Bu Devi terdiam sesaat setelah mendengar tawaran Sova. Hatinya bertolak belakang dengan kalimat yang diucapkan oleh Sova. Di satu sisi, wanita paruh baya itu memang menginginkan uang lima juta yang ditawarkan oleh Beni, lelaki yang melamarkan Sova untuk ayahnya, Roy. Tapi di sisi lain, Ia sudah berniat untuk menikahkannya, setelah uang itu didapat, ibu Devi akan membuat Sova bercerai dari lelaki tua itu. Ia akan untung berkali-kali lipat karena sudah mendapatkan uang imbalan sebesar 5 Juta, tapi ia pun tidak kehilangan Sova yang selama ini sudah menjadi tulang punggung baginya, juga menjadi pembantu gratisan.
"Bagaimana? Kalau Mama setuju, Aku siap dinikahi oleh kakek Roy kapanpun dia mau." Tak ada gurat sedih ataupun takut dari wajah sova. Di kepalanya sudah tersusun berbagai macam rencana yang akan Ia lakukan ke depannya."Sepakat, " sahut Yulia sambil menghampiri sova, menyodorkan tangannya untuk bersalaman sebagai tanda dimulainya kesepakatan."Yulia! Mama belum... " ucapan Bu Devi terpotong oleh aksi yang dilakukan oleh sova dan Yulia. Kedua saudara berbeda ibu dan bapak itu kini tengah bersalaman atas kesepakatan yang mereka buat." Tunggu, Mama belum setuju dengan permintaan kamu, Sova!" Potong Bu Devi seraya menghampiri mereka berdua." Kalau Mama tidak setuju, maka pernikahan pun tidak akan pernah terjadi." Sova melepaskan tangannya dari Yulia, kemudian Ia pun mengendikkan bahunya, terserah dan masa bodoh dengan keputusan apa yang akan diambil oleh Bu Devi, sang Mama sambung."Mah!" delik Yulia ke arah Bu Devi. Di otak saudari tiri sova tersebut hanya ada gambar lembaran uang yang berjumlah 5 juta. Selama ini, ia tak pernah merasakan memegang uang berwarna merah dalam jumlah banyak, ini adalah kesempatan baginya untuk merasakan memegang uang tersebut, bahkan menikmatinya dengan belanja. Urusan lainnya itu urusan belakangan." Tapi gimana nanti ke depannya? Siapa yang...?" ucapan Bu Devi kembali terhenti saat Yulia membisikinya sesuatu. Seolah satu frekuensi, otak mereka memikirkan tujuan dan keresahan yang sama, namun beda cara menyelesaikan.Sova acuh tak acuh dengan kelakuan Yulia tersebut. Karena Kejadian ini, hatinya telah mati untuk menyayangi Bu Devi dan Yulia sebagai satu keluarga. Begitupun, hatinya telah mati untuk mencari kasih sayang dari sosok seorang ibu yang tak pernah ia rasakan sedari kecil. Ia sudah lelah berharap kasih sayang dari Bu Devi yang tak pernah ia rasakan sama sekali.Beberapa saat setelah Yulia membisikinya sesuatu, senyum Bu Devi pun merekah dari balik bibirnya yang berwarna merah menyala. Ia pun mengangguk-nganggukkan kepalanya, kemudian menyodorkan tangannya di hadapan sova dan berkata "Mama setuju!"Meskipun sova mengendus bau-bau kelicikan, gadis itu tak akan kalah ide untuk mematahkan ide-ide licik mereka berdua. Baginya, keluar dari keluarga toxic seperti bu Devi adalah sebuah kesempatan berharga. Dengan mantap, sova pun meraih tangan Bu Devi dan mengucapkan kata "sepakat..”"Kalau begitu, saya dandani sekarang juga!" ucap Lina, salah satu tamu yang tiba-tiba saja nimbrung dalam obrolan mereka.Sova langsung menoleh ke arah Lina dengan heran, kemudian ia menoleh lagi ke arah Bu Devi dan Yulia secara bergantian. Ia seolah mencari jawaban tentang siapa kedua wanita tersebut."Dia itu