Dengan santai Han menjawab, “Aku tidak dipecat, Sayang. Hari ini atasan pabrik datang. Sehingga karyawan tidak diperkenankan untuk lembur. Mangkanya aku bisa pulang lebih awal.”
Cani merasa lega. “Oh ... Kirain dipecat,” sahut Mbak Fatin. “Tapi ‘kan kalau enggak lembur bayarannya makin dikit. Mana ada duit buat beli rumah keprabon,” cibirnya kemudian. “Membeli rumah Keprabon?” tanya Han memastikan. Karena Cani tak ingin terjadi perdebatan. Wanita itu meminta sang suami untuk segera masuk ke dalam rumah. Han pun menuruti sang istri. “Kita bisa bicarakan nanti, Mbak. Lagi pula, Mas Han nggak ada hubungannya dengan warisan keluarga kita. Aku harap, Mbak Fatin tidak menyudutkan Mas Han,” tegas Cani. Cani masuk ke dalam rumah. Tanpa menunggu tanggapan dari kakaknya itu. Begitu masuk ke dalam rumah, Cani sudah disambut oleh Han yang ternyata menunggunya. “Maksud dari mbakmu apa, Sayang?” tanya Han bersuara lembut. Cani meletakkan barang bawaannya kemudian duduk di samping Han. “Mereka mulai mengungkit tentang rumah ini, Mas. Rumah yang kita tinggali ini ‘kan statusnya masih milik ayah,” terang Cani. Han mengernyit ketika mendengar penuturan Cani. “Sebagai bentuk terima kasih. Ayahmu telah memberikan tanah beserta rumah ini kepadamu. Karena kamu satu-satunya anak yang mau merawat ayahmu yang sakit.” Han mengingatkan Cani. Cani menggelengkan kepala. “Itu hanya sekedar ucapan saja. Tidak ada bukti tertulis yang memperkuat pernyataan tersebut,” jelas Cani. “Apa yang akan dilakukan saudara-saudaramu?” tanya Han penasaran. “Kata Mbak Fatin, aku harus membeli rumah ini. Kalau aku gak mampu. Aku harus rela rumah ini dibeli oleh suami Victory. Tentu saja, nanti aku juga bakal dapat uang dari penjualan rumah ini,” jelas Cani bersedih. “Mas Han, aku harus ngapain? Aku nggak mau rumah ini jatuh ke tangan orang lain, selain anggota keluargaku sendiri. Rumah ini sudah ada sebelum ibu kandungku meninggal,” lanjut Cani sedikit mengeluh. Han menangkup kedua pipi tembem Cani. Jempolnya memberi elusan lembut di sana. Tindakan Han membuat Cani merasa tenang. “Semua akan baik-baik saja. Kamu tidak perlu memikirkan sesuatu yang belum terjadi,” ucap Han. “Hal itu pasti terjadi. Sekarang, seluruh saudaraku sudah memihak pada Victory dan Bu Helena. Kudeta untuk mendepakku akan segera dimulai.” Cani meluapkan kekhawatirannya. “Jika mereka berani melakukannya. Mereka akan mendapatkan balasan. Yang menjadi saksi atas pernyataan ayahmu waktu itu bukan hanya aku. Melainkan kakak pertamamu, dan Bu Helena. Kita lihat saja nanti. Apakah mereka berdua bersikap jujur atau tidak.” Cani mengangguk mengerti. Hatinya yang sempat gundah. Kini kembali tenang. Suaminya sangat hebat membuat dirinya legowo. “Sudah ah, enggak mau mikir yang aneh-aneh!” ucap Cani. “Mending kita makan bareng yuk! Aku tadi masak hati ampela kesukaanmu loh, Mas,” ajak Cani. Han mengikuti Cani yang berjalan menuju ke dapur. Han tersenyum saat aroma harum masakan Cani tercium. Keduanya pun duduk bersama di lantai, setelah Cani memberi Han sepiring makanan. “Tadi di warung Mbok ada diskon. Yaudah aku beli hati ampela agak banyak. Alhamdulillah, bisa makan makanan enak selama dua hari,” ungkap Cani. Han tersenyum melihat istrinya senang. Dia pun memakan masakan Cani dengan lahab. "Gimana hasil penjualan hari ini?" tanya Han. "Alhamdulillah, Mas ... Laris manis. Banyak orang bermobil berhenti beli keripik pisangku," jawab Cani sumringah. "Syukurlah ... Uangnya disimpan ya." Cani mengangguk seperti anak kecil. Sikap manjanya selalu keluar ketika sedang berduaan bersama sang suami. *** Cani tak menyangka. Waktu itu tiba dengan cepat. Baru saja dirinya dan sang suami membahas soal