Darren menoleh untuk menatap wajah istrinya, kemudian mendongak untuk memaku pandangan pada awan yang berarak. “Kamu mempercayainya, Elea?” Eleanor hanya bungkam sambil menatap sang suami. Jujur, hatinya meragu akan berita yang disampaikan tentang kematian orang tua Darren. Siapa yang tidak kenal pengusaha sekaligus penerus perusahaan Wijaya Grup, Rama dan istrinya Indira? Semua orang di Kota Malima pasti mengenalnya, tak terkecuali Eleanor. Wanita itu masih bungkam dan melarikan tatapannya ke hamparan bunga kuning di sekitarnya. “Aku yang paling tahu bagaimana Papa dan Mama selama ini, tapi mereka membuatnya seolah-olah jauh dari gambaranku.” Eleanor kembali menatap sang suami yang kini juga menatapmya. Wanita itu bisa menangkap ada gurat kesedihan yang tercetak di balik manik mata sekelam malam milik suaminya. Terdengar helaan napas panjang yang keluar dari mulut Darren sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “Papa orang paling jujur yang aku kenal setelah Kakek. Dia jug
“Pak Kevin?”Eleanor dan pria yang berdiri di depannya kompak menoleh ke arah datangnya suara. Tampak Darren menatap keduanya bergantian sebelum memaku pandangan kepada sang istri. “Kalian saling kenal?”Eleanor gelagapan mendapat pertanyaan dari suaminya. Dia segera bangkit dan mengulas senyum dan mendekati suaminya sambil menatap Kevin.“Kita satu SMA dulunya, tapi beda kelas. Kevin ini adalah pa—““Jadi Anda ini bos besar yang selalu disebut oleh Pak Surya?” tanya Kevin menginterupsi kalimat Eleanor sambil mengulurkan tangannya. Kevin terkekeh sambil terus menggantungkan tangannya di udara. Sementara Darren menatap pria di depannya sekilas sebelum menyambut uluran tangannya. “Dunia terlalu sempit ternyata.”Darren segera menarik tangannya sebelum duduk bersama dengan Eleanor, sedangkan Kevin menatap keduanya sebelum tersenyum.“Aku sama sekali tidak menyangka akan bertemu lagi denganmu, Elea. Sekian lama tidak ada kabar, sekarang malah kamu datang bersama pemilik RDW Company.
Waktu terasa seperti berhenti berputar saat Eleanor mendapati sang ayah tersungkur di dekat Helena. Dia bergegas mendekati dan merengkuh kepala sangvayah untuk dibaringkan di pahanya. Tangannya bergetar saat mengusap pipi pria yang menjadi cinta pertamanya. Suaranya bahkan tersapu oleh kencangnya isak tangis.“Ayah, bangun. Ayah kenapa?”Eleanor masih berusaha membangunkan sang ayah meskipun tak ada respon. Dia bahkan berontak ketika Helena berusaha menyingkirkannya.“Mau apa kamu ke sini, Elea? Mau apa!” bentak Agatha setelah melihat sang ibu dan Eleanor berusaha memeluk Danu. “Bikin kacau saja!”Melihat keributan yang terjadi, Darren yang baru masuk setelah memarkir mobil segera mendekati ayah mertuanya. Pria itu memeriksa Danu sebelum mengusap bahu sang istri untuk menenangkan.“Ayah hanya pingsan, Elea. Kita bawa ke kamar, nantibaku telepon dokter buat ke sini.”Eleanor segera menyusut air matanya, kemudian berusaha mengangkat tubuh sang ayah bersama Darren dan Helena. Semen
