Sova tak bisa berpikir jernih saat mendengar suara perempuan dari nomor telepon Roy. Otaknya sudah traveling kemana-mana, apakah suaminya selingkuh? “Ya Tuhan, cobaan hidup macam apa ini?” lirihnya dalam hati, seraya menahan buliran bening yang ingin terjun bebas dari sudut matanya. Bi Ais tak bisa berbicara banyak karena Ia pun merasa geram dengan Roy. Tapi, mau tak mau Ia harus membuat Sova tenang agar kehamilannya tak terganggu. “Maaf, saya harus menghubungi nomor anda karena di kontak ini ditulis nama My wife. Apa betul?” tanya perempuan di sebrang telepon yang mampu merubah kecurigaan Sova menjadi rasa waswas. “Ya. Ini nomor suami saya. Mbak siapa? Kenapa ponsel suami saya ada di Mbak?” tanya Sova dengan suara bergetar. “Suami Ibu ada di rumah sakit kota karena mengalami kecelakaan tunggal di jalan tol.”“Astaghfirullah!” Sova menutup mulutnya, menahan histeris di balik air matanya. “Mohon keluarga yang bersangkutan agar segera datang, karena pasien harus segera mendap
“Darah?” Sari menekan rasa paniknya, agar Sova bisa lebih tenang. Sari bertekad untuk membuka pintu toilet sambil mempersiapkan segala macam yang bisa saja terjadi. Krieett... Sari mengintip sedikit keluar. Netranya tak menemukan siapapun di luar. Sikap waspada ya semakin Ia tampakkan agar tak terlihat lemah di depan musuh, namun tetap tenang dan seolah tak ada hal genting terjadi. Pintu pun kini telah dibuka dengan lebar. “Ayo, Non!” ajak Sari seraya menarik kursi roda Sova. Setelah berada di depan toilet, Dari mengawasi sekeliling untuk memastikan keamanan. Bagaimana pun, baru saja ada orang yang mengetuk pintu toilet yang Ia tak tahu apa kepentingannya. Semoga saja hanya orang yang ingin ke toilet disabilitas. Setelah dikira aman, Sari berpindah ke belakang Sova dan mendorong kursi roda nya. Sekilas, Sari melihat Sova yang mulai meringis kesakitan. Dengan segera, Sari mendorong Sova ke IGD. “Tolong, pasien hamil dan sekarang pendarahan.” Setengah berlari, Sari sudah berbic
Sova membuka matanya perlahan. Rasanya lemas sekali, badannya pun terasa remuk. Tapi, ada satu hal yang begitu mengganjal pikirannya. “Bayiku?” tanyanya seraya membuka mata dengan lebar, dengan tangan mengusap perut yang masih rata. “Tenang! Tenang, Nona!” seseorang menenangkan Sova yang kini gelisah dan tak bisa diam. Tangannya terus mencari-cari sesuatu di dalam perut, seraya berusaha untuk duduk. “Bayiku!” seru Sova. Ia pun menoleh ke arah suara yang menenagkannya. “Bi Ais, mana bayiku?” “Bayi Non baik-baik saja. Non tenang aja!” pinta bi Ais seraya tersenyum tenang. Entah kata-kata sihir atau apa, ucapan bi Ais mampu membuat Sova berangsur tenang. Ia pun tak lagi gelisah dan ingin mencabut selang infus yang terpasang di tangan kirinya. Ia terdiam dan lebih tenang. “Non makan ya!” pinta bi Ais seraya mengambil kotak makan yang disediakan rumah sakit. Sova meliriknya sekilas, tak ada selera sama sekali. Nasi tim, sayur tahu berwarna kuning pucat
Bi Ais berpikir tentang apa yang harus Ia lakukan saat ini. Tak mungkin jika Ia harus mempertaruhkan keselamatan Sova dengan rasa percaya di atas bimbang yang Ia rasakan. “Ya Allah, Bibi harus gimana ini?” tanyanya pelan seraya mondar-mandir di ruangan Sova. “Bi!” lirih Sova memanggil namanya, membuat bi Ais menghentikan langkahnya tak pastinya. “Non!” sapa bi Ais seraya mendekati Sova yang masih nampak lemah. “Gimana perasaannya? Apa yang masih dirasain?” tanya bi Ais tak sabar. “Bi, beneran dede bayi baik-baik aja? Aku... Aku pendarahan Bi,” ucap Sova seraya menahan air matanya. “Bener Non, dede bayinya selamat alhamdulillah. Tapi, Non enggak boleh punya beban pikiran, biar kondisi dede bayinya stabil,” ucap bi Ais lagi. Sova terdiam, ingin mengatakan jika Ia tak baik-baik saja karena memikirkan keadaan Roy. Sedangkan, di sisi hatinya yang lain ada kekhawatiran tentang keselamatan sang jabang bayi. Entahlah, apakah bi Ais berkata jujur atau tidak tentang kondisi bayinya. “Non!