rumah keprabon. Dua hari kemudian saudara-saudara Cani pada datang ke rumah. Mereka datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Alhasil Cani hanya bisa menurut sambil masih kebingungan. "Mas Han keluar dulu deh. Kamu bukan anggota keluarga." Victory mengusir Han. "Kenapa kok Mas Han aja yang disuruh keluar? Suamimu juga harus keluar dong," timpal Cani. "Heh! Suamiku ini yang punya kuasa. Gak sopan kamu, Mbak! Nyuruh suamiku keluar!" sanggah Victory tidak terima. "Biar adil! Katanya yang bukan anggota keluarga harus keluar?" sosor Cani. "Gak usah ngeributin hal tidak penting. Kalau Han masih ingin di sini. Biarkan saja. Lebih banyak saksi, lebih baik," tutur Indra. "Tuh, suamimu saja mengerti," ucap Cani. Wajah Victory berubah nyolot. Tapi, berhubung suaminya tak mempermasalahkan. Mau tak mau Victory membiarkan Han tetap di dalam rumah. "Kita mulai saja. Kami datang ke sini untuk membicarakan rumah ini. Bagaimana enaknya saja. Biar gak terjadi perpecahan," papar Bu Helena. Berbicara seperti itu. Padahal Bu Helena sendiri yang mengakibatkan perpecahan di antara saudara Cani. "Gak usah basa-basi, Buk. Langsung saja ke intinya. Aku gak tahan di sini lama-lama," desak Victory. "Kalian berdua tinggal di rumah keprabon. Setelah pemilik tanah meninggal. Kalian harus membaginya secara merata ke ahli waris," jelas Bu Helena. "Aduh! Kalimat ibu masih terlalu panjang," cibir Victory. "Intinya gini. Mbak Cani kasih uang ke kita sesuai dengan harga rumah ini. Atau gak, Mbak Cani jual aja rumah ini ke suamiku. Nanti uangnya Mbak bagi ke saudara-saudara Mbak," urai Victory. Cani terdiam. Dia menunggu kakak pertamanya berbicara mengenai wasiat sang ayah sebelum meninggal. "Mbak Cani ini dengar gak sih? Kok malah kayak patung!" sungut Victory mulai kesal. Cani berusaha menahan diri agar tidak menginterupsi kakak pertamanya yang sedari tadi diam. "Pasti lagi mikir. Gak usah mikir segala. Jual saja ke Tuan Indra!" cetus Mbak Fatin. Cani menatap Mbak Fatin dengan tatapan sedikit kesal. "Manggil adik iparnya pakek sebutan tuan? Segitunya," batin Cani. "Lagian, mana mungkin kamu punya uang ratusan juta buat beli bagian-bagian kami," lanjut Mbak Fatin. "Mbak Fatin paling pengertian," puji Victory. Gara-gara ocehan Mbak Fatin. Suasana di dalam ruang tamu mulai memanas. "Nanti kalau Indra membeli rumah ini. Sertifikatnya bakal atas nama siapa? Victory kah?" tanya Cani ingin memastikan. "Mbak Cani kok lucu?" ledek Indra seraya menatap Cani dengan sinis, “Belinya pakek duitku. Yo jelas sertifikat atas namaku lah.” Cani menggelengkan kepalanya. Sebagai anak yang sangat mencintai kedua orang tua kandung. Cani tak rela jika peninggalan ayahnya harus jatuh ke tangan orang lain. "Kasih rumah ini padaku. Nanti aku kasih uang tiga ratus juga," kata Indra enteng. "Tiga ratus juta? Rumah ini berada di tepi jalan raya. Dan memiliki luas tanah 24×16 meter. Terlalu murah jika dihargai segitu." Tiba-tiba Han bersuara. "Halah! Tahu apa kamu soal harga tanah! Mending kamu diam saja, Han!" bentak Indra. "Jangan bentak suamiku! Aku ndak mau jual rumah ini sama kamu!" Bersambung...Perdebatan kecil tak terhindarkan. Saudara Cani yang lain mulai ikut menyudutkan Cani. Menyalahkan Cani. Dan menuduh Cani serakah. "Rumah keprabon harus dibagi!" bentak Mbak Fatin. “Sebelum ayah meninggal. Ayah sudah membagi tanah kosong samping rumah. Sedangkan rumah ini adalah hakku. Ayah sendiri yang mengatakannya,” urai Cani. “Mana buktinya kalau ayah kasih rumah ini sama kamu? Jangan asal ngoceh kamu!” tuntut Mbak Fatin. Cani menatap kakak pertamanya, dan Bu Helena yang menjadi saksi waktu itu. Namun, keduanya mengelak pernyataan Cani. Bu Helena malah menuduh jika Cani suka ngarang. “Ya Allah ... Kok tega kalian bohong?” ucap Cani. Cani mencegah Han yang ingin membantu dirinya berbicara. Cani tidak ingin Han diserang oleh saudara-saudaranya yang beringas. Alhasil, Han pun tak bisa mengeluarkan pendapatnya. Padahal Han sudah geregetan. “Kamu yang bohong! Mana ada ayahmu ngasih rumah keluarga kepadamu! Dasar halu!” cela Bu Helena. Cani langsung beristighfar sembari mengel
