-apa, Darren.” Kakek William memegang lengan Darren bermaksud untuk mencegahnya menelepon dokter keluarga. “Kakek hanya butuh istirahat saja.”Darren mengh
Agatha menelan ludah dengan susah payah sebelum mengengguk lemah di hadapan Alden. Lalu, menatap pria itu menjauh hingga keluar dari kamar. Setelahnya, wanita itu menggeram kesal sambil memukul ranjang.“Aku harus lakukan sesuatu.”Usai keluar kamar, Alden berlalu menuju ruang kerja sang ayah. Namun, langkahnya terhenti saat seseorang memegang bahunya. Dia menoleh dan melihat sang ayah yang sedang membawa secangkir kopi.“Satu jam lagi ikut Papa, Alden.”“Ke mana, Pa? Alden capek.”“Papa ada undangan anniversary wedding salah satu rekanan bisnis Wijaya Grup. Kamu harus ikut, jangan lupa ajak Agatha.”“Tapi, Pa ....”Roni segera berlalu sambil melambaikan tangan. Sementara, Alden mendengkus kesal sebelum kembali berlalu menuju kamar. Dia langsung mendekati ranjang begitu mengetahui Agatha sedang berbaring sambil memainkan ponsel.“Bersiaplah, Agatha. Satu jam lagi Papa mengajakmu menghadiri anniversary wedding salah satu rekanan bisnisnya.”Agatha segera duduk dan mengerjap pe
“Akhirnya kamu sadar juga, Agatha.” Kalimat itulah yang pertama kali didengar Agatha begitu membuka mata. Dia beringsut duduk dan mengedarkan pandangan begitu melihat sedang berada di ruangan yang asing baginya. “Saya di mana?” tanyanya sambil memegang pelipis karena sedikit nyeri. “Mana Alden?” “Kamu ada di kamar tempat saya menginap, Agatha. Alden dan lainnya sedang menunggu di luar.” Wanita yang diketahui sebagai istri Pak Hendra dan sejak tadi duduk di tepi ranjang menemani Agatha segera menyerahkan gelas berisi air kepadanya. “Lebih baik kamu minum dulu, Agatha. Atau mau saya panggilkan dokter supaya kamu diperiksa?” “Tidak usah, Bu. Saya sudah lebih baik.” Agatha menerima gelas berisi air dan segera meneguknya hingga tersisa separuh. “Saya mau pulang saja, soalnya kepala saya sedikit pusing.” Agatha meletakkan gelas ke nakas sebelum berusaha untuk bangkit sambil dibantu istri Pak Hendra. Lalu, beranjak keluar kamar dan melihat beberapa pria sedang duduk melingkar t
Sepeninggal Darren, orang yang tadi masuk kembali ke kamar. Kakek William hanya tersenyum tipis sambil menatapnya lekat.“Masih penasaran kenapa aku memberinya kunci itu, kan?” Kakek William kembali tersenyum sebelum merebah, tetapi tatapannya masih terpaku kepada orang yang berdiri di samping ranjang. “Dia juga ahli warisku, jika kamu lupa.”“Apa Papa juga lupa skandal tentang keluarganya?”Kakek William menggeleng sebelum tersenyum tipis dan menatap langit-langit kamarnya. “Aku yakin semua berita itu bohong. Mereka sengaja dihasut agar mudah disingkirkan. Sayangnya, aku tidak tidur dan masih mencari kebenaran untuk mereka sampai sekarang.”“Terserah Papa saja. Aku sudah memberikan kebenaran, tetapi Papa masih saja ragu. Jika nanti ada apa-apa, aku tidak akan membantu.”Kakek William terkekeh sebelum miring ke arah tembok dan membelakangi Roni. “Jika sudah tidak ada yang mau kamu katakan lagi, pergilah! Aku mau tidur.”Roni mendengkus kesal sebelum memutar tumit dan keluar kama
Derap langkah terdengar memenuhi lorong kala Darren dan Eleanor berjalan tergesa sambil mengedarkan pandangan mencari ruangan yang dituju. Setelah sepuluh menit mencari akhirnya mereka menemukannya. Lima meter sebelum tiba, tampak dua pria dan dua wanita sedang berdiri sambil menatap pintu kaca di depannya.“Bagaimana keadaan Kakek?”Spontan empat orang yang tadi berdiri di depan pintu langsung menoleh saat mendengar tanya dari mulut Darren. Mereka hanya menatap sekilas Darren dan Eleanor sebelum kembali menatap pintu di depannya.Sementara itu, Darren mendengkus kesal karena pertanyaannya belum mendapat jawaban. Dia memejamkan mata sejenak untuk meredam amarah yang telah membuncah. Di saat bersamaan, Eleanor mendekat dan mengusap lembut lengan suaminya.“Sebaiknya kita tunggu saja, mungkin belum ada kabar dari dokternya, Sayang.”Spontan Alden menoleh saat mendengar kata terakhir yang diucapkan Eleanor. Dia mendengkus kesal sebelum kembali mengalihkan tatapan. Selanjutnya, henin
