Home / Pernikahan / Suami Miskinku Ternyata Mafia Kaya / Bab. 04. Terlihat Siapa Yang Serakah!

Share

Bab. 04. Terlihat Siapa Yang Serakah!

Perdebatan kecil tak terhindarkan. Saudara Cani yang lain mulai ikut menyudutkan Cani. Menyalahkan Cani. Dan menuduh Cani serakah.

"Rumah keprabon harus dibagi!" bentak Mbak Fatin.

“Sebelum ayah meninggal. Ayah sudah membagi tanah kosong samping rumah. Sedangkan rumah ini adalah hakku. Ayah sendiri yang mengatakannya,” urai Cani.

“Mana buktinya kalau ayah kasih rumah ini sama kamu? Jangan asal ngoceh kamu!” tuntut Mbak Fatin.

Cani menatap kakak pertamanya, dan Bu Helena yang menjadi saksi waktu itu. Namun, keduanya mengelak pernyataan Cani. Bu Helena malah menuduh jika Cani suka ngarang.

“Ya Allah ... Kok tega kalian bohong?” ucap Cani.

Cani mencegah Han yang ingin membantu dirinya berbicara. Cani tidak ingin Han diserang oleh saudara-saudaranya yang beringas. Alhasil, Han pun tak bisa mengeluarkan pendapatnya. Padahal Han sudah geregetan.

“Kamu yang bohong! Mana ada ayahmu ngasih rumah keluarga kepadamu! Dasar halu!” cela Bu Helena.

Cani langsung beristighfar sembari mengelus dadanya yang terasa sesak. Ibu tirinya menyangkal kenyataan.

Bagi Cani, ocehan Bu Helena barusan sudah membuktikan jika ibu tirinya itu tidak menjaga amanat sang ayah.

“Dikasih pilihan enak kok malah mempersulit. Pusing kepalaku!” gerutu Indra.

Cani menghela napas. Dia berusaha mengatur detak jantungnya yang terus berdebar kencang.

“Baiklah, aku setuju rumah ini dijual,” ucap Cani dengan berat hati.

“Nah, gitu dong! Dari tadi kek! Masak nunggu bertengkar dulu? Dasar mental orang miskin,” cemooh Victory.

“Besok kita lakukan pengukuran tanah dan bangunan. Soal surat-suratnya, biar aku yang urus,” kata Bu Helena.

“Nanti, uang hasil penjualan bisa kita bagi rata,” ucap Victory tersenyum penuh kemenangan. “Tapi, Mbak Cani dapat bagian paling dikit,” imbuhnya memandang rendah Cani.

“Sudah tidak ada yang diomongin lagi ‘kan? Aku pulang duluan ya,” pamit Victory.

Victory mengajak suami, dan ibunya untuk pergi meninggalkan rumah reot milik ayahnya itu. Begitupun dengan Saudara Cani lainnya ikut mengundurkan diri.

Tubuh Cani lemas seketika. Dia terduduk di atas kursi dengan wajah murung.

“Bisa-bisanya seluruh saudaraku terpengaruh oleh ibu tiri, dan adikku,” ucap Cani masih enggan percaya jika dirinya dimusuhi oleh semua saudaranya.

“Mereka diiming-imingi dengan uang yang akan mereka dapat,” terang Han.

Han mengelus kedua pundak istrinya. Dia ingin memberikan atensinya kepada kekasih tercinta. Agar Cani tidak merasa sendirian.

Cani menghembuskan napas lelah. “Kita harus segera mencari rumah kontrakan untuk tempat tinggal kita nanti,” ucap Cani.

“Kamu serius ingin meninggalkan rumah ini?” tanya Han memastikan.

“Sungguh, aku tidak rela. Dari kecil aku tinggal di rumah ini. Meskipun rumah ini sudah lapuk. Banyak kenangan indah yang aku lalui di sini,” ungkap Cani. “Tapi ....”

“Tapi apa?”

Cani menggelengkan kepalanya yang berdenyut sakit.

Melihat istrinya sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Han meminta sang istri untuk beristirahat.

“Pergilah tidur,” pinta Han.

“Nanti aja aku tidurnya, Mas,” tolak Cani. “Sudah hampir jam tiga sore. Hari ini ‘kan, Mas sift dua. Aku siapin bekal dulu ya.”

Cani beranjak dari tempat duduknya menuju ke dapur. Han membiarkan Cani. Mungkin hal tersebut bisa membuat Cani merasa sedikit membaik.

“Mas Han siap-siap dulu gih. Seragamnya aku letakkan di atas kasur kamar!!” teriak Cani dari dapur.