Han tersenyum tipis kemudian menjawab, “Uang ini milikku, Sayang.”Sontak Cani terkejut sekaligus tak percaya. Masa iya, suaminya memiliki uang sebanyak ini? Dari mana coba?“Mas Han jangan bohong ... Sekarang, Mas jawab jujur. Dapat uang ini dari mana?” tanya Cani sedikit mendesak Han agar segera menjawab dengan benar. Han menatap Cani intens. Sebelum menjawab, Han sempat menghela napas terlebih dahulu.“Jangan mikir aneh-aneh. Uang ini dari hasil penjualan tanah,” terang Han. “Apa? Tanah di mana? Kamu menjual tanah siapa?” cecar Cani mulai gelisah. Han menggelengkan kepalanya pelan. “Aku menjual tanah peninggalan nenekku yang diserahkan kepadaku,” kata Han santai. “Tanah peninggalan nenek? Kok, Mas nggak pernah kasih tahu aku sebelumnya? Mas mau main rahasia nih sama aku?” sungut Cani sedikit kesal dan merajuk. Han menyentuh kedua pundak Cani. Juga memberi sedikit rematan di sana agar Cani tenang. Dia tidak ingin menerima amukan dari istrinya tercinta. “Dengarkan aku dulu. S
“Ngomong apa kamu, Han ... Han ....” ejek Indra. “Emang siapa? Saksi yang mengeluarkan kesaksian palsu? Ada-ada saja. Dasar orang miskin,” hina Indra terkekeh dengan tingkah norak Han. “Biasa, baru punya uang tiga ratus juta. Mangkanya sok,” sahut Bu Helena. Han hanya menanggapi ocehan mereka dengan senyuman tipis. “Alhamdullilah ... Semua sudah beres. Sekarang, tanah beserta rumah ini telah resmi menjadi milikku,” ujar Cani merasa lega. Victory menatap sinis kakaknya. Tentu saja, dia tidak senang. “Aku pengen tanya sama kamu, Mas Han.” Victory memandang Han. “Mau tanya apa? Silakan,” jawab Han. “Kamu masih punya tabungan kah? Laku berapa tanah milik nenekmu?” tanya Victory sambil mengangkat dagu. Menunjukkan keangkuhannya. Victory sangat penasaran akan hal tersebut. Sampai-sampai, dia tidak mampu menahan diri untuk tidak bertanya. “Aku tidak punya tabungan. Hasil dari jual tanah, sudah aku berikan untuk membayar kalian,” tutur Han. Victory tersenyum pu
“Jangan ngomong gitu, Mbak. Nggak baik,” ucap Cani. Mbak Fatin melihat meja dagangan Cani yang kosong. “Keripikmu terjual habis lagi?” tanya Mbak Fatin. Cani mengangguk kemudian menjawab, “Iya, Mbak. Tadi ada yang borong.”Mbak Fatin berdecap tidak suka. Mbak Fatin menyuruh Cani untuk melanjutkan kegiatan berberes. Karena Mbak Fatin enggan berlama-lama melihat sang adik. “Aku boleh bantuin kamu, Mbak?” tawar Cani berniat untuk membantu kakaknya membereskan barang. “Heh! Gak usah nyentuh barangku!” bentak Mbak Fatin. “Sana kamu masuk ke rumahmu! Kamu sudah selesai beresin barangmu sendiri ‘kan!” tekannya. Cani terkejut. Pasalnya, ini pertama kalinya bagi Cani mendengar bentakan sang kakak. “Mbak Fatin kok berubah banget ya?” batin Cani bertanya-tanya. “Mbak Fatin kasar sekali?” protes Cani. “Aku berubah juga semua gara-gara kamu! Coba kalau kamu mau menjual rumah ini ke suami Victory. Aku nggak mungkin tertekan seperti ini!” cerocos Mbak Fatin. “Kok nyalahin aku? Aku hanya me
