Sova menyuapi pak Harun yang sudah cukup lahap makan, meskipun masih memakan bubur tim dari rumah sakit. Bahkan, saat ini lelaki tua itu sudah bisa duduk bersender di atas brankar. “Bagus banget mbak Sari, makasih banyak karena sudah menyiapkan segala kebutuhan Ayah dengan sepenuh hati. Lihat, Ayah bisa tersenyum walaupun sedikit!” ucap Sova sambil terkekeh. “Sudah kewajiban saya, Bu!” tolak Sari saat dirinya mendapatkan pujian dari Sova. “Ah, mbak Sari. Jangan panggil Saya Ibu dong! Serasa udah menjadi paling tua sedunia,” protes Sova karena wanita di sampingnya itu, yang tak pernah mau menerima pujian darinya, selalu memanggil dirinya dengan embel-embel Ibu. “Tapi kan, memang... ““Sova. Memang enak kalau kita manggil bu Sova dengan nama saja. Serasa lebih dekat. Betul begitu kan, Sova?” tanya Hari yang sedari tadi sibuk membaca sebuah novel. Lelaki yang menjadi satu dari dua perawat yang menjaga pak Harun itu, bukannya malas dalam bekerja. Justru dia sudah menyelesaikan
Tak ada yang berubah dari kebiasaan baru mereka. Meskipun sesekali Roy sering terdiam saat mengingat usianya yang terpaut jauh dengan Sova, tapi kebiasaan barunya yang hanya berselera dengan makanan hasil dari masakan Sova, masih berjalan seperti biasa. Hal itu juga yang membuat Ia sulit untuk tak pulang ke kontrakan Sova. Bisa-bisa Ia mati berdiri karena tak bisa makan masakan yang Ia rasa hambar. Minggu-minggu pun berlalu, hari ini Sova mematut dirinya di cermin. Ia memandangi wajah dan baju seragam yang akan segera Ia tanggalkan setelah selesai ujian. Hari ini adalah hari terakhir Ia melaksanakan ujian. Hari ini juga, hari dimana Roy sudah merasa yakin seratus persen dengan Sova. Untuk itu, selama tiga hari ke depan, Roy sudah menyiapkan guru privat kepribadian untuk Sova. Bukan karena Roy tak suka dengan sikap kekanakkan Sova, tapi Ia harus mempersiapkan Sova agar gadis itu siap masuk ke dunia milik Roy yang sebenarnya. “Anak kecil, ngaca mulu!” ledek Roy seraya mengacak rambu
“Kenapa?” Sova semakin tak karuan dibuat Roy. Ia merasa tak punya harga diri di hadapan Roy, untuk kali ini. Gara-gara ucapannya, Roy sampai berteriak dan menyugar rambutnya. “Akang. Maaf, Aku enggak bakalan pernah lancang lagi,” ucap Sova seraya tergugu. Tangisan Sova kali ini terdengar oleh Roy. Ia tak ingin ada setetes air mata pun yang turun dari kelopak mata istrinya. “Sova, kamu kenapa?” tanya Roy yang belum menyadari penyebab tangisan Sova pecah. “Akang, maafin Sova! Sova janji enggak akan ngomong yang aneh-aneh lagi. Sova kapok! Maafin Sova ya!” ucap Sova tergugu. “Aneh?” tanya Roy keheranan. “Aneh yang mana?” tanya Roy lagi. Tiba-tiba pintu kontrakan mereka terbuka dari luar. “Siapa yang teriak?” tanya Hari sambil memasang kuda-kuda. Lelaki yang saat ini berprofesi sebagai perawat, sedangkan pekerjaan aslinya adalah bodyguard itu pun menatap penuh tanya ke arah Roy. Namun sayang, tatapan tajam yang Ia dapatkan dari Roy. “Eh, maaf. Enggak ada yang teriak ya!” ucap Hari
“Rudi, lepas!” teriak Sova seraya berontak. Hari ini adalah hari terakhir Sova melaksanakan Ujian di Sekolah. Tadi pagi, Ia telah menawarkan diri untuk menjadi istri seutuhnya kepada Roy. Namun, rasanya kejadian naas malah menghampiri dirinya. “Lepasin Aku, bangs*t!” teriak Sova berkali-kali. Rudi menekan titik lemah Sova sehingga gadis itu sulit untuk melepaskan diri dari dekapannya. “Emmmmhhh... “ Rudi berhasil menyesap bibir ranum Sova. Ia menyerang Sova dengan sangat buas. Bahkan, tangan kirinya berhasil menarik kerah baju Sova ke arah bawah sampai beberapa kancing atasnya terlepas. Sova terus berontak dengan sekuat tenaga. Saking putus adanya, Ia sempat lupa bahwa dirinya mampu melakukan bela diri. Rudi semakin liar menyesap bibir Sova, bahkan tangan kanannya kini mulai tutun dan menyusuri dada Sova. Saat Sova menyadari hal itu, dia semakin berontak. Kedua kaki Sova dikunci oleh kaki Rudi sehingga Ia kesulitan bergerak. Ditambah, rasa putus asa membuat tenaga Sova h
