“Akhirnya, kamu pulang juga hah?” teriak bu Devi seraya berkacak pinggang di samping rumah, di sisi pintu dapur. Baru saja Ia melihat Sova dari kejauhan, Ia langsung menghujani gadis itu dengan tatapan membunuh.
Sova yang biasanya selalu memasang wajah senyum dalam keadaan apapun, kini nampak lebih cuek dan tak begitu peduli dengan ocehan ibu tirinya.“Assalamu’alaikum!” ucap Sova dengan wajah sumringah, namun tak tertuju untuk bu Devi. Gadis itu tetap menyalami tangan bu Devi dan berlalu begitu saja, memasuki rumah lewat pintu dapur seperti biasanya. Tujuannya kamar, shalat maghrib setelah dia wudhu terlebih dahulu di sumur umum.Sebenarnya Sova diantar pulang menggunakan mobil oleh pak Syamsul, kepala sekolah dimana Ia menuntut ilmu. Mobil sewaan pak Syamsul itu berlaku 24 jam, jadi beliau dengan leluasa bisa mengatar Sova sampai ke rumahnya. Hanya saja, Sova meminta diturunkan di sumur umum.“Heh!” bu Devi mencekal lengan Sova yang berlalu begitu saja setelah menyalaminya. Dengan terpaksa, langkah gadis itu pun terhenti.“Kamu enggak jadi kabur, hah? Bingung mau kabur kemana? Kalau di luar, bisa-bisa kamu jadi pe*ek!” ucap bu Devi dengan wajah kesalnya.Bagaimana tak kesal, gara-gara Sova tak ada di rumah, wanita itu terpaksa membersihkan popok pak Harun, suaminya. Bukannya dia melakukan hal itu dengan senang hati, tapi Ia terpaksa karena keluarga calon besan seharian berada di rumahnya. Mau tak mau, Ia harus menjaga image seorang istri dan ibu yang baik.“Permisi, Ma! Aku mau nemuin Ayah!” ketus Sova yang membuat bu Devi sedikit terhenyak. Bagaimana tidak, tak pernah sekalipun gadis itu berkata dengan nada tak mengenakkan di depan bu Devi.“Heh, kesambet setan apa kamu di jalanan?” ucap bu Devi seraya mencengkeram tangan Sova cukup keras.Dengan cekatan, Sova membalik keadaan. Ia melepaskan cengkeraman bu Devi dan balik mencengkeramnya. Ia sudah bertekad untuk tak hidup di bawah kendali wanita yang sebenarnya Ia sudah curahkan kasih sayang kepadanya. Wanita yang selama ini sudah Ia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri, tapi tak pernah menganggap dia sebagai anak kandungnya. “Mama, Aku tak pernah berniat untuk menyakiti Mama meskipun Aku bisa, dari dulu sampai sekarang. Tolong, jangan buat Aku berubah!” ancam Sova seraya menatap tajam ke arah Ibunya. Sungguh, ini bukan dirinya yang berani melawan orang tua, meskipun bu Devi hanya sebagai orang tua sambung. Tapi, sikap bu Devi selama ini yang membuatnya merasa jengah, terlebih dengan menjualnya kepada seorang lelaki tua hanya dengan imbalan lima juta. Ya, meskipun dalam ikatan pernikahan, tapi Sova merasa bahwa Ia telah dijual.“Aaahhhhh, lepas!” pinta bu Devi meringis, namun masih dengan delikan mata tajam.Sova melepaskan cengkeramannya, menatap bu Devi tajam tanpa kata lagi, sampai akhirnya Ia pun membalikkan badan untuk masuk ke rumah lewat pintu dapur. “Assalamu’alaikum,” ucap Sova seraya berjalan langsung menuju kamar Ayahnya. Ia berniat membawa kabar gembira bahwa Ia telah mendapatkan juara debat walaupun sebagai runner up. Sebuah prestasi yang sangat luar biasa bagi anak kampung seperti dirinya, terlebih Ia yang tak pernah memiliki guru ataupun teman yang menjadi native speaker.Sova menghentikan langkahnya saat Ia mendapati dua wanita yang sedang duduk di kursi ruang tamu. “Eh, maaf. Saya kira enggak ada tamu!” ucap Sova berbasa-basi, Ia pun menyalami keduanya dan permisi untuk masuk ke dalam kamar Ayahnya.“Yah!” Sova menyibak tirai penutup pintu kamar, dan mendapati ruangan Ayahnya kosong. Bahkan, sangat bersih dan rapi. Dadanya bergemuruh, tapi Ia tak ingin marah di depan kedua tamu yang entah siapa. Ia betul-betul menahan dirinya agar tak meletup-letup.“Ma!” panggil Sova seraya berbalik.Bu Devi yang sudah ada di ruangan itu pun berdiri sambil menatap Sova penuh kemenangan. Yulia, adik tirinya pun muncul dari balik tirai kamarnya.Sova melirik ke arah dua tamu yang ternyata sudah ikut berdiri, mungkin menunggu kata apa yang akan terucap dari mulut Sova.