“Tidak. Bukan begitu maksud Ayah,” tukas pak Harun membela diri. Ia memang tidak berniat untuk menghancurkan hubungan baik antara Roy dan Beni. Justru Ia ingin mengatakan kepada Roy bahwa Lina sepertinya bukan yang terbaik untuk Beni. “Lantas, Apa maksud Anda pak Harun?” Roy menekan setiap kata yang Ia ucapkan seraya mengernyitkan mukanya, berharap ada jawaban yang bisa memuaskan hatinya dari Pak Harun. “Entahlah, apakah maksud Ayah baik atau tidak di mata Roy, tapi di dalam hati, Ayah hanya ingin mengungkapkan apa yang Ayah lihat. Ayah hanya ingat jasa-jasa Pak Beni kepada Ayah.” Pak Harun seolah menerawang ke belakang, mengingat apa yang terjadi saat Ia tak berdaya dalam keadaan sakit. “Kalau pak Harun ingat akan jasa Beni, mengapa sekarang seolah ingin membuat Beni hancur?” Roy tersenyum mengejek. “Maksud pak Harun ingin memecah belah hubungan antara Beni dan Lina kan? Rasanya Anda salah alamat!” Roy kini betul-betul memantik rokoknya dengan pemantik yang sudah ia siapkan. Ia pu
Roy menjalankan mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Ia menatap fokus ke jalanan yang sedang padat dengan kendaraan, bahkan saling salip seperti dirinya. Roy berhenti saat berada di lampu merah. Ia menunggu lampu berubah menjadi hijau dengan harap-harap cemas. Pengorbanan Sari rupanya membuahkan hasil karena saat ini polisi sudah menuju TKP dan melakukan penyergapan. Tinnnn... Roy menekan klaksonnya cukup lama saat lampu baru berubah menjadi hijau. Sedan putih yang berada tepat di depannya tak juga melaju. Tak cukup waktu lama, mobil-mobil yang terjebak di belakang mobil Roy pun kini melakukan hal yang sama karena Sedan putih itu tak juga melaju. “Woy, maju!”Beberapa orang meneriaki sang pengendara mobil yang seolah tak mau mendengar keluhan mereka yang ada di belakangnya. Beberapa kendaraan yang ingin berbelok dan masuk ke jalur sebelah kanannya pun tak bisa melakukan hal tersebut karena di jalur kanan pun padat dengan mobil yang tak mau me
Roy terus mengejar taxi yang saat ini menuju ke wilayah pusat. Hatinya ketar-ketir, tak karuan melihat sosok wanita yang selama ini begitu dekat dalam kehidupannya. Tinn... tinn... Tanpa segan, Roy menyalip zigzag dan mengklakson setiap kendaraan yang menghalangi pandangannya terhadap taxi biru yang membawa wanita itu. “Aaggghhh...!” Roy memukul setir cukup keras karena Ia kembali disalip oleh mobil SUV hitam. Mobil yang jauh lebih tinggi dan menghalangi jarak pandangnya. Roy kembali mengklakson SUV hitam itu, membuat pemilik mobil cukup berang dengan kelakuan Roy. Namun, tak ayal pula bahwa mobil itu agak menepi, memberi jalan untuk Roy menyalipnya.Roy faham dengan tindakan pemilik SUV hitam itu, kemudian Ia pun segera menancap gas untuk menyalip. Namun, saat Roy hampir sejajar dengan mobil itu, tiba-tiba SUV hitam itu menginjak gas dan tak memberi Roy jalan. Ia mempermainkan Roy karena kesal dengan klakson yang dibunyikan oleh Roy terus menerus. “S**t!” keluh Roy, namu
