"Lihat! Siapa yang datang?" seru Bu Helena.
Cani dan suaminya berjalan mendekati Bu Helena. Seperti biasa, Cani langsung mencium punggung tangan sang ibu. Namun, ketika suami Cani ingin menyentuh jari Bu Helena. Wanita itu langsung menarik tangannya, sambil melempar tatapan jijik ke arah sang menantu. "Aduh! Ngapain sih, Mbak! Kamu pakek datang segala? 'Kan sudah kubilang, enggak usah datang! Sebenarnya kamu baca pesan grup WA atau enggak sih?" cerocos Victory. Bu Helena merupakan ibu tiri Cani. Sedangkan Victory adalah adik kandung tunggal bapak. Maksudnya, Victory dan Cani beda ibu. Namun satu bapak. Bu Helena menikah dengan ayah Cani, lalu melahirkan Victory. "Ya … Nggak masalah dong, kalau aku hadir. Aku pengen lihat adikku menikah," terang Cani tetap tersenyum. Victory berdecap. Dia mengalihkan pandangannya kepada Han, suami Cani. "Lagian ngapain, Mbak ke sini bawa gembel? Bikin malu saja," ucap Victory sambil menatap rendah Han. Meskipun Cani sudah tahu julukan itu untuk suaminya. Tapi dia tetap bertanya, "Siapa yang bawa gembel?" "Kamu bawa gembel! Suamimu itu gembel. Pengacara, pengangguran banyak acara," hina Victory. "Berapa kali harus aku katakan? Suamiku bukan pengangguran. Dia bekerja. Jadi, jangan memanggilnya begitu." Dengan sabar Cani memberi pengertian. Namun Victory tetap saja tidak suka dengan kakak iparnya yang miskin. "Kamu pasti iri, melihat pernikahan adikmu yang mewah. Sedangkan kamu hanya menikah di KUA tanpa menggelar pesta resepsi." Salah satu kakak Cani ikut berkomentar. "Aku sama sekali enggak iri. Waktu itu Bapak lagi sakit, dan gak punya biaya buat gelar pesta pernikahanku," jelas Cani. "Halah! Alasan! Mangkanya, kalau dibilangin itu nurut. Coba kamu mau menikah sama lelaki pilihan ibu. Pasti nasibmu gak bakal gini, Mbak," timpal Victory. "Adikmu benar. Tapi sayangnya, kamu lebih milih menikah sama pemuda miskin, tidak berguna. Ketimbang sama juragan buah," sambung Bu Helena. "Aku percaya sama Bapak. Mangkanya aku enggak ragu menikahi Mas Han," tandas Cani. "Batu banget kalau dibilangin. Padahal bukti nyata itu ada. Lihat hidupmu. Engak kaya-kaya 'kan? Buat makan aja susah," cibir Bu Helena. “Sabar, Sayang,” bisik Han tepat di telinga Cani. Han sesekali mengelus punggung tangan Cani. Seolah meminta Cani untuk tetap sabar, dengan segala hinaan dari keluarga besar Cani yang ditujukan kepada Han. "Gimana kalau kamu bercerai saja?" cetus Bu Helena. Cani menghembuskan napas. Kalimat itu lagi yang keluar dari bibir Bu Helena. Ibu tirinya benar-benar tidak berkenan untuk menjaga perasaan Han. "Maaf ya, Ibu. Aku nggak bisa bercerai. Aku sayang banget sama Mas Han," tutur Cani berusaha membela sang suami. "Idih, mau muntah," ucap Victory memandang jijik kemesraan Han, dan Cani. "Cari suami itu kayak aku, Mbak. Seorang pengusaha kelapa sawit yang sukses," ujar Victory membanggakan suaminya. "Iya, percaya. Tapi 'kan suamimu tua," celetuk Cani. Jelas Victory tidak terima suaminya dibilang tua. "Heh! Suamiku itu masih berusia tiga puluh tahun! Dari mananya tua?" bentak Victory. "Dibandingkan denganmu yang masih berusia sembilan belas tahun." Cani tak mau kalah. Karena Victory kesal. Wanita itu meminta ibunya untuk mengusir sang kakak. "Aku baru sampai kok disuruh pulang?" Cani enggan untuk pergi. "Mending kamu minggat. Daripada bikin onar," usir Bu Helena. "Aku gak bikin onar. Aku datang baik-baik," kata Cani. "Ada apa sih? Kok kalian berisik banget? Sampai kedengeran dari jauh." Seseorang yang datang bernama Indra. Pria yang baru sah jadi suami Victory. Pria yang katanya hidup bergelimang harta sejak lahir. "Aduh, malu. Ini loh, Mas. Mbak Cani datang bersama suaminya yang kere," terang Victory pada Indra. "Oh ... Pantesan bikin