Rasanya, ingin sekali Cani memukul wajah menyebalkan yang ditampilkan oleh Victory.
"Gayamu, Dek. Padahal dulu uang segitu sudah banyak buat kamu. Sekarang kamu sombong banget," ujar Cani. Cani agak miris melihat kelakukan congkak keluarganya. Mereka seakan melupakan kedihupan mereka sebelumnya. Terutama untuk Ibu Tiri dan adiknya. "Apaan sih, Mbak. Dulu ya dulu. Manusia itu mengalami peningkatan sosial. Bukan penurunan sosial kayak kamu!" ketus Victory. "Cani, ayo kita pulang," ajak Han menggenggam lengan Cani. "Pulang sana! Aku udah eneg ngelihat muka kalian berdua! Bikin noda di pestaku aja!" pungkas Victory. Dengan sedikit rasa kekesalan, Cani berlalu meninggalkan tempat pesta pernikahan. Mereka berdua pulang, dengan mengendarai motor butut milik Han. Selama perjalan menuju rumah. Cani tak bisa berhenti menggerutu. Tubuh Cani yang kecil dan pendek, berusaha mensejajarkan diri dengan tubuh besar sang suami. "Mereka tuh apa-apaan sih? Jadi kayak gitu! Songong amat ya?" ucap Cani. Han tersenyum tipis, lalu berkata, "Keluargamu pasti kesal. Karena kamu mau menikah denganku yang bukan orang kaya ini." Cani tak senang atas perkataan suamianya. "Mereka aneh. Seharusnya mereka tidak boleh kesal. Toh, mereka juga bukan orang kaya. Ibuku terlalu membanggakan diri, setelah punya menantu kaya raya. Padahal belum jelas" terang Cani. "Yeah, begitulah manusia. Bisa berubah-ubah," timpal Han. Cani mengangguk. Kekesalannya yang menggebu-gebu kini hilang seketika. Sang suami selalu bisa membuat dirinya tenang. Cani makin menyabuk pada perut six pack Han. "Sayang banget sama Mas Han. Aku gak mau lepasin Mas Han," ucap Cani lirih sambil terus menyamankan diri. *** Berjualan keripik pisang. Itu adalah kegiatan sehari-hari Cani. Beruntungnya dia masih memiliki lapak untuk berjualan. Di samping Cani. Ada orang yang berjualan es campur. Dia adalah kakak nomor tiga Cani. Namanya Mbak Fatin. Usia mereka terpaut lumayan jauh. Cani dan Mbak Fatin berjualan di depan toko bekas milik orang tua mereka. Toko itu kini sudah tidak beroperasi. Dan di belakang toko, ada rumah kecil milik keluarga yang ditinggali oleh Cani, dan suaminya. "Laris ya daganganmu," ucap Mbak Fatin. "Alhamdullilah, Mbak. Akhir-akhir ini dikasih rezeki melimpah," jawab Cani. Mbak Fatin terlihat tidak senang. Padahal, es campur jualannya juga laris manis karena cuaca panas. Tapi masih saja merecoki Cani. "Kamu pakek resep ibu?" tanya Mbak Fatin. Ibu yang dimaksud itu ibu kandung Cani, dan Mbak Fatin. "Iya, Mbak. Aku mau nerusin usaha ibu dulu," kata Cani. Mbak Fatin langsung mengeluarkan ekspresi meremehkan. "Ya iyalah, kamu 'kan anak kesayangan ibu. Anak yang tiap hari diajak jualan ya kamu. Heran. Kamu waktu itu masih kecil," cerocos Mbak Fatin. Cani tersenyum tipis. Dia sempat teringat dengan kenangannya bersama sang ibu. Sebelum ibunya meninggal. "Harusnya kamu berterima kasih sama Bu Helena yang sudah merawatmu. Padahal kamu bukan anak kandungnya. Bukannya jadi pembangkang kayak gini," berondong Mbak Fatin. Cani menghembuskan napas lelah. "Kapan sih, Mbak. Aku jadi pembangkang? Aku selalu nurut kok sama Bu Helena," tukas Cani. "Buktinya, kamu gak mau menikah sama pria pilihan Bu Helena. Kamu malah menikah sama si Han itu!" sela Mbak Fatin. "Aku nggak mau menikah sama juragan buah. Orangnya suka main cewek. Terus mesum juga. Masak baru kenal sudah berani colek-colek. Aku yo takut," ungkap Cani. Cani bergidik ngeri mengingat kejadian tak mengenakkan yang pernah dia alami. Kalau dipikir-pikir kembali. Bu Helena selalu memperkenalkan Cani kepada pria yang tidak beres. Entah itu terlalu tua. Atau lelaki mata keranjang. "Yang penting kaya! Punya banyak duit. Biar kamu bisa hidup enak! Bukan