Perdebatan kecil tak terhindarkan. Saudara Cani yang lain mulai ikut menyudutkan Cani. Menyalahkan Cani. Dan menuduh Cani serakah.
"Rumah keprabon harus dibagi!" bentak Mbak Fatin. “Sebelum ayah meninggal. Ayah sudah membagi tanah kosong samping rumah. Sedangkan rumah ini adalah hakku. Ayah sendiri yang mengatakannya,” urai Cani. “Mana buktinya kalau ayah kasih rumah ini sama kamu? Jangan asal ngoceh kamu!” tuntut Mbak Fatin. Cani menatap kakak pertamanya, dan Bu Helena yang menjadi saksi waktu itu. Namun, keduanya mengelak pernyataan Cani. Bu Helena malah menuduh jika Cani suka ngarang. “Ya Allah ... Kok tega kalian bohong?” ucap Cani. Cani mencegah Han yang ingin membantu dirinya berbicara. Cani tidak ingin Han diserang oleh saudara-saudaranya yang beringas. Alhasil, Han pun tak bisa mengeluarkan pendapatnya. Padahal Han sudah geregetan. “Kamu yang bohong! Mana ada ayahmu ngasih rumah keluarga kepadamu! Dasar halu!” cela Bu Helena. Cani langsung beristighfar sembari mengelus dadanya yang terasa sesak. Ibu tirinya menyangkal kenyataan. Bagi Cani, ocehan Bu Helena barusan sudah membuktikan jika ibu tirinya itu tidak menjaga amanat sang ayah. “Dikasih pilihan enak kok malah mempersulit. Pusing kepalaku!” gerutu Indra. Cani menghela napas. Dia berusaha mengatur detak jantungnya yang terus berdebar kencang. “Baiklah, aku setuju rumah ini dijual,” ucap Cani dengan berat hati. “Nah, gitu dong! Dari tadi kek! Masak nunggu bertengkar dulu? Dasar mental orang miskin,” cemooh Victory. “Besok kita lakukan pengukuran tanah dan bangunan. Soal surat-suratnya, biar aku yang urus,” kata Bu Helena. “Nanti, uang hasil penjualan bisa kita bagi rata,” ucap Victory tersenyum penuh kemenangan. “Tapi, Mbak Cani dapat bagian paling dikit,” imbuhnya memandang rendah Cani. “Sudah tidak ada yang diomongin lagi ‘kan? Aku pulang duluan ya,” pamit Victory. Victory mengajak suami, dan ibunya untuk pergi meninggalkan rumah reot milik ayahnya itu. Begitupun dengan Saudara Cani lainnya ikut mengundurkan diri. Tubuh Cani lemas seketika. Dia terduduk di atas kursi dengan wajah murung. “Bisa-bisanya seluruh saudaraku terpengaruh oleh ibu tiri, dan adikku,” ucap Cani masih enggan percaya jika dirinya dimusuhi oleh semua saudaranya. “Mereka diiming-imingi dengan uang yang akan mereka dapat,” terang Han. Han mengelus kedua pundak istrinya. Dia ingin memberikan atensinya kepada kekasih tercinta. Agar Cani tidak merasa sendirian. Cani menghembuskan napas lelah. “Kita harus segera mencari rumah kontrakan untuk tempat tinggal kita nanti,” ucap Cani. “Kamu serius ingin meninggalkan rumah ini?” tanya Han memastikan. “Sungguh, aku tidak rela. Dari kecil aku tinggal di rumah ini. Meskipun rumah ini sudah lapuk. Banyak kenangan indah yang aku lalui di sini,” ungkap Cani. “Tapi ....” “Tapi apa?” Cani menggelengkan kepalanya yang berdenyut sakit. Melihat istrinya sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Han meminta sang istri untuk beristirahat. “Pergilah tidur,” pinta Han. “Nanti aja aku tidurnya, Mas,” tolak Cani. “Sudah hampir jam tiga sore. Hari ini ‘kan, Mas sift dua. Aku siapin bekal dulu ya.” Cani beranjak dari tempat duduknya menuju ke dapur. Han membiarkan Cani. Mungkin hal tersebut bisa membuat Cani merasa sedikit membaik. “Mas Han siap-siap dulu gih. Seragamnya aku letakkan di atas kasur kamar!!” teriak Cani dari dapur. Han langsung bergerak, menuruti perkataan Cani, istrinya tercinta. Setelah Han selesai mengenakan pakaian kerjanya. Han menghampiri Cani yang masih sibuk berkutat di dapur. Tanpa aba-aba Han memeluk tubuh Cani dari belakang. “Mas Han, selalu mesra gini. Aku malu loh, Mas,” kata Cani lirih. Kedua pipi Cani telah memerah. Han