“Rudi, lepas!” teriak Sova seraya berontak. Hari ini adalah hari terakhir Sova melaksanakan Ujian di Sekolah. Tadi pagi, Ia telah menawarkan diri untuk menjadi istri seutuhnya kepada Roy. Namun, rasanya kejadian naas malah menghampiri dirinya. “Lepasin Aku, bangs*t!” teriak Sova berkali-kali. Rudi menekan titik lemah Sova sehingga gadis itu sulit untuk melepaskan diri dari dekapannya. “Emmmmhhh... “ Rudi berhasil menyesap bibir ranum Sova. Ia menyerang Sova dengan sangat buas. Bahkan, tangan kirinya berhasil menarik kerah baju Sova ke arah bawah sampai beberapa kancing atasnya terlepas. Sova terus berontak dengan sekuat tenaga. Saking putus adanya, Ia sempat lupa bahwa dirinya mampu melakukan bela diri. Rudi semakin liar menyesap bibir Sova, bahkan tangan kanannya kini mulai tutun dan menyusuri dada Sova. Saat Sova menyadari hal itu, dia semakin berontak. Kedua kaki Sova dikunci oleh kaki Rudi sehingga Ia kesulitan bergerak. Ditambah, rasa putus asa membuat tenaga Sova h
“Kamu benar-benar tak mengenali ada siapa saja tadi?” tanya Ibu itu lagi. Sova kembali menggelengkan kepalanya. “Memangnya siapa? Apa Aku kenal?” tanya Sova pada akhirnya. “Neng, baru di sini?” tanya si Ibu sambil mengerutkan kening. “Saya udah sebulanan di sini, kurang sih.” Sahut si Ibu lagi. Wanita paruh baya itu mengangguk-anggukkan kepalanya, memahami bahwa gadis yang berada di sampingnya merupakan gadis polos yang masih beruntung karena bertemu dengannya. “Jadi Neng, hidup di kota itu, enggak kayak hidup di kampung. Di sini banyak orang jahat, kita harus selalu mawas diri. Oya, kenalkan, nama saya bu Ais. Nama neng siapa?” tanya bu Ais seraya mengulurkan tangannya. “Oh, iya. Salam kenal Bu Ais. Nama saya, Sova,” sahut Sova menyambut uluran tangan wanita tua tersebut.“Jadi, lelaki yang tadi duduk di samping kamu itu copet. Tadi dia mepet kamu, sedangkan sebelah kanannya masih kosong. Saya... eemmmhh, Saya suka lihat di tivi kalau tingkah lakunya seperti itu ya copet
“Tuan Roy!” seru bu Ais dengan mulut menganga. Pasalnya, Ia tak percaya dengan apa yang Ia lihat. Hari ini, bu Ais berniat untuk kembali ke rumah Roy setelah lima tahun lalu Ia meninggalkan rumah itu. Berpulangnya Dania, sang majikan perempuan, yang diiringi dengan berpulangnya anak perempuan satu-satunya, membuat Ia menjadi tumpuan satu-satunya buat Ira, cucu yang sebulan lalu meninggal karena kasus penganiayaan. Bukankah dia akan kembali bekerja di rumah Roy? Tapi mengapa sang calon majikan menjadi ojol? Apakah Ia telah bangkrut? Lalu, dengan siapa Ia akan bekerja? Saat di telepon, dengan jelas Ia berbicara dengan Roy, majikannya lima tahun ke belakang. Lantas, siapa orang yang saat ini berdiri di hadapannya? “Eh, Ibu. Apa kabar? Apa hari ini Ibu akan kembali order ojol saya? Tapi maaf, hari ini saya harus mengantar istri saya dulu!” jelas Roy seraya mengedipkan matanya berkali-kali. Ia sadar betul kalau Sova sedang menatap bu Ais saat Ia sedang berbicara. Jadi, tentu saja Ia bera
