“Minggir, Sari! Minggirkan mobilnya!” titah Sova yang sudah merasa panas di dadanya. “Nyonya, ini di jalan tol,” tolak Sari yang tentu saja tak bisa dibantah lagi oleh Sova. Sova mendengus kesal. Bahkan, Ia pun mengusap kasar wajahnya yang cantik. “Cari tempat makan dulu!” titah Sova pada akhirnya. “Tapi ini masih... ““Aku bilang cari tempat makan. Cari pintu tol terdekat!” titah Sova dengan mata mendelik tajam. Sari yang terbiasa mengintimidasi orang, tak bisa berbuat banyak karena Ia pun tahu jika Sova juga pemegang sabuk hitam di salah satu perguruan. Hanya saja, gadis yang kini duduk di sampingnya ini memiliki kehidupan yang tak seberuntung saat ini. Entahlah, Sari hanya bisa menganggukkan kepala dan menyimpan respek lebih besar kepada Sova. “Baik.” Sari segera memacu gas, demi mempercepat laju kendaraan mewah yang Ia kendarai. Bahkan, Ia mengendarainya cukup ugal-ugalan, melakukan zigzag dan menyalip setiap mobil yang berada lebih depan dari mereka. Sova tak pedul
Sari mengotak-atik ponselnya, tanpa memperhatikan obrolan ketiga orang di dekatnya. “Hey!” Sova menepuk pundak Sari cukup kencang. Sari mencengkeram kerah baju Sova dan membuatnya berada dalam posisi kuncian di Sari. “Apaan ini?” kesal Sova, namun Ia tak mampu berbuat banyak karena sudah berada di dalam kuncian Sari. Sova hanya mengerang dan memukul papan kayu tempat mereka duduk dengan tangan kanannya. “Maaf, Nya. Maaf!” ucap Sari buru-buru melepaskan Sova. Sova hendak memukul Sari karena kesal, namun tangan kanan yang sudah mengepal itu Ia biarkan tergantung di udara, sampai akhirnya Ia pukulkan ke arah angin. Sari yang mengerti bahwa Sova akan membalasnya, masih menutup mata tanpa melawan sedikit pun. Ia sadar bahwa dirinya salah, serta tahu tuan-nya siapa. Saat tak ada pukulan yang mendarat sedikitpun di pipi, kepala atau bagian tubuh manapun, Sari mengintip dengan membuka matanya sedikit. “Nyonya, maafkan saya!” ucap Sari sekali lagi, saat Ia melihat Sova masih me
Mendengar suara kegaduhan dari ruang makan, Roy yang baru keluar dari lift dengan menggunakan baju yang lebih santai, segera bergegas untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. “Ada apa ini?” tanya Roy yang langsung menghentikan segala tanya, saat netranya melihat bu Devi, sang Ibu mertua berada di dapur. “Maafkan Saya, tadi Saya nemuin istri Saya di dekat pasar. Tanpa minta izin dulu, Saya bawa ke sini,” ucap Pak Harun yang langsung menghampiri Roy. Lelaki paruh baya itu terus saja mencuri pandang ke arah Sova yang wajahnya sudah memerah dan bersimbah air mata. Roy mengerti perasaan Sova karena lelaki itu pernah meminta anak buahnya untuk menyelidiki Sova secara keseluruhan, sebelum akhirnya memutuskan untuk menikahinya. “Ayo, Sayang! Kita bicara di dalam dengan kepala dingin.” Roy memapah Sova agar mengikuti langkahnya. Ia tak ingin membuat wanita muda itu bertambah stress. “Bagaimana, apa boleh Saya membawa istri Saya ke sini?” tanya pak Harun lagi ka
