“Nyonya siapa, Ben?” Samar masih terdengar suara Dania bertanya pada Beni, setelah Roy mengambil ponsel Beni dan menjauh dari keduanya. Roy menghembuskan nafas terdalamnya, mencoba mengatur kata apa yang akan Ia ucapkan kepada Sova. “Sayang, Halo!” Roy segera menempel kan ponsel di telinga kanannya, setelah Ia berada di teras rumah bergaya modern itu. “Hallo, Akang. Di mana?” Terdengar suara Sova memperetelinya dengan pertanyaan yang sudah dari tadi Ia pendam. “Akang lagi ada urusan dulu. Kamu udah bangun? Udah makan?” tanya Roy berusaha tenang. Ia pun duduk di kursi taman seraya menghadap ke kolam ikan koi, berusaha mencari ketenangan dari warna-warna indahnya. “Aku tahu Akang udah numbalin Sari dan bi Ais. Kenapa Akang lakuin itu semua? Akang tega kalau ada terjadi sesuatu pada mereka?” tanya Sova tak berhenti. “Akang... “Ucapan Roy kembali dipotong oleh Sova yang tak bisa mengerem ucapannya. “Akang enggak mikirin perasaan Aku gimana? Kalau mereka enggak ada, Aku
“Non!” Sari bingung dengan apa yang harus Ia lakukan. Bagaimana pun, Ia sudah bekerja lama dengan Roy, tapi sebagai sesama perempuan, Ia tak melihat Sova yang usianya masih sangat muda dalam keadaan hamil besar dan kini harus merasa galau karena ketakhadiran sang suami. Lebih tepatnya, kebohongan yang entah untuk membungkus hal buruk atau demi kebaikan Sova, Dari tak tahu. “Sari, cepetan!” teriak Sova membuat Sari langsung menancap gas lagi. Antara enggan dan dengan senang hati, Dari pun segera menekan pedal gas dan melakukan mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi. Sari berusaha mengejar mobil sedan berwarna silver milik Roy yang saat mereka keluar dari rumah, mobil itu masih terparkir cantik di garasi. “Sar, masuk ke rumah itu!” tunjuk Sova. Sova memang belum mengetahui tempat tinggal keluarga angkat Dania. Roy tak pernah mempertemukan mereka dari awal, apalagi setelah Roy menyadari bahwa kejadian demi kejadian yang menimpa mereka berasal dari keluarga itu. “Sari, rumah
“Akang!” Mata Sova seolah ingin meloncat dari tempatnya karena shock melihat suaminya sedang berada di pelukan seorang wanita. Roy segera melepaskan pelukannya dengan cukup kasar, kemudian Ia segera melangkah untuk menghampiri Sova. “Sova!” Mulut Roy tak dapat menahan untuk menyebut nama wanita muda yang kini ada di hadapannya, dalam keadaan yang mungkin saja salah paham. “Sayang!” Tiba-tiba, langkah Roy tertahan karena tangannya ditahan oleh Dania. “Siapa dia?” tanya Dania saat Roy menolehnya. Untuk menepis tangan Dania, rasanya Roy tak mampu lakukan. Sedangkan, jika Ia membiarkan Sova berada dalam kesalah pahaman, Ia akan sangat menderita melebihi sakit hati yang dirasakan oleh Sova. “Lepas dulu!” pinta Roy dengan melepaskan pegangan tangan Dania, dengan tangan lainnya. Dania malah menangis saat mendapatkan jawaban ambigu dari Roy. Bahkan, wanita yang baru Ia lihat itu dalam keadaan hamil, membuat hatinya terasa bertambah berspekulasi. “Tolong, lepaskan dulu!” pinta R
“Sayang! Tolong jangan salah paham. Akang Cuma sayang sama kamu!” mohon Roy seraya memeluk Sova dari belakang. “Roy, apa maksudmu? Kamu ingkar, Roy! Aku udah relain janin kita karena kamu enggak mau punya anak. Aku rela jauh dari kamu dan dianggap sudah mati, Cuma karena ingin kamu menerimaku lagi seperti semula. Tapi apa balasan kamu? Kamu tega, kamu jahat!” ucap Dania seraya menunjuk-nunjuk ke arah Roy yang sedang memeluk Sova. Dania berbicara dengan raung tangisan yang terdengar memilukan bagi Sova. “Jangan dengar apapun, Sayang! Dania masa lalu bagi Akang, kamu adalah masa kini dan masa depan. Kamu dan bayi kita segalanya!” mohon Roy mencoba menutup telinga dari racauan Dania. “Lepasin Aku, Kang!” pinta Sova lirih. Ia tak sampai hati jika harus tertawa di atas penderitaan wanita lain. Tapi, untuk menerima keadaannya yang menyedihkan, dia pun merasa tak begitu sanggup. “Tidak. Akang tak akan lepasin kamu. Ayo, kita kembali hadapi Dania. Kita selesaikan masalah ini sama-sama. Ma