“Pak Kevin? Ah, senang bertemu dengan Anda lagi. Ada keluarga yang sakit atau Bapak yang sakit?” tanya Alden sambil mengulurkan tangan kepada Kevin.“Saya sehat, Pak.” Kevin menjabat tangan Alden sebelum melanjutkan ucapannya. “Saya hanya mengambil rekam medis milik Pak Hendra sekalian jalan ke kantor, Pak. Bapak sendiri?”Alden tersenyum canggung sebelum beranjak ke bangku dan mengempaskan bobot tubuhnya di sana. Sementara, Kevin mengikuti dan ikut duduk di samping Alden.“Kakek saya tadi pagi kena serangan jantung, Pak. Dia pingsan dan kami bawa ke sini. Beruntungnya Kakek masih bisa ditolong, meskipun sekarang masih ada di ruang ICU.”“Oh, saya ikut bersedih mendengarnya, Pak. Semoga kakek bapak segera pulih.”Alden manggut-manggut sambil mengaminkan ucapan Kevin. Lalu, bungkam sejenak sebelum kembali membuka mulut. “Saya dengar Bapak buka perusahaan baru, ya? Saya ucapkan selamat, Pak.”“Terima kasih, Pak Alden. Semua juga atas dukungan dari Pak Hendra, bahkan beliau juga me
Darren langsung mengempaskan kasar tubuhnya di sofa begitu sampai di rumah. Dia menyandarkan punggung dan menengadah. Dalam temaramnya sorot lampu taman di halaman depan, dia kembali merasakan kesepian. Lalu, satu helaan napas panjang terdengar dari mulutnya.Darren memejamkan mata sejenak dan membawa ingatannya kepada kejadian beberapa jam sebelumnya. Di mana kondisi sang kakek yang dinyatakan koma setelah kembali mengalami serangan jantung. Dia ingin masuk dan menemui sang kakek, tetapi Roni sengaja mencegahnya.“Kamu tidak ada urusannya lagi di sini, Darren. Lagipula Kakek belum tentu ingin dijenguk olehmu.”Darren hanya bisa menggeram kesal sambil mengepalkan tangan mendapat penolakan dari sang paman. Dia hendak melawan, tetapi dua orang penjaga sengaja disewa oleh Roni untuk menjaga ruang ICU di mana Kakek William dirawat.“Kalian ingat wajahnya! Jangan sampai dia menerobos masuk ke dalam!”Darren kembali mendengkus kesal sebelum menatap lekat Kakek William yang masih terpej
Darren langsung mengempaskan kasar tubuhnya di sofa begitu sampai di rumah. Dia menyandarkan punggung dan menengadah. Dalam temaramnya sorot lampu taman di halaman depan, dia kembali merasakan kesepian. Lalu, satu helaan napas panjang terdengar dari mulutnya.Darren memejamkan mata sejenak dan membawa ingatannya kepada kejadian beberapa jam sebelumnya. Di mana kondisi sang kakek yang dinyatakan koma setelah kembali mengalami serangan jantung. Dia ingin masuk dan menemui sang kakek, tetapi Roni sengaja mencegahnya.“Kamu tidak ada urusannya lagi di sini, Darren. Lagipula Kakek belum tentu ingin dijenguk olehmu.”Darren hanya bisa menggeram kesal sambil mengepalkan tangan mendapat penolakan dari sang paman. Dia hendak melawan, tetapi dua orang penjaga sengaja disewa oleh Roni untuk menjaga ruang ICU di mana Kakek William dirawat.“Kalian ingat wajahnya! Jangan sampai dia menerobos masuk ke dalam!”Darren kembali mendengkus kesal sebelum menatap lekat Kakek William yang masih terpej
