“Ada apa dengan mbak Dania? Apa kalian memintaku untuk mundur?” tanya Sova terdengar sarkas.
Semua orang yang berada di meja itu pun saling berpandangan mendengar kalimat sarkas dari Sova. Tak sempat terpikir oleh mereka jika Sova akan berpikiran demikian. Mereka hanya sibuk dengan pikiran dan teka-teki mereka sendiri.“Aku memang masih muda. Aku bisa pergi dari kehidupan Akang dan mengejar cita-cita yang sempat tertunda. Aku juga bisa jadi janda muda yang kaya raya karena Akang pasti akan memberiku kehidupan yang layak. Tapi, apa kalian pernah memikirkan Rafa? Bayi yang baru saja melewati masa kritisnya, akan kalian paksa untuk kehilangan orang tuanya yang utuh?” tanya Sova menggebu-gebu. Matanya memerah dengan rahang mengeras, menahan amarah di kepalan tangannya.“Kalian memang paling dekat dengan mbak Dania, tapi jangan sampai kedekatan kalian membuat hati kalian mati!” ucap Sova seraya berdiri. Ia tak ingin berlama-lama duduk di sana, jika hanya akan mendapatkaSova melirik sekilas ke arah dokter Hilda, kemudian ke arah bi Ais secara bergantian. Ada kata yang menggelitik pendengarannya, meminta kejelasan bahwa apa yang Ia dengar tak salah. “Ya, kami... bukan hanya pak Beni.” Bi Ais melihat Sova dengan sorot mata sendu. “Maksudnya?” tanya Sova dengan suara yang melemah. Sorot matanya meminta penjelasan yang lebih. "Kami yakin bahwa bu Dania sudah meninggal,” ucap Beni meyakinkan maksud mereka."Kalian ini aneh. Sudah jelas-jelas di hadapan kalian ada Mbak Dania dalam keadaan hidup. Lalu, bagaimana ceritanya dua orang yang sama dengan keadaan yang berbeda berada dalam satu waktu. Mustahil! " ucap Sova sedikit menertawakanTadinya, Ia berharap bahwa mereka memberikan solusi yang jelas bagi Sova dan Roy. Atau, setidaknya mereka tidak mengganggu kehidupan Sova dan suaminya, dengan memintanya untuk mundur. Namun, harapannya seolah bertepuk sebelah tangan. Sova menangkap kalimat mereka adalah kalimat yang mustahil terjadi. Mungkin, mereka
Hari ini Baby Rafa sudah boleh dibawa pulang ke rumah. Meskipun kondisi badannya masih nampak kecil, tapi sudah kuat untuk diperlakukan seperti bayi normal pada umumnya. Namun, tetap saja Sova memilih seorang perawat untuk membantunya merawat Rafa. Ia tak ingin coba-coba untuk urusan bayi prematurnya. Sova menurunkan kakinya dari mobil, menginjakkan kaki di halaman rumah dengan menggendong Rafa untuk pertama kalinya. Sova begitu enggan mengalihkan pandangan dari baby Rafa yang terbungkus selimut dan Ia dekap di dadanya. Ia seolah tak ingin melewatkan momen mengurusi Rafa walau sedetikpun. “Hati-hati, Sayang!” ucap Roy seraya memeluk bahu Sova. “Iya, Papa,” sahut Sova tanpa mengalihkan perhatiannya dari Baby R. Bahkan, senyumnya bertambah merekah seolah Ia sedang berbincang dengan bayinya. “Eh, anak Papa lelap banget bobo-nya,” sambung Roy. Ia mendekap Sova dengan mata ikut menatap baby R yang sebenarnya nampak terlelap. “Selamat datang anakku!” Suara seseorang menghentik
SLTC - 091Roy menatap ke arah Sova yang sudah berlalu meninggalkannya. Ia ingin menghentikan langkah Sova dan berlalu ke dalam rumah, hanya dengan Sova dan Rafa. Tapi, istrinya itu tak mau mengerti. Roy mendengkus sepelan mungkin, agar Ia tak menyakiti hati Dania. "Ayo, Mas. Kita masuk!" ajak Dania seraya meraih tangan Roy. Wanita cantik itu hendak mengalungkan tangannya di lengan Roy, namun ditolak halus oleh Roy. "Aku cuma mau pegang lengan suamiku. Apa salah?" tanyanya dengan wajah sendu. Bukan Dania jika Ia menyerah begitu saja. Dengan segala cara, Ia akan mempertahankan cinta Roy dan dirinya sampai ajal menjemput. "Wah, Nyonya dan Tuan sudah baikan? Memang pasangan yang sangat serasi!" celetuk bi Ais yang baru muncul dari ruang tamu. "Biasa aja, kelles!" sahut Sari yang mengekori Roy dari belakang dengan membawa beberapa peralatan yang baru dibawa dari rumah sakit. Namun suaranya hanya terdengar oleh Hari ya
SLTC - 092Roy menghentikan langkahnya tepat di tengah-tengah ruangan. Ada denyut nyeri saat Sova nampak ingin menolaknya. Tapi, Ia pun tak ingin menyalahkan Sova karena kesalahan itu ada pada dirinya. "Jangan berisik!" Ucap sofa lagi, Kemudian tangannya menunjuk ke arah rancang berukuran King milik mereka.Di sana nampak baby Rafa sedang tertidur pulas dengan dialasi kasur bayi, lengkap dengan bantal, guling dan selimutnya. Sova segera berdiri, kemudian menghampiri Roy. Wanita muda yang baru berubah status menjadi seorang ibu itu menarik tangan Roy dan membawanya ke sofa yang berada di sudut ruangan."Duduklah, Kang!" pinta Sova, kemudian Ia pun mendudukkan bokongnya di sana.Mereka duduk bersisian dengan pandangan saling mengunci. Dalam pikiran Roy ia merasa sedikit lega karena Sova mengajaknya untuk berbicara. Awalnya, Ia berpikir bahwa Sova menolaknya. Ternyata, Sova hanya tak ingin Roy mbangunkan Rafa yang sedang terlelap.
