Roy melirik tajam ke arah para pengawal yang hanya bisa menatap kepergiannya. Ia segera menutup pintu mobil dengan cukup kencang sebagai tanda bahwa Ia marah dan tak suka dengan perlakuan mereka. Meskipun di dalam hatinya Ia mengaku salah, tapi Ia tak mau memperlihatkan sisi lemah di hadapan para pengawal Heru, teman yang ada karena kepentingan. Roy melajukan kembali mobilnya. Dalam keadaan marah seperti itu, rasanya Ia ingin mengendarai mobil yang mengeluarkan polusi dari knalpotnya. Sepertinya Ia akan sedikit merasa puas jika para pengawal yang sedang tertunduk seraya menatap kepergiannya saat ini, terkena kepulan asap knlapot. Untung saja, mobil yang Ia kendarai bebas polusi sehingga Ia tak bisa memenuhi hasrat buruknya itu. Roy segera mengotak-atik sambungan bluetooth dari ponselnya, kemudian Ia menghubungi Beni. Tut... “Halo, Bos!” baru satu panggilan berbunyi, Beni sigap mengangkat sambungan telepon dari Roy. “Ben, awasi kediaman Heru! Pastikan, apakah Dania ada di san
“Sebelah sini, Bos!” ucap Agus tanpa menghentikan langkahnya. Ia melewati jalan di samping toko mainan dan menuju sebuah rumah dua tingkat di belakangnya. Ternyata, parkiran di sana penuh meskipun hanya ada dua buah mobil. “Pantas saja Agus memintaku parkir di depan toko mainan tadi,” batin Roy seraya terus mengikuti langkah Agus. Saat memasuki rumah yang nampak rapi, Roy disambut oleh Beni dan membawanya ke sebuah ruangan belakang yang mirip dengan sebuah gudang. Di sana, nampak tiga orang berbadan tegap yang sudah babak belur. Mereka duduk bersimpuh dengan kepala terkulai lemas. “Jadi, siapa mereka? Dan rumah siapa ini?” tanya Roy seraya memindai seluruh ruangan. “Mereka... ““Dan mana bi Ais sama Sari?” tanya Roy lagi, memotong ucapan Beni. Tatapannya kini terarah kepada Beni dengan tatapan yang cukup tajam. Ia khawatir jika terjadi sesuatu pada mereka, bagaimana Ia akan menjawab pertanyaan Sova nantinya? “Sari sama bi Ais baik-baik saja, Bos. Mereka berdua sudah di ru
“Ya, Bos!” sahut Beni saat Ia sudah berdiri di belakang Roy yang kini sedang berada di toko mainan. Roy mengedarkan pandangannya karena khawatir mengganggu pengunjung lain. “Jagain belanjaan Saya!” titah Roy kepada anak buahnya seraya menyerahkan satu keranjang lagi yang berisi mainan, padahal lelaki itu sudah memegangi satu keranjang yang sudah dipenuhi mainan. Roy mengajak Beni keluar dari toko, masuk ke dalam mobil. Sedangkan di toko sendiri, pelayan yang sedari tadi memperhatikan Roy, hatinya mendumel karena mengira bahwa Roy hanya mengacak-acak dan mempermainkan mereka. “Jadi, gimana tanggapan mereka?” tanya Roy to the point. “Mereka?” tanya Beni. Ia mengulang kata yang diucapkan oleh Roy karena tak paham dengan maksud kata mereka. “Ke tiga orang yang di dalam!” tegas Roy. “Ah, ya.” Beni tertawa lirih, menertawakan kebodohannya sendiri. “Mereka bilang mau ikut kita,” ucap Beni. Ia tak menyangka bahwa pekerjaannya yang ingin menemukan ca
Sova menggeliat karena merasa lelah dengan tidurnya. Ya, Ia lelah karena berbulan-bulan Ia selalu berada di atas ranjang. Tangan Sova meraba-raba ranjang di sebelahnya yang terasa tak berpenghuni. Ia membolak-balikan tangan dan tetap tak menemukan sosok tubuh lain yang tidur di sampingnya. Sova segera membuka mata, melihat ke arah dimana seharusnya Roy berada. Nihil. Suaminya tak Ia temukan brada di sisinya. “Kang!” panggilnya. “Akang...!” panggil Sova lagi lebih keras. Namun, tetap tak ada jawaban apapun dari Roy. Sova segera bangkit. Ia duduk seraya berusaha menyeimbangkan kesadarannya setelah tidur lelap. Ia melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. “Astaghfirullah!” ucapnya seraya bangkit dan berlalu ke kamar mandi. Ia bersegera menunaikan kewajibannya, kemudian Ia kembali mencari keberadaan Roy. “Akang!” panggil Sova menyusuri rumah yang nampak sepi. Bahkan, pak Harun pun sudah tak nampak lagi di rumahnya. “Kemana sih Akang?” keluh Sova berta
