Roy kembali terkejut dengan tingkah Sova, padahal ini adalah yang kedua kalinya. Kali ini, ada rasa kesal dalam hati Roy. Lelaki itu mengira bahwa Sova sengaja melakukan hal tersebut, demi tak melakukan hal intim bersamanya.
“Kalau kamu memang enggak mau besok kamu bisa pulang sama Ayahmu!” kesal Roy.Entah dari mana pesan ancaman itu keluar dari bibir Roy. Padahal, selama ini Ia begitu sabar memperlakukan Sova. Bahkan, Ia pun tahu bahwa Sova begitu menerima dirinya dengan segala kurangnya. Tapi, hasrat yang sedang meletup-letup dan tak bisa tersalurkan, membuat Roy tak berpikir panjang. Ya, berada dengan Sova membuat Ia bersikap kekanak-kanakan.Melihat Sova menangis dengan memeluk lututnya di pojokan, tak membuat Roy merasa kasihan. Justru, Ia menganggap bahwa Ia baru mengenal sifat Sova yang sebenarnya. Lelaki itu pun pergi meninggalkan Sova yang sedang menangis sendiri, menuju ruang kerjanya. Bahkan, Ia tak ingin tidur bersama Sova.Roy menekan tombol liRoy mengerutkan keningnya cukup dalam saat mendengar kalimat pembuka dari bu Ais. Lelaki itu pun menyenderkan punggungnya ke kursi kebesaran miliknya, berusaha bersikap rileks. “Jadi... bagaimana?” tanya Roy lebih tenang. Ia hanya ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh bu Ais. “Tuan, bolehkah saya duduk? Ini... Emmmhh, Saya akan runtut cerita dari awal.” Bu Ais meminta duduk, demi menurunkan detak jantungnya yang berpacu semakin kencang. Roy teringat kala menemukan Sova yang sedang duduk bersama bu Ais, masih hari kemarin. Ya, kejadian demi kejadian berjalan begitu cepatcepat, tepatnya terasa begitu cepat. “Oke. Silakan duduk di sofa!” titahnya seraya berdiri memutari meja kerjanya, menuju sofa yang berada di ruang kerja tersebut. Bu Ais menunggu Roy duduk di sana lebih dulu, sebelum akhirnya Ia ikut duduk di sana. Bu Ais memang diperlakukan sangat baik oleh mendiang Dania, tapi tidak terlalu dekat dengan Roy. “Duduklah, Bi!” titah Roy menunjuk ke arah sofa yang bersebrangan den
“Kang, jadi malam kemarin kita naik mobil mewah itu nyata ya? Bukan Cuma halusinasiku aja?!” Sova terus saja berbicara seperti kereta api yang tak kunjung berhenti. Matanya terus Ia edarkan ke setiap sudut jalanan, mencari apa yang menarik dan pantas untuk dikomentari. Bahkan, Ia sudah membicarakan hal ini ke tujuh kalinya selama di perjalanan. “Iya, Sayang. Ini udah ke sekian kali Akang jawab iya, ya!” kekeh Roy yang merasa gemas dengan tingkah laku Sova. Sepanjang perjalanan pun tak luput dari canda dan tawa sejoli itu. Bahkan, Agus yang merupakan sopir Roy hanya bisa berpura-pura tuli dan bisu. Tuli dari obrolan majikan yang mengarah pada mesra. Bisu dari keinginannya yang kuat untuk berkomentar. Akhirnya, mobil pun masuk ke pelataran sebuah klinik yang bernuansa taman dan homey.“Kita kemana? Ini... kayak bukan restoran, Kang!” tanya Sova keheranan. “Kamu lapar? Mau makan dulu?” tanya Roy yang merasa bersalah karena tak membawa Sova ke tempat makan terlebih dahulu. Se
Sova masih menangis dengan tangisan yang terdengar sangat pilu. Hilda pun mendudukkannya di sebuah sofa panjang, agar gadis itu menghabiskan semua rasa sedihnya. "Ambilkan minum! " titah Hilda kepada seorang asisten pribadinya yang baru saja masuk ke dalam ruangan, setelah dipanggil oleh Roy. "Baik, dok!" sahut asisten pribadinya tersebut. Tak lama, asisten berseragam hijau tua itu pun memberikan segelas air putih hangat kepada Sova. “Ayo, Mbak. Diminum dulu ya!” Pintanya seraya tersenyum hangat, sambil terdiam tak bergeming. Sova yang masih terisak di atas Sofa dengan kaki terangkat dan Ia peluk, menggelengkan kepalanya. Tak ada celah bagi asisten perawat itu untuk memberi Sova air hangat. Di saat itulah, Sova mengucapkan beberapa patah kata yang sudah mulai tersambung. Beberapa detik berjalan, Sova fokus dengan suara Hilda yang menuntunnya masuk ke alam yang Ia kehendaki. Perlahan tapi pasti, Sova pun semakin diam dan tak lagi mengeluarkan air mata. Roy yang menyaksikan keja
“Sova! Sova! Sayang!” Sova menggeliat saat pendengarannya menangkap suara bariton yang beberapa waktu ini sudah mengisi hari-harinya. “Kang!” panggilnya saat Ia mendapati wajah suaminya terbingkai dekat dengan wajah miliknya. “Sayang, bolehkah?” tanya Roy dengan mata sayu. “Jangan. Ini di tempatnya temen Akang. Geser, please!” minta Sova dengan memperlihatkan mata kucingnya. Roy menjauhkan dirinya dari Sova, kemudian duduk. Sova memindai ruangan tempat saat ini Ia berada. “Ini kan...?” Sova langsung duduk dari tidurnya, kemudian menepuk-nepuk ranjang yang tadi Ia tiduri. “Ini rumah Akang?” tanya Sova seolah tak percaya. “Rumah kita,” ralat Roy sambil tersenyum manis. Lelaki itu merasa gemas melihat tingkah polos istrinya. “Kan, semalem Aku masih di tempatnya dokter Hilda, nungguin Akang. Kok, sekarang... “ “Di tempat kita. Di tempat peraduan kita,” sahut Roy sambil menjawil dagu Sova dengan gemas. “Ya ampun, kenapa saat ada di samping Sova, Aku kaya anak kecil ya?