“Sova!” lirih suara Roy memanggil nama Sova, dengan suara yang terdengar berat. Bagaimana pun usianya terpaut jauh dari Sova, Ia hanya lelaki biasa yang bisa berhasrat, terlebih dengan gadis yang begitu seksi di hadapannya. “Aku mau pernikahan yang sebenarnya, Kang! Aku ingin dengar dari mulut Akang, kalau Aku bukan hanya dijadikan alat untuk menyelamatkan semua harta Akang. Aku ingin jadi istri, Kang!” ucap Sova sambil tertunduk menahan air matanya agar tak lolos. Melihat Roy yang hanya diam saja di tempatnya, Sova mengira bahwa suaminya itu akan menolak dirinya. Dan yang pasti, Ia hanyalah seorang kacung yang dianggap tak punya hati. Berawal dari pernikahan paksaan, berlanjut dengan Ia yang berusaha ikhlas dan memberikan hati untuk suami, kini harus menelan pil pahit jika suaminya menolak. Harga dirinya sebagai seorang wanita runtuh seketika. Ia merasa menjadi seorang pel**ur yang keinginannya tak penting. “Maaf, Kang. Rupanya anganku terlalu jauh. Kita bisa menikah kontra
“Sova!”Sova yang masih menangis dengan tangan kanan tergantung ke handle pintu walk in closet, sedangkan tangan kirinya Ia biarkan memeluk Kedua lutut yang tak lagi sanggup berdiri, tak langsung menoleh saat Ia mendengar panggilan seseorang. Orang itu baru saja membuka pintu kamar miliknya. Rasanya semua suara terdengar seperti suara Roy. Bisa jadi, suara jangkrik pun akan Ia anggap seperti nyanyian suaminya. “Sayang. Ada apa?” tanya seseorang yang terdengar lebih dekat dan nyata. Akhirnya Sova mengangkat pandangannya. Namun, sebelum Ia melihat sosok yang ada di hadapannya, lelaki itu sudah lebih dulu membawanya ke dalam pelukan. “Sayang, ada apa? Apa kamu menyesal? Maafkan Akang!” ucapnya begitu lirih. “Akang, ini betulan Akang kan? Aku enggak mimpi?” Sova berusaha melepaskan diri dari pelukan Roy. Ia hanya ingin memastikan bahwa Ia dipeluk oleh orang yang benar, orang yang Ia cari sedari terjaga tadi. Roy pun melepaskan pelukannya, mengikuti keinginan Sova. “Iya, ini A
“Entahlah. Mamamu seperti orang linglung. Ayah tak tega membiarkan Mamamu di jalanan dekat pasar lagi makan di tempat sampah,” ucap pak Harun membuat Sova tak mampu mengatupkan mulutnya. Ia kaget mengingat bahwa bu Devi merupakan pemilih untuk makanan. Saat mereka hidup bersama, Sova lah yang menjadi penanggung jawab makanan bu Devi. Makanan enak kan lezat harus selalu tersedia, bagaimana pun caranya. Dan semua itu adalah tugas Sova. Lezat versi keluarga mereka. “Maksudnya? Bu Devi makan makanan dari sampah?” tanya Roy memastikan. “Iya. Bahkan, saat Ayah menghampiri nya, Mamamu tak mengenali Ayah. Maaf kalau Ayah membawanya ke sini, Ayah janji kalau usaha Ayah sudah membuahkan hasil dan Ayah mendapat bagian dari sana, Ayah akan membawa Mamamu pergi dari sini. Maaf, Ayah selalu merepotkan!” ucap pak Harun menunduk. “Dia bukan Mamaku, Yah. Enggak perlu menekankan kata ‘Mamamu' terus pada Sova.” Sova menghembuskan nafas panjang setelah mengatakan hal itu. Setelah siang kemarin da
Roy mengerutkan kening, menerka-nerka siapa orang yang berani mengatai dirinya, terlebih wanita yang terlihat seperti ondel-ondel bagi Roy itu, menyebutnya pria tua dan miskin. Itu artinya, ondel-ondel itu tak mengenali dirinya. “Yulia?” tanya Sova sambil mengerutkan keningnya, persis seperti Roy. Ia mencoba meyakinkan apa yang Ia lihat, khawatir salah. “Sayang, kamu kenal dia?” tanya Roy melirik ke arah Sova. Roy pun mulai menahan tawa karena melihat penampilan wanita itu yang tak berubah, tetap seperti ondel-ondel di mata Roy. “Dia... “ Sova menjeda kalimatnya, kemudian menoleh ke arah wanita itu, “Yulia kan?” tanya Sova berusaha mendapatkan jawaban yang belum Ia dapat. “Haduh, jadi istri kakek tua plus kere aja sombongnya minta ampun!” ketus Yulia sambil menepuk jidatnya sendiri. “Asal kamu tahu ya, perempuan sombong macam kamu yang cuma bisa morotin lelaki tua macam dia, mau dinikahi demi uang lima juta doang, aduh... Capek deh!” ledek Yulia yang me