“Rahasia? “Ya, Ayah punya rahasia. Maafkan Ayah!” lirih suara lelaki yang dahulu sering membentak dirinya. Hari ini, suara itu seperti perihnya kulit yang terkena sayatan pisau. Ditambah, setiap kata yang timbul masih belum begitu jelas di pendengaran, membuat setiap telinga harus terpasang dengan tajam. Lidah pak Harun masih pelo, efek sakit stroke yang dia derita. “Ayah kok minta maaf terus sama Sova?” tanya Sova seraya melirik ke arah Roy, meminta suaminya untuk membantu bicara. Pak Harun malah menangis terisak mendengar ucapan Sova. “Ayah, kok malah nangis? Sudah, enggak usah diteruskan ya Yah! Ayah enggak boleh punya beban pikiran berat, biar Ayah cepat sembuh.” Sova memeluk pak Harun, seperti seorang Ibu yang menenangkan anaknya sendiri. Roy mengusap punggung Sova, berusaha memberi kekuatan dan kesabaran tambahan untuk gadis yang sudah halal baginya itu. Saat mata Sova menoleh ke arah Roy, lelaki itu memberi isyarat bahwa Ia akan pergi meninggalkan mereka berdua, memberi qu
“Ibu siapa yang Ayah maksud? Mama Devi?” tanya Sova seraya mengernyitkan keningnya. Pak Harun tertunduk, menahan tangis dengan bahu yang mulai bergetar. “Ayah, lihat Aku! Ibu siapa yang Ayah maksud, hah?” tanya Sova yang mulai tersulut emosi. Bahkan, Ia pun lupa jika Ayahnya sedang sakit. “Sova, tenanglah!” pinta Roy seraya mengelus pundak gadis itu, berusaha memberikan ketenangan. “Jawab Ayah! Jangan bertele-tele! Atau jangan-jangan, Anda juga bukan Ayah saya?” sarkas Sova dengan sorot mata penuh amarah. Tak nampak rasa cinta dan khawatir yang selama ini Ia tunjukkan untuk pak Harun. Pikirannya berpikir sudah lebih jauh daripada kalimat yang keluar dari mulut lelaki paruh baya yang selama ini Ia sebut Ayah.Mendengar tebakan Sova yang melenceng jauh dari kenyataan, pak Harun langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia tak mau Sova berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya. “Enggak, kamu anak Ayah dan Ibu. Kamu betul-betul anak kami,” sanggah pak Harun dengan sangat cepa
“Gimana?” Devi tak sabar ingin mendengar kepastian dari Harun. Harun menggelengkan kepalanya, pertanda bahwa sudah tak ada sambungan telepon. “Heh, dasar nenek gambreng. Berani-beraninya dia nutup telepon.”Beberapa jam selanjutnya, Devi sudah tak tahan untuk mengetahui apakah ada sejumlah uang yang ditransfer oleh Atikah atau belum. Biasanya, wanita itu akan selalu mentransfer uang dengan cepat, apalagi untuk kebutuhan Anna. “Coba, kita cek saja di ATM, Kang! Hayu!” ajak Devi seraya menarik lengan Harun, saat lelaki itu tengah tertidur pulas sambil memeluk sang istri. “Jangan sekarang, lihat sudah tengah malem!” tunjuk Harun ke arah jam dinding yang berada di atas kepala ranjang mereka. “Tapi Aku enggak tenang, Kang! Bagaimana kalau si Atikah itu enggak transfer uang nya? Si Yulia kan minggu depan ikut wisata dari sekolahnya, dia belum punya bekel. Kang, gimana ini?” tanya Devi seraya menarik rambutnya frustasi. “Sama aja. Si Anna juga kan belum punya bekel. Sudah, bes
Flashback Off“Jadi, maksud Ayah? Mama Devi membakar rumah? Ayah tahu itu dan membiarkan nya?” tanya Sova dengan amarah yang mulai menyala. “Ibuku... juga masih hidup?” Berbagai pertanyaan langsung diucapkan oleh Sova. Ia tak tahu lagi dengan perasaan apa yang ada di dalam hatinya. “Kemungkinan. Ayah, sudah tak bisa menghubungi Ibumu. Ayah... Ayah bersalah. Ayah baru tahu hal ini setelah sakit. Devi berbicara sendiri di depan Ayah. “Jadi, Ayah juga tak tahu kalau cerita Ibu meninggal karena disiksa majikan itu, bohong?” tanya Sova berharap jawaban Ayahnya adalah kata ‘ya'.Namun sayang, lelaki itu menggelengkan kepalanya. “Ayah tahu itu bohong. Tapi, Ayah... ““Cukup, enggak usah diteruskan! Aku muak sama Ayah,” ucap Sova seraya berdiri untuk pergi dengan membawa seribu amarah. Pak Harun yang mendapatkan kemarahan dari Sova, langsung tertunduk dan menangisi kebodohannya sendiri. Roy mengejar Sova, namun gadis itu menutup dirinya dengan selimut
