Han tersenyum tipis kemudian menjawab, “Uang ini milikku, Sayang.”
Sontak Cani terkejut sekaligus tak percaya. Masa iya, suaminya memiliki uang sebanyak ini? Dari mana coba? “Mas Han jangan bohong ... Sekarang, Mas jawab jujur. Dapat uang ini dari mana?” tanya Cani sedikit mendesak Han agar segera menjawab dengan benar. Han menatap Cani intens. Sebelum menjawab, Han sempat menghela napas terlebih dahulu. “Jangan mikir aneh-aneh. Uang ini dari hasil penjualan tanah,” terang Han. “Apa? Tanah di mana? Kamu menjual tanah siapa?” cecar Cani mulai gelisah. Han menggelengkan kepalanya pelan. “Aku menjual tanah peninggalan nenekku yang diserahkan kepadaku,” kata Han santai. “Tanah peninggalan nenek? Kok, Mas nggak pernah kasih tahu aku sebelumnya? Mas mau main rahasia nih sama aku?” sungut Cani sedikit kesal dan merajuk. Han menyentuh kedua pundak Cani. Juga memberi sedikit rematan di sana agar Cani tenang. Dia tidak ingin menerima amukan dari istrinya tercinta. “Dengarkan aku dulu. Sebenarnya aku ingin memberi tahumu. Namun, waktunya sudah mepet. Jadi, aku sempatnya sekarang. Maafkan aku ya, Sayang,” jelas Han. Wajah cemberut Cani menghilang setelah mendengar penuturan sang suami yang terdengar masuk akal. “Aku ingin membantumu, Sayang. Mangkanya aku memutuskan untuk menjual tanahku yang ada di luar kota. Dan, alhamdulillah ... Tanahku langsung terjual dengan harga pantas,” papar Han sambil mengelus pipi Cani. Rasanya ingin menangis setelah mengetahui kebenaran dari bibir tipis Han. Cani merasa sangat terharu dengan tindakan, dan pengorbanan suaminya. Han rela menjual tanah demi kepentingan Cani. “Kamu bisa menggunakan uang ini untuk membeli rumah ayahmu,” ujar Han mengangguk kecil. Air mata Cani menetes begitu saja. Melihat kekasih hatinya menangis. Han langsung menarik Cani ke dalam pelukannya. “Apakah kamu mengingat sesuatu yang aku ucapkan setelah akad nikah?” tanya Han tiba-tiba. Kepala Cani menggeleng di dada Han. Pikiran Cani tak fokus karena sibuk meluapkan isi hatinya lewat tangisan tanpa suara. “Aku, akan selalu membuatmu bahagia, Sayang,” ucap Han lirih. Cani melepas pelukannya pada tubuh kekar Han. Dia ingin melihat wajah tampan sang suami yang terus tersenyum. “Undang seluruh saudaramu ke sini. Bayar mereka semua. Jangan lupa meminta Pak Lurah untuk menjadi saksi,” tutur Han. “Terima kasih, Mas Han ....” Cani kembali memeluk suaminya. Kali ini pelukan itu makin erat. *** “Ada apa ini? Meminta kami untuk datang? Kamu pikir, kamu siapa?” sungut Bu Helena. Orang pertama yang badir adalah Bu Helena beserta anak dan menantu kesayangannya. Tak lama kemudian disusul oleh saudara-saudara Cani yang lainnya. Dengan riang gembira Cani menyambut kedatangan keluarganya. Bahkan Cani juga menyajikan cemilan enak untuk mereka. “Loh? Kok ada Pak Lurah, dan Pak RT juga?” tanya Mbak Fatin. “Emangnya hari ini, hari Tuan Indra membeli rumah kah?” Mbak Fatin bingung karena tidak ada yang menanggapinya. Cani berdehem lalu memulai mengungkapkan maksud, dan tujuannya mengadakan pertemuan keluarga ini. “Terima kasih telah datang. Aku ingin mengubah keputusanku. Aku tidak akan pernah menjual rumah ini kepada Indra,” lontar Cani. Pernyataan Cani membuat mereka semua terkejut. Detik kemudian Victory malah meledek Cani yang plin-plan seperti orang bodoh yang omongannya tidak bisa dipegang. “Maumu apa sih, Mbak? Kamu mau bikin suamiku marah? Suamiku sudah menyiapkan uang buat beli rumah ini!” lontar Victory nyolot. “Siapa juga yang mau bikin suamimu marah. Dari awal aku memang tidak mau menjual rumah ini. Maka dari itu, aku memutuskan untuk membeli rumah ini,” tegas Cani. Suara tawa terdengar nyaring. Indra tak bisa menahan gelitik yang dia