“Mana Ayah?” Akhirnya, kalimat tanya itu pun meluncur dari mulut mungilnya.“Duduk!” titah bu Devi ke arah kursi tamu yang masih kosong.Sova melirik ke arah dua orang tamu yang masih menatapnya penuh misteri. Ia pun tak peduli dengan pendapat orang lain atas apa yang akan dilakukannya. Ancaman bu Devi yang selalu ingin menghabisi Ayahnya apabila Ia berani kabur pun, kini menari-nari di otaknya.“Mana Ayah?” teriak Sova seraya mendekati bu Devi dan mencengkeram dagunya. Bu Devi pun diseret ke belakang sampai mentok di tembok bilik rumah. Jika ingin, Sova sudah memukuli bu Devi sampai babak belur sekalipun, tapi Ia tak ingin berubah menjadi monster atas hal yang belum jelas terjadi. Dada Sova kembang kempis, menahan amarah yang sudah berada di ubun-ubun.“Tahan!” teriak wanita yang menjadi tamu di rumah mereka. Keduanya pun menahan Sova dengan cukup keras. Bahkan, wanita yang satu lagi nampak lihai menggunakan ilmu bela diri sehingga ia tak kesulitan menahan tenaga Sova. Sedangkan Yulia, gadis itu hanya bersembunyi di pojok ruangan. Ini untuk pertama kali baginya merasa takut kepada Sova.“Jangan ikut campur, ini urusan keluargaku!” teriak Sova sambil berusaha melepaskan diri.“Tolong, jangan seperti ini!” teriak salah satu tamu tersebut. Sova pun berhasil ditarik mundur oleh tamu lain. Kedua tamu itu berupaya keras menjauhkan Sova dari bu Devi dan berhasil.“Hhhh... hhhh... “ bu Devi bernafas dengan tersengal-sengal. Ia tak menyangka dengan sikap Sova yang berubah seratus delapan puluh derajat. Ia pun berupaya meraup oksigen sebanyak-banyaknya, agar otaknya bisa bekerja dengan maksimal. Padahal, tak sedikitpun Sova menyentuh leher bu Devi, tapi wanita paruh baya itu sudah merasa sulit bernafas.“Duduk dulu, biar Ibumu siap menjelaskan kemana Ayahmu!” ucap Lina, salah satu tamu tersebut.Sova mendelik tajam ke arah bu Devi. Ia menunggu wanita itu untuk mengucapkan kalimat yang bisa membuat dirinya tenang.Setelah mampu menetralkan perasaannya, bu Devi pun berdiri tegak, tetap berupaya menekan Sova meskipun di dalam hatinya sudah bertalu-talu. “Ayahmu ada di suatu tempat yang aman, dan akan tetap aman jika kamu mau menikah dengan kakek Roy sekarang juga!” ucap bu Devi sekuat tenaga menekan suaranya yang bergetar.“Apa kamu bilang?” tanya Sova sambil mencengkeram kuat kuku-kukunya, menahannya agar tak melayangkan pukulan kepada mereka berdua.“Kamu sudah mendengarnya!” Bu Devi tak ingin menjawab apapun pertanyaan dari Sova.Sova menundukkan pandangannya. Ia berpikir keras tentang apa yang harus Ia lakukan sekarang. Ia teringat pesan bu Halimah tadi, bahwa gurunya tersebut akan membantu Sova untuk menghadapi ujian jika Ia mendapatkan kesulitan. Ya, Sova jujur dengan keadaannya saat ini kepada bu Halimah, termasuk Ibu tirinya yang sering mengancamnya dengan keselamatan pak Harun. Ia harus siap dengan keadaan apapun yang akan Ia hadapi.“Aku mau menikahi pak Roy, tapi kita akan putus hubungan setelah ini. Ayah ikut dengan aku. Deal?” seringai Sova berusaha menguatkan hatinya.Bu Devi terdiam sesaat setelah mendengar tawaran Sova. Hatinya bertolak belakang dengan kalimat yang diucapkan oleh Sova. Di satu sisi, wanita paruh baya itu memang menginginkan uang lima juta yang ditawarkan oleh Beni, lelaki yang melamarkan Sova untuk ayahnya, Roy. Tapi di sisi lain, Ia sudah berniat untuk menikahkannya, setelah uang itu didapat, ibu Devi akan membuat Sova bercerai dari lelaki tua itu. Ia akan untung berkali-kali lipat karena sudah mendapatkan uang imbalan sebesar 5 Juta, tapi ia pun tidak kehilangan Sova yang selama ini sudah menjadi tulang punggung baginya, juga menjadi pembantu gratisan."Bagaimana? Kalau Mama setuju, Aku siap dinikahi oleh kakek Roy kapanpun dia mau." Tak ada gurat sedih ataupun takut dari wajah sova. Di kepalanya sudah tersusun berbagai macam rencana yang akan Ia lakukan ke depannya."Sepakat, " sahut Yulia sambil menghampiri sova, menyodorkan tangannya untuk bersalaman sebagai tanda dimulainya kesepakatan. "Yulia!