“Sova, maafkan Akang!” mohon Roy seraya mendekat ke arah Sova. Ia tak tahu jika reaksi Sova akan sebegitu histerisnya. Mungkin gadis ini belum siap, apalagi jika Ia mengingat dirinya adalah lelaki matang. Namun, semua jauh berada di luar dugaan Roy. Sova menolak dirinya mentah-mentah. “Jangan mendekat! Pergi! Huhuhuhuhu... “ Sova semakin histeris dalam isak tangisnya. Tok... tok... tok Suara ketukan pintu di kontrakan mereka menambah suara ricuh yang tertangkap indera pendengaran Roy. Ia pun menyugar rambutnya kasar. Namun, tak ayal juga Ia segera membuka pintu tersebut. “Ada apa, Bos?” tanya Hari nampak khawatir saat pintu baru saja terbuka. Di belakangnya ada Sari yang berusaha melebarkan pandangan matanya ke dalam. “Sar, coba temani istriku!” pinta Roy tanpa menjawab pertanyaan Hari. Ia pun meminta Hari agar bergeser dari pintu, untuk memberinya akses keluar. Sari yang melihat tingkah bos besarnya, hanya mampu saling pandang dengan Hari, saudara kembarnya. Mereka tak mengerti
"Jadi benar?" desis Roy. Matanya masih menatap hampir tak berkedip pada rekaman-rekaman yang sedang terputar di sana. "Apanya Kang?" tanya Sova saat Ia melihat wajah tegang suaminya. "Akang, benar apanya?" tanya Sova sekali lagi, karena Ia tak mendapatkan jawaban apapun dari Roy. "Akang sudah salah menilai, Sayang." Roy menatap Sova seraya mengelus pipi wanita itu, meminta kekuatan dalam hatinya. "Menilai apa?" tanya Sova. Namun, lagi-lagi Roy tak memberinya jawaban. Sova mencebik, kesal karena merasa diabaikan. Bukankah Ia yang seharusnya masih marah dan mendiamkan Roy? Kenapa malah terjadi hal sebaliknya? Sova mengambil ponsel miliknya dari tangan Roy, penasaran dengan apa yang dilihat oleh suaminya. Sedangkan Roy, Ia tak lagi berusaha mengambil lagi ponsel tersebut. Semua kejadian dimana Lina datang sampai Ia membawa Dania pergi, terekam jelas oleh CCTV yang terkoneksi dengan ponsel Sova. Sedangkan, di CCTV rumah yang sengaja Ia pasang, tak ada satu pun bayangan Lina masuk ke
"Apa maksudnya, Kang? Masa pak Beni resign? Mbak Hilda gimana? Mana mbak Hilda?" tanya Sova beruntun. "Mereka memfitnah Lina. Padahal, Beni... ah, entahlah. Apa dia sedang dekat dengan Hilda? Jadi dia selingkuh?" desis Roy namun masih bisa didengar oleh Sova. "Rupanya ini karena mbak Lina? Selingkuh? Benarkah? Jadi, mereka menjebakku agar mau menerima mbak Dania di rumah ini?" tanya Sova sangat lirih, namun masih jelas terdengar oleh Roy. "Apa? Jadi mereka yang memintamu untuk memasukkan Dania ke rumah? Memintamu untuk menerima Dania di rumah ini?" tanya Roy seraya menatap Sova, mencari kebenaran di kedalaman mata istrinya. "Emmhhh... iya, Kang." Sova akhirnya jujur akan hal yang tak Ia bicarakan kepada Roy. Bahkan, Ia cenderung melakukan hal itu di belakang Roy. Roy menyugar rambutnya frustasi. Kesalahan adalah kata yang tepat untuk apa yang telah dilakukan Sova, itu menurut Roy. "Tapi kenapa? Kenapa kamu lakukan itu semua, Sayang? Kau undang penyakit ke dalam rumah tangga kit
