"Apa maksudnya, Kang? Masa pak Beni resign? Mbak Hilda gimana? Mana mbak Hilda?" tanya Sova beruntun. "Mereka memfitnah Lina. Padahal, Beni... ah, entahlah. Apa dia sedang dekat dengan Hilda? Jadi dia selingkuh?" desis Roy namun masih bisa didengar oleh Sova. "Rupanya ini karena mbak Lina? Selingkuh? Benarkah? Jadi, mereka menjebakku agar mau menerima mbak Dania di rumah ini?" tanya Sova sangat lirih, namun masih jelas terdengar oleh Roy. "Apa? Jadi mereka yang memintamu untuk memasukkan Dania ke rumah? Memintamu untuk menerima Dania di rumah ini?" tanya Roy seraya menatap Sova, mencari kebenaran di kedalaman mata istrinya. "Emmhhh... iya, Kang." Sova akhirnya jujur akan hal yang tak Ia bicarakan kepada Roy. Bahkan, Ia cenderung melakukan hal itu di belakang Roy. Roy menyugar rambutnya frustasi. Kesalahan adalah kata yang tepat untuk apa yang telah dilakukan Sova, itu menurut Roy. "Tapi kenapa? Kenapa kamu lakukan itu semua, Sayang? Kau undang penyakit ke dalam rumah tangga kit
"Jadi benar?" desis Roy. Matanya masih menatap hampir tak berkedip pada rekaman-rekaman yang sedang terputar di sana. "Apanya Kang?" tanya Sova saat Ia melihat wajah tegang suaminya. "Akang, benar apanya?" tanya Sova sekali lagi, karena Ia tak mendapatkan jawaban apapun dari Roy. "Akang sudah salah menilai, Sayang." Roy menatap Sova seraya mengelus pipi wanita itu, meminta kekuatan dalam hatinya. "Menilai apa?" tanya Sova. Namun, lagi-lagi Roy tak memberinya jawaban. Sova mencebik, kesal karena merasa diabaikan. Bukankah Ia yang seharusnya masih marah dan mendiamkan Roy? Kenapa malah terjadi hal sebaliknya? Sova mengambil ponsel miliknya dari tangan Roy, penasaran dengan apa yang dilihat oleh suaminya. Sedangkan Roy, Ia tak lagi berusaha mengambil lagi ponsel tersebut. Semua kejadian dimana Lina datang sampai Ia membawa Dania pergi, terekam jelas oleh CCTV yang terkoneksi dengan ponsel Sova. Sedangkan, di CCTV rumah yang sengaja Ia pasang, tak ada satu pun bayangan Lina masuk ke
“Saya datang ke sini, bermaksud untuk melamar putri Bapak Harun, untuk ayah Saya, Pak Roy.” Samar-samar, Sova mendengar suara obrolan yang sepertinya berasal dari ruang tamu. “Melamar?” lirihnya pelan. Sontak Ia pun menghentikan langkahnya untuk mencuri dengar. “Siapa yang dilamar?” tanyanya di dalam hati. Ia pun berjongkok di teras belakang rumahnya, sisi ruang tamu, seraya meletakkan ember berisi piring-piring yang baru saja Ia cuci di sumur umum. Rumah milik Sova merupakan rumah panggung yang berukuran empat kali enam meter, jadi antara ruang tamu dan tempat Ia berjongkok saat ini seolah tak ada sekat, terlebih dinding rumah pun terbuat dari bilik kayu. “Untuk siapa tadi?” Terdengar suara bu Devi, ibu tiri Sova yang mempertanyakan ucapan awal tamu. “Untuk Ayah Saya, Pak Roy,” jawabnya dengan suara yang tegas. Hening sesaat, tak ada suara dari siapapun. Sova mengerutkan keningnya, berpikir tentang satu hal. Biasanya yang datang melamar itu adalah Ayah untuk anaknya, mengapa sek
1 Bulan Kemudian... Sova menutup resleting tas barunya dengan riang. Ia begitu senang karena bu Halimah mengatakan bahwa perlombaan debat bahasa Inggris di Kabupaten dilaksanakan hari ini. Ia selalu bermimpi untuk mewujudkan masa depan yang lebih cerah. “Va, ini Ibu bawakan sesuatu untuk kamu,” ucap bu Halimah di hari kemarin seraya menyodorkan sebuah bingkisan plastik hitam. Sova menatap bingkisan itu dengan penuh haru, tapi juga berbarengan dengan rasa tak enak hati. “Ambillah, Nak!” titah bu Halimah seolah paham apa yang ada di pikiran anak didiknya. “Buat Saya, Bu?” tanya Sova sekali lagi. Ia ingin memastikan bahwa pendengarannya masih berfungsi dengan baik. “Iya. Alhamdulillah Ibu ada rezeki. Besok pas lomba, pakai baju seragam dan tas yang baru ini ya!” titah bu Halimah sekali lagi. Dengan senyum yang mengembang, Sova pun menerima bingkisan itu seraya menciumi tangan gurunya dengan bahagia. Bahkan, ia ingat bahwa kemarin ia menciumi tangan bu Halimah sampai dibolak
