Share

Bab. 03. Rebutan Rumah Keprabon. Kok Serakah?

Dengan santai Han menjawab, “Aku tidak dipecat, Sayang. Hari ini atasan pabrik datang. Sehingga karyawan tidak diperkenankan untuk lembur. Mangkanya aku bisa pulang lebih awal.”

Cani merasa lega.

“Oh ... Kirain dipecat,” sahut Mbak Fatin. “Tapi ‘kan kalau enggak lembur bayarannya makin dikit. Mana ada duit buat beli rumah keprabon,” cibirnya kemudian.

“Membeli rumah Keprabon?” tanya Han memastikan.

Karena Cani tak ingin terjadi perdebatan. Wanita itu meminta sang suami untuk segera masuk ke dalam rumah. Han pun menuruti sang istri.

“Kita bisa bicarakan nanti, Mbak. Lagi pula, Mas Han nggak ada hubungannya dengan warisan keluarga kita. Aku harap, Mbak Fatin tidak menyudutkan Mas Han,” tegas Cani.

Cani masuk ke dalam rumah. Tanpa menunggu tanggapan dari kakaknya itu.

Begitu masuk ke dalam rumah, Cani sudah disambut oleh Han yang ternyata menunggunya.

“Maksud dari mbakmu apa, Sayang?” tanya Han bersuara lembut.

Cani meletakkan barang bawaannya kemudian duduk di samping Han.

“Mereka mulai mengungkit tentang rumah ini, Mas. Rumah yang kita tinggali ini ‘kan statusnya masih milik ayah,” terang Cani.

Han mengernyit ketika mendengar penuturan Cani.

“Sebagai bentuk terima kasih. Ayahmu telah memberikan tanah beserta rumah ini kepadamu. Karena kamu satu-satunya anak yang mau merawat ayahmu yang sakit.” Han mengingatkan Cani.

Cani menggelengkan kepala.

“Itu hanya sekedar ucapan saja. Tidak ada bukti tertulis yang memperkuat pernyataan tersebut,” jelas Cani.

“Apa yang akan dilakukan saudara-saudaramu?” tanya Han penasaran.

“Kata Mbak Fatin, aku harus membeli rumah ini. Kalau aku gak mampu. Aku harus rela rumah ini dibeli oleh suami Victory. Tentu saja, nanti aku juga bakal dapat uang dari penjualan rumah ini,” jelas Cani bersedih.

“Mas Han, aku harus ngapain? Aku nggak mau rumah ini jatuh ke tangan orang lain, selain anggota keluargaku sendiri. Rumah ini sudah ada sebelum ibu kandungku meninggal,” lanjut Cani sedikit mengeluh.

Han menangkup kedua pipi tembem Cani. Jempolnya memberi elusan lembut di sana. Tindakan Han membuat Cani merasa tenang.

“Semua akan baik-baik saja. Kamu tidak perlu memikirkan sesuatu yang belum terjadi,” ucap Han.

“Hal itu pasti terjadi. Sekarang, seluruh saudaraku sudah memihak pada Victory dan Bu Helena. Kudeta untuk mendepakku akan segera dimulai.” Cani meluapkan kekhawatirannya.

“Jika mereka berani melakukannya. Mereka akan mendapatkan balasan. Yang menjadi saksi atas pernyataan ayahmu waktu itu bukan hanya aku. Melainkan kakak pertamamu, dan Bu Helena. Kita lihat saja nanti. Apakah mereka berdua bersikap jujur atau tidak.”

Cani mengangguk mengerti. Hatinya yang sempat gundah. Kini kembali tenang. Suaminya sangat hebat membuat dirinya legowo.

“Sudah ah, enggak mau mikir yang aneh-aneh!” ucap Cani. “Mending kita makan bareng yuk! Aku tadi masak hati ampela kesukaanmu loh, Mas,” ajak Cani.

Han mengikuti Cani yang berjalan menuju ke dapur. Han tersenyum saat aroma harum masakan Cani tercium. Keduanya pun duduk bersama di lantai, setelah Cani memberi Han sepiring makanan.

“Tadi di warung Mbok ada diskon. Yaudah aku beli hati ampela agak banyak. Alhamdulillah, bisa makan makanan enak selama dua hari,” ungkap Cani.

Han tersenyum melihat istrinya senang. Dia pun memakan masakan Cani dengan lahab.

"Gimana hasil penjualan hari ini?" tanya Han.

