"Hei!" ucap Roy seraya mengibaskan tangannya di depan Hilda.Psikiater muda itu pun segera mengerjapkan matanya, kemudian mengulas sedikit senyum.Beni segera berdiri dari kursi, kemudian Ia pamit undur diri dan pergi bersama Bi Ais."Baru datang atau udah lama?" tanya Roy sekali lagi. Setelah itu, Ia pun segera duduk di brankar, tepat di samping Sova. Lelaki paruh baya itu pun memeluk pinggang Sova yang sedang duduk menjuntaikan kakinya, kemudian melirik ke arahnya. “Sayang, kok nggak bilang-bilang Kalau ada Hilda?” tanya Roy kepada Sova."Baru aja datang, Kang!” sahut Sova seraya melirik ke arah Hilda. “ Iya kan?" tanya Sova kepada Hilda."Iii...iya, " sahut Hilda. Lidahnya seolah latah mengikuti apa yang diucapkan oleh Sova."Wah, makasih banyak Hil ... tantenya udah nengokin, tapi baby boy masih di ruang NICU." Roy menghembuskan nafasnya pelan. "Iya nih."Hilda tak bisa banyak bicara karena pikirannya terbagi dengan ucapan Beni tadi. Di hatinya, Ia ingin membahas tentang apa yang
"Bibi senang banget diajakin nengok Den Rafa di rumah sakit. Kelihatannya... Den Rafa sudah semakin sehat ya, Non? " ucap Bi Ais dengan wajah penuh senyuman. Di pelupuk matanya, Ia seolah masih melihat dengan jelas bagaimana Rafa, Baby Boy milik Sova dan Roy itu nampak semakin sehat. Bahkan, tangisannya sudah mengeluarkan suara. " Iya, Bi." Hanya kalimat itu yang Sova ucapkan, tanpa memperpanjang basa-basi. Pandangannya fokus ke arah handphone yang membuka GPS, arah cafe yang menjadi tempat janji bertemu antara dia dan Hilda.Sebenarnya, Sova tak serta-merta mengajak Bi Ais untuk menengok baby Rafa, selain karena permintaan Hilda untuk membawanya. Entahlah, dia tak begitu memahami keinginan Hilda untuk bertemu dengannya sekaligus dengan bi Ais. Ia hanya mengiyakan saja."Nah, ini kayaknya," gumam Sova seraya melirik ke sebelah kiri, ke cafe yang menjadi tujuannya."Tujuan anda berada di sebelah kiri. "Terdengar suara wanita memberitahunya bahwa ia telah sampai. Suara wanita yan
“Ada apa dengan mbak Dania? Apa kalian memintaku untuk mundur?” tanya Sova terdengar sarkas. Semua orang yang berada di meja itu pun saling berpandangan mendengar kalimat sarkas dari Sova. Tak sempat terpikir oleh mereka jika Sova akan berpikiran demikian. Mereka hanya sibuk dengan pikiran dan teka-teki mereka sendiri. “Aku memang masih muda. Aku bisa pergi dari kehidupan Akang dan mengejar cita-cita yang sempat tertunda. Aku juga bisa jadi janda muda yang kaya raya karena Akang pasti akan memberiku kehidupan yang layak. Tapi, apa kalian pernah memikirkan Rafa? Bayi yang baru saja melewati masa kritisnya, akan kalian paksa untuk kehilangan orang tuanya yang utuh?” tanya Sova menggebu-gebu. Matanya memerah dengan rahang mengeras, menahan amarah di kepalan tangannya. “Kalian memang paling dekat dengan mbak Dania, tapi jangan sampai kedekatan kalian membuat hati kalian mati!” ucap Sova seraya berdiri. Ia tak ingin berlama-lama duduk di sana, jika hanya akan mendapatka
Sova melirik sekilas ke arah dokter Hilda, kemudian ke arah bi Ais secara bergantian. Ada kata yang menggelitik pendengarannya, meminta kejelasan bahwa apa yang Ia dengar tak salah. “Ya, kami... bukan hanya pak Beni.” Bi Ais melihat Sova dengan sorot mata sendu. “Maksudnya?” tanya Sova dengan suara yang melemah. Sorot matanya meminta penjelasan yang lebih. "Kami yakin bahwa bu Dania sudah meninggal,” ucap Beni meyakinkan maksud mereka."Kalian ini aneh. Sudah jelas-jelas di hadapan kalian ada Mbak Dania dalam keadaan hidup. Lalu, bagaimana ceritanya dua orang yang sama dengan keadaan yang berbeda berada dalam satu waktu. Mustahil! " ucap Sova sedikit menertawakanTadinya, Ia berharap bahwa mereka memberikan solusi yang jelas bagi Sova dan Roy. Atau, setidaknya mereka tidak mengganggu kehidupan Sova dan suaminya, dengan memintanya untuk mundur. Namun, harapannya seolah bertepuk sebelah tangan. Sova menangkap kalimat mereka adalah kalimat yang mustahil terjadi. Mungkin, mereka
