“Aaa... uuu... “ Pak Harun yang kini berada di lantai dekat dengan brankarnya, berderai air mata. Selang infus yang terlepas, membuat tangannya bersimbah darah. Sepertinya karena tercabut dengan paksa, akibat lelaki itu terjatuh dari atas brankarnya.
Secepatnya, Roy melanjutkan niatnya untuk menekan tombol untuk memanggil perawat. Dia menekan bel berkali-kali, menandakan bahwa keadaan cukup darurat. “Suster!” Ia pun berteriak seraya berusaha mengangkat Pak Harun untuk ditidurkan lagi di atas brankarnya. Kondisi Pak Harun yang sudah sangat kurus, membuat Roy tak memiliki kesulitan saat harus memindahkan Pak Harun ke atas brankarnya.Saat Roy mengangkat Pak Harun, muncul dua perawat dengan tergopoh-gopoh.“Ada apa, Pak?” tanya salah satu perawat. Mereka pun sigap melaksanakan tugasnya, meskipun matanya mengernyit melihat kondisi tangan Pak Harun yang bersimbah darah.“Jatuh, Pak!” sahut Roy yang masih melihat keadaan Pak Harun.“Jatuh? Kok bisa?” tanya pe“Pak!” Putri menepuk pundak Roy sambil berteriak memanggilnya. “Eh, sudah, Mbak?” tanya Roy kepada Putri yang kini berdiri di sampingnya. Lamunan dan senyumannya buyar seketika. Memori tentang apa yang dilakukan oleh Sova di balik pohon itu, membuat Roy sering tertawa sendiri. Hal itulah yang membuat Ia memantapkan hati untuk menjadikan Sova sebagai pewaris sah baginya. “Pak Roy, Bapaknya sudah kami tangani. Besok saat visit dokter akan dikonsultasikan, semua keluhan sudah kami catat di lembar anamnesa. Untuk istrinya, kami sudah konsultasikan dengan dokter jaga di IGD. Kebetulan di sana sedang tidak ramai pasien, jadi dokter Arif akan periksa ke sini. Istrinya juga sudah kami pindahkan ke brankar.” Panjang lebar Putri menjelaskan kepada Roy, yang akhirnya hanya dijawab dengan kata ‘oh' saja. “Jadi, istri saya kenapa?” tanya Roy yang kini bangkit dari duduknya. “Sebentar lagi dokter Arif akan visit ke sini,” sahut Putri sebelum Roy menanyakan hal lain yang sebenarnya sudah dij
Sova tak menyahut apapun. Pikirannya sibuk sendiri tentang apa yang biasanya diminta oleh pengantin baru. “Sova!” panggil Roy lagi karena tak mendapatkan respon apapun dari Sova. “Eh. Iya.” Sova menjawab panggilan Roy, namun tak juga menoleh ke arahnya. “Kita sudah menikah. Oleh sebab itu, kamu menjadi tanggung jawabku. Aku akan bekerja untuk membiayai hidupmu, juga pengobatan Ayahmu. Tapi maaf, semua hanya sesuai kemampuan Akang sebagai... “ Roy ragu untuk mengatakannya kepada Sova. Sova pun menoleh ke arah Roy, menunggu lanjutan dari ucapan Roy. “Sebagai ojol. Apa kamu mau menerima pekerjaan Akang? Juga, penghasilan Akang yang mungkin tak menentu.” Roy mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Di dalam hatinya, Ia tak tega untuk membohongi Sova. Namun, Ia harus benar-benar yakin bahwa Sova adalah orang yang tepat, yang Ia pilih. “Terimakasih banyak karena Akang mau bertanggungjawab sama Aku dan Ayah. Tapi, bagaimana dengan permintaan Sova yang kemarin dikirimkan via wa mb
“Akang berangkat dulu ya! Ini kunci rumah kontrakan di kontrakan bu Halim, kamar ke tiga. Nanti, Sari bakalan datang buat jagain Ayah. Kamu jangan dulu sekolah hari ini, biar fit dulu. Akang udah izinkan ke bu Halimah,” ucap Roy yang kemudian berlalu pergi. “Akang!” Sova memanggil Roy, menghampirinya dan menadahkan tangannya. Roy terhenyak. Ia memang salah karena lupa memberi Sova bekal, tapi Ia pun tak mengira jika Sova langsung berani meminta kepadanya. Roy mengeluarkan uang seratus ribu dari saku jaket ojol yang Ia kenakan, hasil meminjam dari orang suruhannya. “Ini, buat hari ini ya!” ucap Roy seraya menyerahkan uang itu di atas telapak tangan Sova yang masih menadah. “Makasih banyak ya, Kang. Tapi, Aku minta tangan Akang buat salam, bukan minta uang,” ucap Sova yang langsung saja menyalaminya. “Ooohhh... “ sahut Roy yang kini mulai tersenyum lagi. Ada hangat yang menjalari relung hatinya tatkala tahu bahwa Ia hanya salah paham dengan Sova. Ternyata, pikirannya salah. Ta
“Rahasia apa, Yah?” tanya Sova yang langsung berdiri di dekat pak Harun, demi memperjelas pendengarannya. “A... ap. Huhuhuhuhu... “ tangis pak Harun malah pecah saat mengatakan permintaan maafnya. “Ayah minta maaf kenapa? Rahasia apa Yah?” tanya Sova semakin penasaran. Bukannya berusaha mengatakan sesuatu lagi, pak Harun malah semakin terisak dan jatuh ke dalam tangisan pilu. Sova tak bisa berbuat banyak, apalagi jika Ia harus menekan sang Ayah untuk bicara. Ia malah khawatir jika kondisi pak Harun akan semakin memburuk. Bukankah dokter sudah memperingatkan dirinya agar membuat seorang penderita stroke tidak memiliki beban pikiran. Ya, diagnosa pak Harun saat ini sudah jelas, lelaki yang berstatus Ayah-nya tersebut terkena stroke, bahkan hampir keseluruhan badan bagian pentingnya. Semua itu terjadi karena keterlambatan dalam penanganan. Sova hanya mengingat bahwa awalnya pak Harun hanya tak bisa menggerakkan anggota badan sebelah kanan saja, namun lama kelamaan, ke