heboh. Saudaramu norak semua ya, Dek?" cibir Indra. "Sifat dan sikap mereka berdua tak jauh beda. Pantas saja berjodoh," batin Cani menggerutu. Indra beralih pada Han. Mereka pernah bertemu sebelumnya. Dan pandangan Indra terhadap Han tetap sama. Merendahkan. "Datang ke acara mewah kayak gini. Tapi penampilanmu busuk banget, Han. Mikir lah pakek otak kecilmu." Indra mencela Han. "Katanya berkelas. Tapi omongannya kayak gak pernah sekolah," batin Cani kesal. Berbeda dengan Cani yang geregetan pengen nampol wajah tua Indra. Han justru bersikap santai. Orang seperti Indra memang senang jika lawannya melawan. "Yang aku pakai hari ini adalah baju terbaik yang aku miliki. Maaf jika tidak sesuai keinginanmu." Untuk pertama kalinya Han membalas perkataan seseorang di pesta ini. "Sikapmu kayak orang berpendidikan. Padahal cuma tamatan SMP." Bu Helena berkomentar. "Biasanya orang seperti itu, suka berlagak layaknya old money," timpal Indra. "Kalau dilihat-lihat, Mas Han emang sok cool selama ini. Padahal enggak punya duit," ledek Victory. Cani bermuka kecut saat saudara-saudaranya menanggapi ocehan Victory dengan suara tawa. "Han, kamu sekarang bekerja di mana?" Pertanyaan Indra pada Han menghentikan tawa mereka. "Masih di tempat yang sama. Menjadi satpam di pabrik sepatu," jawab Han tenang. "Bukannya satpam gajinya dikit ya? UMR 'kan? Mending kamu kerja jadi buruh di perkebunanku." Ajakan itu terdengar bagus. Namun, Indra mengucapkannya dengan nada mengejek. Sudah jelas jika Indra tak bersungguh-sungguh. Dan hanya ingin mempermainkan Han. "Makasih atas tawarannya, wahai adik ipar tajir. Tapi sayang sekali. Kontrak kerja Mas Han masih panjang. Jadi nggak mungkin keluar, terus pindah ke tempat lain," sosor Cani. Akhirnya atensi Indra teralihkan oleh Cani. "Mas, dia ini Mbak Cani. Mbakku yang nikah sama cowok homeless," terang Victory. "Sayang sekali. Padahal Mbakmu ini punya paras yang cantik. Tapi kelihatan jelek. Mungkin karena gak dimodalin sama suaminya," ujar Indra seenaknya. "Ya gak mungkin dimodalin," sahut Bu Helena membenarkan tuduhan Indra. "Mbak Cani menyia-nyiakan kecantikannya demi menikahi Mas Han," ledek Victory. "Nanti aku kenalin temanku yang punya kebun jeruk. Kalau beruntung, Mbakmu bisa jadi istri kedua temanku," tutur Indra. Lama-kelamaan Cani merasa jengah dengan segala ocehan tidak bermutu keluarganya. Dia yang tidak betah pun memutuskan untuk undur diri. Sebelum pergi, Cani memberi amplop pada adiknya. Begitu pun dengan Han yang memberi amplop pada Indra. Akan tetapi, tindakan Indra yang membuang lalu menginjak amplop tersebut membuat hati Cani sakit. Indra pasti sengaja menghancurkan harga diri Han. Cani melirik sang suami yang menatap datar kelakuan tak terpuji Indra. "Loh? Kok diinjak amplopnya, Mas?" tanya Victory pada suaminya. Cani berhenti berjalan saat mendengar suara Victory yang sepertinya sengaja dibuat lantang. "Halah, isinya paling cuma uang lima puluh ribu. Uang sekecil itu tidak berarti," jawab Indra. Cani membalikkan badan. Dia kembali mendekati sang pengantin. Sekuat tenaga Cani menahan kesedihan yang bercampur dengan amarah. "Jangan lihat dari nominalnya. Uang lima puluh ribu sangat berarti bagi kami," tegas Cani. "Mbak Cani bisa ambil kembali. Silahkan. Aku ndak butuh." Bersambung…Rasanya, ingin sekali Cani memukul wajah menyebalkan yang ditampilkan oleh Victory. "Gayamu, Dek. Padahal dulu uang segitu sudah banyak buat kamu. Sekarang kamu sombong banget," ujar Cani. Cani agak miris melihat kelakukan congkak keluarganya. Mereka seakan melupakan kedihupan mereka sebelumnya. Terutama untuk Ibu Tiri dan adiknya. "Apaan sih, Mbak. Dulu ya dulu. Manusia itu mengalami peningkatan sosial. Bukan penurunan sosial kayak kamu!" ketus Victory. "Cani, ayo kita pulang," ajak Han menggenggam lengan Cani. "Pulang sana! Aku udah eneg ngelihat muka kalian berdua! Bikin noda di pestaku aja!" pungkas Victory. Dengan sedikit rasa kekesalan, Cani berlalu meninggalkan tempat pesta pernikahan. Mereka berdua pulang, dengan mengendarai motor butut milik Han. Selama perjalan menuju rumah. Cani tak bisa berhenti menggerutu. Tubuh Cani yang kecil dan pendek, berusaha mensejajarkan diri dengan tubuh besar sang suami. "Mereka tuh apa-apaan sih? Jadi kayak gitu! Songong amat ya