“Pak Kevin? Ah, senang bertemu dengan Anda lagi. Ada keluarga yang sakit atau Bapak yang sakit?” tanya Alden sambil mengulurkan tangan kepada Kevin.“Saya sehat, Pak.” Kevin menjabat tangan Alden sebelum melanjutkan ucapannya. “Saya hanya mengambil rekam medis milik Pak Hendra sekalian jalan ke kantor, Pak. Bapak sendiri?”Alden tersenyum canggung sebelum beranjak ke bangku dan mengempaskan bobot tubuhnya di sana. Sementara, Kevin mengikuti dan ikut duduk di samping Alden.“Kakek saya tadi pagi kena serangan jantung, Pak. Dia pingsan dan kami bawa ke sini. Beruntungnya Kakek masih bisa ditolong, meskipun sekarang masih ada di ruang ICU.”“Oh, saya ikut bersedih mendengarnya, Pak. Semoga kakek bapak segera pulih.”Alden manggut-manggut sambil mengaminkan ucapan Kevin. Lalu, bungkam sejenak sebelum kembali membuka mulut. “Saya dengar Bapak buka perusahaan baru, ya? Saya ucapkan selamat, Pak.”“Terima kasih, Pak Alden. Semua juga atas dukungan dari Pak Hendra, bahkan beliau juga me
Derap langkah terdengar memenuhi lorong kala Darren dan Eleanor berjalan tergesa sambil mengedarkan pandangan mencari ruangan yang dituju. Setelah sepuluh menit mencari akhirnya mereka menemukannya. Lima meter sebelum tiba, tampak dua pria dan dua wanita sedang berdiri sambil menatap pintu kaca di depannya.“Bagaimana keadaan Kakek?”Spontan empat orang yang tadi berdiri di depan pintu langsung menoleh saat mendengar tanya dari mulut Darren. Mereka hanya menatap sekilas Darren dan Eleanor sebelum kembali menatap pintu di depannya.Sementara itu, Darren mendengkus kesal karena pertanyaannya belum mendapat jawaban. Dia memejamkan mata sejenak untuk meredam amarah yang telah membuncah. Di saat bersamaan, Eleanor mendekat dan mengusap lembut lengan suaminya.“Sebaiknya kita tunggu saja, mungkin belum ada kabar dari dokternya, Sayang.”Spontan Alden menoleh saat mendengar kata terakhir yang diucapkan Eleanor. Dia mendengkus kesal sebelum kembali mengalihkan tatapan. Selanjutnya, henin
Sepeninggal Darren, orang yang tadi masuk kembali ke kamar. Kakek William hanya tersenyum tipis sambil menatapnya lekat.“Masih penasaran kenapa aku memberinya kunci itu, kan?” Kakek William kembali tersenyum sebelum merebah, tetapi tatapannya masih terpaku kepada orang yang berdiri di samping ranjang. “Dia juga ahli warisku, jika kamu lupa.”“Apa Papa juga lupa skandal tentang keluarganya?”Kakek William menggeleng sebelum tersenyum tipis dan menatap langit-langit kamarnya. “Aku yakin semua berita itu bohong. Mereka sengaja dihasut agar mudah disingkirkan. Sayangnya, aku tidak tidur dan masih mencari kebenaran untuk mereka sampai sekarang.”“Terserah Papa saja. Aku sudah memberikan kebenaran, tetapi Papa masih saja ragu. Jika nanti ada apa-apa, aku tidak akan membantu.”Kakek William terkekeh sebelum miring ke arah tembok dan membelakangi Roni. “Jika sudah tidak ada yang mau kamu katakan lagi, pergilah! Aku mau tidur.”Roni mendengkus kesal sebelum memutar tumit dan keluar kama
“Akhirnya kamu sadar juga, Agatha.” Kalimat itulah yang pertama kali didengar Agatha begitu membuka mata. Dia beringsut duduk dan mengedarkan pandangan begitu melihat sedang berada di ruangan yang asing baginya. “Saya di mana?” tanyanya sambil memegang pelipis karena sedikit nyeri. “Mana Alden?” “Kamu ada di kamar tempat saya menginap, Agatha. Alden dan lainnya sedang menunggu di luar.” Wanita yang diketahui sebagai istri Pak Hendra dan sejak tadi duduk di tepi ranjang menemani Agatha segera menyerahkan gelas berisi air kepadanya. “Lebih baik kamu minum dulu, Agatha. Atau mau saya panggilkan dokter supaya kamu diperiksa?” “Tidak usah, Bu. Saya sudah lebih baik.” Agatha menerima gelas berisi air dan segera meneguknya hingga tersisa separuh. “Saya mau pulang saja, soalnya kepala saya sedikit pusing.” Agatha meletakkan gelas ke nakas sebelum berusaha untuk bangkit sambil dibantu istri Pak Hendra. Lalu, beranjak keluar kamar dan melihat beberapa pria sedang duduk melingkar t