“Diam kamu di sini! Berani keluar, tamat riwayat Ayahmu yang pesakitan itu!” ancam bu Devi dengan gerakan tangan seolah memotong leher. “Ingat itu! Selangkah saja kamu pergi, Ayahmu mati!” Wanita itu mengulangi ancamannya. Bola matanya membulat seolah mau keluar. Bu Devi tak sedikitpun merasa iba melihat Sova yang sudah rapi memakai seragam sekolah, kini duduk bersimpuh dengan berurai air mata. “Ma, tolong kasih Sova kesempatan. Sova harus berangkat ke sekolah. Ma, tolong Sova!” rengek gadis berseragam SMA itu sambil memegangi kaki bu Devi yang hendak keluar. Tangisnya terdengar sangat pilu bagi orang yang memiliki hati selembut sutera, tapi tidak bagi ibu tirinya itu. “Heh, anak tak tahu diuntung! Silakan kamu pergi dari sini, tapi Ayahmu mati. Kamu tentu tahu kalau ancaman Mama tidak pernah main-main.” Bu Devi berusaha melepaskan kakinya dari Sova dengan menendang-nendangkan kakinya ke tubuh Sova, tapi gadis itu bertahan. “Ma, izinin Sova sekolah hari ini. Sova janji, Sova aka
“Sova...!!!” Karena anak tirinya tak juga menghampiri, bu Devi kesal bukan kepalang. Ia pun segera berjalan sambil mengetuk kakinya keras-keras di setiap langkah, bermaksud menghampiri anak tirinya yang tadi masih terdengar menangis di kamarnya. “Iya Ma!” sahut Sova yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Meskipun mata bulatnya sembab dan masih memerah, tapi bibir gadis delapan belas tahun itu melengkungkan senyuman, tentunya senyuman yang tersungging dengan terpaksa. “Dipanggil dari tadi, bukannya nyahut!” bentak bu Devi meluapkan rasa kesalnya. Sova tak ambil pusing dengan teriakan ibu tirinya. Ia tentu tahu alasan sang Mama tiri memanggilnya. Rumah mereka tidaklah luas, bahkan tiga perempat dinding rumahnya terbuat dari bilik khas kampung. Jadi, mana mungkin Sova tak mendengar makian yang diarahkan kepada ayah kandungnya. Saat mendengarnya tadi, Sova berpikir keras tentang apa yang harus Ia lakukan. Ia menetralkan semua rasa gundah di hati. Menarik nafas terdalam demi menyebar
“Akhirnya, kamu pulang juga hah?” teriak bu Devi seraya berkacak pinggang di samping rumah, di sisi pintu dapur. Baru saja Ia melihat Sova dari kejauhan, Ia langsung menghujani gadis itu dengan tatapan membunuh. Sova yang biasanya selalu memasang wajah senyum dalam keadaan apapun, kini nampak lebih cuek dan tak begitu peduli dengan ocehan ibu tirinya. “Assalamu’alaikum!” ucap Sova dengan wajah sumringah, namun tak tertuju untuk bu Devi. Gadis itu tetap menyalami tangan bu Devi dan berlalu begitu saja, memasuki rumah lewat pintu dapur seperti biasanya. Tujuannya kamar, shalat maghrib setelah dia wudhu terlebih dahulu di sumur umum. Sebenarnya Sova diantar pulang menggunakan mobil oleh pak Syamsul, kepala sekolah dimana Ia menuntut ilmu. Mobil sewaan pak Syamsul itu berlaku 24 jam, jadi beliau dengan leluasa bisa mengatar Sova sampai ke rumahnya. Hanya saja, Sova meminta diturunkan di sumur umum. “Heh!” bu Devi mencekal lengan Sova yang berlalu begitu saja setelah menyalaminya.
Bu Devi terdiam sesaat setelah mendengar tawaran Sova. Hatinya bertolak belakang dengan kalimat yang diucapkan oleh Sova. Di satu sisi, wanita paruh baya itu memang menginginkan uang lima juta yang ditawarkan oleh Beni, lelaki yang melamarkan Sova untuk ayahnya, Roy. Tapi di sisi lain, Ia sudah berniat untuk menikahkannya, setelah uang itu didapat, ibu Devi akan membuat Sova bercerai dari lelaki tua itu. Ia akan untung berkali-kali lipat karena sudah mendapatkan uang imbalan sebesar 5 Juta, tapi ia pun tidak kehilangan Sova yang selama ini sudah menjadi tulang punggung baginya, juga menjadi pembantu gratisan."Bagaimana? Kalau Mama setuju, Aku siap dinikahi oleh kakek Roy kapanpun dia mau." Tak ada gurat sedih ataupun takut dari wajah sova. Di kepalanya sudah tersusun berbagai macam rencana yang akan Ia lakukan ke depannya."Sepakat, " sahut Yulia sambil menghampiri sova, menyodorkan tangannya untuk bersalaman sebagai tanda dimulainya kesepakatan. "Yulia!