mantunya Roy, calon suami kamu! " ucap Bu Devi sambil menunjuk ke arah Lina dengan dagunya.Mendengar ucapan Bu Devi, hati sova kembali merasa tersayat. Nyeri. Rasanya seperti ditusuk ribuan jarum. Ia sudah menyepakati untuk menikahi kakek Roy saat ini juga. Tapi, saat ia mengetahui bahwa kedua tamu tersebut merupakan keluarga dari kakek Roy, ternyata hatinya masih merasakan ketaksiapan untuk menikah. Bagaimana tidak, dia masih berusia 18 tahun. Bahkan, bulan depan ia harus melakukan ujian sekolah.Sova berusaha meredam gejolak yang ada di hatinya. Ia pun melebarkan senyumnya, meskipun senyum itu nampak dipaksakan. "Baik. Tapi Saya mau salat dulu,” ucap Sova yang tanpa menunggu jawaban dari siapapun, segera melangkah pergi meninggalkan mereka yang menunggunya di ruang tamu. Gadis cantik itu menuju kamarnya untuk melaksanakan salat.Sova melaksanakan salat dengan berurai air mata. Hatinya menjerit, mengadu pada Sang Pemilik Hati. Bagaimanapun, ia masih sangat muda untuk menghadapi ujian seperti ini. Sedari kecil, Ia tak pernah bertemu dengan ibunya, Sova hanya tahu bahwa ibunya pergi ke luar negeri untuk menjadi TKW. Namun, nasib malang menerpa ibunya yang katanya meninggal di perantauan karena disiksa oleh majikan. Cerita itu yang ia dengar dari bu Devi yang sering diungkit agar Sova membalas jasa Bu Devi yang telah membesarkan sova.“Permisi!” suara seorang wanita menginterupsi tangisan Sova.Gadis cantik itu pun segera menyudahi doanya, seraya mengusap setiap air mata yang keluar dari kedua sudut netranya. “Iya... “ sahut Sova setelah berhasil menguasai hatinya. Ia pun segera berdiri dan melepaskan mukena yang Ia pergunakan.“Bisa kita bersiap sekarang?” kembali suara wanita itu terdengar.“Ya, silakan masuk!” pinta Sova yang kini tengah melipat mukenanya.Kretttt...Pintu kayu itu pun berderit cukup kencang karena bagian bawahnya rombeng. Tampilannya pun begitu hitam karena sering terkena asap tungku. “Permisi ya!” ucap seorang wanita sopan. Wanita yang menjadi salah satu tamu tadi.“Oh, mbak menantunya kakek Roy, ya?” tanya Sova seraya berdiri.“Eh, bukan Bu. Saya cuma asistennya. Eh, adeknya... Nama saya Hani,” ucap wanita berambut pendek tersebut, rambut model Demi Moore, artis era 90-an. Tak lupa, Hani pun menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan Sova.“Oh, Berarti anaknya kakek Roy juga ya!” ucap Sova seraya menyambut uluran tangannya. “Jangan panggil saya Ibu, Mbak. Panggil nama lebih enak, atau panggil saya Adek. Saya yakin, Mbak-nya lebih dewasa dari saya,” lanjut Sova seraya terkekeh, menertawakan nasibnya sendiri.“Ah.” Hani terdiam. Ia pun tak dapat berkata-kata lagi. Ia khawatir keceplosan jika harus membantah kembali apa yang ada di pikiran calon Ibu Bos nya. Status Roy memang diminta untuk disembunyikan, itu yang menyebabkan Ia mengunci rapat mulutnya.“Kita rias ya!” Hani mengalihkan pembicaraan mereka, seraya meletakkan tas koper yang Ia seret, memasuki kamar Sova.“Mbak hebat. Ayahnya mau nikahin anak di bawah umur, Mbak yang mau dandanin. Boleh tahu kenapa?” tanya Sova seraya memicingkan tangan.Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Hani pun terdiam karena bingung harus menjawab apa. Gara-gara itu pun, akhirnya Ia memutuskan untuk bersikap ketus kepada Sova.