“Katanya, hari ini pak Roy ada meeting.” Bu Ais mengatakan hal itu dengan sungguh-sungguh. “Ada calon apa baru... gitu, dari Suwiss. Ah, susah ngomongnya.” Bu Ais terkekeh sambil menepok mulutnya sendiri pelan. “Calon investor?” tanya Sova sambil menghapus air matanya. “Emmhhh... kayaknya tadi bukan gitu bilangnya.” Bu Ais nampak berpikir dengan kata yang baru saja Ia dengar dari Sova, membandingkannya dengan ucapan Roy tadi pagi. Lelaki paruh baya itu memang sengaja mengatakan apa yang akan Ia lakukan kepada Sova, karena tahu pasti bahwa Sova akan mencarinya dan menanyakan keberadaan dirinya kepada bi Ais. “Apa ya? Kolega kali?” tanya Sova seraya bersender pada sandaran king bed miliknya. “Nah, itu dia. Kayaknya tadi bilang itu!” ungkap bi Ais sambil berdiri, menyiapkan apa yang Ia bawa dan tadi disimpan di atas nakas. Bibirnya tersenyum puas karena menemukan kata yang sesuai dengan apa yang diucapkan Roy sebelum Ia berangkat ke kantor. “Oooh. Lagian, Swiss Bi. Bukan Suwi
"Jadi benar?" desis Roy. Matanya masih menatap hampir tak berkedip pada rekaman-rekaman yang sedang terputar di sana. "Apanya Kang?" tanya Sova saat Ia melihat wajah tegang suaminya. "Akang, benar apanya?" tanya Sova sekali lagi, karena Ia tak mendapatkan jawaban apapun dari Roy. "Akang sudah salah menilai, Sayang." Roy menatap Sova seraya mengelus pipi wanita itu, meminta kekuatan dalam hatinya. "Menilai apa?" tanya Sova. Namun, lagi-lagi Roy tak memberinya jawaban. Sova mencebik, kesal karena merasa diabaikan. Bukankah Ia yang seharusnya masih marah dan mendiamkan Roy? Kenapa malah terjadi hal sebaliknya? Sova mengambil ponsel miliknya dari tangan Roy, penasaran dengan apa yang dilihat oleh suaminya. Sedangkan Roy, Ia tak lagi berusaha mengambil lagi ponsel tersebut. Semua kejadian dimana Lina datang sampai Ia membawa Dania pergi, terekam jelas oleh CCTV yang terkoneksi dengan ponsel Sova. Sedangkan, di CCTV rumah yang sengaja Ia pasang, tak ada satu pun bayangan Lina masuk ke
"Apa maksudnya, Kang? Masa pak Beni resign? Mbak Hilda gimana? Mana mbak Hilda?" tanya Sova beruntun. "Mereka memfitnah Lina. Padahal, Beni... ah, entahlah. Apa dia sedang dekat dengan Hilda? Jadi dia selingkuh?" desis Roy namun masih bisa didengar oleh Sova. "Rupanya ini karena mbak Lina? Selingkuh? Benarkah? Jadi, mereka menjebakku agar mau menerima mbak Dania di rumah ini?" tanya Sova sangat lirih, namun masih jelas terdengar oleh Roy. "Apa? Jadi mereka yang memintamu untuk memasukkan Dania ke rumah? Memintamu untuk menerima Dania di rumah ini?" tanya Roy seraya menatap Sova, mencari kebenaran di kedalaman mata istrinya. "Emmhhh... iya, Kang." Sova akhirnya jujur akan hal yang tak Ia bicarakan kepada Roy. Bahkan, Ia cenderung melakukan hal itu di belakang Roy. Roy menyugar rambutnya frustasi. Kesalahan adalah kata yang tepat untuk apa yang telah dilakukan Sova, itu menurut Roy. "Tapi kenapa? Kenapa kamu lakukan itu semua, Sayang? Kau undang penyakit ke dalam rumah tangga kit