Roy melirik tajam ke arah para pengawal yang hanya bisa menatap kepergiannya. Ia segera menutup pintu mobil dengan cukup kencang sebagai tanda bahwa Ia marah dan tak suka dengan perlakuan mereka. Meskipun di dalam hatinya Ia mengaku salah, tapi Ia tak mau memperlihatkan sisi lemah di hadapan para pengawal Heru, teman yang ada karena kepentingan. Roy melajukan kembali mobilnya. Dalam keadaan marah seperti itu, rasanya Ia ingin mengendarai mobil yang mengeluarkan polusi dari knalpotnya. Sepertinya Ia akan sedikit merasa puas jika para pengawal yang sedang tertunduk seraya menatap kepergiannya saat ini, terkena kepulan asap knlapot. Untung saja, mobil yang Ia kendarai bebas polusi sehingga Ia tak bisa memenuhi hasrat buruknya itu. Roy segera mengotak-atik sambungan bluetooth dari ponselnya, kemudian Ia menghubungi Beni. Tut... “Halo, Bos!” baru satu panggilan berbunyi, Beni sigap mengangkat sambungan telepon dari Roy. “Ben, awasi kediaman Heru! Pastikan, apakah Dania ada di san
“Sebelah sini, Bos!” ucap Agus tanpa menghentikan langkahnya. Ia melewati jalan di samping toko mainan dan menuju sebuah rumah dua tingkat di belakangnya. Ternyata, parkiran di sana penuh meskipun hanya ada dua buah mobil. “Pantas saja Agus memintaku parkir di depan toko mainan tadi,” batin Roy seraya terus mengikuti langkah Agus. Saat memasuki rumah yang nampak rapi, Roy disambut oleh Beni dan membawanya ke sebuah ruangan belakang yang mirip dengan sebuah gudang. Di sana, nampak tiga orang berbadan tegap yang sudah babak belur. Mereka duduk bersimpuh dengan kepala terkulai lemas. “Jadi, siapa mereka? Dan rumah siapa ini?” tanya Roy seraya memindai seluruh ruangan. “Mereka... ““Dan mana bi Ais sama Sari?” tanya Roy lagi, memotong ucapan Beni. Tatapannya kini terarah kepada Beni dengan tatapan yang cukup tajam. Ia khawatir jika terjadi sesuatu pada mereka, bagaimana Ia akan menjawab pertanyaan Sova nantinya? “Sari sama bi Ais baik-baik saja, Bos. Mereka berdua sudah di ru
“Ya, Bos!” sahut Beni saat Ia sudah berdiri di belakang Roy yang kini sedang berada di toko mainan. Roy mengedarkan pandangannya karena khawatir mengganggu pengunjung lain. “Jagain belanjaan Saya!” titah Roy kepada anak buahnya seraya menyerahkan satu keranjang lagi yang berisi mainan, padahal lelaki itu sudah memegangi satu keranjang yang sudah dipenuhi mainan. Roy mengajak Beni keluar dari toko, masuk ke dalam mobil. Sedangkan di toko sendiri, pelayan yang sedari tadi memperhatikan Roy, hatinya mendumel karena mengira bahwa Roy hanya mengacak-acak dan mempermainkan mereka. “Jadi, gimana tanggapan mereka?” tanya Roy to the point. “Mereka?” tanya Beni. Ia mengulang kata yang diucapkan oleh Roy karena tak paham dengan maksud kata mereka. “Ke tiga orang yang di dalam!” tegas Roy. “Ah, ya.” Beni tertawa lirih, menertawakan kebodohannya sendiri. “Mereka bilang mau ikut kita,” ucap Beni. Ia tak menyangka bahwa pekerjaannya yang ingin menemukan ca
Sova menggeliat karena merasa lelah dengan tidurnya. Ya, Ia lelah karena berbulan-bulan Ia selalu berada di atas ranjang. Tangan Sova meraba-raba ranjang di sebelahnya yang terasa tak berpenghuni. Ia membolak-balikan tangan dan tetap tak menemukan sosok tubuh lain yang tidur di sampingnya. Sova segera membuka mata, melihat ke arah dimana seharusnya Roy berada. Nihil. Suaminya tak Ia temukan brada di sisinya. “Kang!” panggilnya. “Akang...!” panggil Sova lagi lebih keras. Namun, tetap tak ada jawaban apapun dari Roy. Sova segera bangkit. Ia duduk seraya berusaha menyeimbangkan kesadarannya setelah tidur lelap. Ia melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. “Astaghfirullah!” ucapnya seraya bangkit dan berlalu ke kamar mandi. Ia bersegera menunaikan kewajibannya, kemudian Ia kembali mencari keberadaan Roy. “Akang!” panggil Sova menyusuri rumah yang nampak sepi. Bahkan, pak Harun pun sudah tak nampak lagi di rumahnya. “Kemana sih Akang?” keluh Sova berta