“Aku mau pernikahan ini dibatalkan!” Suara lantang Eleanor langsung menarik perhatian semua anggota keluarga, pun dengan tamu yang hadir di sebuah gedung resepsi. Ya, hari itu rencananya Eleanor akan menikah dengan Alden, pria yang telah berpacaran dengannya selama lima tahun. “Jangan bercanda kamu, El. Kamu akan menikah sebentar lagi.” Suara tegas dan berwibawa milik seorang pria paruh baya bernama William itu terdengar memenuhi ruangan. “Aku tidak bercanda, Kek. Aku serius akan membatalkan pernikahan ini karena ....” Eleanor menarik napas berat sebelum menatap calon suami yang duduk di sampingnya. “Karena Alden telah menghamili Agatha.” “Elea, a-apa maksud kamu?” tanya Alden tergagap. Wajahnya seketika memucat. Alden langsung menatap Agatha yang tengah menyunggingkan seringai tipis di sebelah ibunya. Kakek William yang sedang duduk langsung berdiri dan menatap Eleanor dengan tatapan tidak senang. “Hari ini adalah hari baik, Elea. Bagaimana bisa kamu bercanda dengan memb
Siapa yang tak mengenal Darren di kota Malima ini? Pria itu adalah sosok anomali yang selalu dianggap sebagai aib bagi keluarga Wijaya. Sebab sepeninggal ayah dan ibunya yang merupakan pewaris utama, Kakek William melewatkan Darren sebagai pewaris selanjutnya. Dia langsung memberikan perusahaan kepada orang tua Alden. Padahal usia Darren saat itu sudah cukup untuk memimpin perusahaan. Tindakan itu memunculkan rumor kalau Darren adalah sosok yang tak berguna dan tak memiliki kemampuan berbisnis. Bahkan ada rumor lain yang mengatakan kalau Darren adalah sosok yang buruk rupa dan mengerikan sehingga tak pernah memunculkan dirinya pada siapa pun. Bahkan kepada sesama anggota keluarga Wijaya. Membayangkan itu saja membuat Eleanor merinding. “Elea?” Eleanor tergagap mendengar namanya disebut. Dia menoleh ke arah Kakek William dan menatapnya penuh tanya. Apa sebenarnya maksud pria paruh baya itu menikahkannya dengan Darren. Apakah Kakek William hendak menjerumuskannya ke dalam pelu
Eleanor menghela napas berat sebelum mengangguk, lalu berjalan beriringan keluar ruangan. Sepanjang koridor menuju pelaminan, jantung wanita itu tak pernah berhenti berdegup kencang. Kedua tangannya sedingin es dan berkeringat. Bayangan tentang wajah Darren terus saja berkelebat di kepala. “Tenang saja, Elea. Semua pasti baik-baik saja.” Eleanor mencoba mengulas senyum. Namun, bibirnya terasa sangat kaku, bahkan kakinya bergetar pelan saat pelaminan sudah tampak di depan mata. Dia berhenti sejenak kala melihat sosok pria yang mengenakan baju pengantin berwarna putih duduk membelakanginya. Eleanor menelan ludah yang terasa pahit saat melewati tenggorokan. Jika dilihat dari belakang, Darren adalah pria yang gagah. Tubuhnya tampak proporsional. Namun, Eleanor langsung menggeleng ketika mengingat julukan yang diberikan untuk pria itu, si buruk rupa. Wanita yang memakai kebaya berwarna putih dengan bagian belakang yang menjuntai menyapu lantai itu mengalihkan tatapannya kepada sang
Eleanor segera berbalik dan tergemap melihat wajah dan sebagian rambut Agatha basah. Namun, belum sempat bertanya apa yang terjadi, suara bariton milik Darren terdengar. “Kelakuanmu tak ubahnya seperti rubah, sangat licik. Jika berani hadapi dari depan.” Dengan susah payah, Eleanor berusaha menelan ludah yang terasa kelat melewati tenggorokan saat mendengar nada dingin dan tajam milik Darren. Sedikit banyak dia tahu apa yang hendak dilakukan Agatha kepadanya. Lalu, tatapannya tertuju kepada sang suami yang berdiri tak jauh darinya. Mereka berserobok sesaat sebelum Darren memilih untuk berlalu. “Sialan! Awas saja kamu, Darren!” seru Agatha sambil mengentakkan kaki. Dia segera berlalu sambil menarik tangan ibunya. Eleanor mengedikkan bahu dan kembali menikmati kudapan di tangannya. Tanpa dia sadari ada seseorang di samping gedung yang menatap sejak tadi. Orang itu mengepalkan tangan sambil menggeram kesal. Lalu, pergi meninggalkan tempat dengan memendam amarah. Tiga jam yang melelah