3 Bulan kemudianRoy mendorong Sova yang menduduki kursi roda dengan sangat hati-hati. Ini hari pertama bagi mereka berdua untuk kembali menghirup udara Jakarta setelah beberapa bulan ini mereka mendapatkan perawatan intensif di negri singa. “Akang, tuh lihat! Semuanya ngelihatin Aku, enggak enak banget, malu!” cebik Sova seraya menunduk dan menutup wajahnya dengan tas yang Ia bawa. “Aku kan bisa jalan,” keluhnya lagi dengan suara yang dikecilkan sebisa mungkin. “Sssttt...!!! Nikmati aja. Akang aja pegel harus jalan jauh. Kasihan yang di perut,” ucapnya membuat Sova kini terdiam tak lagi mendebat. Sova mengalihkan pandangannya ke perutnya yang kini sudah membuncit. Ia pun mengelus-elus perut, tersenyum bahagia karena bayinya kini sudah mulai memberikan tendangan-tendangan kecil. “Ya udah, demi Dede, Bunda mau dibikin malu karena pake kursi roda,” ucapnya sambil nyengir kuda. “Memangnya... kenapa mesti malu? Kamu enggak merugikan orang lain kan? Enggak berbuat salah sama or
"Suami?" Suami siapa? " tanya wanita itu seraya melirik ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari sosok suami yang disebutkan oleh Sova. “ Ibu belum mengerti juga?" tanya Sova seraya mengangkat alisnya, seolah mempertanyakan dan mencela wanita itu."Mas, Memang menantu kamu ikut?" tanya wanita itu kepada Roy dengan suara yang mendayu-dayu. Sova melirik tajam ke arah Roy seolah dia sudah bersiap untuk melahapnya. Dan ia pun mengangkat tangannya “Saya suaminya Bu, Bukan ayahnya. " Kali ini Roy memberikan senyuman termanisnya kepada wanita itu.Wanita itu terdiam sesaat, kemudian Ia pun tertawa terbahak-bahak "Enggak usah bercanda deh, Mas!” ucap wanita itu masih tertawa terbahak-bahak. "Bilang sama anak perempuanmu...", wanita itu mencondongkan badannya kepada Roy, kemudian membisikinya sesuatu “ Bilangin kalau aku, Tania sang pengusaha sukses menyukai kamu Mas, menyukai kamu dari pandangan pertama dan aku jamin hidupmu sama anakmu akan Sejahtera. " Setelah mengucapkan kalimat itu, Ia
“Ayah!” sahut Sova seraya tersenyum ramah. Ia sungguh senang melihat pak Harun dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Sova menghampiri pak Harun kemudian mengalaminya. “Sova, anakku!” Pak Harun memeluk Sova serta menitikkan air mata. Ia sempat mengira bahwa Sova melarikan diri karena sudah tak kuat menghadapi cobaan, atau parahnya diculik. Pak Harun tak berhenti mencari Sova meskipun cara mencarinya dengan melaporkan pada polisi dan mencari olehnya sendiri. Untuk laporan polisi, Ia hanya berkomunikasi dengan petugas yang sudah bekerjasama melindungi Sova, berdasarkan permintaan dan laporan Beni. Jadi, pak Harun tak pernah mendapatkan kabar apapun dari polisi selain bahwa mereka kehilangan jejak. Sedangkan, pencariannya oleh diri sendiri, Ia sering mencari ke tempat-tempat yang Ia kira didatangi Sova. Sampai hari tadi, Ia dihubungi oleh Beni bahwa Sova akan pulang. Sova menikmati pelukan pak Harun. Terasa hangat. Pelukan yang begitu lama tak Ia rasakan, pelukan seorang Ayah.