“Jangan banyak tanya deh. Kamu ingat sama ayahmu kan?” tanya Hani tanpa melirik ke arah Sova. Ia tak mau melihat wajah sedih gadis muda yang yang akan segera Ia dandani tersebut. Ia terpaksa bersikap demikian.Sedangkan Sova, gadis itu menelan ludahnya saat mendengar ucapan Hani. Ia sadar jika Ia terlalu banyak bicara dan membuat percikan api kepada Hani. “Maaf!” ucapnya tulus.“Tunggu sebentar!” Sova menolak baju kebaya yang disodorkan kepadanya. Ia mengambil tas sekolah miliknya, mengeluarkan sebuah buku dan menuliskan surat perjanjian dengan Ibu tirinya, serta menuliskan syarat yang Ia ajukan untuk Roy.“Mbak ada materai?” tanya Sova kepada Hani dengan wajah datar.Hani pun mengangguk, kemudian Ia mengeluarkan sebuah materai bernilai sepuluh ribu dari dompetnya. Materai yang memang selalu tersedia di dompet biru miliknya.Sova tersenyum melihat materai yang disodorkan kepadanya. Ia tak menyangka jika wanita di sampingnya selalu menyelipkan materai di dompetnya, seperti kebiasaan bu Halimah. “Makasih banyak ya!” ucapnya tulus seraya membasahi bagian belakang materai dengan mengusapkan air dari air minum yang Ia simpan di dalam kamar.“Mbak, tolong sampaikan dulu pesan saya kepada kakek Roy! Jika dia sanggup memenuhinya, Saya bersedia menikah sekarang juga!” ucap Sova seraya menyodorkan selembar kertas yang Ia sobek dari bukunya.“Apa ini?” tanya Hani yang nampak enggan mengambil kertas tersebut. “Tolong Mbak! Kalau tidak ada persetujuan tentang hal ini, maka Saya tidak bersedia menikah,” tekan Sova dengan mata tajam. Ditatap seperti itu oleh sang calon istri bos nya, membuat nyali Hani menciut. Ia pun segera mengangguk dan mengambil kertas tersebut, memotretnya, lantas mengirimkannya langsung kepada Roy. “Sudah. Bisakah kita mulai berhias?” tanya Hani lagi. Ia tak ingin membuang-buang waktu berdua dengan Sova. Ia khawatir akan ada banyak pertanyaan lain yang tak akan sanggup Ia jawab. “Tunggu jawabannya!” titah Sova tanpa melirik sedikit pun ke arah Hani. Tak menunggu lama, ponsel Hani pun segera berdering. Wanita itu pun segera menggeser gambar telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan dari Roy. “Hallo. Iya.” Hanya dua kata itu yang diucapkan oleh Hani, sebelum akhirnya Ia menyerahkan ponsel itu kepada Sova. Sova yang sudah mengira siapa yang menghubungi Hani
Sova tak pernah mengira akan bertemu lagi dengan orang tersebut. Rasa kesal yang baru saja melanda karena kabar bahwa dirinya sudah dinikahi, ternyata sedikit terlupakan saat melihat sosok suaminya. “Duduk si sini, Neng!” pinta pak RT yang sedari tadi duduk di tempat saksi, menepuk karpet yang tak diduduki siapa pun, tepat di samping mempelai pria. Roy menyunggingkan senyumannya kepada Sova. Senyuman tulus sebagai tanda bahwa lelaki itu menikahi Sova dengan baik. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan saat berbicara di sambungan telepon. “Ayo!” Lina berdiri untuk menuntun Sova duduk di tempat yang sudah disediakan oleh pak RT, tepat di samping lelaki yang baru menjadi suaminya. Sova pun menurut, melangkahkan kakinya untuk duduk di samping Roy. Seolah mengerti dengan kegelisahan yang sofa rasakan, Pak RT dengan inisiatifnya sendiri membuka galeri video yang ada pada ponsel miliknya. Ia memperlihatkan sebuah video kepada Sova, “Ini, saat ijab kabul tadi!"
