Beranda / Pernikahan / Suami Miskinku Ternyata Mafia Kaya / Bab. 05. Cani Membeli Rumah Keprabon

Share

Bab. 05. Cani Membeli Rumah Keprabon

Han tersenyum tipis kemudian menjawab, “Uang ini milikku, Sayang.”

Sontak Cani terkejut sekaligus tak percaya. Masa iya, suaminya memiliki uang sebanyak ini? Dari mana coba?

“Mas Han jangan bohong ... Sekarang, Mas jawab jujur. Dapat uang ini dari mana?” tanya Cani sedikit mendesak Han agar segera menjawab dengan benar.

Han menatap Cani intens. Sebelum menjawab, Han sempat menghela napas terlebih dahulu.

“Jangan mikir aneh-aneh. Uang ini dari hasil penjualan tanah,” terang Han.

“Apa? Tanah di mana? Kamu menjual tanah siapa?” cecar Cani mulai gelisah.

Han menggelengkan kepalanya pelan.

“Aku menjual tanah peninggalan nenekku yang diserahkan kepadaku,” kata Han santai.

“Tanah peninggalan nenek? Kok, Mas nggak pernah kasih tahu aku sebelumnya? Mas mau main rahasia nih sama aku?” sungut Cani sedikit kesal dan merajuk.

Han menyentuh kedua pundak Cani. Juga memberi sedikit rematan di sana agar Cani tenang. Dia tidak ingin menerima amukan dari istrinya tercinta.

“Dengarkan aku dulu. Sebenarnya aku ingin memberi tahumu. Namun, waktunya sudah mepet. Jadi, aku sempatnya sekarang. Maafkan aku ya, Sayang,” jelas Han.

Wajah cemberut Cani menghilang setelah mendengar penuturan sang suami yang terdengar masuk akal.

“Aku ingin membantumu, Sayang. Mangkanya aku memutuskan untuk menjual tanahku yang ada di luar kota. Dan, alhamdulillah ... Tanahku langsung terjual dengan harga pantas,” papar Han sambil mengelus pipi Cani.

Rasanya ingin menangis setelah mengetahui kebenaran dari bibir tipis Han. Cani merasa sangat terharu dengan tindakan, dan pengorbanan suaminya. Han rela menjual tanah demi kepentingan Cani.

“Kamu bisa menggunakan uang ini untuk membeli rumah ayahmu,” ujar Han mengangguk kecil.

Air mata Cani menetes begitu saja. Melihat kekasih hatinya menangis. Han langsung menarik Cani ke dalam pelukannya.

“Apakah kamu mengingat sesuatu yang aku ucapkan setelah akad nikah?” tanya Han tiba-tiba.

Kepala Cani menggeleng di dada Han. Pikiran Cani tak fokus karena sibuk meluapkan isi hatinya lewat tangisan tanpa suara.

“Aku, akan selalu membuatmu bahagia, Sayang,” ucap Han lirih.

Cani melepas pelukannya pada tubuh kekar Han. Dia ingin melihat wajah tampan sang suami yang terus tersenyum.

“Undang seluruh saudaramu ke sini. Bayar mereka semua. Jangan lupa meminta Pak Lurah untuk menjadi saksi,” tutur Han.

“Terima kasih, Mas Han ....” Cani kembali memeluk suaminya. Kali ini pelukan itu makin erat.

***

“Ada apa ini? Meminta kami untuk datang? Kamu pikir, kamu siapa?” sungut Bu Helena.

Orang pertama yang badir adalah Bu Helena beserta anak dan menantu kesayangannya. Tak lama kemudian disusul oleh saudara-saudara Cani yang lainnya.

Dengan riang gembira Cani menyambut kedatangan keluarganya. Bahkan Cani juga menyajikan cemilan enak untuk mereka.

“Loh? Kok ada Pak Lurah, dan Pak RT juga?” tanya Mbak Fatin. “Emangnya hari ini, hari Tuan Indra membeli rumah kah?” Mbak Fatin bingung karena tidak ada yang menanggapinya.

Cani berdehem lalu memulai mengungkapkan maksud, dan tujuannya mengadakan pertemuan keluarga ini.

“Terima kasih telah datang. Aku ingin mengubah keputusanku. Aku tidak akan pernah menjual rumah ini kepada Indra,” lontar Cani.

Pernyataan Cani membuat mereka semua terkejut. Detik kemudian Victory malah meledek Cani yang plin-plan seperti orang bodoh yang omongannya tidak bisa dipegang.

