“Lina kenapa?” tanya Roy memicingkan matanya. Rasanya, pak Harun tidak terlalu mengenal Lina sehingga Ia bisa berpendapat tentang siapa wanita itu. “Ah, sudahlah. Mungkin nanti pak Beni yang akan menceritakannya langsung. Ayah takut salah,” putus pak Harun pada akhirnya. Roy tak memaksa. Ia tak begitu ingin mendengar kejelekan Lina dari pak Harun, orang yang jelas-jelas tak terlalu dekat dengan Lina dan Beni. Mereka pun makan dengan tenang, menikmati hidangan soto betawi yang sebelumnya sudah dipesan oleh Sova. Rasanya, sudah lama Ia tak menikmati soto betawi yang menurutnya sangat nikmat seperti yang ada di sini. “Bagaimana kabar bu Devi?” Tiba-tiba pertanyaan Roy memecah keheningan. Sebenarnya lelaki itu sudah tahu semua hal yang terjadi di Indonesia saat Ia tak ada, tapi Ia ingin mendengar cerita menurut versi pak Harun. Pak Harun langsung meletakkan sendoknya. Ia menarik nafas berat, sebelum akhirnya Ia berkata “Ya, keadaannya belum membaik.” Setelah mengatakan itu, Ia pun ke
“Tidak. Bukan begitu maksud Ayah,” tukas pak Harun membela diri. Ia memang tidak berniat untuk menghancurkan hubungan baik antara Roy dan Beni. Justru Ia ingin mengatakan kepada Roy bahwa Lina sepertinya bukan yang terbaik untuk Beni. “Lantas, Apa maksud Anda pak Harun?” Roy menekan setiap kata yang Ia ucapkan seraya mengernyitkan mukanya, berharap ada jawaban yang bisa memuaskan hatinya dari Pak Harun. “Entahlah, apakah maksud Ayah baik atau tidak di mata Roy, tapi di dalam hati, Ayah hanya ingin mengungkapkan apa yang Ayah lihat. Ayah hanya ingat jasa-jasa Pak Beni kepada Ayah.” Pak Harun seolah menerawang ke belakang, mengingat apa yang terjadi saat Ia tak berdaya dalam keadaan sakit. “Kalau pak Harun ingat akan jasa Beni, mengapa sekarang seolah ingin membuat Beni hancur?” Roy tersenyum mengejek. “Maksud pak Harun ingin memecah belah hubungan antara Beni dan Lina kan? Rasanya Anda salah alamat!” Roy kini betul-betul memantik rokoknya dengan pemantik yang sudah ia siapkan. Ia pu
Roy menjalankan mobil dengan kecepatan cukup tinggi. Ia menatap fokus ke jalanan yang sedang padat dengan kendaraan, bahkan saling salip seperti dirinya. Roy berhenti saat berada di lampu merah. Ia menunggu lampu berubah menjadi hijau dengan harap-harap cemas. Pengorbanan Sari rupanya membuahkan hasil karena saat ini polisi sudah menuju TKP dan melakukan penyergapan. Tinnnn... Roy menekan klaksonnya cukup lama saat lampu baru berubah menjadi hijau. Sedan putih yang berada tepat di depannya tak juga melaju. Tak cukup waktu lama, mobil-mobil yang terjebak di belakang mobil Roy pun kini melakukan hal yang sama karena Sedan putih itu tak juga melaju. “Woy, maju!”Beberapa orang meneriaki sang pengendara mobil yang seolah tak mau mendengar keluhan mereka yang ada di belakangnya. Beberapa kendaraan yang ingin berbelok dan masuk ke jalur sebelah kanannya pun tak bisa melakukan hal tersebut karena di jalur kanan pun padat dengan mobil yang tak mau me
Roy terus mengejar taxi yang saat ini menuju ke wilayah pusat. Hatinya ketar-ketir, tak karuan melihat sosok wanita yang selama ini begitu dekat dalam kehidupannya. Tinn... tinn... Tanpa segan, Roy menyalip zigzag dan mengklakson setiap kendaraan yang menghalangi pandangannya terhadap taxi biru yang membawa wanita itu. “Aaggghhh...!” Roy memukul setir cukup keras karena Ia kembali disalip oleh mobil SUV hitam. Mobil yang jauh lebih tinggi dan menghalangi jarak pandangnya. Roy kembali mengklakson SUV hitam itu, membuat pemilik mobil cukup berang dengan kelakuan Roy. Namun, tak ayal pula bahwa mobil itu agak menepi, memberi jalan untuk Roy menyalipnya.Roy faham dengan tindakan pemilik SUV hitam itu, kemudian Ia pun segera menancap gas untuk menyalip. Namun, saat Roy hampir sejajar dengan mobil itu, tiba-tiba SUV hitam itu menginjak gas dan tak memberi Roy jalan. Ia mempermainkan Roy karena kesal dengan klakson yang dibunyikan oleh Roy terus menerus. “S**t!” keluh Roy, namu