“Apa ini?” tanya Hani yang nampak enggan mengambil kertas tersebut. “Tolong Mbak! Kalau tidak ada persetujuan tentang hal ini, maka Saya tidak bersedia menikah,” tekan Sova dengan mata tajam. Ditatap seperti itu oleh sang calon istri bos nya, membuat nyali Hani menciut. Ia pun segera mengangguk dan mengambil kertas tersebut, memotretnya, lantas mengirimkannya langsung kepada Roy. “Sudah. Bisakah kita mulai berhias?” tanya Hani lagi. Ia tak ingin membuang-buang waktu berdua dengan Sova. Ia khawatir akan ada banyak pertanyaan lain yang tak akan sanggup Ia jawab. “Tunggu jawabannya!” titah Sova tanpa melirik sedikit pun ke arah Hani. Tak menunggu lama, ponsel Hani pun segera berdering. Wanita itu pun segera menggeser gambar telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan dari Roy. “Hallo. Iya.” Hanya dua kata itu yang diucapkan oleh Hani, sebelum akhirnya Ia menyerahkan ponsel itu kepada Sova. Sova yang sudah mengira siapa yang menghubungi Hani
Sova tak pernah mengira akan bertemu lagi dengan orang tersebut. Rasa kesal yang baru saja melanda karena kabar bahwa dirinya sudah dinikahi, ternyata sedikit terlupakan saat melihat sosok suaminya. “Duduk si sini, Neng!” pinta pak RT yang sedari tadi duduk di tempat saksi, menepuk karpet yang tak diduduki siapa pun, tepat di samping mempelai pria. Roy menyunggingkan senyumannya kepada Sova. Senyuman tulus sebagai tanda bahwa lelaki itu menikahi Sova dengan baik. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan saat berbicara di sambungan telepon. “Ayo!” Lina berdiri untuk menuntun Sova duduk di tempat yang sudah disediakan oleh pak RT, tepat di samping lelaki yang baru menjadi suaminya. Sova pun menurut, melangkahkan kakinya untuk duduk di samping Roy. Seolah mengerti dengan kegelisahan yang sofa rasakan, Pak RT dengan inisiatifnya sendiri membuka galeri video yang ada pada ponsel miliknya. Ia memperlihatkan sebuah video kepada Sova, “Ini, saat ijab kabul tadi!"
“Aaahhh... “ Mendengar teriakan Sova, seketika Roy bangkit dan berlari tunggang langgang. “Ada apa?” tanya Roy seraya menarik Sova dari guyuran shower di atas bathtub, di dalam toilet. Roy menarik Sova keluar dari bathtub sekuat tenaga, sampai kaki Sova terpentuk sisi bathtub. “Ada apa?” tanya Roy lagi sambil melihat ke arah Sova yang masih memejamkan matanya, berusaha menghilangkan bekas air yang mengguyur dari ujung kepalanya. “Kang, lepas dulu!” pinta Sova masih memejamkan matanya. Sova berada dalam pelukan Roy karena lelaki itu menarik paksa Sova yang berada di bawah guyuran shower, di atas bath tub. Roy yang melihat Sova basah, seketika hasratnya membuncah. Terlebih lekuk tubuh Sova yang membentuk, sangat menantang untuk segera Ia jamah. Bibir Sova yang seksi dan berwarna merah alami, membuat pikiran Roy semakin kotor. Tapi, hatinya yang mengatakan bahwa Sova Ia nikahi bukan untuk Ia jadikan budak nafsu, segera menahan hasrat yang sudah lama Ia pendam. Hasrat yang Ia kubur be
Roy bergegas mengeluarkan ponselnya. Sambil terus melangkah menjauhi ruangan rawat inap yang ditempati pak Harun, Roy pun segera menghubungi Beni. Tak membutuhkan nada panggilan lebih banyak, Beni, sang tangan kanan Roy langsung menerima panggilan darinya. “Malam, Bos!” ucap Beni di sebrang telepon. “Di mana?” tanya Roy tanpa basa-basi. “Baru sampai rumah. Ada yang bisa saya lakukan, Bos?” tanya Beni. Ada rasa tak tega di hati Roy saat mendengar titik keberadaan Beni. Padahal, biasanya Ia seolah sudah tak memiliki empati terhadap Beni. Jika dia membutuhkan sesuatu, apapun caranya harus terlaksana saat itu juga. “Siapa yang jaga di sini?” tanya Roy pada akhirnya. “Agus, Heru dan Jack. Apa Bos tak melihat keberadaan mereka?” tanya Beni memastikan. Masalahnya, selama dia mengawali pernikahannya, Roy sudah meminta bodyguard bayangan agar tak menimbulkan kecurigaan untuk Sova, maupun orang-orang yang berada di sekitar Sova. “Bilang saja sama mereka, carikan baju untuk aku d