SLTC 093Sova merasa sedih karena Roy pergi dengan amarah. Padahal, bayi belum mengerti apapun sehingga orang tua lah yang harus mengerti mereka. Roy berubah. Itu yang ada dalam pikiran Sova. "Bu, permisi masuk ya!" ucap suster Rina, membuyarkan semua lamunan Sova. "Ah, iya Sus. Silakan!" sahut Sova seraya Ia pun berjalan ke arah ranjang super king, dimana Rafa sedang menangis kencang. Bayi laki-laki yang terlahir prematur itu memiliki suara yang sangat kencang saat Ia menangis, berbeda saat Ia terlahir. "Cup... cup... cup... Pangerannya Mama kenapa?" tanya Sova seraya meraih Rafa ke dalam gendongannya. "Mau mimi cucu ya...!" ucap Sova berusaha mengajak Rafa ngobrol. Namun, bayi laki-laki itu tak juga berhenti menangis meskipun Ia sudah berada di gendongan Ibunya. Sova duduk di ujung ranjang untuk menyusui Rafa. Sova mengarahkan mulut Rafa untuk menyesap Asi seperti yang sudah diajarkan di rumah sakit, namun bayi itu menolak
SLTC 094"Akang!" Sova terisak. Ia menaikkan kakinya ke atas gazebo, memeluk lututnya dan melanjutkan tangisnya dengan pilu. "Akang, kenapa?" tanya Sova di sela-sela isak tangisnya. "Aku udah kasih semua buat Akang, semua yang Aku punya. Aku udah berharap banyak sama Akang. Aku cuma punya Akang... Huhuhuhuhuhu," racau Sova diantara semua tangis pilunya. *** Roy keluar dari kamar dengan amarah. Bukan karena Ia memiliki anak dan tak menginginkannya. Hanya saja, sebagai seorang lelaki yang sedang berada di ujung hasratnya, Ia merasa marah saat terganggu dan tak bisa menyalurkan hasratnya. Ya, Ia stress dan ingin memukul apapun yang ada di hadapannya. Tapi, semua itu Ia tahan agar tak menyakiti istri dan anaknya. Saat berada di ambang pintu, Ia berpapasan dengan seorang perawat yang memang dipekerjakan mulai hari ini, untuk membantu Sova mengurus Baby Rafa. Wanita perawat itu pun terkena dengusan dan lirikan
SLTC 095Sova menarik nafasnya dalam-dalam. Ia merasa tak ada gunanya menangisi nasib diri sendiri di sini. Ia harus melakukan sesuatu. Sova segera menyusut air matanya yang masih berusaha meringsek keluar. Ia pun meraih ponselnya, memastikan kemana sang suami pergi membawa Dania. "Kamar?" tanyanya seolah ada orang lain yang bisa Ia tanyai di sana. Sova ingat betul bahwa di kamar tamu tak ada kamera apapun yang terpasang. "Jadi, Aku harus gimana?" tanya Sova sambil mondar-mandir seperti setrikaan. "Biarin... Enggak. Biarin. Ah, enggak. Aku harus membuktikan dengan mata kepalaku sendiri. Aku tahu kalau Akang cinta sama mbak Dania, tapi itu dulu. Sekarang, cintanya buat Aku sama Rafa," ucap Sova pada dirinya sendiri. Sova pun melangkah pasti, tujuannya adalah kamar tamu. Dari rekaman CCTV yang Ia lihat, nampak jika Roy membawa Dania ke ruang tamu. Tentang apa yang mereka lakukan di dalam kamar, Sova belum bisa memastikannya. "Non!" Sari memanggil Sova. Wanita itu memang menunggu
SLTC 96Saat memasuki kamar tamu, tanpa berpikir panjang, Roy langsung menyerang Dania dengan penuh gairah. Otaknya sudah betul-betul dipenuhi hasrat yang butuh untuk disalurkan. Sebenarnya, Roy masih mencintai Dania sehingga Ia tak sungkan untuk melakukan hubungan suami istri dengannya. Namun, keberadaan Sova membuat Ia memutuskan untuk melepas Dania. Saat ini, dimana Dania sudah sangat merindukan dirinya, disaat Sova tak mampu memenuhi kebutuhannya dan disaat Ia sedang berada di ujung gairah, Roy pun tak lagi berpikir beberapa kali untuk melakukan aktivitas panas dengan Dania. Namun, saat Ia ingin menjamah bagian terdalam Dania, Ia sedikit terhenyak. "Sayang, kenapa diam? Ayo lakuin?" pinta Dania dengan suara yang begitu berat. Roy tak bergeming. Setelah puas menatap bagian tersebut, Ia pun membalikkan Dania dengan cukup kasar. Roy kembali terhenyak, terdiam seribu bahasa. Dania yang menyadari hal itu pun langsung mendudukkan dirinya. "Kenapa berhenti, Sayang? Ayo!" pintanya la