Beranda / Pernikahan / Suami Miskinku Ternyata Mafia Kaya / Bab. 02. Lagi Asyik Jualan Keripik, Malah Disinggung Soal Warisan

Share

Bab. 02. Lagi Asyik Jualan Keripik, Malah Disinggung Soal Warisan

Rasanya, ingin sekali Cani memukul wajah menyebalkan yang ditampilkan oleh Victory.

"Gayamu, Dek. Padahal dulu uang segitu sudah banyak buat kamu. Sekarang kamu sombong banget," ujar Cani.

Cani agak miris melihat kelakukan congkak keluarganya. Mereka seakan melupakan kedihupan mereka sebelumnya. Terutama untuk Ibu Tiri dan adiknya.

"Apaan sih, Mbak. Dulu ya dulu. Manusia itu mengalami peningkatan sosial. Bukan penurunan sosial kayak kamu!" ketus Victory.

"Cani, ayo kita pulang," ajak Han menggenggam lengan Cani.

"Pulang sana! Aku udah eneg ngelihat muka kalian berdua! Bikin noda di pestaku aja!" pungkas Victory.

Dengan sedikit rasa kekesalan, Cani berlalu meninggalkan tempat pesta pernikahan.

Mereka berdua pulang, dengan mengendarai motor butut milik Han.

Selama perjalan menuju rumah. Cani tak bisa berhenti menggerutu. Tubuh Cani yang kecil dan pendek, berusaha mensejajarkan diri dengan tubuh besar sang suami.

"Mereka tuh apa-apaan sih? Jadi kayak gitu! Songong amat ya?" ucap Cani.

Han tersenyum tipis, lalu berkata, "Keluargamu pasti kesal. Karena kamu mau menikah denganku yang bukan orang kaya ini."

Cani tak senang atas perkataan suamianya.

"Mereka aneh. Seharusnya mereka tidak boleh kesal. Toh, mereka juga bukan orang kaya. Ibuku terlalu membanggakan diri, setelah punya menantu kaya raya. Padahal belum jelas" terang Cani.

"Yeah, begitulah manusia. Bisa berubah-ubah," timpal Han.

Cani mengangguk. Kekesalannya yang menggebu-gebu kini hilang seketika. Sang suami selalu bisa membuat dirinya tenang.

Cani makin menyabuk pada perut six pack Han.

"Sayang banget sama Mas Han. Aku gak mau lepasin Mas Han," ucap Cani lirih sambil terus menyamankan diri.

***

Berjualan keripik pisang. Itu adalah kegiatan sehari-hari Cani. Beruntungnya dia masih memiliki lapak untuk berjualan.

Di samping Cani. Ada orang yang berjualan es campur. Dia adalah kakak nomor tiga Cani. Namanya Mbak Fatin. Usia mereka terpaut lumayan jauh.

Cani dan Mbak Fatin berjualan di depan toko bekas milik orang tua mereka. Toko itu kini sudah tidak beroperasi.

Dan di belakang toko, ada rumah kecil milik keluarga yang ditinggali oleh Cani, dan suaminya.

"Laris ya daganganmu," ucap Mbak Fatin.

"Alhamdullilah, Mbak. Akhir-akhir ini dikasih rezeki melimpah," jawab Cani.

Mbak Fatin terlihat tidak senang. Padahal, es campur jualannya juga laris manis karena cuaca panas. Tapi masih saja merecoki Cani.

"Kamu pakek resep ibu?" tanya Mbak Fatin.

Ibu yang dimaksud itu ibu kandung Cani, dan Mbak Fatin.

"Iya, Mbak. Aku mau nerusin usaha ibu dulu," kata Cani.

Mbak Fatin langsung mengeluarkan ekspresi meremehkan.

"Ya iyalah, kamu 'kan anak kesayangan ibu. Anak yang tiap hari diajak jualan ya kamu. Heran. Kamu waktu itu masih kecil," cerocos Mbak Fatin.

Cani tersenyum tipis. Dia sempat teringat dengan kenangannya bersama sang ibu. Sebelum ibunya meninggal.

"Harusnya kamu berterima kasih sama Bu Helena yang sudah merawatmu. Padahal kamu bukan anak kandungnya. Bukannya jadi pembangkang kayak gini," berondong Mbak Fatin.

Cani menghembuskan napas lelah.

"Kapan sih, Mbak. Aku jadi pembangkang? Aku selalu nurut kok sama Bu Helena," tukas Cani.

"Buktinya, kamu gak mau menikah sama pria pilihan Bu Helena. Kamu malah menikah sama si Han itu!" sela Mbak Fatin.

"Aku nggak mau menikah sama juragan buah. Orangnya suka main cewek. Terus mesum juga. Masak baru kenal sudah berani colek-colek. Aku yo takut," ungkap Cani.