membalik tubuh istrinya sehingga kini bisa leluasa memeluk tubuh berisi sang istri. “Aku berangkat kerja dulu ya. Kamu kunci semua pintu rumah. Pokoknya jangan dibuka sebelum aku datang. Kamu mengerti?” Cani mendongak untuk melihat wajah tampan Han. “Mas Han wangi banget. Aku suka deh,” puji Cani. Sekarang giliran Han yang tersipu malu. Han selalu bertingkah seperti itu setiap kali Cani memuji, atau membanggakan dirinya. Setelah mencium kening sang istri, Han berangkat. Keesokan harinya, di rumah keprabon. Victory datang bersama pak lurah untuk mengukur luas tanah dan rumah. “Pak Lurah, harga rumah ini kenapa sangat rendah? Dulu, Pak Lurah bilang jika rumah beserta tanahnya dijual, bisa tembus enam ratus juta.” Cani mempertanyakan pernyataan Pak Lurah yang dia ingat. Pak Lurah menatap Cani dengan tatapan aneh. “Di mana suamimu?” Bukannya menjawab pertanyaan Cani. Pak Lurah malah balik bertanya. “Suamiku lagi kerja, Pak. Masuk sore,” jawab Cani. “Pak Lurah belum menjawab pertanyaanku. Harga rumah ayahku kok sekarang murah?” Sekali lagi Cani menanyakan hal ganjil baginya. “Haduh! Mbak Cani ini tanya mulu! Mending bikinin Pak Lurah minuman!” sosor Victory. Victory mengeluarkan dompetnya. Sengaja menunjukkan betapa banyak lembar ratusan ribu di dombet kulit itu. Victory menyerahkan uang kepada Cani. Menyuruh Cani membeli segelas kopi dan makanan ringan untuk Pak Lurah. “Kembaliannya buat kamu saja, Mbak,” kata Victory. Cani menurut seperti kerbau. Dia berjalan menuju ke warung terdekat untuk membeli pesanan Victory. Setelah menunggu beberapa menit. Akhirnya pesanan jadi. Cani pun segera kembali pulang. Namun, ketika dia berada di halaman rumah. Ternyata Pak Lurah dan Victory sudah pergi. Untuk kesekian kalinya, harga diri Cani diinjak-injak oleh sang adik. Cani terduduk di kursi kayu depan rumah. Dia mulai menerawang bagaimana kehidupannya terdahulu. Kalau diingat kembali, sejak awal, ibu tirinya itu sudah tidak menyukainya. Cani dulu sering diperlakukan tidak adil oleh Bu Helena. Bahkan Cani kerap dihukum tidak boleh makan selama seharian penuh. “Apa yang dilakukan istriku di depan rumah? Melamun itu tidak baik loh ....” tutur Han. Cani terperanjat melihat kehadiran sang suami. Wajah terkejutnya tak bisa ia tutupi. “Mas Han kok sudah pulang? Bukannya ini masih jam lima sore?” tanya Cani kebingungan. Mata Cani terfokus pada koper berukuran sedang yang dibawa oleh suaminya. “Mari kita bicara di dalam rumah saja,” ajak Han. Han menuntun Cani agar masuk ke dalam rumah. Tak lupa, Han juga mengunci pintu rumah. “Ada apa, Mas? Tadi, Mas pulang nggak bawa motor ya? Motor, Mas ke mana?” tanya Cani panik. Han tersenyum lalu menenangkan Cani. “Tadi aku diantar temanku pulang. Motornya aku tinggal di pabrik,” jawab Han. “Loh? Kenapa kok ditinggal di pabrik? Kalau ada yang ambil gimana, Mas?” Cani makin panik. “Enggak ada yang mau ambil, Sayangku.” Han gemas melihat tingkah lucu Cani. Han meletakkan koper yang dia bawa di atas meja. Han meminta Cani untuk membuka koper tersebut. Dan ketika koper itu terbuka. Tubuh Cani langsung lemas. “Mas? Ini duit siapa sebanyak ini?” Bersambung...Han tersenyum tipis kemudian menjawab, “Uang ini milikku, Sayang.”Sontak Cani terkejut sekaligus tak percaya. Masa iya, suaminya memiliki uang sebanyak ini? Dari mana coba?“Mas Han jangan bohong ... Sekarang, Mas jawab jujur. Dapat uang ini dari mana?” tanya Cani sedikit mendesak Han agar segera menjawab dengan benar. Han menatap Cani intens. Sebelum menjawab, Han sempat menghela napas terlebih dahulu.“Jangan mikir aneh-aneh. Uang ini dari hasil penjualan tanah,” terang Han. “Apa? Tanah di mana? Kamu menjual tanah siapa?” cecar Cani mulai gelisah. Han menggelengkan kepalanya pelan. “Aku menjual tanah peninggalan nenekku yang diserahkan kepadaku,” kata Han santai. “Tanah peninggalan nenek? Kok, Mas nggak pernah kasih tahu aku sebelumnya? Mas mau main rahasia nih sama aku?” sungut Cani sedikit kesal dan merajuk. Han menyentuh kedua pundak Cani. Juga memberi sedikit rematan di sana agar Cani tenang. Dia tidak ingin menerima amukan dari istrinya tercinta. “Dengarkan aku dulu. S