Dengan santai Han menjawab, “Aku tidak dipecat, Sayang. Hari ini atasan pabrik datang. Sehingga karyawan tidak diperkenankan untuk lembur. Mangkanya aku bisa pulang lebih awal.”Cani merasa lega.“Oh ... Kirain dipecat,” sahut Mbak Fatin. “Tapi ‘kan kalau enggak lembur bayarannya makin dikit. Mana ada duit buat beli rumah keprabon,” cibirnya kemudian.“Membeli rumah Keprabon?” tanya Han memastikan.Karena Cani tak ingin terjadi perdebatan. Wanita itu meminta sang suami untuk segera masuk ke dalam rumah. Han pun menuruti sang istri.“Kita bisa bicarakan nanti, Mbak. Lagi pula, Mas Han nggak ada hubungannya dengan warisan keluarga kita. Aku harap, Mbak Fatin tidak menyudutkan Mas Han,” tegas Cani.Cani masuk ke dalam rumah. Tanpa menunggu tanggapan dari kakaknya itu.Begitu masuk ke dalam rumah, Cani sudah disambut oleh Han yang ternyata menunggunya.“Maksud dari mbakmu apa, Sayang?” tanya Han bersuara lembut.Cani meletakkan barang bawaannya kemudian duduk di samping Han.“Mereka mulai
Perdebatan kecil tak terhindarkan. Saudara Cani yang lain mulai ikut menyudutkan Cani. Menyalahkan Cani. Dan menuduh Cani serakah. "Rumah keprabon harus dibagi!" bentak Mbak Fatin. “Sebelum ayah meninggal. Ayah sudah membagi tanah kosong samping rumah. Sedangkan rumah ini adalah hakku. Ayah sendiri yang mengatakannya,” urai Cani. “Mana buktinya kalau ayah kasih rumah ini sama kamu? Jangan asal ngoceh kamu!” tuntut Mbak Fatin. Cani menatap kakak pertamanya, dan Bu Helena yang menjadi saksi waktu itu. Namun, keduanya mengelak pernyataan Cani. Bu Helena malah menuduh jika Cani suka ngarang. “Ya Allah ... Kok tega kalian bohong?” ucap Cani. Cani mencegah Han yang ingin membantu dirinya berbicara. Cani tidak ingin Han diserang oleh saudara-saudaranya yang beringas. Alhasil, Han pun tak bisa mengeluarkan pendapatnya. Padahal Han sudah geregetan. “Kamu yang bohong! Mana ada ayahmu ngasih rumah keluarga kepadamu! Dasar halu!” cela Bu Helena. Cani langsung beristighfar sembari mengel
Han tersenyum tipis kemudian menjawab, “Uang ini milikku, Sayang.”Sontak Cani terkejut sekaligus tak percaya. Masa iya, suaminya memiliki uang sebanyak ini? Dari mana coba?“Mas Han jangan bohong ... Sekarang, Mas jawab jujur. Dapat uang ini dari mana?” tanya Cani sedikit mendesak Han agar segera menjawab dengan benar. Han menatap Cani intens. Sebelum menjawab, Han sempat menghela napas terlebih dahulu.“Jangan mikir aneh-aneh. Uang ini dari hasil penjualan tanah,” terang Han. “Apa? Tanah di mana? Kamu menjual tanah siapa?” cecar Cani mulai gelisah. Han menggelengkan kepalanya pelan. “Aku menjual tanah peninggalan nenekku yang diserahkan kepadaku,” kata Han santai. “Tanah peninggalan nenek? Kok, Mas nggak pernah kasih tahu aku sebelumnya? Mas mau main rahasia nih sama aku?” sungut Cani sedikit kesal dan merajuk. Han menyentuh kedua pundak Cani. Juga memberi sedikit rematan di sana agar Cani tenang. Dia tidak ingin menerima amukan dari istrinya tercinta. “Dengarkan aku dulu. S