rasakan setelah mendengar perkataan berani Cani. “Mbakmu kok unik, Dek?” cibir Indra menatap Victory. “Mbak Cani mau beli pakai apa? Memangnya punya duit?” ejek Victory tak habis pikir. “Alhamdullilah, Mas Han dapat rezeki dari jual tanah milik Mas Han di kota. Uangnya aku gunakan untuk menebus rumah ini,” jelas Cani. “Apa? Mas Han punya tanah? Punya banyak tanah?” Pertanyaan Victory mewakili isi hati yang lainnya. “Aku tidak memiliki banyak tanah. Hanya satu bidang tanah peninggalan nenekku yang diwariskan padaku,” ujar Han angkat bicara karena Cani tidak mengeri. “Mas Han menjual tanah di kota untuk membeli rumah jelek ini? Kenapa kalian enggak pindah saja ke sana?” nyinyir Victory. “Ya sudah, mana uanganya! Jangan cuma modal omongan saja!” seru Bu Helena. Cani mengambil koper yang sedari tadi berada di bawah kursi. Lalu meletakkan koper tersebut di atas meja. Begitu koper terbuka, semua pasang mata lngsung tertuju pada lembaran uang seratus ribu yang bersinar terang. “Maafkan aku. Aku mengurus surat perjanjian tanpa memberi tahu kalian terlebuh dahulu. Lagi pula, kalian juga enggak ngasih tahu aku kalau bakal bikin surat perjanjian jual beli rumah ini,” tutur Cani. Bu Helena terlihat kesal. Dia tidak menyangka jika Han memiliki tanah warisan. Rencananya untuk mendepak Cani harus gagal. “Aku membeli rumah ini sesuai dengan kesepakatan kita sebelumnya. Tiga ratus juga rupiah,” kata Cani tersenyum. Saudara-saudara Cani saling melirik satu sama lain. Seolah sedang berbicara melalui mata. Sedangkan Indra menatap Cani dengan penuh kebencian. “Untuk para mbakku yang paling aku hargai. Aku nggak tahu, apakah sebelum melakukan ini padaku, kalian menerima uang dari Indra atau tidak. Yang pasti, aku bakal bagi uang ini ke kalian sesuai dengan nominal yang tertera di surat perjanjian,” papar Cani menjelaskan kepada kakak-kakak kandungnya. “Sombong kamu. Baru dapat uang segitu aja tingkahnya sudah melebihi orang kaya beneran,” cemooh Mbak Fatin. “Sepertinya aku sudah tidak dibutuhkan di sini. Aku pergi,” pamit Indra, wajahnya memerah menahan malu. Dilihat dari ekspresi Indra, pria itu pasti merasa jika harga dirinya terluka. Terlebih, sedari tadi Han tak berhenti menatap Indra. Seakan memberi Indra sebuah tekanan. Dan anehnya, Indra seakan tak berkutik dengan tatapan Han. “Sayang, jangan pergi dulu. Uangnya belum dibagi loh. Kamu tega ninggalin aku? Nanti aku pulang naik apa?” pinta Victory sedikit memelas. “Jangan pergi, Indra. Kamu bisa menjadi saksi,” sahut Cani. Senyuman di wajah Cani benar-benar membuat Indra muak. Akhirnya, Indra tetap berada di sana. Terlebih, Victory yang terus menggenggam pergelangan tangannya. Han mengeluarkan ponsel jelek miliknya. Lalu mulai memotret kegiatan pembagian uang. dan penandatanganan surat-surat penting. Nantinya, Han akan menggunakan foto itu sebagai barang bukti. Tak lupa, Han juga merekam beberapa bagian percakapan mereka. “Buat apa kamu lakuin itu, Han? Kurang kerjaan. Kamu gak percaya para saksi?” Indra mencibir kelakukan Han. Han masih bersikap santai seperti biasanya. “Untuk mengantisipasi saksi yang mungkin akan mengungkapkan kesaksian palsu.” Bersambung...“Ngomong apa kamu, Han ... Han ....” ejek Indra. “Emang siapa? Saksi yang mengeluarkan kesaksian palsu? Ada-ada saja. Dasar orang miskin,” hina Indra terkekeh dengan tingkah norak Han. “Biasa, baru punya uang tiga ratus juta. Mangkanya sok,” sahut Bu Helena. Han hanya menanggapi ocehan mereka dengan senyuman tipis. “Alhamdullilah ... Semua sudah beres. Sekarang, tanah beserta rumah ini telah resmi menjadi milikku,” ujar Cani merasa lega. Victory menatap sinis kakaknya. Tentu saja, dia tidak senang. “Aku pengen tanya sama kamu, Mas Han.” Victory memandang Han. “Mau tanya apa? Silakan,” jawab Han. “Kamu masih punya tabungan kah? Laku berapa tanah milik nenekmu?” tanya Victory sambil mengangkat dagu. Menunjukkan keangkuhannya. Victory sangat penasaran akan hal tersebut. Sampai-sampai, dia tidak mampu menahan diri untuk tidak bertanya. “Aku tidak punya tabungan. Hasil dari jual tanah, sudah aku berikan untuk membayar kalian,” tutur Han. Victory tersenyum pu