“Ngomong apa kamu, Han ... Han ....” ejek Indra. “Emang siapa? Saksi yang mengeluarkan kesaksian palsu? Ada-ada saja. Dasar orang miskin,” hina Indra terkekeh dengan tingkah norak Han. “Biasa, baru punya uang tiga ratus juta. Mangkanya sok,” sahut Bu Helena. Han hanya menanggapi ocehan mereka dengan senyuman tipis. “Alhamdullilah ... Semua sudah beres. Sekarang, tanah beserta rumah ini telah resmi menjadi milikku,” ujar Cani merasa lega. Victory menatap sinis kakaknya. Tentu saja, dia tidak senang. “Aku pengen tanya sama kamu, Mas Han.” Victory memandang Han. “Mau tanya apa? Silakan,” jawab Han. “Kamu masih punya tabungan kah? Laku berapa tanah milik nenekmu?” tanya Victory sambil mengangkat dagu. Menunjukkan keangkuhannya. Victory sangat penasaran akan hal tersebut. Sampai-sampai, dia tidak mampu menahan diri untuk tidak bertanya. “Aku tidak punya tabungan. Hasil dari jual tanah, sudah aku berikan untuk membayar kalian,” tutur Han. Victory tersenyum pu
“Jangan ngomong gitu, Mbak. Nggak baik,” ucap Cani. Mbak Fatin melihat meja dagangan Cani yang kosong. “Keripikmu terjual habis lagi?” tanya Mbak Fatin. Cani mengangguk kemudian menjawab, “Iya, Mbak. Tadi ada yang borong.”Mbak Fatin berdecap tidak suka. Mbak Fatin menyuruh Cani untuk melanjutkan kegiatan berberes. Karena Mbak Fatin enggan berlama-lama melihat sang adik. “Aku boleh bantuin kamu, Mbak?” tawar Cani berniat untuk membantu kakaknya membereskan barang. “Heh! Gak usah nyentuh barangku!” bentak Mbak Fatin. “Sana kamu masuk ke rumahmu! Kamu sudah selesai beresin barangmu sendiri ‘kan!” tekannya. Cani terkejut. Pasalnya, ini pertama kalinya bagi Cani mendengar bentakan sang kakak. “Mbak Fatin kok berubah banget ya?” batin Cani bertanya-tanya. “Mbak Fatin kasar sekali?” protes Cani. “Aku berubah juga semua gara-gara kamu! Coba kalau kamu mau menjual rumah ini ke suami Victory. Aku nggak mungkin tertekan seperti ini!” cerocos Mbak Fatin. “Kok nyalahin aku? Aku hanya me
Mbak Fatin menoleh ke arah Cani yang bersuara lantang. “Ya lumayan. Baru dapat dua ratus ribu doang,” jawab Mbak Fatin enteng. “Mbak Fatin mau makan nggak? Kalau mau aku ambilkan.” Cani menawari Mbak Fatin. “Ogah! Palingan juga makanan nggak enak! Aku alergi makan makanan orang susah,” tolak Mbak Fatin congkak. Tingkah tidak tahu diri yang selalu ditampilkan Mbak Fatin. Sukses membuat Han tergelitik. Namun Han terus berusaha menahan diri agar tidak tertawa. “Ya sudah kalau, Mbak Fatin nggak mau makan. Aku makan dulu, Mbak. Tolong jagain warungku sebentar,” pesan Cani. “Ngapain aku jagain warungmu? Kalau mau makan, tinggal aja! Lagian, nggak bakal ada yang beli juga. Keripik pisangmu apek!” cakap Mbak Fatin asal. “Memangnya kamu siapa? Nyuruh aku jagain daganganmu? Bikin kesal saja,” gerutu Mbak Fatin tidak senang. Cani memilih untuk tak menghiraukan Mbak Fatin. Dia ingin makan bersama suami dan para tukang di ruang tamu rumah. Kedatangan Cani disambut baik oleh beberapa tukan