Hari ini Baby Rafa sudah boleh dibawa pulang ke rumah. Meskipun kondisi badannya masih nampak kecil, tapi sudah kuat untuk diperlakukan seperti bayi normal pada umumnya. Namun, tetap saja Sova memilih seorang perawat untuk membantunya merawat Rafa. Ia tak ingin coba-coba untuk urusan bayi prematurnya. Sova menurunkan kakinya dari mobil, menginjakkan kaki di halaman rumah dengan menggendong Rafa untuk pertama kalinya. Sova begitu enggan mengalihkan pandangan dari baby Rafa yang terbungkus selimut dan Ia dekap di dadanya. Ia seolah tak ingin melewatkan momen mengurusi Rafa walau sedetikpun. “Hati-hati, Sayang!” ucap Roy seraya memeluk bahu Sova. “Iya, Papa,” sahut Sova tanpa mengalihkan perhatiannya dari Baby R. Bahkan, senyumnya bertambah merekah seolah Ia sedang berbincang dengan bayinya. “Eh, anak Papa lelap banget bobo-nya,” sambung Roy. Ia mendekap Sova dengan mata ikut menatap baby R yang sebenarnya nampak terlelap. “Selamat datang anakku!” Suara seseorang menghentik
SLTC - 091Roy menatap ke arah Sova yang sudah berlalu meninggalkannya. Ia ingin menghentikan langkah Sova dan berlalu ke dalam rumah, hanya dengan Sova dan Rafa. Tapi, istrinya itu tak mau mengerti. Roy mendengkus sepelan mungkin, agar Ia tak menyakiti hati Dania. "Ayo, Mas. Kita masuk!" ajak Dania seraya meraih tangan Roy. Wanita cantik itu hendak mengalungkan tangannya di lengan Roy, namun ditolak halus oleh Roy. "Aku cuma mau pegang lengan suamiku. Apa salah?" tanyanya dengan wajah sendu. Bukan Dania jika Ia menyerah begitu saja. Dengan segala cara, Ia akan mempertahankan cinta Roy dan dirinya sampai ajal menjemput. "Wah, Nyonya dan Tuan sudah baikan? Memang pasangan yang sangat serasi!" celetuk bi Ais yang baru muncul dari ruang tamu. "Biasa aja, kelles!" sahut Sari yang mengekori Roy dari belakang dengan membawa beberapa peralatan yang baru dibawa dari rumah sakit. Namun suaranya hanya terdengar oleh Hari ya
SLTC - 092Roy menghentikan langkahnya tepat di tengah-tengah ruangan. Ada denyut nyeri saat Sova nampak ingin menolaknya. Tapi, Ia pun tak ingin menyalahkan Sova karena kesalahan itu ada pada dirinya. "Jangan berisik!" Ucap sofa lagi, Kemudian tangannya menunjuk ke arah rancang berukuran King milik mereka.Di sana nampak baby Rafa sedang tertidur pulas dengan dialasi kasur bayi, lengkap dengan bantal, guling dan selimutnya. Sova segera berdiri, kemudian menghampiri Roy. Wanita muda yang baru berubah status menjadi seorang ibu itu menarik tangan Roy dan membawanya ke sofa yang berada di sudut ruangan."Duduklah, Kang!" pinta Sova, kemudian Ia pun mendudukkan bokongnya di sana.Mereka duduk bersisian dengan pandangan saling mengunci. Dalam pikiran Roy ia merasa sedikit lega karena Sova mengajaknya untuk berbicara. Awalnya, Ia berpikir bahwa Sova menolaknya. Ternyata, Sova hanya tak ingin Roy mbangunkan Rafa yang sedang terlelap.
SLTC 093Sova merasa sedih karena Roy pergi dengan amarah. Padahal, bayi belum mengerti apapun sehingga orang tua lah yang harus mengerti mereka. Roy berubah. Itu yang ada dalam pikiran Sova. "Bu, permisi masuk ya!" ucap suster Rina, membuyarkan semua lamunan Sova. "Ah, iya Sus. Silakan!" sahut Sova seraya Ia pun berjalan ke arah ranjang super king, dimana Rafa sedang menangis kencang. Bayi laki-laki yang terlahir prematur itu memiliki suara yang sangat kencang saat Ia menangis, berbeda saat Ia terlahir. "Cup... cup... cup... Pangerannya Mama kenapa?" tanya Sova seraya meraih Rafa ke dalam gendongannya. "Mau mimi cucu ya...!" ucap Sova berusaha mengajak Rafa ngobrol. Namun, bayi laki-laki itu tak juga berhenti menangis meskipun Ia sudah berada di gendongan Ibunya. Sova duduk di ujung ranjang untuk menyusui Rafa. Sova mengarahkan mulut Rafa untuk menyesap Asi seperti yang sudah diajarkan di rumah sakit, namun bayi itu menolak