malah nikah sama cowok kere gak punya apa-apa." Cani menatap datar kakaknya yang kini sebelas dua belas seperti Bu Helena sikapnya. "Lah, Mbak sendiri menikah sama tukang parkir," batin Cani. Ingin rasanya Cani membalikan posisi. Mengomentari kehidupan Mbak Fatin yang juga serba kekurangan. Mbak Fatin jelas ada dipihak Victory. Karena sekarang, Victory lah yang memiliki kuasa. "Ngomong-ngomong. Rumah yang kamu tinggali itu. Masih rumah keluarga. Kapan kamu bakal bayar ke saudara-saudaramu? Atau Mau diusir kah?" Cani terkejut. Tiba-tiba Mbak Fatin menyinggung soal peninggalan sang ayah. Saat Cani hendak membalas ucapan Mbak Fatin. Tindakannya terhenti. Ada seseorang yang datang untuk membeli keripik pisang. Tatapan tidak suka terpampang jelas di wajah kusut Mbak Fatin. Apalagi setelah tahu jika dagangan Cani diborong oleh ibu-ibu itu. "Terima kasih, Bu." Setelah menanggapi ucapan Cani dengan anggukan. Si Pembeli berlalu pergi. "Alhamdullilah ... Stok hari ini habis," ucap Cani penuh rasa syukur. "Halah! Baru habis sekali aja bangga. Sombong amat," cibir Mbak Fatin. "Sombong dari mana sih, Mbak?" Cani menggelengkan kepala. "Kamu harus nyiapin uang. Kalau enggak. Siap-siap aja hengkang dari rumah ini. Soalnya, suami Victory bakal beli tanah, dan rumah keluarga," jelas Mbak Fatin. Cani makin tercengang. "Rumah keluarga harus dibagi ke seluruh ahli waris," kata Mbak Fatin. "Loh?" "Kalau kamu masih pengen tinggal di rumah keprabon. Kamu harus membeli bagian-bagian dari saudaramu. Ngerti 'kan? Masak gak ngerti?" Dalam istilah jawa, rumah kerabon berarti rumah warisan turun-temurun. Seketika itu Cani terdiam, dan merenungi penjelasan Mbak Fatin. "Mangkanya, disuruh nikah sama orang kaya. Malah milih nikah sama cowok miskin. Gitu lah, akibatnya," lanjut Mbak Fatin. "Ayah baru meninggal satu bulan lalu. Kok tega kalian ungkit warisan? Mbak Fatin butuh uang banget ta?" Cani sedikit menyesal telah mengeluarkan pertanyaan yang mungkin menyakiti hati Mbak Fatin. "Oh ... Kamu gak butuh uang ya? Mau terbelenggu dalam kemiskinan terus? Iya!" pekik Mbak Fatin. "Bukan begitu, Mbak. Aduh ... Maaf. Aku nggak maksud. Sudah, mbak. Jangan dibahas lagi. Puyeng kepalaku." Cani berkelit. Cani membereskan mejanya. Bersiap-siap untuk tutup. "Padahal masih punya stok di dalam rumah. Belum waktunya tutup kok tutup?" cibir Mbak Fatin. Cani memilih untuk tidak merespon. Dia fokus membersihkan tempatnya. Tak berselang lama. Han datang dengan motor bututnya. "Mas sudah pulang? Kok tumben jam tiga sore?" Cani segera mencium punggung tangan Han. Tak lupa, Cani juga mengambil tas punggung milik suaminya. "Suami gak guna aja dilayani segala," hina Mbak Fatin. "Mbak Fatin, mau aku bantuin berberes? Dagangan Mbak sudah habis tuh," tawar Han. Han membalas kakak iparnya dengan tindakan baik. "Apanya yang habis? Sok tahu!" tolak Mbak Fatin. "Aku pikir sudah habis," ucap Han seraya melempar senyuman tipis. "Kamu mengejekku?" sungut Mbak Fatin. "Mas Han. Kok sudah pulang? Bukannya hari ini pulang jam delapan malam?" Cani kembali mempertanyakan pertanyaannya yang tidak terjawab sebelumnya. "Dipecat kali," celetuk Mbak Fatin. "Mas Han dipecat?" Bersambung...Dengan santai Han menjawab, “Aku tidak dipecat, Sayang. Hari ini atasan pabrik datang. Sehingga karyawan tidak diperkenankan untuk lembur. Mangkanya aku bisa pulang lebih awal.”Cani merasa lega.“Oh ... Kirain dipecat,” sahut Mbak Fatin. “Tapi ‘kan kalau enggak lembur bayarannya makin dikit. Mana ada duit buat beli rumah keprabon,” cibirnya kemudian.“Membeli rumah Keprabon?” tanya Han memastikan.Karena Cani tak ingin terjadi perdebatan. Wanita itu meminta sang suami untuk segera masuk ke dalam rumah. Han pun menuruti sang istri.“Kita bisa bicarakan nanti, Mbak. Lagi pula, Mas Han nggak ada hubungannya dengan warisan keluarga kita. Aku harap, Mbak Fatin tidak menyudutkan Mas Han,” tegas Cani.Cani masuk ke dalam rumah. Tanpa menunggu tanggapan dari kakaknya itu.Begitu masuk ke dalam rumah, Cani sudah disambut oleh Han yang ternyata menunggunya.“Maksud dari mbakmu apa, Sayang?” tanya Han bersuara lembut.Cani meletakkan barang bawaannya kemudian duduk di samping Han.“Mereka mulai
