Sova tak pernah mengira akan bertemu lagi dengan orang tersebut. Rasa kesal yang baru saja melanda karena kabar bahwa dirinya sudah dinikahi, ternyata sedikit terlupakan saat melihat sosok suaminya.
“Duduk si sini, Neng!” pinta pak RT yang sedari tadi duduk di tempat saksi, menepuk karpet yang tak diduduki siapa pun, tepat di samping mempelai pria.Roy menyunggingkan senyumannya kepada Sova. Senyuman tulus sebagai tanda bahwa lelaki itu menikahi Sova dengan baik. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan saat berbicara di sambungan telepon.“Ayo!” Lina berdiri untuk menuntun Sova duduk di tempat yang sudah disediakan oleh pak RT, tepat di samping lelaki yang baru menjadi suaminya.Sova pun menurut, melangkahkan kakinya untuk duduk di samping Roy. Seolah mengerti dengan kegelisahan yang sofa rasakan, Pak RT dengan inisiatifnya sendiri membuka galeri video yang ada pada ponsel miliknya. Ia memperlihatkan sebuah video kepada Sova, “Ini, saat ijab kabul tadi!"“Aaahhh... “ Mendengar teriakan Sova, seketika Roy bangkit dan berlari tunggang langgang. “Ada apa?” tanya Roy seraya menarik Sova dari guyuran shower di atas bathtub, di dalam toilet. Roy menarik Sova keluar dari bathtub sekuat tenaga, sampai kaki Sova terpentuk sisi bathtub. “Ada apa?” tanya Roy lagi sambil melihat ke arah Sova yang masih memejamkan matanya, berusaha menghilangkan bekas air yang mengguyur dari ujung kepalanya. “Kang, lepas dulu!” pinta Sova masih memejamkan matanya. Sova berada dalam pelukan Roy karena lelaki itu menarik paksa Sova yang berada di bawah guyuran shower, di atas bath tub. Roy yang melihat Sova basah, seketika hasratnya membuncah. Terlebih lekuk tubuh Sova yang membentuk, sangat menantang untuk segera Ia jamah. Bibir Sova yang seksi dan berwarna merah alami, membuat pikiran Roy semakin kotor. Tapi, hatinya yang mengatakan bahwa Sova Ia nikahi bukan untuk Ia jadikan budak nafsu, segera menahan hasrat yang sudah lama Ia pendam. Hasrat yang Ia kubur be
Roy bergegas mengeluarkan ponselnya. Sambil terus melangkah menjauhi ruangan rawat inap yang ditempati pak Harun, Roy pun segera menghubungi Beni. Tak membutuhkan nada panggilan lebih banyak, Beni, sang tangan kanan Roy langsung menerima panggilan darinya. “Malam, Bos!” ucap Beni di sebrang telepon. “Di mana?” tanya Roy tanpa basa-basi. “Baru sampai rumah. Ada yang bisa saya lakukan, Bos?” tanya Beni. Ada rasa tak tega di hati Roy saat mendengar titik keberadaan Beni. Padahal, biasanya Ia seolah sudah tak memiliki empati terhadap Beni. Jika dia membutuhkan sesuatu, apapun caranya harus terlaksana saat itu juga. “Siapa yang jaga di sini?” tanya Roy pada akhirnya. “Agus, Heru dan Jack. Apa Bos tak melihat keberadaan mereka?” tanya Beni memastikan. Masalahnya, selama dia mengawali pernikahannya, Roy sudah meminta bodyguard bayangan agar tak menimbulkan kecurigaan untuk Sova, maupun orang-orang yang berada di sekitar Sova. “Bilang saja sama mereka, carikan baju untuk aku d
“Aaa... uuu... “ Pak Harun yang kini berada di lantai dekat dengan brankarnya, berderai air mata. Selang infus yang terlepas, membuat tangannya bersimbah darah. Sepertinya karena tercabut dengan paksa, akibat lelaki itu terjatuh dari atas brankarnya. Secepatnya, Roy melanjutkan niatnya untuk menekan tombol untuk memanggil perawat. Dia menekan bel berkali-kali, menandakan bahwa keadaan cukup darurat. “Suster!” Ia pun berteriak seraya berusaha mengangkat Pak Harun untuk ditidurkan lagi di atas brankarnya. Kondisi Pak Harun yang sudah sangat kurus, membuat Roy tak memiliki kesulitan saat harus memindahkan Pak Harun ke atas brankarnya. Saat Roy mengangkat Pak Harun, muncul dua perawat dengan tergopoh-gopoh. “Ada apa, Pak?” tanya salah satu perawat. Mereka pun sigap melaksanakan tugasnya, meskipun matanya mengernyit melihat kondisi tangan Pak Harun yang bersimbah darah. “Jatuh, Pak!” sahut Roy yang masih melihat keadaan Pak Harun. “Jatuh? Kok bisa?” tanya pe