Han langsung bergerak, menuruti perkataan Cani, istrinya tercinta.

Setelah Han selesai mengenakan pakaian kerjanya. Han menghampiri Cani yang masih sibuk berkutat di dapur. Tanpa aba-aba Han memeluk tubuh Cani dari belakang.

“Mas Han, selalu mesra gini. Aku malu loh, Mas,” kata Cani lirih.

Kedua pipi Cani telah memerah. Han membalik tubuh istrinya sehingga kini bisa leluasa memeluk tubuh berisi sang istri.

“Aku berangkat kerja dulu ya. Kamu kunci semua pintu rumah. Pokoknya jangan dibuka sebelum aku datang. Kamu mengerti?”

Cani mendongak untuk melihat wajah tampan Han.

“Mas Han wangi banget. Aku suka deh,” puji Cani.

Sekarang giliran Han yang tersipu malu. Han selalu bertingkah seperti itu setiap kali Cani memuji, atau membanggakan dirinya.

Setelah mencium kening sang istri, Han berangkat.

Keesokan harinya, di rumah keprabon. Victory datang bersama pak lurah untuk mengukur luas tanah dan rumah.

“Pak Lurah, harga rumah ini kenapa sangat rendah? Dulu, Pak Lurah bilang jika rumah beserta tanahnya dijual, bisa tembus enam ratus juta.” Cani mempertanyakan pernyataan Pak Lurah yang dia ingat.

Pak Lurah menatap Cani dengan tatapan aneh.

“Di mana suamimu?” Bukannya menjawab pertanyaan Cani. Pak Lurah malah balik bertanya.

“Suamiku lagi kerja, Pak. Masuk sore,” jawab Cani. “Pak Lurah belum menjawab pertanyaanku. Harga rumah ayahku kok sekarang murah?” Sekali lagi Cani menanyakan hal ganjil baginya.

“Haduh! Mbak Cani ini tanya mulu! Mending bikinin Pak Lurah minuman!” sosor Victory.

Victory mengeluarkan dompetnya. Sengaja menunjukkan betapa banyak lembar ratusan ribu di dombet kulit itu. Victory menyerahkan uang kepada Cani. Menyuruh Cani membeli segelas kopi dan makanan ringan untuk Pak Lurah.

“Kembaliannya buat kamu saja, Mbak,” kata Victory.

Cani menurut seperti kerbau. Dia berjalan menuju ke warung terdekat untuk membeli pesanan Victory. Setelah menunggu beberapa menit. Akhirnya pesanan jadi. Cani pun segera kembali pulang.

Namun, ketika dia berada di halaman rumah. Ternyata Pak Lurah dan Victory sudah pergi. Untuk kesekian kalinya, harga diri Cani diinjak-injak oleh sang adik.

Cani terduduk di kursi kayu depan rumah. Dia mulai menerawang bagaimana kehidupannya terdahulu.

Kalau diingat kembali, sejak awal, ibu tirinya itu sudah tidak menyukainya. Cani dulu sering diperlakukan tidak adil oleh Bu Helena. Bahkan Cani kerap dihukum tidak boleh makan selama seharian penuh.

“Apa yang dilakukan istriku di depan rumah? Melamun itu tidak baik loh ....” tutur Han.

Cani terperanjat melihat kehadiran sang suami. Wajah terkejutnya tak bisa ia tutupi.

“Mas Han kok sudah pulang? Bukannya ini masih jam lima sore?” tanya Cani kebingungan.

Mata Cani terfokus pada koper berukuran sedang yang dibawa oleh suaminya.

“Mari kita bicara di dalam rumah saja,” ajak Han.

Han menuntun Cani agar masuk ke dalam rumah. Tak lupa, Han juga mengunci pintu rumah.

“Ada apa, Mas? Tadi, Mas pulang nggak bawa motor ya? Motor, Mas ke mana?” tanya Cani panik.

Han tersenyum lalu menenangkan Cani. “Tadi aku diantar temanku pulang. Motornya aku tinggal di pabrik,” jawab Han.

“Loh? Kenapa kok ditinggal di pabrik? Kalau ada yang ambil gimana, Mas?” Cani makin panik.

“Enggak ada yang mau ambil, Sayangku.” Han gemas melihat tingkah lucu Cani.

Han meletakkan koper yang dia bawa di atas meja. Han meminta Cani untuk membuka koper tersebut. Dan ketika koper itu terbuka. Tubuh Cani langsung lemas.

“Mas? Ini duit siapa sebanyak ini?”

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status