Sova masih menangis dengan tangisan yang terdengar sangat pilu. Hilda pun mendudukkannya di sebuah sofa panjang, agar gadis itu menghabiskan semua rasa sedihnya. "Ambilkan minum! " titah Hilda kepada seorang asisten pribadinya yang baru saja masuk ke dalam ruangan, setelah dipanggil oleh Roy. "Baik, dok!" sahut asisten pribadinya tersebut. Tak lama, asisten berseragam hijau tua itu pun memberikan segelas air putih hangat kepada Sova. “Ayo, Mbak. Diminum dulu ya!” Pintanya seraya tersenyum hangat, sambil terdiam tak bergeming. Sova yang masih terisak di atas Sofa dengan kaki terangkat dan Ia peluk, menggelengkan kepalanya. Tak ada celah bagi asisten perawat itu untuk memberi Sova air hangat. Di saat itulah, Sova mengucapkan beberapa patah kata yang sudah mulai tersambung. Beberapa detik berjalan, Sova fokus dengan suara Hilda yang menuntunnya masuk ke alam yang Ia kehendaki. Perlahan tapi pasti, Sova pun semakin diam dan tak lagi mengeluarkan air mata. Roy yang menyaksikan keja
“Sova! Sova! Sayang!” Sova menggeliat saat pendengarannya menangkap suara bariton yang beberapa waktu ini sudah mengisi hari-harinya. “Kang!” panggilnya saat Ia mendapati wajah suaminya terbingkai dekat dengan wajah miliknya. “Sayang, bolehkah?” tanya Roy dengan mata sayu. “Jangan. Ini di tempatnya temen Akang. Geser, please!” minta Sova dengan memperlihatkan mata kucingnya. Roy menjauhkan dirinya dari Sova, kemudian duduk. Sova memindai ruangan tempat saat ini Ia berada. “Ini kan...?” Sova langsung duduk dari tidurnya, kemudian menepuk-nepuk ranjang yang tadi Ia tiduri. “Ini rumah Akang?” tanya Sova seolah tak percaya. “Rumah kita,” ralat Roy sambil tersenyum manis. Lelaki itu merasa gemas melihat tingkah polos istrinya. “Kan, semalem Aku masih di tempatnya dokter Hilda, nungguin Akang. Kok, sekarang... “ “Di tempat kita. Di tempat peraduan kita,” sahut Roy sambil menjawil dagu Sova dengan gemas. “Ya ampun, kenapa saat ada di samping Sova, Aku kaya anak kecil ya?
Roy mengusap-usap pundak Sova, berusaha menenangkan kegelisahan istrinya. Setelah terapi, Sova memang masih memiliki sentimentil berlebih untuk hal-hal tertentu. Bahkan, Roy pun belum berani untuk memberikan ciuman di bibir Sova. Saat sesi hypnotherapy, Sova seringkali menolak verbal ataupun visual yang merangsang otak seseorang untuk masuk ke dalam halusinasi hipnosis. Bahkan, Sova pernah dibawa ke terapis lain, namun lebih gagal. “Maafin Ayah!” pinta pak Harun yang merasa bersalah karena telah menyebut kata ibumu. Padahal, sebenarnya pak Harun ingin membahas Atikah, ibu kandung Sova. Namun, karena selama Ia hidup hanya mengenal Devi sebagai seorang Ibu, tentu saja yang diterima oleh otak Sova adalah nama Devi. “Ayo. Kita berangkat ya!” ajak Roy seraya membawa Sova pergi, meninggalkan pak Harun di meja makan seorang diri. Sova naik ke dalam mobil high MPV itu terlebih dahulu. Ia merasa lelah setelah pikirannya mengingat dendam dan sakit hati terhadap Devi. “Bos!” panggil Hari, me