Mbak Fatin menoleh ke arah Cani yang bersuara lantang. “Ya lumayan. Baru dapat dua ratus ribu doang,” jawab Mbak Fatin enteng. “Mbak Fatin mau makan nggak? Kalau mau aku ambilkan.” Cani menawari Mbak Fatin. “Ogah! Palingan juga makanan nggak enak! Aku alergi makan makanan orang susah,” tolak Mbak Fatin congkak. Tingkah tidak tahu diri yang selalu ditampilkan Mbak Fatin. Sukses membuat Han tergelitik. Namun Han terus berusaha menahan diri agar tidak tertawa. “Ya sudah kalau, Mbak Fatin nggak mau makan. Aku makan dulu, Mbak. Tolong jagain warungku sebentar,” pesan Cani. “Ngapain aku jagain warungmu? Kalau mau makan, tinggal aja! Lagian, nggak bakal ada yang beli juga. Keripik pisangmu apek!” cakap Mbak Fatin asal. “Memangnya kamu siapa? Nyuruh aku jagain daganganmu? Bikin kesal saja,” gerutu Mbak Fatin tidak senang. Cani memilih untuk tak menghiraukan Mbak Fatin. Dia ingin makan bersama suami dan para tukang di ruang tamu rumah. Kedatangan Cani disambut baik oleh beberapa tukan
Sampainya di depan rumah. Cani turun dari atas motor. Tubuhnya berbalik menghadap Han yang masih di atas motor. “Tapi, kali ini aku nggak mau diam saja. Kayaknya mereka memang sengaja, ingin membangunkan singa yang tertidur,” tandas Cani. Han tertawa mendengar ucapan Cani. Wajah Cani tak ada gahar-gaharnya. Justru terlihat makin imut di mata Han. “Singa? Daripada singa. Kamu lebih terlihat seperti kucing, Sayang,” kelakar Han. “Apaan sih, Mas Han! Aku singa kok! Bukan kucing!” sanggah Cani mengerucutkan bibir. Senyuman Han makin lebar. Istrinya sangat menggemaskan. Cani yang merajuk, berjalan memasuki rumah dengan hentakan kaki. Bukannya takut istrinya marah. Han justru terus menggoda Cani. “Pelan-pelan jalannya. Awas nanti jatuh,” kata Han melihat istrinya seperti anak kecil. Setelah mengunci pintu rumah. Han menghampiri istrinya yang kini duduk santai di atas ranjang. “Jadi, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Han. Cani menengok ke samping. Matanya menatap Han dengan intens
“Huh? Apa, Mas? Coba ulang, barusan ngomong apa? Tadi ada truk lewat. Jadi suara, Mas Han tidak kedengeran!”Han tersenyum tipis. Dia menggelengkan kepala. “Lupakan saja, Sayang. Aku juga sudah lupa,” kata Han. “Iiihhh ... Apa sih? Baru juga bentar! Sudah lupa saja,” gerundel Cani. Cani tak mau ambil pusing. Dia lebih memilih untuk mengakhiri obrolan. Dan menyandarkan kepala pada punggung suaminya. Keesokan hari. Cani meminta sang suami untuk membereskan barang milik Mbak Fatin yang masih ada di depan rumahnya. Seperti kursi dan meja kayu. Han menyewa sebuah tosa untuk mengembalikan barang tersebut. Setelah Han kembali dari mengantar barang Mbak Fatin. Mereka mulai membersihkan toko. Cani berniat menggunakan toko tersebut untuk berjualan. Daripada dianggurin. “Kenapa toko ini, lama dibiarkan tak terpakai?” tanya Han masih penasaran. Sebenarnya, pertanyaan seperti itu pernah Han pertanyakan pada Cani. Namun, waktu itu Cani enggan menjawab. “Ibu tiriku tidak memperbolehkan tok
Mbak Fatin mengungkapkan rasa malunya pada Cani. Karena hanya Cani yang bersedia menemaninya di rumah sakit. Bahkan, dengan senang Hati Cani merawat anak Mbak Fatin, tanpa diminta. “Kenapa kamu tidak menertawakan kondisiku?” ucap Mbak Fatin. Suaranya terdengar lirih. Kini Mbak Fatin tengah berbaring lemas, di atas ranjang rumah sakit. Cani tersenyum lembut sambil mengelus kening Mbak Fatin. “Orang lagi kena musibah, kok diketawain?” balas Cani. “Apa yang terjadi, Mbak? Kenapa, Mbak bisa seperti ini? Terus, suamimu ada di mana?” cecar Cani ingin tahu. “Aku memergoki suamiku bercinta dengan wanita lain,” lirih Mbak Fatin. Mbak Fatin terdiam cukup lama. Cani sengaja tak memaksa Mbak Fatin untuk langsung bercerita. Toh, kondisi Mbak Fatin belum sepenuhnya pulih. “Kami bertengkar hebat. Lalu dia pergi entah ke mana. Setelah kepergiannya. Banyak debt collector datang untuk menagih hutang suamiku. Aku sangat tertekan,” urai Mbak Fatin. “Dadakku sesak setiap kali aku mengingat kelak