Perdebatan kecil tak terhindarkan. Saudara Cani yang lain mulai ikut menyudutkan Cani. Menyalahkan Cani. Dan menuduh Cani serakah. "Rumah keprabon harus dibagi!" bentak Mbak Fatin. “Sebelum ayah meninggal. Ayah sudah membagi tanah kosong samping rumah. Sedangkan rumah ini adalah hakku. Ayah sendiri yang mengatakannya,” urai Cani. “Mana buktinya kalau ayah kasih rumah ini sama kamu? Jangan asal ngoceh kamu!” tuntut Mbak Fatin. Cani menatap kakak pertamanya, dan Bu Helena yang menjadi saksi waktu itu. Namun, keduanya mengelak pernyataan Cani. Bu Helena malah menuduh jika Cani suka ngarang. “Ya Allah ... Kok tega kalian bohong?” ucap Cani. Cani mencegah Han yang ingin membantu dirinya berbicara. Cani tidak ingin Han diserang oleh saudara-saudaranya yang beringas. Alhasil, Han pun tak bisa mengeluarkan pendapatnya. Padahal Han sudah geregetan. “Kamu yang bohong! Mana ada ayahmu ngasih rumah keluarga kepadamu! Dasar halu!” cela Bu Helena. Cani langsung beristighfar sembari mengel
Han tersenyum tipis kemudian menjawab, “Uang ini milikku, Sayang.”Sontak Cani terkejut sekaligus tak percaya. Masa iya, suaminya memiliki uang sebanyak ini? Dari mana coba?“Mas Han jangan bohong ... Sekarang, Mas jawab jujur. Dapat uang ini dari mana?” tanya Cani sedikit mendesak Han agar segera menjawab dengan benar. Han menatap Cani intens. Sebelum menjawab, Han sempat menghela napas terlebih dahulu.“Jangan mikir aneh-aneh. Uang ini dari hasil penjualan tanah,” terang Han. “Apa? Tanah di mana? Kamu menjual tanah siapa?” cecar Cani mulai gelisah. Han menggelengkan kepalanya pelan. “Aku menjual tanah peninggalan nenekku yang diserahkan kepadaku,” kata Han santai. “Tanah peninggalan nenek? Kok, Mas nggak pernah kasih tahu aku sebelumnya? Mas mau main rahasia nih sama aku?” sungut Cani sedikit kesal dan merajuk. Han menyentuh kedua pundak Cani. Juga memberi sedikit rematan di sana agar Cani tenang. Dia tidak ingin menerima amukan dari istrinya tercinta. “Dengarkan aku dulu. S
“Ngomong apa kamu, Han ... Han ....” ejek Indra. “Emang siapa? Saksi yang mengeluarkan kesaksian palsu? Ada-ada saja. Dasar orang miskin,” hina Indra terkekeh dengan tingkah norak Han. “Biasa, baru punya uang tiga ratus juta. Mangkanya sok,” sahut Bu Helena. Han hanya menanggapi ocehan mereka dengan senyuman tipis. “Alhamdullilah ... Semua sudah beres. Sekarang, tanah beserta rumah ini telah resmi menjadi milikku,” ujar Cani merasa lega. Victory menatap sinis kakaknya. Tentu saja, dia tidak senang. “Aku pengen tanya sama kamu, Mas Han.” Victory memandang Han. “Mau tanya apa? Silakan,” jawab Han. “Kamu masih punya tabungan kah? Laku berapa tanah milik nenekmu?” tanya Victory sambil mengangkat dagu. Menunjukkan keangkuhannya. Victory sangat penasaran akan hal tersebut. Sampai-sampai, dia tidak mampu menahan diri untuk tidak bertanya. “Aku tidak punya tabungan. Hasil dari jual tanah, sudah aku berikan untuk membayar kalian,” tutur Han. Victory tersenyum pu