“Kamu siap, Sayang?” tanya Roy seraya menyunggingkan senyum termanisnya. Senyum matikan dari seorang pria matang nan elegan, membuat banyak wanita cantik terhipnotis dengan ketampanannya, apalagi uangnya. “Huuffhh... Aku siap!” jawab Sova tanpa menoleh ke arah suaminya. Ia membayangkan hal yang selalu diajarkan oleh Meri, untuk menjadi wanita elegan. “Ayo!” ajak Roy seraya menyerahkan lengannya untuk dipegang Sova. “Kang!” panggil Sova. Ia pun menatap manik mata Roy yang menunggu kalimat lanjutan darinya. “Apa Aku sudah terlihat lebih dewasa?” tanya Sova terdengar sedikit khawatir. “Maksudnya, Sayang?” tanya Roy tak mengerti. “Akang lebih suka kalau kamu imut. Bikin Akang pengen uwel-uwel,” ucap Roy seraya terkekeh. “Itu kalau di rumah aja Kang. Kalau di sini, apa iya kalau Aku harus imut? Entar, Aku enggak dihargai sebagai istri CEO? Aku enggak diperhitungkan sebagai wanita berkelas? Bukankah Aku harus berdiri kuat di atas kakiku sendiri, biar Akang tenang?!” tanya Sova s
Sova mengikuti langkah kaki Roy, memasuki ruangan CEO. Ruangan yang didesain sangat apik serta homey. “Kayaknya, ruangan Akang punya konsep yang mirip sama tempat prakteknya Kak Hilda.” Sova terus memindai setiap sudut ruangan yang menurutnya sangat menenangkan. Terlebih, Roy menaruh air terjun dinding model klasik di salah satu sudut ruangannya, menambah keasrian ruangan. “Aku suka ini, Kang! Kayak pulang kampung.” Sova tertawa seraya memasukkan telunjuknya diantara air yang terus terjatuh. “Kamu suka, Sayang?” tanya Roy seraya memeluk Sova dari belakang. Lelaki itu mencium wangi gourmand dari parfume yang dikenakan gadis itu. “Akang!” sahut Sova kaget. Ia masih belum terbiasa diperlakukan begitu manis oleh Roy. “Biarkan dulu seperti ini!” pinta Roy saat Sova berusaha melepaskan diri. Wangi vanilla yang dipakai Sova sungguh memabukkan dirinya. “Kang!” panggil Sova yang berusaha membiasakan diri dengan perlakuan Roy. “Iya, Sayang!” sahut Roy lirih. “Aku... Sepertinya
Tuk... tuk... tuk...“Hey, ja**ng! Cepat buka!” Sova tersentak tak terima saat Ia dikatai oleh seseorang yang Ia tak tahu siapa, di kantor milik suaminya. Apalagi, Ia yang sedang menunaikan hajat kecilnya, merasa terganggu dan tak nyaman. Namun, Ia tetap berusaha berpikiran positif. “Mbak, jangan bikin pintu toilet ini rusak! Anda salah orang,” sahut Sova terpaksa. Ia khawatir pintu terbuka dengan terpaksa, apalagi dia sedang ada dalam kondisi memalukan. Sova segera menyudahi kegiatannya, kemudian Ia menekan tombol flush. Byurrrr... Terdengar suara siraman air setelah tombol flush itu Sova tekan. “Hey, ja**ng! Buka! Aku enggak salah orang. Kalau enggak, Aku dobrak pintu ini, biar bos tahu betapa bar-barnya cewek kampung kaya lu!” teriak seorang wanita dari balik pintu toilet sebelah luar. Sova baru paham bahwa wanita yang sedari tadi memanggilnya dengan sebutan yang tak mengenakkan itu memang bukan orang yang salah sasaran. “Oh, r
“Kalau kamu enggak mau sakit, maka jangan menghalangi jalan!” ucap Roy seraya masuk ke toilet wanita, tanpa menghiraukan Rania yang wajahnya masih nampak pucat. Tak ada kata apapun yang keluar dari mulut Rania. Ia nampak masih shock karena tetiba muncul Roy dan jajarannya di sana. “Pak Bos. Di kantor ini telah terjadi pembulian. Korban masih terduduk di sana! Kami mau menang... “ “Sayang, kamu enggak apa-apa?” tanya Roy seraya mendekati Sova. Bahkan, di hadapan kedua sekuriti itu, Roy memperlakukan Sova begitu manis dan penuh kekhawatiran. “Menang? Menang apa?” Beni mewakili Roy bertanya kepada dua sekuriti yang nampak sangat terkejut. “Itu... emmhhh... “ salah satu sekuriti yang memiliki kumis baplang, mendadak gagu dan tak mampu menjawab pertanyaan mudah dari Beni. “Ben, laporkan perempuan yang sedang duduk di hadapan kloset ke polisi. Dia sudah menghina dan berusaha memfitnah istri saya.” Mendengar ucapan Roy, wanita yang sedari tadi tak bergerak dari tempatnya, demi memperton