Roy tak peduli saat Hilda mengejar Beni untuk keluar dari sana. Ia segera melangkahkan kakinya menuju lift. Ia berniat untuk menyusul Sova, membiarkan masalah Dania diurus oleh anak buahnya, sedangkan dia hanya akan menyelesaikan masalahnya dengan Sova. Roy hendak meraih handle pintu saat pintu itu terbuka dari dalam. Di hadapannya ada suster Rina yang membawa botol susu bekas pakai. "Sus, biarkan kami dulu ya. Nanti kalau kami perlu, baru akan Saya panggil lagi," ucap Roy dengan tatapan mengintimidasi. Dia tak ingin terganggu oleh orang lain saat sedang bicara dengan Sova. "Emmhhh," Suster Rina menoleh ke dalam, memastikan keadaan Rafa baik-baik saja. "Tapi Pak... " tolak Suster Rina, berusaha memberikan argumen. "Enggak ada tapi-tapian... " kesal Roy saat perawat yang Ia pekerjakan hendak menolak titahnya. "Ba... baik, Pak," sahutnya cepat, kemudian berlalu dari kamar tersebut. Sova yang begitu serius mengurusi Rafa,
SLTC 103"Ada apa?" tanya Roy setelah Beni duduk di sebrangnya. "Maafkan Saya, Pak. Tapi Saya enggak tahu lagi harus berbuat apa," ucap Beni membuat Roy mengerutkan keningnya. "Katakanlah!" titah Roy seraya memandangi Beni lebih seksama. Ia curiga akan ada hal tak beres yang diceritakan oleh Beni. "Saya sangat mencintai Lina," ucap Beni pada akhirnya. "Lantas?" tanya Roy merasa apa yang disampaikan oleh Beni bukanlah poin utamanya. Beni hanya diam. Lelaki yang telah lama mengabdi pada Roy itu tak lagi mengatakan apapun, membuat Roy tak sabar. "Jangan bilang gara-gara Lina belum juga hamil, kamu berniat poligami. Begitu?" tanya Roy membuat Beni mengangkat wajahnya kaget, menatap Roy dengan tatapan tak percaya. "Tuh kan, ketebak." Roy terkekeh seraya geleng-geleng kepala. "Bukan Pak Bos, bukan itu," ucap Beni buru-buru. "Jangan berkilah, Ben. Apa kurangnya Lina sampai-sampai kamu tega mau menduakannya? Apa kau sudah menemukan perempuan lain? Apa kau sudah memberi tahu Lina renc
SLTC 102Roy masih tertegun setelah mendengar ucapan Sova barusan. Ia berpikir jika apa yang dikatakan Sova sangat masuk akal dan memungkinkan dan memiliki nilai kebenaran. "Apa benar seperti apa yang istriku bilang, Ben?" tanya Roy benar-benar meminta pendapat. "Menurutku demikian," sahut Beni membuat Roy kaget. Roy tak menyangka jika jawaban Beni begitu singkat, padat dan langsung pada point nya. "Ya sudah, ayo kita kembali ke ruang kerja!" ajak Roy. "Ben, Aku mengizinkanmu untuk membongkar makam Dania dan mengambil sampel dna-nya, untuk dites dan dibandingkan dengan DNA perempuan itu, " ucap Roy tiba-tiba.Beni yang sedang memikirkan baik-baik apa yang dilaporkan oleh anak buahnya tadi tentang Lina, tak mendengar apa yang diucapkan oleh Roy. Bahkan pandangan Beni nampak kosong di hadapan Roy."Ben" Ucap Roy lagi seraya menepuk pundaknya cukup keras. "Ada apa?" teriak Beni Karena ia merasa kaget dengan tepukan di bahunya."Sejak kapan kamu hobi melamun?" Ucap Roy yang sebenarny
Mata Roy berkilat merah. Ia begitu marah dengan apa yang disampaikan oleh anak buahnya barusan. "Jaga kedua tua bangka ini, jangan sampai mereka berdua kabur!" titah Roy membuat semua orang yang berada di sana saling melemparkan pandangan. "Siapa yang kau sebut dengan tua bangka?! " teriak Pak Tejo dengan geram. Namun, Roy tak mendengarkannya sama sekali. Ia terus melenggang pergi, keluar dari ruang kerja. Beni mengikuti Roy dengan segera. ia belum tahu apa yang terjadi, namun Ia tak merecoki Roy dengan berbagai macam pertanyaan. Saat tiba di kamar tamu, Roy langsung masuk ke dalam kamar dengan pintu yang memang sudah terbuka. Begitupun dengan Beni, Ia langsung ikut masuk ke dalam kamar dan mendapati kesalahan apa yang telah terjadi. "Mana dia? " tanya Roy dengan mata yang masih berkilat merah."A... Ampun Tuan! Kami tidak tahu, kami betul-betul tidak tahu! " ucap anak buah Roy yang seharusnya ditugaskan berjaga di sana.Saat Roy dan Beni keluar dari ruang kerja tadi, sebenarnya