Eleanor memukul kepalanya ketika mengingat pertanyaan konyol yang meluncur dari mulutnya. “Bodoh! Kenapa juga ini mulut enggak bisa direm!” rutuk Eleanor sambil memukul mulutnya. “Untung saja tadi ada telepon, jadi aku bisa langsung kabur. Coba kalau enggak?” Eleanor merebah dan menatap langit-langit kamarnya. Kamar dengan cat dinding berwarna putih itu tampaknya lega karena hanya ada ranjang, lemari serta kursi yang terletak di sudut. Jendela berukuran besar pun menambah kesan luas, sehingga cahaya matahari masuk dengan leluasa. Wanita itu segera bangkit dan berjalan menuju pintu kaca yang mengarah ke balkon. Dia menghirup udara sore hari sambil tersenyum lebar. Lalu, berjalan keluar dan bersandar di pagar besi. Dia mengedarkan pandangan, kemudian tatapannya tertuju pada kolam renang yang berada tepat di bawah. Eleanor berbalik dan berjalan keluar kamar. Bosan yang melanda membawa langkahnya menjelajahi seisi rumah. Dia turun ke lantai satu dan berjalan menuju dapur. Tangannya me
Waktu terasa seperti berhenti berputar saat Eleanor mendapati sang ayah tersungkur di dekat Helena. Dia bergegas mendekati dan merengkuh kepala sangvayah untuk dibaringkan di pahanya. Tangannya bergetar saat mengusap pipi pria yang menjadi cinta pertamanya. Suaranya bahkan tersapu oleh kencangnya isak tangis.“Ayah, bangun. Ayah kenapa?”Eleanor masih berusaha membangunkan sang ayah meskipun tak ada respon. Dia bahkan berontak ketika Helena berusaha menyingkirkannya.“Mau apa kamu ke sini, Elea? Mau apa!” bentak Agatha setelah melihat sang ibu dan Eleanor berusaha memeluk Danu. “Bikin kacau saja!”Melihat keributan yang terjadi, Darren yang baru masuk setelah memarkir mobil segera mendekati ayah mertuanya. Pria itu memeriksa Danu sebelum mengusap bahu sang istri untuk menenangkan.“Ayah hanya pingsan, Elea. Kita bawa ke kamar, nantibaku telepon dokter buat ke sini.”Eleanor segera menyusut air matanya, kemudian berusaha mengangkat tubuh sang ayah bersama Darren dan Helena. Semen
“Pak Kevin?”Eleanor dan pria yang berdiri di depannya kompak menoleh ke arah datangnya suara. Tampak Darren menatap keduanya bergantian sebelum memaku pandangan kepada sang istri. “Kalian saling kenal?”Eleanor gelagapan mendapat pertanyaan dari suaminya. Dia segera bangkit dan mengulas senyum dan mendekati suaminya sambil menatap Kevin.“Kita satu SMA dulunya, tapi beda kelas. Kevin ini adalah pa—““Jadi Anda ini bos besar yang selalu disebut oleh Pak Surya?” tanya Kevin menginterupsi kalimat Eleanor sambil mengulurkan tangannya. Kevin terkekeh sambil terus menggantungkan tangannya di udara. Sementara Darren menatap pria di depannya sekilas sebelum menyambut uluran tangannya. “Dunia terlalu sempit ternyata.”Darren segera menarik tangannya sebelum duduk bersama dengan Eleanor, sedangkan Kevin menatap keduanya sebelum tersenyum.“Aku sama sekali tidak menyangka akan bertemu lagi denganmu, Elea. Sekian lama tidak ada kabar, sekarang malah kamu datang bersama pemilik RDW Company.