“Pak!” Putri menepuk pundak Roy sambil berteriak memanggilnya. “Eh, sudah, Mbak?” tanya Roy kepada Putri yang kini berdiri di sampingnya. Lamunan dan senyumannya buyar seketika. Memori tentang apa yang dilakukan oleh Sova di balik pohon itu, membuat Roy sering tertawa sendiri. Hal itulah yang membuat Ia memantapkan hati untuk menjadikan Sova sebagai pewaris sah baginya. “Pak Roy, Bapaknya sudah kami tangani. Besok saat visit dokter akan dikonsultasikan, semua keluhan sudah kami catat di lembar anamnesa. Untuk istrinya, kami sudah konsultasikan dengan dokter jaga di IGD. Kebetulan di sana sedang tidak ramai pasien, jadi dokter Arif akan periksa ke sini. Istrinya juga sudah kami pindahkan ke brankar.” Panjang lebar Putri menjelaskan kepada Roy, yang akhirnya hanya dijawab dengan kata ‘oh' saja. “Jadi, istri saya kenapa?” tanya Roy yang kini bangkit dari duduknya. “Sebentar lagi dokter Arif akan visit ke sini,” sahut Putri sebelum Roy menanyakan hal lain yang sebenarnya sudah dij
Sova tak menyahut apapun. Pikirannya sibuk sendiri tentang apa yang biasanya diminta oleh pengantin baru. “Sova!” panggil Roy lagi karena tak mendapatkan respon apapun dari Sova. “Eh. Iya.” Sova menjawab panggilan Roy, namun tak juga menoleh ke arahnya. “Kita sudah menikah. Oleh sebab itu, kamu menjadi tanggung jawabku. Aku akan bekerja untuk membiayai hidupmu, juga pengobatan Ayahmu. Tapi maaf, semua hanya sesuai kemampuan Akang sebagai... “ Roy ragu untuk mengatakannya kepada Sova. Sova pun menoleh ke arah Roy, menunggu lanjutan dari ucapan Roy. “Sebagai ojol. Apa kamu mau menerima pekerjaan Akang? Juga, penghasilan Akang yang mungkin tak menentu.” Roy mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Di dalam hatinya, Ia tak tega untuk membohongi Sova. Namun, Ia harus benar-benar yakin bahwa Sova adalah orang yang tepat, yang Ia pilih. “Terimakasih banyak karena Akang mau bertanggungjawab sama Aku dan Ayah. Tapi, bagaimana dengan permintaan Sova yang kemarin dikirimkan via wa mb
“Akang berangkat dulu ya! Ini kunci rumah kontrakan di kontrakan bu Halim, kamar ke tiga. Nanti, Sari bakalan datang buat jagain Ayah. Kamu jangan dulu sekolah hari ini, biar fit dulu. Akang udah izinkan ke bu Halimah,” ucap Roy yang kemudian berlalu pergi. “Akang!” Sova memanggil Roy, menghampirinya dan menadahkan tangannya. Roy terhenyak. Ia memang salah karena lupa memberi Sova bekal, tapi Ia pun tak mengira jika Sova langsung berani meminta kepadanya. Roy mengeluarkan uang seratus ribu dari saku jaket ojol yang Ia kenakan, hasil meminjam dari orang suruhannya. “Ini, buat hari ini ya!” ucap Roy seraya menyerahkan uang itu di atas telapak tangan Sova yang masih menadah. “Makasih banyak ya, Kang. Tapi, Aku minta tangan Akang buat salam, bukan minta uang,” ucap Sova yang langsung saja menyalaminya. “Ooohhh... “ sahut Roy yang kini mulai tersenyum lagi. Ada hangat yang menjalari relung hatinya tatkala tahu bahwa Ia hanya salah paham dengan Sova. Ternyata, pikirannya salah. Ta
“Rahasia apa, Yah?” tanya Sova yang langsung berdiri di dekat pak Harun, demi memperjelas pendengarannya. “A... ap. Huhuhuhuhu... “ tangis pak Harun malah pecah saat mengatakan permintaan maafnya. “Ayah minta maaf kenapa? Rahasia apa Yah?” tanya Sova semakin penasaran. Bukannya berusaha mengatakan sesuatu lagi, pak Harun malah semakin terisak dan jatuh ke dalam tangisan pilu. Sova tak bisa berbuat banyak, apalagi jika Ia harus menekan sang Ayah untuk bicara. Ia malah khawatir jika kondisi pak Harun akan semakin memburuk. Bukankah dokter sudah memperingatkan dirinya agar membuat seorang penderita stroke tidak memiliki beban pikiran. Ya, diagnosa pak Harun saat ini sudah jelas, lelaki yang berstatus Ayah-nya tersebut terkena stroke, bahkan hampir keseluruhan badan bagian pentingnya. Semua itu terjadi karena keterlambatan dalam penanganan. Sova hanya mengingat bahwa awalnya pak Harun hanya tak bisa menggerakkan anggota badan sebelah kanan saja, namun lama kelamaan, ke
Sepanjang mereka berjalan, Sova tak dapat berpikir dengan jernih. Bahkan, sampai dia kali, kakinya terantuk sesuatu sehingga membuatnya hampir terjatuh. Dengan cekatan, Roy selalu menggagalkan tragedi jatuhnya Sova. Hanya saja, tak seromantis di film-film. Sesampainya di kontrakan, Sova segera membuka pintu rumah dengan kunci yang Ia selipkan di saku bajunya. “Ada kamar mandi kan?” tanya Roy yang sudah tak tahan ingin membuang hajatnya. Sesuatu hal yang sering Roy lakukan ketika dia sedang dalam kondisi tertekan, atau terlalu banyak berpikir. “Loh. Akang bukannya udah lihat dalamnya?” tanya Sova heran. Tapi, tetap saja Ia menjawab pertanyaan Roy. “Ada, kok. Ada kamar mandinya.”Saat pintu terbuka, Roy segera masuk ke dalam rumah kontrakan mereka. Ia langsung berlari ke ujung tembok. “Akang, toiletnya di sana!” tunjuk Sova ke arah pintu lain di ruangan itu. Roy langsung melihat ke arah telunjuk Sova mengarah. Ia pun berlari ke sana. Sova heran