"Ap...pa maksudmu?" Tanya Pak Tejo tergagap."Sudah jelas saya katakan barusan bahwa Anda berdua tidak mengenali siapa Dania. Anda berdua sudah abai kepadanya dari dulu Lalu, kenapa sekarang kalian begitu mati-matian membela? Itu karena anda hanya menginginkan harta milik Roy dan kalian tidak mengenali yang mana anak kalian. " Hilda mengatakan hal itu dengan tenggebu-gebu. Ia puas karena telah mengeluarkan unek-uneknya selama ini terhadap Pak Tejo dan istrinya. Sedari Dulu, Ia selalu menjadi tumpuan bagi Dania. Bahkan, seringkali ia membagi uang sakunya untuk Dania meskipun Dania sendiri menolaknya."Jangan berburuk sangka kamu sama kami, Roy. Siapa lagi yang akan menyayangi Dania selain daripada kami, hah? " ucap Bu Tejo seraya memalingkan mukanya. Ia Sedikit lega karena dari perkataan Hilda, menyiratkan bahwa wanita tersebut bukan mencurigai tentang siapa Dania, tetapi mencurigai bahwa dirinya tidak begitu memperhatikan Dania saja. "Ya Sudahlah, jangan terlalu diperpanjang. Sekar
SLTC 99"Pelakor miskin sepertimu tak perlu ikut bicara! Tak ada kepatutan dari setiap ucapanmu," hardik pak Tejo dengan mata nyalang. "Jangan pernah menghina istriku! Wanita yang kau sebut miskin ini adalah is-tri-ku. Camkan itu!" sahut Roy membalas tatapan nyalang pak Tejo seraya menunjuk tepat ke arah wajahnya. "Jangan lupa kalau istrimu adalah Dania. Hanya Dania," teriak bu Tejo dengan mata melotot. "Dan ya... selama pernikahanku dengan mendiang Dania, Saya baru ingat bahwa kalian tak pernah peduli padanya. Hanya jika kalian menginginkan sesuatu, maka kalian akan mencari istriku, Dania. Tapi sekarang apa? Kalian begitu membabi buta membela Dania. Ada apa sebenarnya?" tanya Roy dengan raut wajah sinis. Pasangan suami istri lanjut usia itu pun menelan salivanya, kaget dengan tuduhan yang diucapkan oleh Roy. Benar, karena itu memang kenyataannya. Dania kecil tak pernah mendapatkan kasih sayang seperti yang mereka limpahkan pada Rania, anak kandung mereka yang hadir setelah bebera
SLTC 98"Siapa?" semua orang bertanya dengan serempak. "Hemmhhh... " Sova menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. "Siapa?" tanya Roy sekali lagi. Sova meliriknya, kemudian memalingkan lagi mukanya dari Roy. "Coba kalian ingat-ingat, apa selama ini kalian bertemu... "Brakkk... Tiba-tiba pintu ruang kerja tersebut dibuka dengan kasar. Nampak pak Tejo mengepalkan tangannya seraya mencari sosok Roy. "Ada apa?" tanya Roy berdiri menghadap ke arah pak Tejo. Akhirnya, tanpa bersusah payah mencari keberadaan Roy, lelaki yang pernah menjadi menantunya itu berdiri dengan sendirinya, memudahkan Ia untuk menemukan Roy. Pak Tejo langsung meringsek masuk dan langkahnya mengarah pada Roy. Ia sudah bersiap untuk menghantamkan bogem mentah kepada lelaki yang kini berstatus sebagai suami Sova itu. "Dasar b****at!" Langkahnya ditahan oleh Beni dan Hari yang langsung