Darren menoleh untuk menatap wajah istrinya, kemudian mendongak untuk memaku pandangan pada awan yang berarak. “Kamu mempercayainya, Elea?” Eleanor hanya bungkam sambil menatap sang suami. Jujur, hatinya meragu akan berita yang disampaikan tentang kematian orang tua Darren. Siapa yang tidak kenal pengusaha sekaligus penerus perusahaan Wijaya Grup, Rama dan istrinya Indira? Semua orang di Kota Malima pasti mengenalnya, tak terkecuali Eleanor. Wanita itu masih bungkam dan melarikan tatapannya ke hamparan bunga kuning di sekitarnya. “Aku yang paling tahu bagaimana Papa dan Mama selama ini, tapi mereka membuatnya seolah-olah jauh dari gambaranku.” Eleanor kembali menatap sang suami yang kini juga menatapmya. Wanita itu bisa menangkap ada gurat kesedihan yang tercetak di balik manik mata sekelam malam milik suaminya. Terdengar helaan napas panjang yang keluar dari mulut Darren sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “Papa orang paling jujur yang aku kenal setelah Kakek. Dia jug
Darren berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Saat melihat Pak Surya yang datang, dia segera mempersilakan masuk dan mengajak ke ruang kerja. “Ada masalah apa, Pak?” tanya Darren sambil menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi kerjanya. “Ada customer baru yang ingin bertemu dengan Bapak.” Pak Surya mengangsurkan sebuah berkas ke meja dan menjelaskan sedikit tentang pelanggan baru mereka. “Bukankah Bapak bisa menghandle sendiri? Kenapa harus aku diundang juga?” “Saya minta maaf, Pak. Tapi, besok itu saya ... ehm, saya ada keperluan yang tidak bisa ditunda. Ini customer besar, makanya saya tidak bisa sembarangan menyerahkannya kepada orang lain.” Darren menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum akhirnya menyetujui pertemuan besok. Setelah memberikan kepastian, Pak Surya pamit. Sementara itu, Darren kembali ke kamar dan melihat Eleanor duduk di meja rias sambil mengeringkan rambut dengan hair dryer. Dia mendekat dan langsung mengambil alih alat di tangan istr
Darren tersadar dan segera menjauh mendengar pertanyaan dari istrinya. Dia memilih berjalan ke balkon dan duduk di salah satu bangku yang ada di sana. “Kamu belum jawab pertanyaanku?” Pria itu menoleh sekilas sebelum kembali menatap ke depan. Merasa diabaikan, Eleanor mendekat dan duduk di samping suaminya. Dia hendak membuka mulut, tetapi sang suami lebih dulu membuka kata. “Ya, maksudnya dulu saat kita belum dilahirkan ke dunia. Tapi nama kita sudah disandingkan dalam takdir-Nya.” Bibir Eleanor membulat membentuk huruf O setelah mendengar jawaban suaminya. Dia tersenyum semringah sambil menatap langit yang kelabu. “Sepertinya akan turun hujan. Aku harap tak ada geledek yang datang.” “Kenapa kamu takut geledek, Sayang?” Eleanor menarik napas panjang sebelum mengembuskannya perlahan, kemudian pikirannya menerawang jauh menembus masa kelam di saat dia masih berumur sepuluh tahun. “Aku pernah pulang telat karena terlalu asyik bermain dengan temanku. Waktu itu lang