“Bi Ais!” Dania memekik kecewa, mendapati bi Ais yang dulu selalu berada di pihaknya, kini tak meliriknya sedikitpun. Bi Ais tak mempedulikan panggilan Dania. Wanita paruh baya itu malah berlari, mengebor Roy yang sudah berjalan sambil membawa Sova dalam gendongannya. “Nyawa lebih penting!” Tiba-tiba, Beni memberikan jawaban menohok kepada Dania yang masih diam mematung di sana. Tatapan Beni bagai mata elang yang siap mencabik mangsanya. Tanpa menunggu jawaban Dania, Beni pun segera mengikuti langkah Roy meninggalkan kediaman pak Tejo. *** Sova menangis seraya membelakangi Roy. Ia masih mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit bersalin ternama ibukota. “Sayang, maafin Akang yang enggak jujur sama kamu. Akang takut kalau kamu bakalan salah faham. Akang cinta sama kamu, tolong jangan begini!” mohon Roy seraya duduk di tepi brankar Sova dan terus mengelus-elus pinggang Sova. “Aduh. Huhuhuhuhu... “ tangisan Sova semakin terdengar, membuat Roy semakin merasa bersalah. “Sayang
Roy menatap nanar ke arah Sova. Biasanya, istrinya itu selalu membela dan mengatakan jika Roy adalah suaminya. Tapi kali ini tidak. Sova memilih diam, meskipun terlihat tak sedang merasakan sakit. “Permisi ya, Saya mau periksa dulu bukaannya.” Bidan kepala yang berjaga di sana memberikan kode agar Roy keluar dari ruangan. “Baik. Saya permisi dulu,” Sahut bi Ais yang segera berlalu dari ruangan itu. Bidan tersebut tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Namun, Ia tak serta merta melakukan pemeriksaan karena melihat Roy masih terdiam di sana. “Pak...!” panggil bidan tersebut, membuyarkan lamunan Roy. “Ah iya. Silakan!” Roy mempersilakan bidan untuk segera melakukan tindakan awal kepada Sova. “Bapak masih di sini? Apa enggak masalah?” tanya bidan itu lagi, kali ini langsung kepada Sova. Sova hanya mengangguk sekilas, pertanda Ia tak memiliki masalah jika ada Roy di sana. Bagaimana dia bermasalah dengan keberadaan Roy, toh lelaki paruh baya itu adalah suaminya. Bidan itu pun segera
“Ini rumah sakit besar. Apa harus seperti itu menangani pasien darurat?” tanya Roy dengan mata tajam. “Maksudnya, kami ingin meminta persetujuan untuk melakukan tindakan dengan dokter lain. Jika memungkinkan, dokter Nina... “ “Lakukan saja yang terbaik!” perintah Roy tanpa menunggu persetujuan. “Baik. Kami akan segera membawa pasien ke ruangan tindakan.” Bidan itu pun segera berlalu, sedangkan perawat yang membersamainya menyiapkan Sova untuk dibawa ke ruang bersalin. “Saya boleh menemani kan?” tanya Roy dengan penuh harap. Perawat itu memicingkan matanya. Tadi, hanya bidan yang mendengar jika Roy adalah suami Sova, sehingga Ia masih mengira bahwa Roy adalah ayah Sova. “Izinkan suami Saya masuk!” pinta Sova yang segera memegang kencang tangan Roy. Entah kemana amarah yang sedari tadi membelenggunya. Kali ini, Ia menginginkan Roy untuk berada di sampingnya. “Oh, iya. Tentu saja,” sahut perawat tersebut setelah mendengar permintaan Sova. Ia menyadari bahwa pikirannya salah yang m
Sova terus merapalkan do'a saat tim dokter sedang berupaya kuat menyelamatkan bayi melalui operasi caesar. Kesadarannya tak hilang sepenuhnya. Ia sadar dengan tangan dalam genggaman Roy, sedangkan bagian perutnya di halangi oleh semacam tirai. “Berdo’a, Sayang. Yang kuat, kamu dan Dede bayi kuat!” ucap Roy di sela-sela do’anya, selalu menguatkan hati Sova. “Iya, Kang!” lirih Sova sesekali, di sela do’a yang Ia rapalkan juga. “Sayang, apa kamu akan pergi meninggalkan Kami?” tanya Sova lirih, namun terdengar jelas oleh Roy. Bahkan, oleh tim dokter yang sedang melakukan operasi. “Tidak, Sayang. Kita akan membesarkan anak kita sama-sama,” ucap Roy yang kini tak mampu menahan air matanya. Ada salah satu perawat yang membantu berjalannya operasi melirik sinis saat mendengar ucapan Sova tersebut. Baginya yang pernah dikhianati, ucapan Sova menyiratkan ucapan seorang pelakor yang sedang berusaha menggaet lelaki dari istri dah nya. Namun, sebagian besar lagi lebih memilih abai dengan masal