“Hallo Roy!” Roy tak langsung berbalik saat mendengar suara wanita yang selama bertahun-tahun sudah menemaninya. Hanya saja, suaranya terdengar lebih lembut dan sendu. Tapi, mirip. “Sebegitu tak bahagiakah kamu saat bertemu denganku? Sampai-sampai, menengok pun kamu tak mau, Sayang!” ucapnya lagi membuat Roy mengumpulkan keberanian untuk berbalik dan menatap wanita itu. Roy menahan gemuruh di dadanya. Gemuruh yang sudah berbeda rasa, namun tetap tak membuatnya merasa tenang. Dengan perasaan bercampur aduk, Roy segera berbalik dan mendapati Dan ia berdiri di hadapannya. Dania, Ia mengenakan pakaian yang persis sama dengan wanita yang tadi pagi Ia lihat keberadaannya di jalan. “Roy!” panggilnya dengan tangisan yang tertahan. “Dania?” Akhirnya, nama itu Roy ucapkan dengan sedikit terbata. Lelaki itu tak menyangka akan melihat keberadaan Dan ia di sini, saat ini, saat Ia sudah menemukan tambatan hati yang lain. Padahal, bertahun-tahun lamanya Roy bertahan dengan kesendirian. “Apa k
“Maaf Roy, Aku enggak bisa jawab itu.” Dania menyodorkan cangkir berisi teh manis kepada Roy. Ia pun duduk di kursi, namun tatapannya melengos seolah Ia tak ingin melihat Roy. “Dania, ceritakan semua! Ceritakan tentang keberadaanmu selama ini. Mengapa kamu pergipergi? Aku hanya tahu kalau kamu sudah enggak ada, sampai-sampai Aku menderita. Mengapa Kamu tega?” tanya Roy penuh tuntutan. Ia kini tak lagi ragu menggenggam tangan Dania yang sejatinya masih menjadi istrinya. Saat tangannya digenggam, nampak tak ada kemarahan pada Dania. Justru Ia senang dan mengalihkan pandangannya ke arah Roy. Ia mengamati kedalaman mata Roy, berusaha mencari cinta di sana. “Roy, masihkah kamu cinta Aku?” tanya Dania sendu. “Aku sempat hamil, apa tak apa? Padahal kita sepakat untuk berdua saja sampai akhir hayat. Tapi, Aku mengacau... “Dania kini tersedu-sedu, menahan tangis dan sesak di dadanya. Apalagi, setelah hening karena tak ada jawaban apapun dari Roy. “Kamu... sudah tak cinta?” tanya Da
“Nyonya siapa, Ben?” Samar masih terdengar suara Dania bertanya pada Beni, setelah Roy mengambil ponsel Beni dan menjauh dari keduanya. Roy menghembuskan nafas terdalamnya, mencoba mengatur kata apa yang akan Ia ucapkan kepada Sova. “Sayang, Halo!” Roy segera menempel kan ponsel di telinga kanannya, setelah Ia berada di teras rumah bergaya modern itu. “Hallo, Akang. Di mana?” Terdengar suara Sova memperetelinya dengan pertanyaan yang sudah dari tadi Ia pendam. “Akang lagi ada urusan dulu. Kamu udah bangun? Udah makan?” tanya Roy berusaha tenang. Ia pun duduk di kursi taman seraya menghadap ke kolam ikan koi, berusaha mencari ketenangan dari warna-warna indahnya. “Aku tahu Akang udah numbalin Sari dan bi Ais. Kenapa Akang lakuin itu semua? Akang tega kalau ada terjadi sesuatu pada mereka?” tanya Sova tak berhenti. “Akang... “Ucapan Roy kembali dipotong oleh Sova yang tak bisa mengerem ucapannya. “Akang enggak mikirin perasaan Aku gimana? Kalau mereka enggak ada, Aku
“Non!” Sari bingung dengan apa yang harus Ia lakukan. Bagaimana pun, Ia sudah bekerja lama dengan Roy, tapi sebagai sesama perempuan, Ia tak melihat Sova yang usianya masih sangat muda dalam keadaan hamil besar dan kini harus merasa galau karena ketakhadiran sang suami. Lebih tepatnya, kebohongan yang entah untuk membungkus hal buruk atau demi kebaikan Sova, Dari tak tahu. “Sari, cepetan!” teriak Sova membuat Sari langsung menancap gas lagi. Antara enggan dan dengan senang hati, Dari pun segera menekan pedal gas dan melakukan mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi. Sari berusaha mengejar mobil sedan berwarna silver milik Roy yang saat mereka keluar dari rumah, mobil itu masih terparkir cantik di garasi. “Sar, masuk ke rumah itu!” tunjuk Sova. Sova memang belum mengetahui tempat tinggal keluarga angkat Dania. Roy tak pernah mempertemukan mereka dari awal, apalagi setelah Roy menyadari bahwa kejadian demi kejadian yang menimpa mereka berasal dari keluarga itu. “Sari, rumah