“Lina kenapa?” tanya Roy memicingkan matanya. Rasanya, pak Harun tidak terlalu mengenal Lina sehingga Ia bisa berpendapat tentang siapa wanita itu. “Ah, sudahlah. Mungkin nanti pak Beni yang akan menceritakannya langsung. Ayah takut salah,” putus pak Harun pada akhirnya. Roy tak memaksa. Ia tak begitu ingin mendengar kejelekan Lina dari pak Harun, orang yang jelas-jelas tak terlalu dekat dengan Lina dan Beni. Mereka pun makan dengan tenang, menikmati hidangan soto betawi yang sebelumnya sudah dipesan oleh Sova. Rasanya, sudah lama Ia tak menikmati soto betawi yang menurutnya sangat nikmat seperti yang ada di sini. “Bagaimana kabar bu Devi?” Tiba-tiba pertanyaan Roy memecah keheningan. Sebenarnya lelaki itu sudah tahu semua hal yang terjadi di Indonesia saat Ia tak ada, tapi Ia ingin mendengar cerita menurut versi pak Harun. Pak Harun langsung meletakkan sendoknya. Ia menarik nafas berat, sebelum akhirnya Ia berkata “Ya, keadaannya belum membaik.” Setelah mengatakan itu, Ia pun ke
"Jadi benar?" desis Roy. Matanya masih menatap hampir tak berkedip pada rekaman-rekaman yang sedang terputar di sana. "Apanya Kang?" tanya Sova saat Ia melihat wajah tegang suaminya. "Akang, benar apanya?" tanya Sova sekali lagi, karena Ia tak mendapatkan jawaban apapun dari Roy. "Akang sudah salah menilai, Sayang." Roy menatap Sova seraya mengelus pipi wanita itu, meminta kekuatan dalam hatinya. "Menilai apa?" tanya Sova. Namun, lagi-lagi Roy tak memberinya jawaban. Sova mencebik, kesal karena merasa diabaikan. Bukankah Ia yang seharusnya masih marah dan mendiamkan Roy? Kenapa malah terjadi hal sebaliknya? Sova mengambil ponsel miliknya dari tangan Roy, penasaran dengan apa yang dilihat oleh suaminya. Sedangkan Roy, Ia tak lagi berusaha mengambil lagi ponsel tersebut. Semua kejadian dimana Lina datang sampai Ia membawa Dania pergi, terekam jelas oleh CCTV yang terkoneksi dengan ponsel Sova. Sedangkan, di CCTV rumah yang sengaja Ia pasang, tak ada satu pun bayangan Lina masuk ke
"Apa maksudnya, Kang? Masa pak Beni resign? Mbak Hilda gimana? Mana mbak Hilda?" tanya Sova beruntun. "Mereka memfitnah Lina. Padahal, Beni... ah, entahlah. Apa dia sedang dekat dengan Hilda? Jadi dia selingkuh?" desis Roy namun masih bisa didengar oleh Sova. "Rupanya ini karena mbak Lina? Selingkuh? Benarkah? Jadi, mereka menjebakku agar mau menerima mbak Dania di rumah ini?" tanya Sova sangat lirih, namun masih jelas terdengar oleh Roy. "Apa? Jadi mereka yang memintamu untuk memasukkan Dania ke rumah? Memintamu untuk menerima Dania di rumah ini?" tanya Roy seraya menatap Sova, mencari kebenaran di kedalaman mata istrinya. "Emmhhh... iya, Kang." Sova akhirnya jujur akan hal yang tak Ia bicarakan kepada Roy. Bahkan, Ia cenderung melakukan hal itu di belakang Roy. Roy menyugar rambutnya frustasi. Kesalahan adalah kata yang tepat untuk apa yang telah dilakukan Sova, itu menurut Roy. "Tapi kenapa? Kenapa kamu lakukan itu semua, Sayang? Kau undang penyakit ke dalam rumah tangga kit