“Jangan ngomong gitu, Mbak. Nggak baik,” ucap Cani. Mbak Fatin melihat meja dagangan Cani yang kosong. “Keripikmu terjual habis lagi?” tanya Mbak Fatin. Cani mengangguk kemudian menjawab, “Iya, Mbak. Tadi ada yang borong.”Mbak Fatin berdecap tidak suka. Mbak Fatin menyuruh Cani untuk melanjutkan kegiatan berberes. Karena Mbak Fatin enggan berlama-lama melihat sang adik. “Aku boleh bantuin kamu, Mbak?” tawar Cani berniat untuk membantu kakaknya membereskan barang. “Heh! Gak usah nyentuh barangku!” bentak Mbak Fatin. “Sana kamu masuk ke rumahmu! Kamu sudah selesai beresin barangmu sendiri ‘kan!” tekannya. Cani terkejut. Pasalnya, ini pertama kalinya bagi Cani mendengar bentakan sang kakak. “Mbak Fatin kok berubah banget ya?” batin Cani bertanya-tanya. “Mbak Fatin kasar sekali?” protes Cani. “Aku berubah juga semua gara-gara kamu! Coba kalau kamu mau menjual rumah ini ke suami Victory. Aku nggak mungkin tertekan seperti ini!” cerocos Mbak Fatin. “Kok nyalahin aku? Aku hanya me
Mbak Fatin menoleh ke arah Cani yang bersuara lantang. “Ya lumayan. Baru dapat dua ratus ribu doang,” jawab Mbak Fatin enteng. “Mbak Fatin mau makan nggak? Kalau mau aku ambilkan.” Cani menawari Mbak Fatin. “Ogah! Palingan juga makanan nggak enak! Aku alergi makan makanan orang susah,” tolak Mbak Fatin congkak. Tingkah tidak tahu diri yang selalu ditampilkan Mbak Fatin. Sukses membuat Han tergelitik. Namun Han terus berusaha menahan diri agar tidak tertawa. “Ya sudah kalau, Mbak Fatin nggak mau makan. Aku makan dulu, Mbak. Tolong jagain warungku sebentar,” pesan Cani. “Ngapain aku jagain warungmu? Kalau mau makan, tinggal aja! Lagian, nggak bakal ada yang beli juga. Keripik pisangmu apek!” cakap Mbak Fatin asal. “Memangnya kamu siapa? Nyuruh aku jagain daganganmu? Bikin kesal saja,” gerutu Mbak Fatin tidak senang. Cani memilih untuk tak menghiraukan Mbak Fatin. Dia ingin makan bersama suami dan para tukang di ruang tamu rumah. Kedatangan Cani disambut baik oleh beberapa tukan
Sampainya di depan rumah. Cani turun dari atas motor. Tubuhnya berbalik menghadap Han yang masih di atas motor. “Tapi, kali ini aku nggak mau diam saja. Kayaknya mereka memang sengaja, ingin membangunkan singa yang tertidur,” tandas Cani. Han tertawa mendengar ucapan Cani. Wajah Cani tak ada gahar-gaharnya. Justru terlihat makin imut di mata Han. “Singa? Daripada singa. Kamu lebih terlihat seperti kucing, Sayang,” kelakar Han. “Apaan sih, Mas Han! Aku singa kok! Bukan kucing!” sanggah Cani mengerucutkan bibir. Senyuman Han makin lebar. Istrinya sangat menggemaskan. Cani yang merajuk, berjalan memasuki rumah dengan hentakan kaki. Bukannya takut istrinya marah. Han justru terus menggoda Cani. “Pelan-pelan jalannya. Awas nanti jatuh,” kata Han melihat istrinya seperti anak kecil. Setelah mengunci pintu rumah. Han menghampiri istrinya yang kini duduk santai di atas ranjang. “Jadi, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Han. Cani menengok ke samping. Matanya menatap Han dengan intens
“Huh? Apa, Mas? Coba ulang, barusan ngomong apa? Tadi ada truk lewat. Jadi suara, Mas Han tidak kedengeran!”Han tersenyum tipis. Dia menggelengkan kepala. “Lupakan saja, Sayang. Aku juga sudah lupa,” kata Han. “Iiihhh ... Apa sih? Baru juga bentar! Sudah lupa saja,” gerundel Cani. Cani tak mau ambil pusing. Dia lebih memilih untuk mengakhiri obrolan. Dan menyandarkan kepala pada punggung suaminya. Keesokan hari. Cani meminta sang suami untuk membereskan barang milik Mbak Fatin yang masih ada di depan rumahnya. Seperti kursi dan meja kayu. Han menyewa sebuah tosa untuk mengembalikan barang tersebut. Setelah Han kembali dari mengantar barang Mbak Fatin. Mereka mulai membersihkan toko. Cani berniat menggunakan toko tersebut untuk berjualan. Daripada dianggurin. “Kenapa toko ini, lama dibiarkan tak terpakai?” tanya Han masih penasaran. Sebenarnya, pertanyaan seperti itu pernah Han pertanyakan pada Cani. Namun, waktu itu Cani enggan menjawab. “Ibu tiriku tidak memperbolehkan tok