Roy melirik tajam ke arah para pengawal yang hanya bisa menatap kepergiannya. Ia segera menutup pintu mobil dengan cukup kencang sebagai tanda bahwa Ia marah dan tak suka dengan perlakuan mereka. Meskipun di dalam hatinya Ia mengaku salah, tapi Ia tak mau memperlihatkan sisi lemah di hadapan para pengawal Heru, teman yang ada karena kepentingan. Roy melajukan kembali mobilnya. Dalam keadaan marah seperti itu, rasanya Ia ingin mengendarai mobil yang mengeluarkan polusi dari knalpotnya. Sepertinya Ia akan sedikit merasa puas jika para pengawal yang sedang tertunduk seraya menatap kepergiannya saat ini, terkena kepulan asap knlapot. Untung saja, mobil yang Ia kendarai bebas polusi sehingga Ia tak bisa memenuhi hasrat buruknya itu. Roy segera mengotak-atik sambungan bluetooth dari ponselnya, kemudian Ia menghubungi Beni. Tut... “Halo, Bos!” baru satu panggilan berbunyi, Beni sigap mengangkat sambungan telepon dari Roy. “Ben, awasi kediaman Heru! Pastikan, apakah Dania ada di san
“Sebelah sini, Bos!” ucap Agus tanpa menghentikan langkahnya. Ia melewati jalan di samping toko mainan dan menuju sebuah rumah dua tingkat di belakangnya. Ternyata, parkiran di sana penuh meskipun hanya ada dua buah mobil. “Pantas saja Agus memintaku parkir di depan toko mainan tadi,” batin Roy seraya terus mengikuti langkah Agus. Saat memasuki rumah yang nampak rapi, Roy disambut oleh Beni dan membawanya ke sebuah ruangan belakang yang mirip dengan sebuah gudang. Di sana, nampak tiga orang berbadan tegap yang sudah babak belur. Mereka duduk bersimpuh dengan kepala terkulai lemas. “Jadi, siapa mereka? Dan rumah siapa ini?” tanya Roy seraya memindai seluruh ruangan. “Mereka... ““Dan mana bi Ais sama Sari?” tanya Roy lagi, memotong ucapan Beni. Tatapannya kini terarah kepada Beni dengan tatapan yang cukup tajam. Ia khawatir jika terjadi sesuatu pada mereka, bagaimana Ia akan menjawab pertanyaan Sova nantinya? “Sari sama bi Ais baik-baik saja, Bos. Mereka berdua sudah di ru
“Ya, Bos!” sahut Beni saat Ia sudah berdiri di belakang Roy yang kini sedang berada di toko mainan. Roy mengedarkan pandangannya karena khawatir mengganggu pengunjung lain. “Jagain belanjaan Saya!” titah Roy kepada anak buahnya seraya menyerahkan satu keranjang lagi yang berisi mainan, padahal lelaki itu sudah memegangi satu keranjang yang sudah dipenuhi mainan. Roy mengajak Beni keluar dari toko, masuk ke dalam mobil. Sedangkan di toko sendiri, pelayan yang sedari tadi memperhatikan Roy, hatinya mendumel karena mengira bahwa Roy hanya mengacak-acak dan mempermainkan mereka. “Jadi, gimana tanggapan mereka?” tanya Roy to the point. “Mereka?” tanya Beni. Ia mengulang kata yang diucapkan oleh Roy karena tak paham dengan maksud kata mereka. “Ke tiga orang yang di dalam!” tegas Roy. “Ah, ya.” Beni tertawa lirih, menertawakan kebodohannya sendiri. “Mereka bilang mau ikut kita,” ucap Beni. Ia tak menyangka bahwa pekerjaannya yang ingin menemukan ca
Sova menggeliat karena merasa lelah dengan tidurnya. Ya, Ia lelah karena berbulan-bulan Ia selalu berada di atas ranjang. Tangan Sova meraba-raba ranjang di sebelahnya yang terasa tak berpenghuni. Ia membolak-balikan tangan dan tetap tak menemukan sosok tubuh lain yang tidur di sampingnya. Sova segera membuka mata, melihat ke arah dimana seharusnya Roy berada. Nihil. Suaminya tak Ia temukan brada di sisinya. “Kang!” panggilnya. “Akang...!” panggil Sova lagi lebih keras. Namun, tetap tak ada jawaban apapun dari Roy. Sova segera bangkit. Ia duduk seraya berusaha menyeimbangkan kesadarannya setelah tidur lelap. Ia melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. “Astaghfirullah!” ucapnya seraya bangkit dan berlalu ke kamar mandi. Ia bersegera menunaikan kewajibannya, kemudian Ia kembali mencari keberadaan Roy. “Akang!” panggil Sova menyusuri rumah yang nampak sepi. Bahkan, pak Harun pun sudah tak nampak lagi di rumahnya. “Kemana sih Akang?” keluh Sova berta