Roy tak peduli saat Hilda mengejar Beni untuk keluar dari sana. Ia segera melangkahkan kakinya menuju lift. Ia berniat untuk menyusul Sova, membiarkan masalah Dania diurus oleh anak buahnya, sedangkan dia hanya akan menyelesaikan masalahnya dengan Sova. Roy hendak meraih handle pintu saat pintu itu terbuka dari dalam. Di hadapannya ada suster Rina yang membawa botol susu bekas pakai. "Sus, biarkan kami dulu ya. Nanti kalau kami perlu, baru akan Saya panggil lagi," ucap Roy dengan tatapan mengintimidasi. Dia tak ingin terganggu oleh orang lain saat sedang bicara dengan Sova. "Emmhhh," Suster Rina menoleh ke dalam, memastikan keadaan Rafa baik-baik saja. "Tapi Pak... " tolak Suster Rina, berusaha memberikan argumen. "Enggak ada tapi-tapian... " kesal Roy saat perawat yang Ia pekerjakan hendak menolak titahnya. "Ba... baik, Pak," sahutnya cepat, kemudian berlalu dari kamar tersebut. Sova yang begitu serius mengurusi Rafa,
SLTC 103"Ada apa?" tanya Roy setelah Beni duduk di sebrangnya. "Maafkan Saya, Pak. Tapi Saya enggak tahu lagi harus berbuat apa," ucap Beni membuat Roy mengerutkan keningnya. "Katakanlah!" titah Roy seraya memandangi Beni lebih seksama. Ia curiga akan ada hal tak beres yang diceritakan oleh Beni. "Saya sangat mencintai Lina," ucap Beni pada akhirnya. "Lantas?" tanya Roy merasa apa yang disampaikan oleh Beni bukanlah poin utamanya. Beni hanya diam. Lelaki yang telah lama mengabdi pada Roy itu tak lagi mengatakan apapun, membuat Roy tak sabar. "Jangan bilang gara-gara Lina belum juga hamil, kamu berniat poligami. Begitu?" tanya Roy membuat Beni mengangkat wajahnya kaget, menatap Roy dengan tatapan tak percaya. "Tuh kan, ketebak." Roy terkekeh seraya geleng-geleng kepala. "Bukan Pak Bos, bukan itu," ucap Beni buru-buru. "Jangan berkilah, Ben. Apa kurangnya Lina sampai-sampai kamu tega mau menduakannya? Apa kau sudah menemukan perempuan lain? Apa kau sudah memberi tahu Lina renc
SLTC 102Roy masih tertegun setelah mendengar ucapan Sova barusan. Ia berpikir jika apa yang dikatakan Sova sangat masuk akal dan memungkinkan dan memiliki nilai kebenaran. "Apa benar seperti apa yang istriku bilang, Ben?" tanya Roy benar-benar meminta pendapat. "Menurutku demikian," sahut Beni membuat Roy kaget. Roy tak menyangka jika jawaban Beni begitu singkat, padat dan langsung pada point nya. "Ya sudah, ayo kita kembali ke ruang kerja!" ajak Roy. "Ben, Aku mengizinkanmu untuk membongkar makam Dania dan mengambil sampel dna-nya, untuk dites dan dibandingkan dengan DNA perempuan itu, " ucap Roy tiba-tiba.Beni yang sedang memikirkan baik-baik apa yang dilaporkan oleh anak buahnya tadi tentang Lina, tak mendengar apa yang diucapkan oleh Roy. Bahkan pandangan Beni nampak kosong di hadapan Roy."Ben" Ucap Roy lagi seraya menepuk pundaknya cukup keras. "Ada apa?" teriak Beni Karena ia merasa kaget dengan tepukan di bahunya."Sejak kapan kamu hobi melamun?" Ucap Roy yang sebenarny
Mata Roy berkilat merah. Ia begitu marah dengan apa yang disampaikan oleh anak buahnya barusan. "Jaga kedua tua bangka ini, jangan sampai mereka berdua kabur!" titah Roy membuat semua orang yang berada di sana saling melemparkan pandangan. "Siapa yang kau sebut dengan tua bangka?! " teriak Pak Tejo dengan geram. Namun, Roy tak mendengarkannya sama sekali. Ia terus melenggang pergi, keluar dari ruang kerja. Beni mengikuti Roy dengan segera. ia belum tahu apa yang terjadi, namun Ia tak merecoki Roy dengan berbagai macam pertanyaan. Saat tiba di kamar tamu, Roy langsung masuk ke dalam kamar dengan pintu yang memang sudah terbuka. Begitupun dengan Beni, Ia langsung ikut masuk ke dalam kamar dan mendapati kesalahan apa yang telah terjadi. "Mana dia? " tanya Roy dengan mata yang masih berkilat merah."A... Ampun Tuan! Kami tidak tahu, kami betul-betul tidak tahu! " ucap anak buah Roy yang seharusnya ditugaskan berjaga di sana.Saat Roy dan Beni keluar dari ruang kerja tadi, sebenarnya