“Kamu benar-benar tak mengenali ada siapa saja tadi?” tanya Ibu itu lagi. Sova kembali menggelengkan kepalanya. “Memangnya siapa? Apa Aku kenal?” tanya Sova pada akhirnya. “Neng, baru di sini?” tanya si Ibu sambil mengerutkan kening. “Saya udah sebulanan di sini, kurang sih.” Sahut si Ibu lagi. Wanita paruh baya itu mengangguk-anggukkan kepalanya, memahami bahwa gadis yang berada di sampingnya merupakan gadis polos yang masih beruntung karena bertemu dengannya. “Jadi Neng, hidup di kota itu, enggak kayak hidup di kampung. Di sini banyak orang jahat, kita harus selalu mawas diri. Oya, kenalkan, nama saya bu Ais. Nama neng siapa?” tanya bu Ais seraya mengulurkan tangannya. “Oh, iya. Salam kenal Bu Ais. Nama saya, Sova,” sahut Sova menyambut uluran tangan wanita tua tersebut.“Jadi, lelaki yang tadi duduk di samping kamu itu copet. Tadi dia mepet kamu, sedangkan sebelah kanannya masih kosong. Saya... eemmmhh, Saya suka lihat di tivi kalau tingkah lakunya seperti itu ya copet
“Tuan Roy!” seru bu Ais dengan mulut menganga. Pasalnya, Ia tak percaya dengan apa yang Ia lihat. Hari ini, bu Ais berniat untuk kembali ke rumah Roy setelah lima tahun lalu Ia meninggalkan rumah itu. Berpulangnya Dania, sang majikan perempuan, yang diiringi dengan berpulangnya anak perempuan satu-satunya, membuat Ia menjadi tumpuan satu-satunya buat Ira, cucu yang sebulan lalu meninggal karena kasus penganiayaan. Bukankah dia akan kembali bekerja di rumah Roy? Tapi mengapa sang calon majikan menjadi ojol? Apakah Ia telah bangkrut? Lalu, dengan siapa Ia akan bekerja? Saat di telepon, dengan jelas Ia berbicara dengan Roy, majikannya lima tahun ke belakang. Lantas, siapa orang yang saat ini berdiri di hadapannya? “Eh, Ibu. Apa kabar? Apa hari ini Ibu akan kembali order ojol saya? Tapi maaf, hari ini saya harus mengantar istri saya dulu!” jelas Roy seraya mengedipkan matanya berkali-kali. Ia sadar betul kalau Sova sedang menatap bu Ais saat Ia sedang berbicara. Jadi, tentu saja Ia bera
“Rahasia? “Ya, Ayah punya rahasia. Maafkan Ayah!” lirih suara lelaki yang dahulu sering membentak dirinya. Hari ini, suara itu seperti perihnya kulit yang terkena sayatan pisau. Ditambah, setiap kata yang timbul masih belum begitu jelas di pendengaran, membuat setiap telinga harus terpasang dengan tajam. Lidah pak Harun masih pelo, efek sakit stroke yang dia derita. “Ayah kok minta maaf terus sama Sova?” tanya Sova seraya melirik ke arah Roy, meminta suaminya untuk membantu bicara. Pak Harun malah menangis terisak mendengar ucapan Sova. “Ayah, kok malah nangis? Sudah, enggak usah diteruskan ya Yah! Ayah enggak boleh punya beban pikiran berat, biar Ayah cepat sembuh.” Sova memeluk pak Harun, seperti seorang Ibu yang menenangkan anaknya sendiri. Roy mengusap punggung Sova, berusaha memberi kekuatan dan kesabaran tambahan untuk gadis yang sudah halal baginya itu. Saat mata Sova menoleh ke arah Roy, lelaki itu memberi isyarat bahwa Ia akan pergi meninggalkan mereka berdua, memberi qu
“Ibu siapa yang Ayah maksud? Mama Devi?” tanya Sova seraya mengernyitkan keningnya. Pak Harun tertunduk, menahan tangis dengan bahu yang mulai bergetar. “Ayah, lihat Aku! Ibu siapa yang Ayah maksud, hah?” tanya Sova yang mulai tersulut emosi. Bahkan, Ia pun lupa jika Ayahnya sedang sakit. “Sova, tenanglah!” pinta Roy seraya mengelus pundak gadis itu, berusaha memberikan ketenangan. “Jawab Ayah! Jangan bertele-tele! Atau jangan-jangan, Anda juga bukan Ayah saya?” sarkas Sova dengan sorot mata penuh amarah. Tak nampak rasa cinta dan khawatir yang selama ini Ia tunjukkan untuk pak Harun. Pikirannya berpikir sudah lebih jauh daripada kalimat yang keluar dari mulut lelaki paruh baya yang selama ini Ia sebut Ayah.Mendengar tebakan Sova yang melenceng jauh dari kenyataan, pak Harun langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia tak mau Sova berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya. “Enggak, kamu anak Ayah dan Ibu. Kamu betul-betul anak kami,” sanggah pak Harun dengan sangat cepa