Roy tak peduli saat Hilda mengejar Beni untuk keluar dari sana. Ia segera melangkahkan kakinya menuju lift. Ia berniat untuk menyusul Sova, membiarkan masalah Dania diurus oleh anak buahnya, sedangkan dia hanya akan menyelesaikan masalahnya dengan Sova. Roy hendak meraih handle pintu saat pintu itu terbuka dari dalam. Di hadapannya ada suster Rina yang membawa botol susu bekas pakai. "Sus, biarkan kami dulu ya. Nanti kalau kami perlu, baru akan Saya panggil lagi," ucap Roy dengan tatapan mengintimidasi. Dia tak ingin terganggu oleh orang lain saat sedang bicara dengan Sova. "Emmhhh," Suster Rina menoleh ke dalam, memastikan keadaan Rafa baik-baik saja. "Tapi Pak... " tolak Suster Rina, berusaha memberikan argumen. "Enggak ada tapi-tapian... " kesal Roy saat perawat yang Ia pekerjakan hendak menolak titahnya. "Ba... baik, Pak," sahutnya cepat, kemudian berlalu dari kamar tersebut. Sova yang begitu serius mengurusi Rafa,
SLTC 103"Ada apa?" tanya Roy setelah Beni duduk di sebrangnya. "Maafkan Saya, Pak. Tapi Saya enggak tahu lagi harus berbuat apa," ucap Beni membuat Roy mengerutkan keningnya. "Katakanlah!" titah Roy seraya memandangi Beni lebih seksama. Ia curiga akan ada hal tak beres yang diceritakan oleh Beni. "Saya sangat mencintai Lina," ucap Beni pada akhirnya. "Lantas?" tanya Roy merasa apa yang disampaikan oleh Beni bukanlah poin utamanya. Beni hanya diam. Lelaki yang telah lama mengabdi pada Roy itu tak lagi mengatakan apapun, membuat Roy tak sabar. "Jangan bilang gara-gara Lina belum juga hamil, kamu berniat poligami. Begitu?" tanya Roy membuat Beni mengangkat wajahnya kaget, menatap Roy dengan tatapan tak percaya. "Tuh kan, ketebak." Roy terkekeh seraya geleng-geleng kepala. "Bukan Pak Bos, bukan itu," ucap Beni buru-buru. "Jangan berkilah, Ben. Apa kurangnya Lina sampai-sampai kamu tega mau menduakannya? Apa kau sudah menemukan perempuan lain? Apa kau sudah memberi tahu Lina renc
SLTC 102Roy masih tertegun setelah mendengar ucapan Sova barusan. Ia berpikir jika apa yang dikatakan Sova sangat masuk akal dan memungkinkan dan memiliki nilai kebenaran. "Apa benar seperti apa yang istriku bilang, Ben?" tanya Roy benar-benar meminta pendapat. "Menurutku demikian," sahut Beni membuat Roy kaget. Roy tak menyangka jika jawaban Beni begitu singkat, padat dan langsung pada point nya. "Ya sudah, ayo kita kembali ke ruang kerja!" ajak Roy. "Ben, Aku mengizinkanmu untuk membongkar makam Dania dan mengambil sampel dna-nya, untuk dites dan dibandingkan dengan DNA perempuan itu, " ucap Roy tiba-tiba.Beni yang sedang memikirkan baik-baik apa yang dilaporkan oleh anak buahnya tadi tentang Lina, tak mendengar apa yang diucapkan oleh Roy. Bahkan pandangan Beni nampak kosong di hadapan Roy."Ben" Ucap Roy lagi seraya menepuk pundaknya cukup keras. "Ada apa?" teriak Beni Karena ia merasa kaget dengan tepukan di bahunya."Sejak kapan kamu hobi melamun?" Ucap Roy yang sebenarny
Mata Roy berkilat merah. Ia begitu marah dengan apa yang disampaikan oleh anak buahnya barusan. "Jaga kedua tua bangka ini, jangan sampai mereka berdua kabur!" titah Roy membuat semua orang yang berada di sana saling melemparkan pandangan. "Siapa yang kau sebut dengan tua bangka?! " teriak Pak Tejo dengan geram. Namun, Roy tak mendengarkannya sama sekali. Ia terus melenggang pergi, keluar dari ruang kerja. Beni mengikuti Roy dengan segera. ia belum tahu apa yang terjadi, namun Ia tak merecoki Roy dengan berbagai macam pertanyaan. Saat tiba di kamar tamu, Roy langsung masuk ke dalam kamar dengan pintu yang memang sudah terbuka. Begitupun dengan Beni, Ia langsung ikut masuk ke dalam kamar dan mendapati kesalahan apa yang telah terjadi. "Mana dia? " tanya Roy dengan mata yang masih berkilat merah."A... Ampun Tuan! Kami tidak tahu, kami betul-betul tidak tahu! " ucap anak buah Roy yang seharusnya ditugaskan berjaga di sana.Saat Roy dan Beni keluar dari ruang kerja tadi, sebenarnya