Cani bergidik ngeri mengingat kejadian tak mengenakkan yang pernah dia alami.

Kalau dipikir-pikir kembali. Bu Helena selalu memperkenalkan Cani kepada pria yang tidak beres. Entah itu terlalu tua. Atau lelaki mata keranjang.

"Yang penting kaya! Punya banyak duit. Biar kamu bisa hidup enak! Bukan malah nikah sama cowok kere gak punya apa-apa."

Cani menatap datar kakaknya yang kini sebelas dua belas seperti Bu Helena sikapnya.

"Lah, Mbak sendiri menikah sama tukang parkir," batin Cani.

Ingin rasanya Cani membalikan posisi. Mengomentari kehidupan Mbak Fatin yang juga serba kekurangan.

Mbak Fatin jelas ada dipihak Victory. Karena sekarang, Victory lah yang memiliki kuasa.

"Ngomong-ngomong. Rumah yang kamu tinggali itu. Masih rumah keluarga. Kapan kamu bakal bayar ke saudara-saudaramu? Atau Mau diusir kah?"

Cani terkejut. Tiba-tiba Mbak Fatin menyinggung soal peninggalan sang ayah.

Saat Cani hendak membalas ucapan Mbak Fatin. Tindakannya terhenti. Ada seseorang yang datang untuk membeli keripik pisang.

Tatapan tidak suka terpampang jelas di wajah kusut Mbak Fatin. Apalagi setelah tahu jika dagangan Cani diborong oleh ibu-ibu itu.

"Terima kasih, Bu."

Setelah menanggapi ucapan Cani dengan anggukan. Si Pembeli berlalu pergi.

"Alhamdullilah ... Stok hari ini habis," ucap Cani penuh rasa syukur.

"Halah! Baru habis sekali aja bangga. Sombong amat," cibir Mbak Fatin.

"Sombong dari mana sih, Mbak?" Cani menggelengkan kepala.

"Kamu harus nyiapin uang. Kalau enggak. Siap-siap aja hengkang dari rumah ini. Soalnya, suami Victory bakal beli tanah, dan rumah keluarga," jelas Mbak Fatin.

Cani makin tercengang.

"Rumah keluarga harus dibagi ke seluruh ahli waris," kata Mbak Fatin.

"Loh?"

"Kalau kamu masih pengen tinggal di rumah keprabon. Kamu harus membeli bagian-bagian dari saudaramu. Ngerti 'kan? Masak gak ngerti?"

Dalam istilah jawa, rumah kerabon berarti rumah warisan turun-temurun.

Seketika itu Cani terdiam, dan merenungi penjelasan Mbak Fatin.

"Mangkanya, disuruh nikah sama orang kaya. Malah milih nikah sama cowok miskin. Gitu lah, akibatnya," lanjut Mbak Fatin.

"Ayah baru meninggal satu bulan lalu. Kok tega kalian ungkit warisan? Mbak Fatin butuh uang banget ta?"

Cani sedikit menyesal telah mengeluarkan pertanyaan yang mungkin menyakiti hati Mbak Fatin.

"Oh ... Kamu gak butuh uang ya? Mau terbelenggu dalam kemiskinan terus? Iya!" pekik Mbak Fatin.

"Bukan begitu, Mbak. Aduh ... Maaf. Aku nggak maksud. Sudah, mbak. Jangan dibahas lagi. Puyeng kepalaku." Cani berkelit.

Cani membereskan mejanya. Bersiap-siap untuk tutup.

"Padahal masih punya stok di dalam rumah. Belum waktunya tutup kok tutup?" cibir Mbak Fatin.

Cani memilih untuk tidak merespon. Dia fokus membersihkan tempatnya.

Tak berselang lama. Han datang dengan motor bututnya.

"Mas sudah pulang? Kok tumben jam tiga sore?" Cani segera mencium punggung tangan Han.

Tak lupa, Cani juga mengambil tas punggung milik suaminya.

"Suami gak guna aja dilayani segala," hina Mbak Fatin.

"Mbak Fatin, mau aku bantuin berberes? Dagangan Mbak sudah habis tuh," tawar Han.

Han membalas kakak iparnya dengan tindakan baik.

"Apanya yang habis? Sok tahu!" tolak Mbak Fatin.

"Aku pikir sudah habis," ucap Han seraya melempar senyuman tipis.

"Kamu mengejekku?" sungut Mbak Fatin.

"Mas Han. Kok sudah pulang? Bukannya hari ini pulang jam delapan malam?" Cani kembali mempertanyakan pertanyaannya yang tidak terjawab sebelumnya.

"Dipecat kali," celetuk Mbak Fatin.

"Mas Han dipecat?"

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status