Sampainya di depan rumah. Cani turun dari atas motor. Tubuhnya berbalik menghadap Han yang masih di atas motor. “Tapi, kali ini aku nggak mau diam saja. Kayaknya mereka memang sengaja, ingin membangunkan singa yang tertidur,” tandas Cani. Han tertawa mendengar ucapan Cani. Wajah Cani tak ada gahar-gaharnya. Justru terlihat makin imut di mata Han. “Singa? Daripada singa. Kamu lebih terlihat seperti kucing, Sayang,” kelakar Han. “Apaan sih, Mas Han! Aku singa kok! Bukan kucing!” sanggah Cani mengerucutkan bibir. Senyuman Han makin lebar. Istrinya sangat menggemaskan. Cani yang merajuk, berjalan memasuki rumah dengan hentakan kaki. Bukannya takut istrinya marah. Han justru terus menggoda Cani. “Pelan-pelan jalannya. Awas nanti jatuh,” kata Han melihat istrinya seperti anak kecil. Setelah mengunci pintu rumah. Han menghampiri istrinya yang kini duduk santai di atas ranjang. “Jadi, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Han. Cani menengok ke samping. Matanya menatap Han dengan intens
“Huh? Apa, Mas? Coba ulang, barusan ngomong apa? Tadi ada truk lewat. Jadi suara, Mas Han tidak kedengeran!”Han tersenyum tipis. Dia menggelengkan kepala. “Lupakan saja, Sayang. Aku juga sudah lupa,” kata Han. “Iiihhh ... Apa sih? Baru juga bentar! Sudah lupa saja,” gerundel Cani. Cani tak mau ambil pusing. Dia lebih memilih untuk mengakhiri obrolan. Dan menyandarkan kepala pada punggung suaminya. Keesokan hari. Cani meminta sang suami untuk membereskan barang milik Mbak Fatin yang masih ada di depan rumahnya. Seperti kursi dan meja kayu. Han menyewa sebuah tosa untuk mengembalikan barang tersebut. Setelah Han kembali dari mengantar barang Mbak Fatin. Mereka mulai membersihkan toko. Cani berniat menggunakan toko tersebut untuk berjualan. Daripada dianggurin. “Kenapa toko ini, lama dibiarkan tak terpakai?” tanya Han masih penasaran. Sebenarnya, pertanyaan seperti itu pernah Han pertanyakan pada Cani. Namun, waktu itu Cani enggan menjawab. “Ibu tiriku tidak memperbolehkan tok
Mbak Fatin mengungkapkan rasa malunya pada Cani. Karena hanya Cani yang bersedia menemaninya di rumah sakit. Bahkan, dengan senang Hati Cani merawat anak Mbak Fatin, tanpa diminta. “Kenapa kamu tidak menertawakan kondisiku?” ucap Mbak Fatin. Suaranya terdengar lirih. Kini Mbak Fatin tengah berbaring lemas, di atas ranjang rumah sakit. Cani tersenyum lembut sambil mengelus kening Mbak Fatin. “Orang lagi kena musibah, kok diketawain?” balas Cani. “Apa yang terjadi, Mbak? Kenapa, Mbak bisa seperti ini? Terus, suamimu ada di mana?” cecar Cani ingin tahu. “Aku memergoki suamiku bercinta dengan wanita lain,” lirih Mbak Fatin. Mbak Fatin terdiam cukup lama. Cani sengaja tak memaksa Mbak Fatin untuk langsung bercerita. Toh, kondisi Mbak Fatin belum sepenuhnya pulih. “Kami bertengkar hebat. Lalu dia pergi entah ke mana. Setelah kepergiannya. Banyak debt collector datang untuk menagih hutang suamiku. Aku sangat tertekan,” urai Mbak Fatin. “Dadakku sesak setiap kali aku mengingat kelak
“Astagfirullah ... Nggak perlu sampai ngatain anak orang idiot!” murka Cani. “Aku yang bakal merawat Roni!” Cani paling tidak bisa melihat anak kecil ditindas atau dihina. “Oh ... Mbak Cani mau merawat Roni? Bagus lah ... Sekalian, bayarin biaya anak pertama Mbak Fatin yang lagi mondok. Biar tambah miskin,” ledek Victory. “Merawat seorang anak nggak bakal mungkin bisa bikin makin miskin,” tandas Cani. “Malah enak. Hidupku bakal dipenuhi keberkahan,” tambahnya. “Halah!! Banyak omong! Yaudah sana! Pungut tuh anak! Palingan juga bakal jadi beban doang,” komentar Bu Helena sinis. Cani terus beristigfar setiap kali Bu Helena berbicara. Karena semua yang keluar dari mulut wanita setengah baya itu, tak patut untuk didengar. “Sekarang kalian pulang gih! Rumah ini mau aku kosongin,” usir Victory. “Kita juga mau pulang. Setelah mengambil baju-baju, dan surat penting anak-anak Mbak Fatin,” sosor Cani. “Yaudah! Buruan! Ambil semua kain lusuh itu!” dengus Bu Helena. Cani bergegas mengambi