“Aaahhh... “ Mendengar teriakan Sova, seketika Roy bangkit dan berlari tunggang langgang. “Ada apa?” tanya Roy seraya menarik Sova dari guyuran shower di atas bathtub, di dalam toilet. Roy menarik Sova keluar dari bathtub sekuat tenaga, sampai kaki Sova terpentuk sisi bathtub. “Ada apa?” tanya Roy lagi sambil melihat ke arah Sova yang masih memejamkan matanya, berusaha menghilangkan bekas air yang mengguyur dari ujung kepalanya. “Kang, lepas dulu!” pinta Sova masih memejamkan matanya. Sova berada dalam pelukan Roy karena lelaki itu menarik paksa Sova yang berada di bawah guyuran shower, di atas bath tub. Roy yang melihat Sova basah, seketika hasratnya membuncah. Terlebih lekuk tubuh Sova yang membentuk, sangat menantang untuk segera Ia jamah. Bibir Sova yang seksi dan berwarna merah alami, membuat pikiran Roy semakin kotor. Tapi, hatinya yang mengatakan bahwa Sova Ia nikahi bukan untuk Ia jadikan budak nafsu, segera menahan hasrat yang sudah lama Ia pendam. Hasrat yang Ia kubur be
Roy bergegas mengeluarkan ponselnya. Sambil terus melangkah menjauhi ruangan rawat inap yang ditempati pak Harun, Roy pun segera menghubungi Beni. Tak membutuhkan nada panggilan lebih banyak, Beni, sang tangan kanan Roy langsung menerima panggilan darinya. “Malam, Bos!” ucap Beni di sebrang telepon. “Di mana?” tanya Roy tanpa basa-basi. “Baru sampai rumah. Ada yang bisa saya lakukan, Bos?” tanya Beni. Ada rasa tak tega di hati Roy saat mendengar titik keberadaan Beni. Padahal, biasanya Ia seolah sudah tak memiliki empati terhadap Beni. Jika dia membutuhkan sesuatu, apapun caranya harus terlaksana saat itu juga. “Siapa yang jaga di sini?” tanya Roy pada akhirnya. “Agus, Heru dan Jack. Apa Bos tak melihat keberadaan mereka?” tanya Beni memastikan. Masalahnya, selama dia mengawali pernikahannya, Roy sudah meminta bodyguard bayangan agar tak menimbulkan kecurigaan untuk Sova, maupun orang-orang yang berada di sekitar Sova. “Bilang saja sama mereka, carikan baju untuk aku d
“Aaa... uuu... “ Pak Harun yang kini berada di lantai dekat dengan brankarnya, berderai air mata. Selang infus yang terlepas, membuat tangannya bersimbah darah. Sepertinya karena tercabut dengan paksa, akibat lelaki itu terjatuh dari atas brankarnya. Secepatnya, Roy melanjutkan niatnya untuk menekan tombol untuk memanggil perawat. Dia menekan bel berkali-kali, menandakan bahwa keadaan cukup darurat. “Suster!” Ia pun berteriak seraya berusaha mengangkat Pak Harun untuk ditidurkan lagi di atas brankarnya. Kondisi Pak Harun yang sudah sangat kurus, membuat Roy tak memiliki kesulitan saat harus memindahkan Pak Harun ke atas brankarnya. Saat Roy mengangkat Pak Harun, muncul dua perawat dengan tergopoh-gopoh. “Ada apa, Pak?” tanya salah satu perawat. Mereka pun sigap melaksanakan tugasnya, meskipun matanya mengernyit melihat kondisi tangan Pak Harun yang bersimbah darah. “Jatuh, Pak!” sahut Roy yang masih melihat keadaan Pak Harun. “Jatuh? Kok bisa?” tanya pe