“Jangan ngomong gitu, Mbak. Nggak baik,” ucap Cani. Mbak Fatin melihat meja dagangan Cani yang kosong. “Keripikmu terjual habis lagi?” tanya Mbak Fatin. Cani mengangguk kemudian menjawab, “Iya, Mbak. Tadi ada yang borong.”Mbak Fatin berdecap tidak suka. Mbak Fatin menyuruh Cani untuk melanjutkan kegiatan berberes. Karena Mbak Fatin enggan berlama-lama melihat sang adik. “Aku boleh bantuin kamu, Mbak?” tawar Cani berniat untuk membantu kakaknya membereskan barang. “Heh! Gak usah nyentuh barangku!” bentak Mbak Fatin. “Sana kamu masuk ke rumahmu! Kamu sudah selesai beresin barangmu sendiri ‘kan!” tekannya. Cani terkejut. Pasalnya, ini pertama kalinya bagi Cani mendengar bentakan sang kakak. “Mbak Fatin kok berubah banget ya?” batin Cani bertanya-tanya. “Mbak Fatin kasar sekali?” protes Cani. “Aku berubah juga semua gara-gara kamu! Coba kalau kamu mau menjual rumah ini ke suami Victory. Aku nggak mungkin tertekan seperti ini!” cerocos Mbak Fatin. “Kok nyalahin aku? Aku hanya me
Mbak Fatin menoleh ke arah Cani yang bersuara lantang. “Ya lumayan. Baru dapat dua ratus ribu doang,” jawab Mbak Fatin enteng. “Mbak Fatin mau makan nggak? Kalau mau aku ambilkan.” Cani menawari Mbak Fatin. “Ogah! Palingan juga makanan nggak enak! Aku alergi makan makanan orang susah,” tolak Mbak Fatin congkak. Tingkah tidak tahu diri yang selalu ditampilkan Mbak Fatin. Sukses membuat Han tergelitik. Namun Han terus berusaha menahan diri agar tidak tertawa. “Ya sudah kalau, Mbak Fatin nggak mau makan. Aku makan dulu, Mbak. Tolong jagain warungku sebentar,” pesan Cani. “Ngapain aku jagain warungmu? Kalau mau makan, tinggal aja! Lagian, nggak bakal ada yang beli juga. Keripik pisangmu apek!” cakap Mbak Fatin asal. “Memangnya kamu siapa? Nyuruh aku jagain daganganmu? Bikin kesal saja,” gerutu Mbak Fatin tidak senang. Cani memilih untuk tak menghiraukan Mbak Fatin. Dia ingin makan bersama suami dan para tukang di ruang tamu rumah. Kedatangan Cani disambut baik oleh beberapa tukan
Sampainya di depan rumah. Cani turun dari atas motor. Tubuhnya berbalik menghadap Han yang masih di atas motor. “Tapi, kali ini aku nggak mau diam saja. Kayaknya mereka memang sengaja, ingin membangunkan singa yang tertidur,” tandas Cani. Han tertawa mendengar ucapan Cani. Wajah Cani tak ada gahar-gaharnya. Justru terlihat makin imut di mata Han. “Singa? Daripada singa. Kamu lebih terlihat seperti kucing, Sayang,” kelakar Han. “Apaan sih, Mas Han! Aku singa kok! Bukan kucing!” sanggah Cani mengerucutkan bibir. Senyuman Han makin lebar. Istrinya sangat menggemaskan. Cani yang merajuk, berjalan memasuki rumah dengan hentakan kaki. Bukannya takut istrinya marah. Han justru terus menggoda Cani. “Pelan-pelan jalannya. Awas nanti jatuh,” kata Han melihat istrinya seperti anak kecil. Setelah mengunci pintu rumah. Han menghampiri istrinya yang kini duduk santai di atas ranjang. “Jadi, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Han. Cani menengok ke samping. Matanya menatap Han dengan intens
