“Ibu siapa yang Ayah maksud? Mama Devi?” tanya Sova seraya mengernyitkan keningnya. Pak Harun tertunduk, menahan tangis dengan bahu yang mulai bergetar. “Ayah, lihat Aku! Ibu siapa yang Ayah maksud, hah?” tanya Sova yang mulai tersulut emosi. Bahkan, Ia pun lupa jika Ayahnya sedang sakit. “Sova, tenanglah!” pinta Roy seraya mengelus pundak gadis itu, berusaha memberikan ketenangan. “Jawab Ayah! Jangan bertele-tele! Atau jangan-jangan, Anda juga bukan Ayah saya?” sarkas Sova dengan sorot mata penuh amarah. Tak nampak rasa cinta dan khawatir yang selama ini Ia tunjukkan untuk pak Harun. Pikirannya berpikir sudah lebih jauh daripada kalimat yang keluar dari mulut lelaki paruh baya yang selama ini Ia sebut Ayah.Mendengar tebakan Sova yang melenceng jauh dari kenyataan, pak Harun langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia tak mau Sova berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya. “Enggak, kamu anak Ayah dan Ibu. Kamu betul-betul anak kami,” sanggah pak Harun dengan sangat cepa
“Gimana?” Devi tak sabar ingin mendengar kepastian dari Harun. Harun menggelengkan kepalanya, pertanda bahwa sudah tak ada sambungan telepon. “Heh, dasar nenek gambreng. Berani-beraninya dia nutup telepon.”Beberapa jam selanjutnya, Devi sudah tak tahan untuk mengetahui apakah ada sejumlah uang yang ditransfer oleh Atikah atau belum. Biasanya, wanita itu akan selalu mentransfer uang dengan cepat, apalagi untuk kebutuhan Anna. “Coba, kita cek saja di ATM, Kang! Hayu!” ajak Devi seraya menarik lengan Harun, saat lelaki itu tengah tertidur pulas sambil memeluk sang istri. “Jangan sekarang, lihat sudah tengah malem!” tunjuk Harun ke arah jam dinding yang berada di atas kepala ranjang mereka. “Tapi Aku enggak tenang, Kang! Bagaimana kalau si Atikah itu enggak transfer uang nya? Si Yulia kan minggu depan ikut wisata dari sekolahnya, dia belum punya bekel. Kang, gimana ini?” tanya Devi seraya menarik rambutnya frustasi. “Sama aja. Si Anna juga kan belum punya bekel. Sudah, bes
Flashback Off“Jadi, maksud Ayah? Mama Devi membakar rumah? Ayah tahu itu dan membiarkan nya?” tanya Sova dengan amarah yang mulai menyala. “Ibuku... juga masih hidup?” Berbagai pertanyaan langsung diucapkan oleh Sova. Ia tak tahu lagi dengan perasaan apa yang ada di dalam hatinya. “Kemungkinan. Ayah, sudah tak bisa menghubungi Ibumu. Ayah... Ayah bersalah. Ayah baru tahu hal ini setelah sakit. Devi berbicara sendiri di depan Ayah. “Jadi, Ayah juga tak tahu kalau cerita Ibu meninggal karena disiksa majikan itu, bohong?” tanya Sova berharap jawaban Ayahnya adalah kata ‘ya'.Namun sayang, lelaki itu menggelengkan kepalanya. “Ayah tahu itu bohong. Tapi, Ayah... ““Cukup, enggak usah diteruskan! Aku muak sama Ayah,” ucap Sova seraya berdiri untuk pergi dengan membawa seribu amarah. Pak Harun yang mendapatkan kemarahan dari Sova, langsung tertunduk dan menangisi kebodohannya sendiri. Roy mengejar Sova, namun gadis itu menutup dirinya dengan selimut
“Sova, maafkan Akang!” mohon Roy seraya mendekat ke arah Sova. Ia tak tahu jika reaksi Sova akan sebegitu histerisnya. Mungkin gadis ini belum siap, apalagi jika Ia mengingat dirinya adalah lelaki matang. Namun, semua jauh berada di luar dugaan Roy. Sova menolak dirinya mentah-mentah. “Jangan mendekat! Pergi! Huhuhuhuhu... “ Sova semakin histeris dalam isak tangisnya. Tok... tok... tok Suara ketukan pintu di kontrakan mereka menambah suara ricuh yang tertangkap indera pendengaran Roy. Ia pun menyugar rambutnya kasar. Namun, tak ayal juga Ia segera membuka pintu tersebut. “Ada apa, Bos?” tanya Hari nampak khawatir saat pintu baru saja terbuka. Di belakangnya ada Sari yang berusaha melebarkan pandangan matanya ke dalam. “Sar, coba temani istriku!” pinta Roy tanpa menjawab pertanyaan Hari. Ia pun meminta Hari agar bergeser dari pintu, untuk memberinya akses keluar. Sari yang melihat tingkah bos besarnya, hanya mampu saling pandang dengan Hari, saudara kembarnya. Mereka tak mengerti
Sova membelalakkan matanya saat Ia mendengar ucapan bu Ranti. Tak ada angin, tak ada hujan. Mengapa ada tuduhan seperti itu? Sova tak menyadari bahwa tadi Ia berteriak dan menangis histeris sehingga menimbulkan spekulasi tak baik dari para tetangga dan pemilik kontrakan. “Enggak ada, Bu. Enggak ada KDRT. Suami saya penyayang banget, Saya percaya itu tak akan pernah terjadi.” Sova berkata dengan penuh permohonan agar Ia betul-betul dipercaya oleh para tetangganya.Bahkan, Ia merangkul Roy penuh. Ia tak mau dicap tak baik oleh para tetangga. Apalagi, sampai ada ancaman melibatkan kepolisian. “Akang, enggak apa-apa?” tanya Sova seraya membingkai wajah suaminya. Melihat hal itu, Roy merasa ada sesuatu yang terjadi pada Sova. Apakah itu sandiwara yang dimainkan secara apik oleh istrinya? Ataukah ada hal lain yang tak Ia ketahui? Roy menggelengkan kepalanya, mengecup pucuk kepala Sova, meski sedikit ragu. “Bu Ranti dan semuanya. Terima kasih banyak karena telah peduli dengan nasib Sova.