“Aaa... uuu... “ Pak Harun yang kini berada di lantai dekat dengan brankarnya, berderai air mata. Selang infus yang terlepas, membuat tangannya bersimbah darah. Sepertinya karena tercabut dengan paksa, akibat lelaki itu terjatuh dari atas brankarnya. Secepatnya, Roy melanjutkan niatnya untuk menekan tombol untuk memanggil perawat. Dia menekan bel berkali-kali, menandakan bahwa keadaan cukup darurat. “Suster!” Ia pun berteriak seraya berusaha mengangkat Pak Harun untuk ditidurkan lagi di atas brankarnya. Kondisi Pak Harun yang sudah sangat kurus, membuat Roy tak memiliki kesulitan saat harus memindahkan Pak Harun ke atas brankarnya. Saat Roy mengangkat Pak Harun, muncul dua perawat dengan tergopoh-gopoh. “Ada apa, Pak?” tanya salah satu perawat. Mereka pun sigap melaksanakan tugasnya, meskipun matanya mengernyit melihat kondisi tangan Pak Harun yang bersimbah darah. “Jatuh, Pak!” sahut Roy yang masih melihat keadaan Pak Harun. “Jatuh? Kok bisa?” tanya pe
“Pak!” Putri menepuk pundak Roy sambil berteriak memanggilnya. “Eh, sudah, Mbak?” tanya Roy kepada Putri yang kini berdiri di sampingnya. Lamunan dan senyumannya buyar seketika. Memori tentang apa yang dilakukan oleh Sova di balik pohon itu, membuat Roy sering tertawa sendiri. Hal itulah yang membuat Ia memantapkan hati untuk menjadikan Sova sebagai pewaris sah baginya. “Pak Roy, Bapaknya sudah kami tangani. Besok saat visit dokter akan dikonsultasikan, semua keluhan sudah kami catat di lembar anamnesa. Untuk istrinya, kami sudah konsultasikan dengan dokter jaga di IGD. Kebetulan di sana sedang tidak ramai pasien, jadi dokter Arif akan periksa ke sini. Istrinya juga sudah kami pindahkan ke brankar.” Panjang lebar Putri menjelaskan kepada Roy, yang akhirnya hanya dijawab dengan kata ‘oh' saja. “Jadi, istri saya kenapa?” tanya Roy yang kini bangkit dari duduknya. “Sebentar lagi dokter Arif akan visit ke sini,” sahut Putri sebelum Roy menanyakan hal lain yang sebenarnya sudah dij
Sova tak menyahut apapun. Pikirannya sibuk sendiri tentang apa yang biasanya diminta oleh pengantin baru. “Sova!” panggil Roy lagi karena tak mendapatkan respon apapun dari Sova. “Eh. Iya.” Sova menjawab panggilan Roy, namun tak juga menoleh ke arahnya. “Kita sudah menikah. Oleh sebab itu, kamu menjadi tanggung jawabku. Aku akan bekerja untuk membiayai hidupmu, juga pengobatan Ayahmu. Tapi maaf, semua hanya sesuai kemampuan Akang sebagai... “ Roy ragu untuk mengatakannya kepada Sova. Sova pun menoleh ke arah Roy, menunggu lanjutan dari ucapan Roy. “Sebagai ojol. Apa kamu mau menerima pekerjaan Akang? Juga, penghasilan Akang yang mungkin tak menentu.” Roy mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Di dalam hatinya, Ia tak tega untuk membohongi Sova. Namun, Ia harus benar-benar yakin bahwa Sova adalah orang yang tepat, yang Ia pilih. “Terimakasih banyak karena Akang mau bertanggungjawab sama Aku dan Ayah. Tapi, bagaimana dengan permintaan Sova yang kemarin dikirimkan via wa mb