“Huh? Apa, Mas? Coba ulang, barusan ngomong apa? Tadi ada truk lewat. Jadi suara, Mas Han tidak kedengeran!”Han tersenyum tipis. Dia menggelengkan kepala. “Lupakan saja, Sayang. Aku juga sudah lupa,” kata Han. “Iiihhh ... Apa sih? Baru juga bentar! Sudah lupa saja,” gerundel Cani. Cani tak mau ambil pusing. Dia lebih memilih untuk mengakhiri obrolan. Dan menyandarkan kepala pada punggung suaminya. Keesokan hari. Cani meminta sang suami untuk membereskan barang milik Mbak Fatin yang masih ada di depan rumahnya. Seperti kursi dan meja kayu. Han menyewa sebuah tosa untuk mengembalikan barang tersebut. Setelah Han kembali dari mengantar barang Mbak Fatin. Mereka mulai membersihkan toko. Cani berniat menggunakan toko tersebut untuk berjualan. Daripada dianggurin. “Kenapa toko ini, lama dibiarkan tak terpakai?” tanya Han masih penasaran. Sebenarnya, pertanyaan seperti itu pernah Han pertanyakan pada Cani. Namun, waktu itu Cani enggan menjawab. “Ibu tiriku tidak memperbolehkan tok
Mbak Fatin mengungkapkan rasa malunya pada Cani. Karena hanya Cani yang bersedia menemaninya di rumah sakit. Bahkan, dengan senang Hati Cani merawat anak Mbak Fatin, tanpa diminta. “Kenapa kamu tidak menertawakan kondisiku?” ucap Mbak Fatin. Suaranya terdengar lirih. Kini Mbak Fatin tengah berbaring lemas, di atas ranjang rumah sakit. Cani tersenyum lembut sambil mengelus kening Mbak Fatin. “Orang lagi kena musibah, kok diketawain?” balas Cani. “Apa yang terjadi, Mbak? Kenapa, Mbak bisa seperti ini? Terus, suamimu ada di mana?” cecar Cani ingin tahu. “Aku memergoki suamiku bercinta dengan wanita lain,” lirih Mbak Fatin. Mbak Fatin terdiam cukup lama. Cani sengaja tak memaksa Mbak Fatin untuk langsung bercerita. Toh, kondisi Mbak Fatin belum sepenuhnya pulih. “Kami bertengkar hebat. Lalu dia pergi entah ke mana. Setelah kepergiannya. Banyak debt collector datang untuk menagih hutang suamiku. Aku sangat tertekan,” urai Mbak Fatin. “Dadakku sesak setiap kali aku mengingat kelak
“Astagfirullah ... Nggak perlu sampai ngatain anak orang idiot!” murka Cani. “Aku yang bakal merawat Roni!” Cani paling tidak bisa melihat anak kecil ditindas atau dihina. “Oh ... Mbak Cani mau merawat Roni? Bagus lah ... Sekalian, bayarin biaya anak pertama Mbak Fatin yang lagi mondok. Biar tambah miskin,” ledek Victory. “Merawat seorang anak nggak bakal mungkin bisa bikin makin miskin,” tandas Cani. “Malah enak. Hidupku bakal dipenuhi keberkahan,” tambahnya. “Halah!! Banyak omong! Yaudah sana! Pungut tuh anak! Palingan juga bakal jadi beban doang,” komentar Bu Helena sinis. Cani terus beristigfar setiap kali Bu Helena berbicara. Karena semua yang keluar dari mulut wanita setengah baya itu, tak patut untuk didengar. “Sekarang kalian pulang gih! Rumah ini mau aku kosongin,” usir Victory. “Kita juga mau pulang. Setelah mengambil baju-baju, dan surat penting anak-anak Mbak Fatin,” sosor Cani. “Yaudah! Buruan! Ambil semua kain lusuh itu!” dengus Bu Helena. Cani bergegas mengambi
“Apa maksudmu, Sayang?” Han sungguh tidak mengerti. Cani tak menjawab. Ia justru mengalihkan perhatiannya pada Roni yang masih digendong Han. “Roni, ayo kita makan siang bersama,” ajak Cani. Roni menggelengkan kepala. “Loh, kenapa?” tanya Cani. “Maci ngantuk,” jawab Roni setelah menguap. “Yaudah, ayo balik tidur. Sini ... Bulek temani.”Dalam budaya jawa, Bulek merupakan sebutan untuk tante. Roni meminta turun dari gendongan. Han pun menuruti. Han membiarkan Cani dan Roni menuju ke kasur lantai yang berada di belakang etalase. “Mas Han, tolong jaga toko sebentar. Aku mau menemani Roni tidur,” pesan Cani. “Iya, Sayang. Kamu juga, sekalian tidur siang. Yang tadi, bisa kita lanjut omongin nanti,” balas Han mengerti. Cani mengangguk. “Terima kasih, Mas,” ucap Cani berbaring di atas kasur. Beberapa menit berlalu. Tak butuh waktu lama bagi Roni, untuk kembali terlelap. Anak kecil itu pasti sering tidur siang. “Sayang,” panggil Han lirih. Cani menoleh ke belakang. Menyaksikan ka