“Minggir, Sari! Minggirkan mobilnya!” titah Sova yang sudah merasa panas di dadanya. “Nyonya, ini di jalan tol,” tolak Sari yang tentu saja tak bisa dibantah lagi oleh Sova. Sova mendengus kesal. Bahkan, Ia pun mengusap kasar wajahnya yang cantik. “Cari tempat makan dulu!” titah Sova pada akhirnya. “Tapi ini masih... ““Aku bilang cari tempat makan. Cari pintu tol terdekat!” titah Sova dengan mata mendelik tajam. Sari yang terbiasa mengintimidasi orang, tak bisa berbuat banyak karena Ia pun tahu jika Sova juga pemegang sabuk hitam di salah satu perguruan. Hanya saja, gadis yang kini duduk di sampingnya ini memiliki kehidupan yang tak seberuntung saat ini. Entahlah, Sari hanya bisa menganggukkan kepala dan menyimpan respek lebih besar kepada Sova. “Baik.” Sari segera memacu gas, demi mempercepat laju kendaraan mewah yang Ia kendarai. Bahkan, Ia mengendarainya cukup ugal-ugalan, melakukan zigzag dan menyalip setiap mobil yang berada lebih depan dari mereka. Sova tak pedul
"Jadi benar?" desis Roy. Matanya masih menatap hampir tak berkedip pada rekaman-rekaman yang sedang terputar di sana. "Apanya Kang?" tanya Sova saat Ia melihat wajah tegang suaminya. "Akang, benar apanya?" tanya Sova sekali lagi, karena Ia tak mendapatkan jawaban apapun dari Roy. "Akang sudah salah menilai, Sayang." Roy menatap Sova seraya mengelus pipi wanita itu, meminta kekuatan dalam hatinya. "Menilai apa?" tanya Sova. Namun, lagi-lagi Roy tak memberinya jawaban. Sova mencebik, kesal karena merasa diabaikan. Bukankah Ia yang seharusnya masih marah dan mendiamkan Roy? Kenapa malah terjadi hal sebaliknya? Sova mengambil ponsel miliknya dari tangan Roy, penasaran dengan apa yang dilihat oleh suaminya. Sedangkan Roy, Ia tak lagi berusaha mengambil lagi ponsel tersebut. Semua kejadian dimana Lina datang sampai Ia membawa Dania pergi, terekam jelas oleh CCTV yang terkoneksi dengan ponsel Sova. Sedangkan, di CCTV rumah yang sengaja Ia pasang, tak ada satu pun bayangan Lina masuk ke
"Apa maksudnya, Kang? Masa pak Beni resign? Mbak Hilda gimana? Mana mbak Hilda?" tanya Sova beruntun. "Mereka memfitnah Lina. Padahal, Beni... ah, entahlah. Apa dia sedang dekat dengan Hilda? Jadi dia selingkuh?" desis Roy namun masih bisa didengar oleh Sova. "Rupanya ini karena mbak Lina? Selingkuh? Benarkah? Jadi, mereka menjebakku agar mau menerima mbak Dania di rumah ini?" tanya Sova sangat lirih, namun masih jelas terdengar oleh Roy. "Apa? Jadi mereka yang memintamu untuk memasukkan Dania ke rumah? Memintamu untuk menerima Dania di rumah ini?" tanya Roy seraya menatap Sova, mencari kebenaran di kedalaman mata istrinya. "Emmhhh... iya, Kang." Sova akhirnya jujur akan hal yang tak Ia bicarakan kepada Roy. Bahkan, Ia cenderung melakukan hal itu di belakang Roy. Roy menyugar rambutnya frustasi. Kesalahan adalah kata yang tepat untuk apa yang telah dilakukan Sova, itu menurut Roy. "Tapi kenapa? Kenapa kamu lakukan itu semua, Sayang? Kau undang penyakit ke dalam rumah tangga kit