“Tunggu! Saya belum sepenuhnya faham dengan maksud perkataan Ibu. Tadi Ibu bilang kalau suami saya adalah... bos besar?” tanya Sova dengan memicingkan matanya. “Iya, Nyonya,” sahut bu Ais yang merasa serba salah. “Hehehehe... “ Sova terkekeh saat mendengar ucapan dari bu Ais. “Jangan ngadi-ngadi, Bu. Aneh rasanya, suami saya yang tukang ojol bisa jadi bos besar dalam semalam. Simsalabim... boommmbbb,” kolah Sova seraya menggerakkan tangan kanannya seolah seorang peri yang sedang memantrai sesuatu dengan tongkatnya. “Nyonya sengaja ingin menjadi nyonya kan? Makanya mendekati Tuan Roy,” ada sinisme di ucapan bu Ais, meskipun wanita paruh baya itu ragu mengatakannya. Sova memandangi semua ruangan dengan penuh tanya, tanpa menghiraukan tuduhan bu Ais. Otaknya bekerja untuk berpikir jika ucapan bu Ais bohong, lantas bagaimana dengan mobil semalam? Bagaimana dengan kamar yang mirip istana raja ini? “Dimana suami saya?” tanya Sova mulai serius dengan mimik wajahnya. “Tuan sedang
Hari berjalan dengan tegap sambil membawa sebuah tas kantor. Penampilannya pun lengkap dengan jas dan kaca mata hitam yang pas sekali di badannya. “Kalian ini, sebenarnya perawat atau apa?” tanya Sova seraya menunjuk kepada saudara kembar itu bergantian. “Siang, Nyonya!” sapa Hari, persis seperti saat Sari menyapa dirinya. “Mimpi apa Aku semalam?!” keluh Sova seraya memutar bola matanya. Perawat kembar Sari dan Hari yang beberapa minggu ini sudah seperti sahabat baginya, kini berubah menjadi kaki dan sangat formal. “Tolong, antar Aku nemuin Ayah. Setelah itu, terserah!” titah Sova dengan mimik wajah yang lebih tegas. “Baik,” sahut Hari yang tak menyulitkan permintaan Sova. “Mari, Nyonya!” ajak Hari seraya merentangkan tangan kanannya, mempersilakan Sova untuk berjalan lebih dulu. “Kamu duluan! Saya enggak tahu denah rumah ini, sama sekali,” ucap Sova yang malah menahan langkah kakinya, memberi kesempatan untuk Hari berjalan lebih dulu. “Ka..
Roy kembali terkejut dengan tingkah Sova, padahal ini adalah yang kedua kalinya. Kali ini, ada rasa kesal dalam hati Roy. Lelaki itu mengira bahwa Sova sengaja melakukan hal tersebut, demi tak melakukan hal intim bersamanya. “Kalau kamu memang enggak mau besok kamu bisa pulang sama Ayahmu!” kesal Roy. Entah dari mana pesan ancaman itu keluar dari bibir Roy. Padahal, selama ini Ia begitu sabar memperlakukan Sova. Bahkan, Ia pun tahu bahwa Sova begitu menerima dirinya dengan segala kurangnya. Tapi, hasrat yang sedang meletup-letup dan tak bisa tersalurkan, membuat Roy tak berpikir panjang. Ya, berada dengan Sova membuat Ia bersikap kekanak-kanakan. Melihat Sova menangis dengan memeluk lututnya di pojokan, tak membuat Roy merasa kasihan. Justru, Ia menganggap bahwa Ia baru mengenal sifat Sova yang sebenarnya. Lelaki itu pun pergi meninggalkan Sova yang sedang menangis sendiri, menuju ruang kerjanya. Bahkan, Ia tak ingin tidur bersama Sova. Roy menekan tombol li