"Ap...pa maksudmu?" Tanya Pak Tejo tergagap."Sudah jelas saya katakan barusan bahwa Anda berdua tidak mengenali siapa Dania. Anda berdua sudah abai kepadanya dari dulu Lalu, kenapa sekarang kalian begitu mati-matian membela? Itu karena anda hanya menginginkan harta milik Roy dan kalian tidak mengenali yang mana anak kalian. " Hilda mengatakan hal itu dengan tenggebu-gebu. Ia puas karena telah mengeluarkan unek-uneknya selama ini terhadap Pak Tejo dan istrinya. Sedari Dulu, Ia selalu menjadi tumpuan bagi Dania. Bahkan, seringkali ia membagi uang sakunya untuk Dania meskipun Dania sendiri menolaknya."Jangan berburuk sangka kamu sama kami, Roy. Siapa lagi yang akan menyayangi Dania selain daripada kami, hah? " ucap Bu Tejo seraya memalingkan mukanya. Ia Sedikit lega karena dari perkataan Hilda, menyiratkan bahwa wanita tersebut bukan mencurigai tentang siapa Dania, tetapi mencurigai bahwa dirinya tidak begitu memperhatikan Dania saja. "Ya Sudahlah, jangan terlalu diperpanjang. Sekar
SLTC 99"Pelakor miskin sepertimu tak perlu ikut bicara! Tak ada kepatutan dari setiap ucapanmu," hardik pak Tejo dengan mata nyalang. "Jangan pernah menghina istriku! Wanita yang kau sebut miskin ini adalah is-tri-ku. Camkan itu!" sahut Roy membalas tatapan nyalang pak Tejo seraya menunjuk tepat ke arah wajahnya. "Jangan lupa kalau istrimu adalah Dania. Hanya Dania," teriak bu Tejo dengan mata melotot. "Dan ya... selama pernikahanku dengan mendiang Dania, Saya baru ingat bahwa kalian tak pernah peduli padanya. Hanya jika kalian menginginkan sesuatu, maka kalian akan mencari istriku, Dania. Tapi sekarang apa? Kalian begitu membabi buta membela Dania. Ada apa sebenarnya?" tanya Roy dengan raut wajah sinis. Pasangan suami istri lanjut usia itu pun menelan salivanya, kaget dengan tuduhan yang diucapkan oleh Roy. Benar, karena itu memang kenyataannya. Dania kecil tak pernah mendapatkan kasih sayang seperti yang mereka limpahkan pada Rania, anak kandung mereka yang hadir setelah bebera
SLTC 98"Siapa?" semua orang bertanya dengan serempak. "Hemmhhh... " Sova menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. "Siapa?" tanya Roy sekali lagi. Sova meliriknya, kemudian memalingkan lagi mukanya dari Roy. "Coba kalian ingat-ingat, apa selama ini kalian bertemu... "Brakkk... Tiba-tiba pintu ruang kerja tersebut dibuka dengan kasar. Nampak pak Tejo mengepalkan tangannya seraya mencari sosok Roy. "Ada apa?" tanya Roy berdiri menghadap ke arah pak Tejo. Akhirnya, tanpa bersusah payah mencari keberadaan Roy, lelaki yang pernah menjadi menantunya itu berdiri dengan sendirinya, memudahkan Ia untuk menemukan Roy. Pak Tejo langsung meringsek masuk dan langkahnya mengarah pada Roy. Ia sudah bersiap untuk menghantamkan bogem mentah kepada lelaki yang kini berstatus sebagai suami Sova itu. "Dasar b****at!" Langkahnya ditahan oleh Beni dan Hari yang langsung