Roy tak peduli saat Hilda mengejar Beni untuk keluar dari sana. Ia segera melangkahkan kakinya menuju lift. Ia berniat untuk menyusul Sova, membiarkan masalah Dania diurus oleh anak buahnya, sedangkan dia hanya akan menyelesaikan masalahnya dengan Sova. Roy hendak meraih handle pintu saat pintu itu terbuka dari dalam. Di hadapannya ada suster Rina yang membawa botol susu bekas pakai. "Sus, biarkan kami dulu ya. Nanti kalau kami perlu, baru akan Saya panggil lagi," ucap Roy dengan tatapan mengintimidasi. Dia tak ingin terganggu oleh orang lain saat sedang bicara dengan Sova. "Emmhhh," Suster Rina menoleh ke dalam, memastikan keadaan Rafa baik-baik saja. "Tapi Pak... " tolak Suster Rina, berusaha memberikan argumen. "Enggak ada tapi-tapian... " kesal Roy saat perawat yang Ia pekerjakan hendak menolak titahnya. "Ba... baik, Pak," sahutnya cepat, kemudian berlalu dari kamar tersebut. Sova yang begitu serius mengurusi Rafa,
SLTC 103"Ada apa?" tanya Roy setelah Beni duduk di sebrangnya. "Maafkan Saya, Pak. Tapi Saya enggak tahu lagi harus berbuat apa," ucap Beni membuat Roy mengerutkan keningnya. "Katakanlah!" titah Roy seraya memandangi Beni lebih seksama. Ia curiga akan ada hal tak beres yang diceritakan oleh Beni. "Saya sangat mencintai Lina," ucap Beni pada akhirnya. "Lantas?" tanya Roy merasa apa yang disampaikan oleh Beni bukanlah poin utamanya. Beni hanya diam. Lelaki yang telah lama mengabdi pada Roy itu tak lagi mengatakan apapun, membuat Roy tak sabar. "Jangan bilang gara-gara Lina belum juga hamil, kamu berniat poligami. Begitu?" tanya Roy membuat Beni mengangkat wajahnya kaget, menatap Roy dengan tatapan tak percaya. "Tuh kan, ketebak." Roy terkekeh seraya geleng-geleng kepala. "Bukan Pak Bos, bukan itu," ucap Beni buru-buru. "Jangan berkilah, Ben. Apa kurangnya Lina sampai-sampai kamu tega mau menduakannya? Apa kau sudah menemukan perempuan lain? Apa kau sudah memberi tahu Lina renc
SLTC 102Roy masih tertegun setelah mendengar ucapan Sova barusan. Ia berpikir jika apa yang dikatakan Sova sangat masuk akal dan memungkinkan dan memiliki nilai kebenaran. "Apa benar seperti apa yang istriku bilang, Ben?" tanya Roy benar-benar meminta pendapat. "Menurutku demikian," sahut Beni membuat Roy kaget. Roy tak menyangka jika jawaban Beni begitu singkat, padat dan langsung pada point nya. "Ya sudah, ayo kita kembali ke ruang kerja!" ajak Roy. "Ben, Aku mengizinkanmu untuk membongkar makam Dania dan mengambil sampel dna-nya, untuk dites dan dibandingkan dengan DNA perempuan itu, " ucap Roy tiba-tiba.Beni yang sedang memikirkan baik-baik apa yang dilaporkan oleh anak buahnya tadi tentang Lina, tak mendengar apa yang diucapkan oleh Roy. Bahkan pandangan Beni nampak kosong di hadapan Roy."Ben" Ucap Roy lagi seraya menepuk pundaknya cukup keras. "Ada apa?" teriak Beni Karena ia merasa kaget dengan tepukan di bahunya."Sejak kapan kamu hobi melamun?" Ucap Roy yang sebenarny
Mata Roy berkilat merah. Ia begitu marah dengan apa yang disampaikan oleh anak buahnya barusan. "Jaga kedua tua bangka ini, jangan sampai mereka berdua kabur!" titah Roy membuat semua orang yang berada di sana saling melemparkan pandangan. "Siapa yang kau sebut dengan tua bangka?! " teriak Pak Tejo dengan geram. Namun, Roy tak mendengarkannya sama sekali. Ia terus melenggang pergi, keluar dari ruang kerja. Beni mengikuti Roy dengan segera. ia belum tahu apa yang terjadi, namun Ia tak merecoki Roy dengan berbagai macam pertanyaan. Saat tiba di kamar tamu, Roy langsung masuk ke dalam kamar dengan pintu yang memang sudah terbuka. Begitupun dengan Beni, Ia langsung ikut masuk ke dalam kamar dan mendapati kesalahan apa yang telah terjadi. "Mana dia? " tanya Roy dengan mata yang masih berkilat merah."A... Ampun Tuan! Kami tidak tahu, kami betul-betul tidak tahu! " ucap anak buah Roy yang seharusnya ditugaskan berjaga di sana.Saat Roy dan Beni keluar dari ruang kerja tadi, sebenarnya