"Alhamdulillah, Mas ... Laris manis. Banyak orang bermobil berhenti beli keripik pisangku," jawab Cani sumringah.

"Syukurlah ... Uangnya disimpan ya."

Cani mengangguk seperti anak kecil. Sikap manjanya selalu keluar ketika sedang berduaan bersama sang suami.

***

Cani tak menyangka. Waktu itu tiba dengan cepat. Baru saja dirinya dan sang suami membahas soal rumah keprabon. Dua hari kemudian saudara-saudara Cani pada datang ke rumah.

Mereka datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Alhasil Cani hanya bisa menurut sambil masih kebingungan.

"Mas Han keluar dulu deh. Kamu bukan anggota keluarga." Victory mengusir Han.

"Kenapa kok Mas Han aja yang disuruh keluar? Suamimu juga harus keluar dong," timpal Cani.

"Heh! Suamiku ini yang punya kuasa. Gak sopan kamu, Mbak! Nyuruh suamiku keluar!" sanggah Victory tidak terima.

"Biar adil! Katanya yang bukan anggota keluarga harus keluar?" sosor Cani.

"Gak usah ngeributin hal tidak penting. Kalau Han masih ingin di sini. Biarkan saja. Lebih banyak saksi, lebih baik," tutur Indra.

"Tuh, suamimu saja mengerti," ucap Cani.

Wajah Victory berubah nyolot. Tapi, berhubung suaminya tak mempermasalahkan. Mau tak mau Victory membiarkan Han tetap di dalam rumah.

"Kita mulai saja. Kami datang ke sini untuk membicarakan rumah ini. Bagaimana enaknya saja. Biar gak terjadi perpecahan," papar Bu Helena.

Berbicara seperti itu. Padahal Bu Helena sendiri yang mengakibatkan perpecahan di antara saudara Cani.

"Gak usah basa-basi, Buk. Langsung saja ke intinya. Aku gak tahan di sini lama-lama," desak Victory.

"Kalian berdua tinggal di rumah keprabon. Setelah pemilik tanah meninggal. Kalian harus membaginya secara merata ke ahli waris," jelas Bu Helena.

"Aduh! Kalimat ibu masih terlalu panjang," cibir Victory.

"Intinya gini. Mbak Cani kasih uang ke kita sesuai dengan harga rumah ini. Atau gak, Mbak Cani jual aja rumah ini ke suamiku. Nanti uangnya Mbak bagi ke saudara-saudara Mbak," urai Victory.

Cani terdiam. Dia menunggu kakak pertamanya berbicara mengenai wasiat sang ayah sebelum meninggal.

"Mbak Cani ini dengar gak sih? Kok malah kayak patung!" sungut Victory mulai kesal.

Cani berusaha menahan diri agar tidak menginterupsi kakak pertamanya yang sedari tadi diam.

"Pasti lagi mikir. Gak usah mikir segala. Jual saja ke Tuan Indra!" cetus Mbak Fatin.

Cani menatap Mbak Fatin dengan tatapan sedikit kesal.

"Manggil adik iparnya pakek sebutan tuan? Segitunya," batin Cani.

"Lagian, mana mungkin kamu punya uang ratusan juta buat beli bagian-bagian kami," lanjut Mbak Fatin.

"Mbak Fatin paling pengertian," puji Victory.

Gara-gara ocehan Mbak Fatin. Suasana di dalam ruang tamu mulai memanas.

"Nanti kalau Indra membeli rumah ini. Sertifikatnya bakal atas nama siapa? Victory kah?" tanya Cani ingin memastikan.

"Mbak Cani kok lucu?" ledek Indra seraya menatap Cani dengan sinis, “Belinya pakek duitku. Yo jelas sertifikat atas namaku lah.”

Cani menggelengkan kepalanya. Sebagai anak yang sangat mencintai kedua orang tua kandung. Cani tak rela jika peninggalan ayahnya harus jatuh ke tangan orang lain.

"Kasih rumah ini padaku. Nanti aku kasih uang tiga ratus juga," kata Indra enteng.

"Tiga ratus juta? Rumah ini berada di tepi jalan raya. Dan memiliki luas tanah 24×16 meter. Terlalu murah jika dihargai segitu." Tiba-tiba Han bersuara.

"Halah! Tahu apa kamu soal harga tanah! Mending kamu diam saja, Han!" bentak Indra.

"Jangan bentak suamiku! Aku ndak mau jual rumah ini sama kamu!"

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status