“Ngomong apa kamu, Han ... Han ....” ejek Indra. “Emang siapa? Saksi yang mengeluarkan kesaksian palsu? Ada-ada saja. Dasar orang miskin,” hina Indra terkekeh dengan tingkah norak Han. “Biasa, baru punya uang tiga ratus juta. Mangkanya sok,” sahut Bu Helena. Han hanya menanggapi ocehan mereka dengan senyuman tipis. “Alhamdullilah ... Semua sudah beres. Sekarang, tanah beserta rumah ini telah resmi menjadi milikku,” ujar Cani merasa lega. Victory menatap sinis kakaknya. Tentu saja, dia tidak senang. “Aku pengen tanya sama kamu, Mas Han.” Victory memandang Han. “Mau tanya apa? Silakan,” jawab Han. “Kamu masih punya tabungan kah? Laku berapa tanah milik nenekmu?” tanya Victory sambil mengangkat dagu. Menunjukkan keangkuhannya. Victory sangat penasaran akan hal tersebut. Sampai-sampai, dia tidak mampu menahan diri untuk tidak bertanya. “Aku tidak punya tabungan. Hasil dari jual tanah, sudah aku berikan untuk membayar kalian,” tutur Han. Victory tersenyum pu
“Jangan ngomong gitu, Mbak. Nggak baik,” ucap Cani. Mbak Fatin melihat meja dagangan Cani yang kosong. “Keripikmu terjual habis lagi?” tanya Mbak Fatin. Cani mengangguk kemudian menjawab, “Iya, Mbak. Tadi ada yang borong.”Mbak Fatin berdecap tidak suka. Mbak Fatin menyuruh Cani untuk melanjutkan kegiatan berberes. Karena Mbak Fatin enggan berlama-lama melihat sang adik. “Aku boleh bantuin kamu, Mbak?” tawar Cani berniat untuk membantu kakaknya membereskan barang. “Heh! Gak usah nyentuh barangku!” bentak Mbak Fatin. “Sana kamu masuk ke rumahmu! Kamu sudah selesai beresin barangmu sendiri ‘kan!” tekannya. Cani terkejut. Pasalnya, ini pertama kalinya bagi Cani mendengar bentakan sang kakak. “Mbak Fatin kok berubah banget ya?” batin Cani bertanya-tanya. “Mbak Fatin kasar sekali?” protes Cani. “Aku berubah juga semua gara-gara kamu! Coba kalau kamu mau menjual rumah ini ke suami Victory. Aku nggak mungkin tertekan seperti ini!” cerocos Mbak Fatin. “Kok nyalahin aku? Aku hanya me
Mbak Fatin menoleh ke arah Cani yang bersuara lantang. “Ya lumayan. Baru dapat dua ratus ribu doang,” jawab Mbak Fatin enteng. “Mbak Fatin mau makan nggak? Kalau mau aku ambilkan.” Cani menawari Mbak Fatin. “Ogah! Palingan juga makanan nggak enak! Aku alergi makan makanan orang susah,” tolak Mbak Fatin congkak. Tingkah tidak tahu diri yang selalu ditampilkan Mbak Fatin. Sukses membuat Han tergelitik. Namun Han terus berusaha menahan diri agar tidak tertawa. “Ya sudah kalau, Mbak Fatin nggak mau makan. Aku makan dulu, Mbak. Tolong jagain warungku sebentar,” pesan Cani. “Ngapain aku jagain warungmu? Kalau mau makan, tinggal aja! Lagian, nggak bakal ada yang beli juga. Keripik pisangmu apek!” cakap Mbak Fatin asal. “Memangnya kamu siapa? Nyuruh aku jagain daganganmu? Bikin kesal saja,” gerutu Mbak Fatin tidak senang. Cani memilih untuk tak menghiraukan Mbak Fatin. Dia ingin makan bersama suami dan para tukang di ruang tamu rumah. Kedatangan Cani disambut baik oleh beberapa tukan
Sampainya di depan rumah. Cani turun dari atas motor. Tubuhnya berbalik menghadap Han yang masih di atas motor. “Tapi, kali ini aku nggak mau diam saja. Kayaknya mereka memang sengaja, ingin membangunkan singa yang tertidur,” tandas Cani. Han tertawa mendengar ucapan Cani. Wajah Cani tak ada gahar-gaharnya. Justru terlihat makin imut di mata Han. “Singa? Daripada singa. Kamu lebih terlihat seperti kucing, Sayang,” kelakar Han. “Apaan sih, Mas Han! Aku singa kok! Bukan kucing!” sanggah Cani mengerucutkan bibir. Senyuman Han makin lebar. Istrinya sangat menggemaskan. Cani yang merajuk, berjalan memasuki rumah dengan hentakan kaki. Bukannya takut istrinya marah. Han justru terus menggoda Cani. “Pelan-pelan jalannya. Awas nanti jatuh,” kata Han melihat istrinya seperti anak kecil. Setelah mengunci pintu rumah. Han menghampiri istrinya yang kini duduk santai di atas ranjang. “Jadi, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Han. Cani menengok ke samping. Matanya menatap Han dengan intens