“Maumu apa sih, Mbak? Kamu mau bikin suamiku marah? Suamiku sudah menyiapkan uang buat beli rumah ini!” lontar Victory nyolot.

“Siapa juga yang mau bikin suamimu marah. Dari awal aku memang tidak mau menjual rumah ini. Maka dari itu, aku memutuskan untuk membeli rumah ini,” tegas Cani.

Suara tawa terdengar nyaring. Indra tak bisa menahan gelitik yang dia rasakan setelah mendengar perkataan berani Cani.

“Mbakmu kok unik, Dek?” cibir Indra menatap Victory.

“Mbak Cani mau beli pakai apa? Memangnya punya duit?” ejek Victory tak habis pikir.

“Alhamdullilah, Mas Han dapat rezeki dari jual tanah milik Mas Han di kota. Uangnya aku gunakan untuk menebus rumah ini,” jelas Cani.

“Apa? Mas Han punya tanah? Punya banyak tanah?”

Pertanyaan Victory mewakili isi hati yang lainnya.

“Aku tidak memiliki banyak tanah. Hanya satu bidang tanah peninggalan nenekku yang diwariskan padaku,” ujar Han angkat bicara karena Cani tidak mengeri.

“Mas Han menjual tanah di kota untuk membeli rumah jelek ini? Kenapa kalian enggak pindah saja ke sana?” nyinyir Victory.

“Ya sudah, mana uanganya! Jangan cuma modal omongan saja!” seru Bu Helena.

Cani mengambil koper yang sedari tadi berada di bawah kursi. Lalu meletakkan koper tersebut di atas meja. Begitu koper terbuka, semua pasang mata lngsung tertuju pada lembaran uang seratus ribu yang bersinar terang.

“Maafkan aku. Aku mengurus surat perjanjian tanpa memberi tahu kalian terlebuh dahulu. Lagi pula, kalian juga enggak ngasih tahu aku kalau bakal bikin surat perjanjian jual beli rumah ini,” tutur Cani.

Bu Helena terlihat kesal. Dia tidak menyangka jika Han memiliki tanah warisan. Rencananya untuk mendepak Cani harus gagal.

“Aku membeli rumah ini sesuai dengan kesepakatan kita sebelumnya. Tiga ratus juga rupiah,” kata Cani tersenyum.

Saudara-saudara Cani saling melirik satu sama lain. Seolah sedang berbicara melalui mata. Sedangkan Indra menatap Cani dengan penuh kebencian.

“Untuk para mbakku yang paling aku hargai. Aku nggak tahu, apakah sebelum melakukan ini padaku, kalian menerima uang dari Indra atau tidak. Yang pasti, aku bakal bagi uang ini ke kalian sesuai dengan nominal yang tertera di surat perjanjian,” papar Cani menjelaskan kepada kakak-kakak kandungnya.

“Sombong kamu. Baru dapat uang segitu aja tingkahnya sudah melebihi orang kaya beneran,” cemooh Mbak Fatin.

“Sepertinya aku sudah tidak dibutuhkan di sini. Aku pergi,” pamit Indra, wajahnya memerah menahan malu.

Dilihat dari ekspresi Indra, pria itu pasti merasa jika harga dirinya terluka.

Terlebih, sedari tadi Han tak berhenti menatap Indra. Seakan memberi Indra sebuah tekanan. Dan anehnya, Indra seakan tak berkutik dengan tatapan Han.

“Sayang, jangan pergi dulu. Uangnya belum dibagi loh. Kamu tega ninggalin aku? Nanti aku pulang naik apa?” pinta Victory sedikit memelas.

“Jangan pergi, Indra. Kamu bisa menjadi saksi,” sahut Cani.

Senyuman di wajah Cani benar-benar membuat Indra muak. Akhirnya, Indra tetap berada di sana. Terlebih, Victory yang terus menggenggam pergelangan tangannya.

Han mengeluarkan ponsel jelek miliknya. Lalu mulai memotret kegiatan pembagian uang. dan penandatanganan surat-surat penting.

Nantinya, Han akan menggunakan foto itu sebagai barang bukti. Tak lupa, Han juga merekam beberapa bagian percakapan mereka.

“Buat apa kamu lakuin itu, Han? Kurang kerjaan. Kamu gak percaya para saksi?” Indra mencibir kelakukan Han.

Han masih bersikap santai seperti biasanya.

“Untuk mengantisipasi saksi yang mungkin akan mengungkapkan kesaksian palsu.”

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status