Agatha menelan ludah dengan susah payah sebelum mengengguk lemah di hadapan Alden. Lalu, menatap pria itu menjauh hingga keluar dari kamar. Setelahnya, wanita itu menggeram kesal sambil memukul ranjang.“Aku harus lakukan sesuatu.”Usai keluar kamar, Alden berlalu menuju ruang kerja sang ayah. Namun, langkahnya terhenti saat seseorang memegang bahunya. Dia menoleh dan melihat sang ayah yang sedang membawa secangkir kopi.“Satu jam lagi ikut Papa, Alden.”“Ke mana, Pa? Alden capek.”“Papa ada undangan anniversary wedding salah satu rekanan bisnis Wijaya Grup. Kamu harus ikut, jangan lupa ajak Agatha.”“Tapi, Pa ....”Roni segera berlalu sambil melambaikan tangan. Sementara, Alden mendengkus kesal sebelum kembali berlalu menuju kamar. Dia langsung mendekati ranjang begitu mengetahui Agatha sedang berbaring sambil memainkan ponsel.“Bersiaplah, Agatha. Satu jam lagi Papa mengajakmu menghadiri anniversary wedding salah satu rekanan bisnisnya.”Agatha segera duduk dan mengerjap pe
“Belum saatnya, Kek. Tolong sabar sebentar lagi.”Kakek William manggut-manggut sambil menghela napas panjang. Pria tua itu menyandarkan punggung dan menatap langit-langit ruangan. Mata tuanya tampak lelah dan menahan sakit.“Sebelum kamu kembali, Kakek takut tidak ada umur lagi, Darren.”“Jangan bilang begitu, Kek. Aku yakin Kakek pasti panjang umur.”Kakek William kembali menghela napas panjang sebelum menegakkan punggung, kemudian kembali menyesap teh hingga tandas dan bangkit dari duduk. Dia menepuk bahu kanan sang cucu sambil mengulas senyum tipis sebelum memutar tumit. Namun, saat hendak melangkah, tubuh pria tua itu oleng dan hampir saja terjatuh jika Darren tak menangkapnya.“Sakit Kakek kambuh lagi?” tanya Darren sambil memapah sang kakek untuk kembali duduk di kursi. “Biar aku telepon Dokter Cipta.”“Kakek tidak apa-apa, Darren.” Kakek William memegang lengan Darren bermaksud untuk mencegahnya menelepon dokter keluarga. “Kakek hanya butuh istirahat saja.”Darren mengh
Kedua pria itu saling berjabat tangan sebelum salah satunya pergi meninggalkan tempat, sedangkan pria yang masih di sana tampak tersenyum penuh arti sambil menatap ke depan. Tak lama ponselnya berdering nyaring. Dia bergegas menjawab panggilan setelah melihat nama yang tertera di layar.“Iya, Pa? Baik, aku ke sana sekarang.”Alden bergegas bangkit dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan tempat menuju gedung Wijaya Grup yang letaknya hanya terpisah oleh dua bangunan. Setibanya di ruang kerjanya, Alden melihat Roni dan Kakek William sudah duduk di sofa. Tampak jelas raut penuh kekesalan terpancar di wajah keduanya. Dengan ragu, Alden mendekat dan duduk di depan kedua pria beda generasi itu.“Dari mana kamu? Bisa-bisanya keluar pada saat jam kerja. Mau memberi contoh buruk pada karyawanmu, hah!” sembur Roni begitu melihat Alden duduk di depannya. Pria paruh baya itu menghela napas panjang sebelum melemparkan setumpuk berkas ke meja. “Kamu mau bikin kita rugi, Alden? Apa-apaan itu, semu
Pagi itu mentari masih meringkuk di balik awan yang kelabu. Semburat jingganya hanya sedikit yang terlihat. Titik air bekas hujan semalam bahkan masih belum sepenuhnya hilang. Namun, Eleanor sudah terjaga sejam yang lalu untuk membersihkan diri dan sekarang sedang duduk di depan rias sambil memegang hair dryer untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Melihat pergerakan sang suami, Eleanor menoleh dan tersenyum tipis. “Selamat pagi, Sayang. Tidurmu nyenyak semalam?” Darren menjawab dengan tersenyum sambil mengangguk kecil. Lalu, beringsut duduk dan menatap sang istri yang masih duduk di depan meja rias. “Kenapa tidak membangunkanku, Sayang?” “Tidurmu sangat nyenyak, aku jadi tidak tega membangunkanmu.” Eleanor mulai menyalakan hair dryer dan hendak mengaplikasikan ke rambut. “Biar aku saja. Tunggu sebentar.” Darren turun dari ranjang, menyambar celana boxer dan memakainya sebelum berjalan tergesa-gesa menghampiri istrinya. Darren mengambil alih hair dryer dari tangan s