"Ap...pa maksudmu?" Tanya Pak Tejo tergagap."Sudah jelas saya katakan barusan bahwa Anda berdua tidak mengenali siapa Dania. Anda berdua sudah abai kepadanya dari dulu Lalu, kenapa sekarang kalian begitu mati-matian membela? Itu karena anda hanya menginginkan harta milik Roy dan kalian tidak mengenali yang mana anak kalian. " Hilda mengatakan hal itu dengan tenggebu-gebu. Ia puas karena telah mengeluarkan unek-uneknya selama ini terhadap Pak Tejo dan istrinya. Sedari Dulu, Ia selalu menjadi tumpuan bagi Dania. Bahkan, seringkali ia membagi uang sakunya untuk Dania meskipun Dania sendiri menolaknya."Jangan berburuk sangka kamu sama kami, Roy. Siapa lagi yang akan menyayangi Dania selain daripada kami, hah? " ucap Bu Tejo seraya memalingkan mukanya. Ia Sedikit lega karena dari perkataan Hilda, menyiratkan bahwa wanita tersebut bukan mencurigai tentang siapa Dania, tetapi mencurigai bahwa dirinya tidak begitu memperhatikan Dania saja. "Ya Sudahlah, jangan terlalu diperpanjang. Sekar
SLTC 99"Pelakor miskin sepertimu tak perlu ikut bicara! Tak ada kepatutan dari setiap ucapanmu," hardik pak Tejo dengan mata nyalang. "Jangan pernah menghina istriku! Wanita yang kau sebut miskin ini adalah is-tri-ku. Camkan itu!" sahut Roy membalas tatapan nyalang pak Tejo seraya menunjuk tepat ke arah wajahnya. "Jangan lupa kalau istrimu adalah Dania. Hanya Dania," teriak bu Tejo dengan mata melotot. "Dan ya... selama pernikahanku dengan mendiang Dania, Saya baru ingat bahwa kalian tak pernah peduli padanya. Hanya jika kalian menginginkan sesuatu, maka kalian akan mencari istriku, Dania. Tapi sekarang apa? Kalian begitu membabi buta membela Dania. Ada apa sebenarnya?" tanya Roy dengan raut wajah sinis. Pasangan suami istri lanjut usia itu pun menelan salivanya, kaget dengan tuduhan yang diucapkan oleh Roy. Benar, karena itu memang kenyataannya. Dania kecil tak pernah mendapatkan kasih sayang seperti yang mereka limpahkan pada Rania, anak kandung mereka yang hadir setelah bebera
SLTC 98"Siapa?" semua orang bertanya dengan serempak. "Hemmhhh... " Sova menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. "Siapa?" tanya Roy sekali lagi. Sova meliriknya, kemudian memalingkan lagi mukanya dari Roy. "Coba kalian ingat-ingat, apa selama ini kalian bertemu... "Brakkk... Tiba-tiba pintu ruang kerja tersebut dibuka dengan kasar. Nampak pak Tejo mengepalkan tangannya seraya mencari sosok Roy. "Ada apa?" tanya Roy berdiri menghadap ke arah pak Tejo. Akhirnya, tanpa bersusah payah mencari keberadaan Roy, lelaki yang pernah menjadi menantunya itu berdiri dengan sendirinya, memudahkan Ia untuk menemukan Roy. Pak Tejo langsung meringsek masuk dan langkahnya mengarah pada Roy. Ia sudah bersiap untuk menghantamkan bogem mentah kepada lelaki yang kini berstatus sebagai suami Sova itu. "Dasar b****at!" Langkahnya ditahan oleh Beni dan Hari yang langsung