“Hallo Roy!” Roy tak langsung berbalik saat mendengar suara wanita yang selama bertahun-tahun sudah menemaninya. Hanya saja, suaranya terdengar lebih lembut dan sendu. Tapi, mirip. “Sebegitu tak bahagiakah kamu saat bertemu denganku? Sampai-sampai, menengok pun kamu tak mau, Sayang!” ucapnya lagi membuat Roy mengumpulkan keberanian untuk berbalik dan menatap wanita itu. Roy menahan gemuruh di dadanya. Gemuruh yang sudah berbeda rasa, namun tetap tak membuatnya merasa tenang. Dengan perasaan bercampur aduk, Roy segera berbalik dan mendapati Dan ia berdiri di hadapannya. Dania, Ia mengenakan pakaian yang persis sama dengan wanita yang tadi pagi Ia lihat keberadaannya di jalan. “Roy!” panggilnya dengan tangisan yang tertahan. “Dania?” Akhirnya, nama itu Roy ucapkan dengan sedikit terbata. Lelaki itu tak menyangka akan melihat keberadaan Dan ia di sini, saat ini, saat Ia sudah menemukan tambatan hati yang lain. Padahal, bertahun-tahun lamanya Roy bertahan dengan kesendirian. “Apa k
"Jadi benar?" desis Roy. Matanya masih menatap hampir tak berkedip pada rekaman-rekaman yang sedang terputar di sana. "Apanya Kang?" tanya Sova saat Ia melihat wajah tegang suaminya. "Akang, benar apanya?" tanya Sova sekali lagi, karena Ia tak mendapatkan jawaban apapun dari Roy. "Akang sudah salah menilai, Sayang." Roy menatap Sova seraya mengelus pipi wanita itu, meminta kekuatan dalam hatinya. "Menilai apa?" tanya Sova. Namun, lagi-lagi Roy tak memberinya jawaban. Sova mencebik, kesal karena merasa diabaikan. Bukankah Ia yang seharusnya masih marah dan mendiamkan Roy? Kenapa malah terjadi hal sebaliknya? Sova mengambil ponsel miliknya dari tangan Roy, penasaran dengan apa yang dilihat oleh suaminya. Sedangkan Roy, Ia tak lagi berusaha mengambil lagi ponsel tersebut. Semua kejadian dimana Lina datang sampai Ia membawa Dania pergi, terekam jelas oleh CCTV yang terkoneksi dengan ponsel Sova. Sedangkan, di CCTV rumah yang sengaja Ia pasang, tak ada satu pun bayangan Lina masuk ke
"Apa maksudnya, Kang? Masa pak Beni resign? Mbak Hilda gimana? Mana mbak Hilda?" tanya Sova beruntun. "Mereka memfitnah Lina. Padahal, Beni... ah, entahlah. Apa dia sedang dekat dengan Hilda? Jadi dia selingkuh?" desis Roy namun masih bisa didengar oleh Sova. "Rupanya ini karena mbak Lina? Selingkuh? Benarkah? Jadi, mereka menjebakku agar mau menerima mbak Dania di rumah ini?" tanya Sova sangat lirih, namun masih jelas terdengar oleh Roy. "Apa? Jadi mereka yang memintamu untuk memasukkan Dania ke rumah? Memintamu untuk menerima Dania di rumah ini?" tanya Roy seraya menatap Sova, mencari kebenaran di kedalaman mata istrinya. "Emmhhh... iya, Kang." Sova akhirnya jujur akan hal yang tak Ia bicarakan kepada Roy. Bahkan, Ia cenderung melakukan hal itu di belakang Roy. Roy menyugar rambutnya frustasi. Kesalahan adalah kata yang tepat untuk apa yang telah dilakukan Sova, itu menurut Roy. "Tapi kenapa? Kenapa kamu lakukan itu semua, Sayang? Kau undang penyakit ke dalam rumah tangga kit