“Pak!” Putri menepuk pundak Roy sambil berteriak memanggilnya. “Eh, sudah, Mbak?” tanya Roy kepada Putri yang kini berdiri di sampingnya. Lamunan dan senyumannya buyar seketika. Memori tentang apa yang dilakukan oleh Sova di balik pohon itu, membuat Roy sering tertawa sendiri. Hal itulah yang membuat Ia memantapkan hati untuk menjadikan Sova sebagai pewaris sah baginya. “Pak Roy, Bapaknya sudah kami tangani. Besok saat visit dokter akan dikonsultasikan, semua keluhan sudah kami catat di lembar anamnesa. Untuk istrinya, kami sudah konsultasikan dengan dokter jaga di IGD. Kebetulan di sana sedang tidak ramai pasien, jadi dokter Arif akan periksa ke sini. Istrinya juga sudah kami pindahkan ke brankar.” Panjang lebar Putri menjelaskan kepada Roy, yang akhirnya hanya dijawab dengan kata ‘oh' saja. “Jadi, istri saya kenapa?” tanya Roy yang kini bangkit dari duduknya. “Sebentar lagi dokter Arif akan visit ke sini,” sahut Putri sebelum Roy menanyakan hal lain yang sebenarnya sudah dij
Sova tak menyahut apapun. Pikirannya sibuk sendiri tentang apa yang biasanya diminta oleh pengantin baru. “Sova!” panggil Roy lagi karena tak mendapatkan respon apapun dari Sova. “Eh. Iya.” Sova menjawab panggilan Roy, namun tak juga menoleh ke arahnya. “Kita sudah menikah. Oleh sebab itu, kamu menjadi tanggung jawabku. Aku akan bekerja untuk membiayai hidupmu, juga pengobatan Ayahmu. Tapi maaf, semua hanya sesuai kemampuan Akang sebagai... “ Roy ragu untuk mengatakannya kepada Sova. Sova pun menoleh ke arah Roy, menunggu lanjutan dari ucapan Roy. “Sebagai ojol. Apa kamu mau menerima pekerjaan Akang? Juga, penghasilan Akang yang mungkin tak menentu.” Roy mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Di dalam hatinya, Ia tak tega untuk membohongi Sova. Namun, Ia harus benar-benar yakin bahwa Sova adalah orang yang tepat, yang Ia pilih. “Terimakasih banyak karena Akang mau bertanggungjawab sama Aku dan Ayah. Tapi, bagaimana dengan permintaan Sova yang kemarin dikirimkan via wa mb
“Akang berangkat dulu ya! Ini kunci rumah kontrakan di kontrakan bu Halim, kamar ke tiga. Nanti, Sari bakalan datang buat jagain Ayah. Kamu jangan dulu sekolah hari ini, biar fit dulu. Akang udah izinkan ke bu Halimah,” ucap Roy yang kemudian berlalu pergi. “Akang!” Sova memanggil Roy, menghampirinya dan menadahkan tangannya. Roy terhenyak. Ia memang salah karena lupa memberi Sova bekal, tapi Ia pun tak mengira jika Sova langsung berani meminta kepadanya. Roy mengeluarkan uang seratus ribu dari saku jaket ojol yang Ia kenakan, hasil meminjam dari orang suruhannya. “Ini, buat hari ini ya!” ucap Roy seraya menyerahkan uang itu di atas telapak tangan Sova yang masih menadah. “Makasih banyak ya, Kang. Tapi, Aku minta tangan Akang buat salam, bukan minta uang,” ucap Sova yang langsung saja menyalaminya. “Ooohhh... “ sahut Roy yang kini mulai tersenyum lagi. Ada hangat yang menjalari relung hatinya tatkala tahu bahwa Ia hanya salah paham dengan Sova. Ternyata, pikirannya salah. Ta