"Ap...pa maksudmu?" Tanya Pak Tejo tergagap."Sudah jelas saya katakan barusan bahwa Anda berdua tidak mengenali siapa Dania. Anda berdua sudah abai kepadanya dari dulu Lalu, kenapa sekarang kalian begitu mati-matian membela? Itu karena anda hanya menginginkan harta milik Roy dan kalian tidak mengenali yang mana anak kalian. " Hilda mengatakan hal itu dengan tenggebu-gebu. Ia puas karena telah mengeluarkan unek-uneknya selama ini terhadap Pak Tejo dan istrinya. Sedari Dulu, Ia selalu menjadi tumpuan bagi Dania. Bahkan, seringkali ia membagi uang sakunya untuk Dania meskipun Dania sendiri menolaknya."Jangan berburuk sangka kamu sama kami, Roy. Siapa lagi yang akan menyayangi Dania selain daripada kami, hah? " ucap Bu Tejo seraya memalingkan mukanya. Ia Sedikit lega karena dari perkataan Hilda, menyiratkan bahwa wanita tersebut bukan mencurigai tentang siapa Dania, tetapi mencurigai bahwa dirinya tidak begitu memperhatikan Dania saja. "Ya Sudahlah, jangan terlalu diperpanjang. Sekar
SLTC 99"Pelakor miskin sepertimu tak perlu ikut bicara! Tak ada kepatutan dari setiap ucapanmu," hardik pak Tejo dengan mata nyalang. "Jangan pernah menghina istriku! Wanita yang kau sebut miskin ini adalah is-tri-ku. Camkan itu!" sahut Roy membalas tatapan nyalang pak Tejo seraya menunjuk tepat ke arah wajahnya. "Jangan lupa kalau istrimu adalah Dania. Hanya Dania," teriak bu Tejo dengan mata melotot. "Dan ya... selama pernikahanku dengan mendiang Dania, Saya baru ingat bahwa kalian tak pernah peduli padanya. Hanya jika kalian menginginkan sesuatu, maka kalian akan mencari istriku, Dania. Tapi sekarang apa? Kalian begitu membabi buta membela Dania. Ada apa sebenarnya?" tanya Roy dengan raut wajah sinis. Pasangan suami istri lanjut usia itu pun menelan salivanya, kaget dengan tuduhan yang diucapkan oleh Roy. Benar, karena itu memang kenyataannya. Dania kecil tak pernah mendapatkan kasih sayang seperti yang mereka limpahkan pada Rania, anak kandung mereka yang hadir setelah bebera
SLTC 98"Siapa?" semua orang bertanya dengan serempak. "Hemmhhh... " Sova menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. "Siapa?" tanya Roy sekali lagi. Sova meliriknya, kemudian memalingkan lagi mukanya dari Roy. "Coba kalian ingat-ingat, apa selama ini kalian bertemu... "Brakkk... Tiba-tiba pintu ruang kerja tersebut dibuka dengan kasar. Nampak pak Tejo mengepalkan tangannya seraya mencari sosok Roy. "Ada apa?" tanya Roy berdiri menghadap ke arah pak Tejo. Akhirnya, tanpa bersusah payah mencari keberadaan Roy, lelaki yang pernah menjadi menantunya itu berdiri dengan sendirinya, memudahkan Ia untuk menemukan Roy. Pak Tejo langsung meringsek masuk dan langkahnya mengarah pada Roy. Ia sudah bersiap untuk menghantamkan bogem mentah kepada lelaki yang kini berstatus sebagai suami Sova itu. "Dasar b****at!" Langkahnya ditahan oleh Beni dan Hari yang langsung