Roy tak peduli saat Hilda mengejar Beni untuk keluar dari sana. Ia segera melangkahkan kakinya menuju lift. Ia berniat untuk menyusul Sova, membiarkan masalah Dania diurus oleh anak buahnya, sedangkan dia hanya akan menyelesaikan masalahnya dengan Sova. Roy hendak meraih handle pintu saat pintu itu terbuka dari dalam. Di hadapannya ada suster Rina yang membawa botol susu bekas pakai. "Sus, biarkan kami dulu ya. Nanti kalau kami perlu, baru akan Saya panggil lagi," ucap Roy dengan tatapan mengintimidasi. Dia tak ingin terganggu oleh orang lain saat sedang bicara dengan Sova. "Emmhhh," Suster Rina menoleh ke dalam, memastikan keadaan Rafa baik-baik saja. "Tapi Pak... " tolak Suster Rina, berusaha memberikan argumen. "Enggak ada tapi-tapian... " kesal Roy saat perawat yang Ia pekerjakan hendak menolak titahnya. "Ba... baik, Pak," sahutnya cepat, kemudian berlalu dari kamar tersebut. Sova yang begitu serius mengurusi Rafa,
SLTC 103"Ada apa?" tanya Roy setelah Beni duduk di sebrangnya. "Maafkan Saya, Pak. Tapi Saya enggak tahu lagi harus berbuat apa," ucap Beni membuat Roy mengerutkan keningnya. "Katakanlah!" titah Roy seraya memandangi Beni lebih seksama. Ia curiga akan ada hal tak beres yang diceritakan oleh Beni. "Saya sangat mencintai Lina," ucap Beni pada akhirnya. "Lantas?" tanya Roy merasa apa yang disampaikan oleh Beni bukanlah poin utamanya. Beni hanya diam. Lelaki yang telah lama mengabdi pada Roy itu tak lagi mengatakan apapun, membuat Roy tak sabar. "Jangan bilang gara-gara Lina belum juga hamil, kamu berniat poligami. Begitu?" tanya Roy membuat Beni mengangkat wajahnya kaget, menatap Roy dengan tatapan tak percaya. "Tuh kan, ketebak." Roy terkekeh seraya geleng-geleng kepala. "Bukan Pak Bos, bukan itu," ucap Beni buru-buru. "Jangan berkilah, Ben. Apa kurangnya Lina sampai-sampai kamu tega mau menduakannya? Apa kau sudah menemukan perempuan lain? Apa kau sudah memberi tahu Lina renc
SLTC 102Roy masih tertegun setelah mendengar ucapan Sova barusan. Ia berpikir jika apa yang dikatakan Sova sangat masuk akal dan memungkinkan dan memiliki nilai kebenaran. "Apa benar seperti apa yang istriku bilang, Ben?" tanya Roy benar-benar meminta pendapat. "Menurutku demikian," sahut Beni membuat Roy kaget. Roy tak menyangka jika jawaban Beni begitu singkat, padat dan langsung pada point nya. "Ya sudah, ayo kita kembali ke ruang kerja!" ajak Roy. "Ben, Aku mengizinkanmu untuk membongkar makam Dania dan mengambil sampel dna-nya, untuk dites dan dibandingkan dengan DNA perempuan itu, " ucap Roy tiba-tiba.Beni yang sedang memikirkan baik-baik apa yang dilaporkan oleh anak buahnya tadi tentang Lina, tak mendengar apa yang diucapkan oleh Roy. Bahkan pandangan Beni nampak kosong di hadapan Roy."Ben" Ucap Roy lagi seraya menepuk pundaknya cukup keras. "Ada apa?" teriak Beni Karena ia merasa kaget dengan tepukan di bahunya."Sejak kapan kamu hobi melamun?" Ucap Roy yang sebenarny
Mata Roy berkilat merah. Ia begitu marah dengan apa yang disampaikan oleh anak buahnya barusan. "Jaga kedua tua bangka ini, jangan sampai mereka berdua kabur!" titah Roy membuat semua orang yang berada di sana saling melemparkan pandangan. "Siapa yang kau sebut dengan tua bangka?! " teriak Pak Tejo dengan geram. Namun, Roy tak mendengarkannya sama sekali. Ia terus melenggang pergi, keluar dari ruang kerja. Beni mengikuti Roy dengan segera. ia belum tahu apa yang terjadi, namun Ia tak merecoki Roy dengan berbagai macam pertanyaan. Saat tiba di kamar tamu, Roy langsung masuk ke dalam kamar dengan pintu yang memang sudah terbuka. Begitupun dengan Beni, Ia langsung ikut masuk ke dalam kamar dan mendapati kesalahan apa yang telah terjadi. "Mana dia? " tanya Roy dengan mata yang masih berkilat merah."A... Ampun Tuan! Kami tidak tahu, kami betul-betul tidak tahu! " ucap anak buah Roy yang seharusnya ditugaskan berjaga di sana.Saat Roy dan Beni keluar dari ruang kerja tadi, sebenarnya