Roy mengusap-usap pundak Sova, berusaha menenangkan kegelisahan istrinya. Setelah terapi, Sova memang masih memiliki sentimentil berlebih untuk hal-hal tertentu. Bahkan, Roy pun belum berani untuk memberikan ciuman di bibir Sova. Saat sesi hypnotherapy, Sova seringkali menolak verbal ataupun visual yang merangsang otak seseorang untuk masuk ke dalam halusinasi hipnosis. Bahkan, Sova pernah dibawa ke terapis lain, namun lebih gagal. “Maafin Ayah!” pinta pak Harun yang merasa bersalah karena telah menyebut kata ibumu. Padahal, sebenarnya pak Harun ingin membahas Atikah, ibu kandung Sova. Namun, karena selama Ia hidup hanya mengenal Devi sebagai seorang Ibu, tentu saja yang diterima oleh otak Sova adalah nama Devi. “Ayo. Kita berangkat ya!” ajak Roy seraya membawa Sova pergi, meninggalkan pak Harun di meja makan seorang diri. Sova naik ke dalam mobil high MPV itu terlebih dahulu. Ia merasa lelah setelah pikirannya mengingat dendam dan sakit hati terhadap Devi. “Bos!” panggil Hari, me
“Kamu siap, Sayang?” tanya Roy seraya menyunggingkan senyum termanisnya. Senyum matikan dari seorang pria matang nan elegan, membuat banyak wanita cantik terhipnotis dengan ketampanannya, apalagi uangnya. “Huuffhh... Aku siap!” jawab Sova tanpa menoleh ke arah suaminya. Ia membayangkan hal yang selalu diajarkan oleh Meri, untuk menjadi wanita elegan. “Ayo!” ajak Roy seraya menyerahkan lengannya untuk dipegang Sova. “Kang!” panggil Sova. Ia pun menatap manik mata Roy yang menunggu kalimat lanjutan darinya. “Apa Aku sudah terlihat lebih dewasa?” tanya Sova terdengar sedikit khawatir. “Maksudnya, Sayang?” tanya Roy tak mengerti. “Akang lebih suka kalau kamu imut. Bikin Akang pengen uwel-uwel,” ucap Roy seraya terkekeh. “Itu kalau di rumah aja Kang. Kalau di sini, apa iya kalau Aku harus imut? Entar, Aku enggak dihargai sebagai istri CEO? Aku enggak diperhitungkan sebagai wanita berkelas? Bukankah Aku harus berdiri kuat di atas kakiku sendiri, biar Akang tenang?!” tanya Sova s
Sova mengikuti langkah kaki Roy, memasuki ruangan CEO. Ruangan yang didesain sangat apik serta homey. “Kayaknya, ruangan Akang punya konsep yang mirip sama tempat prakteknya Kak Hilda.” Sova terus memindai setiap sudut ruangan yang menurutnya sangat menenangkan. Terlebih, Roy menaruh air terjun dinding model klasik di salah satu sudut ruangannya, menambah keasrian ruangan. “Aku suka ini, Kang! Kayak pulang kampung.” Sova tertawa seraya memasukkan telunjuknya diantara air yang terus terjatuh. “Kamu suka, Sayang?” tanya Roy seraya memeluk Sova dari belakang. Lelaki itu mencium wangi gourmand dari parfume yang dikenakan gadis itu. “Akang!” sahut Sova kaget. Ia masih belum terbiasa diperlakukan begitu manis oleh Roy. “Biarkan dulu seperti ini!” pinta Roy saat Sova berusaha melepaskan diri. Wangi vanilla yang dipakai Sova sungguh memabukkan dirinya. “Kang!” panggil Sova yang berusaha membiasakan diri dengan perlakuan Roy. “Iya, Sayang!” sahut Roy lirih. “Aku... Sepertinya
Tuk... tuk... tuk...“Hey, ja**ng! Cepat buka!” Sova tersentak tak terima saat Ia dikatai oleh seseorang yang Ia tak tahu siapa, di kantor milik suaminya. Apalagi, Ia yang sedang menunaikan hajat kecilnya, merasa terganggu dan tak nyaman. Namun, Ia tetap berusaha berpikiran positif. “Mbak, jangan bikin pintu toilet ini rusak! Anda salah orang,” sahut Sova terpaksa. Ia khawatir pintu terbuka dengan terpaksa, apalagi dia sedang ada dalam kondisi memalukan. Sova segera menyudahi kegiatannya, kemudian Ia menekan tombol flush. Byurrrr... Terdengar suara siraman air setelah tombol flush itu Sova tekan. “Hey, ja**ng! Buka! Aku enggak salah orang. Kalau enggak, Aku dobrak pintu ini, biar bos tahu betapa bar-barnya cewek kampung kaya lu!” teriak seorang wanita dari balik pintu toilet sebelah luar. Sova baru paham bahwa wanita yang sedari tadi memanggilnya dengan sebutan yang tak mengenakkan itu memang bukan orang yang salah sasaran. “Oh, r