3 Bulan kemudianRoy mendorong Sova yang menduduki kursi roda dengan sangat hati-hati. Ini hari pertama bagi mereka berdua untuk kembali menghirup udara Jakarta setelah beberapa bulan ini mereka mendapatkan perawatan intensif di negri singa. “Akang, tuh lihat! Semuanya ngelihatin Aku, enggak enak banget, malu!” cebik Sova seraya menunduk dan menutup wajahnya dengan tas yang Ia bawa. “Aku kan bisa jalan,” keluhnya lagi dengan suara yang dikecilkan sebisa mungkin. “Sssttt...!!! Nikmati aja. Akang aja pegel harus jalan jauh. Kasihan yang di perut,” ucapnya membuat Sova kini terdiam tak lagi mendebat. Sova mengalihkan pandangannya ke perutnya yang kini sudah membuncit. Ia pun mengelus-elus perut, tersenyum bahagia karena bayinya kini sudah mulai memberikan tendangan-tendangan kecil. “Ya udah, demi Dede, Bunda mau dibikin malu karena pake kursi roda,” ucapnya sambil nyengir kuda. “Memangnya... kenapa mesti malu? Kamu enggak merugikan orang lain kan? Enggak berbuat salah sama or
"Suami?" Suami siapa? " tanya wanita itu seraya melirik ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari sosok suami yang disebutkan oleh Sova. “ Ibu belum mengerti juga?" tanya Sova seraya mengangkat alisnya, seolah mempertanyakan dan mencela wanita itu."Mas, Memang menantu kamu ikut?" tanya wanita itu kepada Roy dengan suara yang mendayu-dayu. Sova melirik tajam ke arah Roy seolah dia sudah bersiap untuk melahapnya. Dan ia pun mengangkat tangannya “Saya suaminya Bu, Bukan ayahnya. " Kali ini Roy memberikan senyuman termanisnya kepada wanita itu.Wanita itu terdiam sesaat, kemudian Ia pun tertawa terbahak-bahak "Enggak usah bercanda deh, Mas!” ucap wanita itu masih tertawa terbahak-bahak. "Bilang sama anak perempuanmu...", wanita itu mencondongkan badannya kepada Roy, kemudian membisikinya sesuatu “ Bilangin kalau aku, Tania sang pengusaha sukses menyukai kamu Mas, menyukai kamu dari pandangan pertama dan aku jamin hidupmu sama anakmu akan Sejahtera. " Setelah mengucapkan kalimat itu, Ia
“Ayah!” sahut Sova seraya tersenyum ramah. Ia sungguh senang melihat pak Harun dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Sova menghampiri pak Harun kemudian mengalaminya. “Sova, anakku!” Pak Harun memeluk Sova serta menitikkan air mata. Ia sempat mengira bahwa Sova melarikan diri karena sudah tak kuat menghadapi cobaan, atau parahnya diculik. Pak Harun tak berhenti mencari Sova meskipun cara mencarinya dengan melaporkan pada polisi dan mencari olehnya sendiri. Untuk laporan polisi, Ia hanya berkomunikasi dengan petugas yang sudah bekerjasama melindungi Sova, berdasarkan permintaan dan laporan Beni. Jadi, pak Harun tak pernah mendapatkan kabar apapun dari polisi selain bahwa mereka kehilangan jejak. Sedangkan, pencariannya oleh diri sendiri, Ia sering mencari ke tempat-tempat yang Ia kira didatangi Sova. Sampai hari tadi, Ia dihubungi oleh Beni bahwa Sova akan pulang. Sova menikmati pelukan pak Harun. Terasa hangat. Pelukan yang begitu lama tak Ia rasakan, pelukan seorang Ayah.