Eleanor menoleh dan terkejut melihat Alden berdiri dua meter darinya. Senyum yang semula tersumir di bibir lesap dan berganti dengan ketidaknyamanan. “A-Alden?” Hanya satu kata yang mampu diucapkan Eleanor begitu melihat Alden berjalan mendekat. Dia segera bangkit dari duduk dan melangkah mundur. “Lima tahun memang bukan waktu yang singkat untuk bisa melupakanku bukan?” Eleanor menggeleng sambil terus melangkah mundur saat Alden mendekat. Namun, saat kesekian kali menghindar, Alden sigap menangkap pergelangan tangannya. Pria itu menarik Eleanor hingga tak berjarak dengan tubuhnya. Alden tersenyum bahagia karena bisa menatap wajah cantik Eleanor yang dulu bisa membuatnya menggila. Sayangnya, senyum itu berubah dengkus kesal saat melihat sebuah tanda merah samar di ceruk leher Eleanor. “Kamu sudah tidur dengannya, El?” “Bukan urusan kamu lagi, Al!” sentak Eleanor sambil berusaha melepaskan tangan Alden. “Urus saja Agatha dan calon anak kamu!” “Aaargh!” Alden berte
Darren dengan sigap mendekap sang kakek dan menuntunnya menuju kamar. Dalam ruangan dengan nuansa serba putih itu, Darren membaringkan sang kakek dan duduk di tepi ranjang. Pria itu menoleh saat mendengar suara pintu dibuka dan melihat Eleanor masuk sambil membawa segelas air.“Terima kasih, Elea.” Darren mengambil gelas dan segera memberikannya kepada sang kakek. “Minum dulu, Kek. Di mana obatnya?”Darren bergegas membuka laci pertama dan menemukan satu botol kaca penuh dengan tablet berwarna putih. Dia mengambil satu butir dan memberikannya kepada Kakek William. Selang lima menit usai menenggak obat, nyeri di dada kiri Kakek William berangsur mereda.“Kamu masih ingat tempat menyimpannya, Darren?”“Ternyata Kakek yang tidak berubah.”Kedua pria beda generasi itu saling tatap sebelum tertawa bersama. Sementara di belakang Darren, Eleanor menatap penuh tanya.“Ini obrolan antar pria, Elea.” Kakek William seolah-olah menjawab pertanyaan di kepala Eleanor. Mendengar itu, Eleanor m
“Aku haus.” Darren segera berlalu dari kamar dan kembali sambil membawa segelas air minum, kemudian menyodorkan kepada istrinya. Usai meneguk air dalam gelas hingga tandas, Eleanor meletakkan gelas di nakas dan menatap Darren. “Kakek William menyuruhmu datang ke rumahnya?” Darren mengangguk lemah sebelum berlalu ke wardrobe dan mengganti bajunya dengan setelan celana kain hitam dan kemeja biru tua. Dia kembali menemui Eleanor sambil memegang jam tangan dan duduk di tepi ranjang. Lalu, mengganti tali jam tangannya dengan hadiah pemberian dari istrinya. Eleanor memperhatikan sang suami hingga selesai sebelum mencoba untuk bangkit sambil menahan nyeri. “Mau ke mana?” tanya Darren sambil mengernyit heran. “Aku mau ikut ke rumah Kakek William.” “Tidak perlu. Biar aku sendiri karena kamu masih kesakitan begitu.” Eleanor menggeleng lemah sebelum kembali berjalan menuju pintu. Dia sengaja mengulas senyum karena tidak mau sang suami mengkhawatirkannya. “Sakitnya sudah
Eleanor mengerjap kala sinar mentari menyentuh kulitnya. Dia tergagap dan hendak bangkit, tetapi sesuatu menahannya. Dia menoleh dan mendapati seraut wajah terlihat damai dalam tidurnya. Lalu, sekelebat bayangan tentang kejadian semalam kembali berputar di kepala.Spontan Eleanor menggigit bibir bagian bawah sebelum memejamkan mata sejenak. Lalu, perlahan melepaskan tangan kiri sang suami yang semalaman memeluk perutnya. Dengan gerakan pelan, dia beringsut duduk dan hendak turun dari ranjang.“Aduh!” seru Eleanor saat merasakan bagian bawah tubuhnya berkedut nyeri. Dia sampai menggigit bibir untuk menahan sakit yang mendera sebelum kembali mencoba untuk bangkit.“Jangan dipaksakan. Tunggu sebentar.” Eleanor menoleh, tetapi segera berpaling saat melihat Darren sedang memakai celana boxernya. “Sakit?”Kali ini Eleanor mengangguk lemah saat melihat sang suami mendekat dan berdiri di hadapannya. Perlahan pria itu membopong sang istri, tetapi cengkeraman erat di lengan membuatnya menge