"Ap...pa maksudmu?" Tanya Pak Tejo tergagap."Sudah jelas saya katakan barusan bahwa Anda berdua tidak mengenali siapa Dania. Anda berdua sudah abai kepadanya dari dulu Lalu, kenapa sekarang kalian begitu mati-matian membela? Itu karena anda hanya menginginkan harta milik Roy dan kalian tidak mengenali yang mana anak kalian. " Hilda mengatakan hal itu dengan tenggebu-gebu. Ia puas karena telah mengeluarkan unek-uneknya selama ini terhadap Pak Tejo dan istrinya. Sedari Dulu, Ia selalu menjadi tumpuan bagi Dania. Bahkan, seringkali ia membagi uang sakunya untuk Dania meskipun Dania sendiri menolaknya."Jangan berburuk sangka kamu sama kami, Roy. Siapa lagi yang akan menyayangi Dania selain daripada kami, hah? " ucap Bu Tejo seraya memalingkan mukanya. Ia Sedikit lega karena dari perkataan Hilda, menyiratkan bahwa wanita tersebut bukan mencurigai tentang siapa Dania, tetapi mencurigai bahwa dirinya tidak begitu memperhatikan Dania saja. "Ya Sudahlah, jangan terlalu diperpanjang. Sekar
SLTC 99"Pelakor miskin sepertimu tak perlu ikut bicara! Tak ada kepatutan dari setiap ucapanmu," hardik pak Tejo dengan mata nyalang. "Jangan pernah menghina istriku! Wanita yang kau sebut miskin ini adalah is-tri-ku. Camkan itu!" sahut Roy membalas tatapan nyalang pak Tejo seraya menunjuk tepat ke arah wajahnya. "Jangan lupa kalau istrimu adalah Dania. Hanya Dania," teriak bu Tejo dengan mata melotot. "Dan ya... selama pernikahanku dengan mendiang Dania, Saya baru ingat bahwa kalian tak pernah peduli padanya. Hanya jika kalian menginginkan sesuatu, maka kalian akan mencari istriku, Dania. Tapi sekarang apa? Kalian begitu membabi buta membela Dania. Ada apa sebenarnya?" tanya Roy dengan raut wajah sinis. Pasangan suami istri lanjut usia itu pun menelan salivanya, kaget dengan tuduhan yang diucapkan oleh Roy. Benar, karena itu memang kenyataannya. Dania kecil tak pernah mendapatkan kasih sayang seperti yang mereka limpahkan pada Rania, anak kandung mereka yang hadir setelah bebera
SLTC 98"Siapa?" semua orang bertanya dengan serempak. "Hemmhhh... " Sova menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. "Siapa?" tanya Roy sekali lagi. Sova meliriknya, kemudian memalingkan lagi mukanya dari Roy. "Coba kalian ingat-ingat, apa selama ini kalian bertemu... "Brakkk... Tiba-tiba pintu ruang kerja tersebut dibuka dengan kasar. Nampak pak Tejo mengepalkan tangannya seraya mencari sosok Roy. "Ada apa?" tanya Roy berdiri menghadap ke arah pak Tejo. Akhirnya, tanpa bersusah payah mencari keberadaan Roy, lelaki yang pernah menjadi menantunya itu berdiri dengan sendirinya, memudahkan Ia untuk menemukan Roy. Pak Tejo langsung meringsek masuk dan langkahnya mengarah pada Roy. Ia sudah bersiap untuk menghantamkan bogem mentah kepada lelaki yang kini berstatus sebagai suami Sova itu. "Dasar b****at!" Langkahnya ditahan oleh Beni dan Hari yang langsung