“Lina kenapa?” tanya Roy memicingkan matanya. Rasanya, pak Harun tidak terlalu mengenal Lina sehingga Ia bisa berpendapat tentang siapa wanita itu. “Ah, sudahlah. Mungkin nanti pak Beni yang akan menceritakannya langsung. Ayah takut salah,” putus pak Harun pada akhirnya. Roy tak memaksa. Ia tak begitu ingin mendengar kejelekan Lina dari pak Harun, orang yang jelas-jelas tak terlalu dekat dengan Lina dan Beni. Mereka pun makan dengan tenang, menikmati hidangan soto betawi yang sebelumnya sudah dipesan oleh Sova. Rasanya, sudah lama Ia tak menikmati soto betawi yang menurutnya sangat nikmat seperti yang ada di sini. “Bagaimana kabar bu Devi?” Tiba-tiba pertanyaan Roy memecah keheningan. Sebenarnya lelaki itu sudah tahu semua hal yang terjadi di Indonesia saat Ia tak ada, tapi Ia ingin mendengar cerita menurut versi pak Harun. Pak Harun langsung meletakkan sendoknya. Ia menarik nafas berat, sebelum akhirnya Ia berkata “Ya, keadaannya belum membaik.” Setelah mengatakan itu, Ia pun ke
“Tidak. Bukan begitu maksud Ayah,” tukas pak Harun membela diri. Ia memang tidak berniat untuk menghancurkan hubungan baik antara Roy dan Beni. Justru Ia ingin mengatakan kepada Roy bahwa Lina sepertinya bukan yang terbaik untuk Beni. “Lantas, Apa maksud Anda pak Harun?” Roy menekan setiap kata yang Ia ucapkan seraya mengernyitkan mukanya, berharap ada jawaban yang bisa memuaskan hatinya dari Pak Harun. “Entahlah, apakah maksud Ayah baik atau tidak di mata Roy, tapi di dalam hati, Ayah hanya ingin mengungkapkan apa yang Ayah lihat. Ayah hanya ingat jasa-jasa Pak Beni kepada Ayah.” Pak Harun seolah menerawang ke belakang, mengingat apa yang terjadi saat Ia tak berdaya dalam keadaan sakit. “Kalau pak Harun ingat akan jasa Beni, mengapa sekarang seolah ingin membuat Beni hancur?” Roy tersenyum mengejek. “Maksud pak Harun ingin memecah belah hubungan antara Beni dan Lina kan? Rasanya Anda salah alamat!” Roy kini betul-betul memantik rokoknya dengan pemantik yang sudah ia siapkan. Ia pu
Roy menjalankan mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Ia menatap fokus ke jalanan yang sedang padat dengan kendaraan, bahkan saling salip seperti dirinya. Roy berhenti saat berada di lampu merah. Ia menunggu lampu berubah menjadi hijau dengan harap-harap cemas. Pengorbanan Sari rupanya membuahkan hasil karena saat ini polisi sudah menuju TKP dan melakukan penyergapan. Tinnnn... Roy menekan klaksonnya cukup lama saat lampu baru berubah menjadi hijau. Sedan putih yang berada tepat di depannya tak juga melaju. Tak cukup waktu lama, mobil-mobil yang terjebak di belakang mobil Roy pun kini melakukan hal yang sama karena Sedan putih itu tak juga melaju. “Woy, maju!”Beberapa orang meneriaki sang pengendara mobil yang seolah tak mau mendengar keluhan mereka yang ada di belakangnya. Beberapa kendaraan yang ingin berbelok dan masuk ke jalur sebelah kanannya pun tak bisa melakukan hal tersebut karena di jalur kanan pun padat dengan mobil yang tak mau me
Roy terus mengejar taxi yang saat ini menuju ke wilayah pusat. Hatinya ketar-ketir, tak karuan melihat sosok wanita yang selama ini begitu dekat dalam kehidupannya. Tinn... tinn... Tanpa segan, Roy menyalip zigzag dan mengklakson setiap kendaraan yang menghalangi pandangannya terhadap taxi biru yang membawa wanita itu. “Aaggghhh...!” Roy memukul setir cukup keras karena Ia kembali disalip oleh mobil SUV hitam. Mobil yang jauh lebih tinggi dan menghalangi jarak pandangnya. Roy kembali mengklakson SUV hitam itu, membuat pemilik mobil cukup berang dengan kelakuan Roy. Namun, tak ayal pula bahwa mobil itu agak menepi, memberi jalan untuk Roy menyalipnya.Roy faham dengan tindakan pemilik SUV hitam itu, kemudian Ia pun segera menancap gas untuk menyalip. Namun, saat Roy hampir sejajar dengan mobil itu, tiba-tiba SUV hitam itu menginjak gas dan tak memberi Roy jalan. Ia mempermainkan Roy karena kesal dengan klakson yang dibunyikan oleh Roy terus menerus. “S**t!” keluh Roy, namu
Roy melirik tajam ke arah para pengawal yang hanya bisa menatap kepergiannya. Ia segera menutup pintu mobil dengan cukup kencang sebagai tanda bahwa Ia marah dan tak suka dengan perlakuan mereka. Meskipun di dalam hatinya Ia mengaku salah, tapi Ia tak mau memperlihatkan sisi lemah di hadapan para pengawal Heru, teman yang ada karena kepentingan. Roy melajukan kembali mobilnya. Dalam keadaan marah seperti itu, rasanya Ia ingin mengendarai mobil yang mengeluarkan polusi dari knalpotnya. Sepertinya Ia akan sedikit merasa puas jika para pengawal yang sedang tertunduk seraya menatap kepergiannya saat ini, terkena kepulan asap knlapot. Untung saja, mobil yang Ia kendarai bebas polusi sehingga Ia tak bisa memenuhi hasrat buruknya itu. Roy segera mengotak-atik sambungan bluetooth dari ponselnya, kemudian Ia menghubungi Beni. Tut... “Halo, Bos!” baru satu panggilan berbunyi, Beni sigap mengangkat sambungan telepon dari Roy. “Ben, awasi kediaman Heru! Pastikan, apakah Dania ada di san