Sepanjang mereka berjalan, Sova tak dapat berpikir dengan jernih. Bahkan, sampai dia kali, kakinya terantuk sesuatu sehingga membuatnya hampir terjatuh. Dengan cekatan, Roy selalu menggagalkan tragedi jatuhnya Sova. Hanya saja, tak seromantis di film-film. Sesampainya di kontrakan, Sova segera membuka pintu rumah dengan kunci yang Ia selipkan di saku bajunya. “Ada kamar mandi kan?” tanya Roy yang sudah tak tahan ingin membuang hajatnya. Sesuatu hal yang sering Roy lakukan ketika dia sedang dalam kondisi tertekan, atau terlalu banyak berpikir. “Loh. Akang bukannya udah lihat dalamnya?” tanya Sova heran. Tapi, tetap saja Ia menjawab pertanyaan Roy. “Ada, kok. Ada kamar mandinya.”Saat pintu terbuka, Roy segera masuk ke dalam rumah kontrakan mereka. Ia langsung berlari ke ujung tembok. “Akang, toiletnya di sana!” tunjuk Sova ke arah pintu lain di ruangan itu. Roy langsung melihat ke arah telunjuk Sova mengarah. Ia pun berlari ke sana. Sova heran
“Apa? Kejutan apa?” tanya Sova seraya mundur sedikit. Ia betul-betul merasa takut dengan Roy. “Ya Tuhan, apa aku berdosa karena tak menginginkan ini?” tanya Sova di dalam hatinya sendiri. “Kamu mau kan...?” “Tunggu! Sebelumnya, kita harus ngobrol dulu! Ada banyak hal yang membuat kita harus saling mengenal. Kita belum saling mengenal, Kang!” tolak Sova dengan tegas. Sova terus mundur sampai dirinya tertentu pintu, bahkan dalam keadaan duduk. “Kamu merem dulu. Kalau Akang udah bilang buat buka mata, baru kamu buka!” ucap Roy. Lelaki itu kini duduk tepat di hadapan Sova. Jika dalam keadaan duduk seperti itu, setidaknya Sova bisa melawan dengan ilmu bela diri yang Ia bisa. “Merem!” pinta Roy lagi. Kali ini, tangan Roy memegang tas ransel yang tadi Ia bawa pulang. “Enggak. Tolong, jangan minta Aku merem. Aku takut gelap!” ungkap Sova sebagai alasan. Padahal, dia hanya ingin tetap berada dalam mode waspada. “Oh.kamu takut gelap? Maaf, Akang enggak tahu.” Nampak penyesalan da
Sova terbangun saat suara adzan subuh berkumandang. Ia merasa ada sesuatu yang asing di atas tubuhnya. “Heh... “Sova melepaskan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia teringat jika semalam tak ada selimut yang Ia pakai. Ia pun terbangun dengan cepat saat ingatannya tertuju pada sosok lelaki yang tidur di ruangan yang sama dengannya. Sova pun segera duduk dan memindai seisi ruangan. Tak ada siapapun. “Kang!” panggilnya sambil terus memindai seisi ruangan. Saat tak mendengar jawaban apapun, Sova langsung memeriksa seluruh tubuhnya. “Lengkap,” ucapnya saat mendapati seluruh tubuhnya masih terbungkus baju yang sama. Ia pun menarik nafas lega karenanya. Sova kembali memindai seisi ruangan. “Kang!” kembali Ia memanggil suaminya, namun tetap tak ada sahutan. Sova pun segera berdiri, mengambil ikat rambut yang Ia simpan di atas lemari plastik, kemudian mengikat rambutnya. Selanjutnya, Ia menuju dapur dan kamar mandi. “Kang, Akang di toilet?” tanya Sova. Lagi-lagi Sova dibuat kelimp
Sova berada di gedung SD yang menaungi sekolah satu atap, tempat di mana sofa mengenyam pendidikan SMA. Biasanya sofa berangkat ke sekolah siang, masuk sekolah setelah anak SD bubar. Namun kali ini, karena persiapan ujian akhir sedang dilakukan, mereka melaksanakan pembelajaran persiapan sekolah di kantor guru SD, pada pagi hari berbarengan dengan waktu sekolah pemilik gedung. Minggu depan, selama pelaksanaan ujian akhir, baik itu praktek maupun ujian tertulis, akan dilaksanakan di SMA yang selama ini menaungi sekolah satu atap Sova. Untung saja, letak SMA itu berada di kota dan tak jauh dari rumah sakit tempat Pak Harun dirawat."Hai!" Suara bariton seseorang menyadarkan lamunan Sova yang sedang mengotak-atik ponsel miliknya."Eh... Hai Rud!" Sahut Sova seraya meletakkan ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas.Saat ini mereka sedang beristirahat. Sebenarnya, jumlah siswa yang harus mengikuti ujian itu ada sekitar 28 siswa, termasuk Yulia. Namun diantara mereka, jarang yang mas