“Bi Ais!” Dania memekik kecewa, mendapati bi Ais yang dulu selalu berada di pihaknya, kini tak meliriknya sedikitpun. Bi Ais tak mempedulikan panggilan Dania. Wanita paruh baya itu malah berlari, mengebor Roy yang sudah berjalan sambil membawa Sova dalam gendongannya. “Nyawa lebih penting!” Tiba-tiba, Beni memberikan jawaban menohok kepada Dania yang masih diam mematung di sana. Tatapan Beni bagai mata elang yang siap mencabik mangsanya. Tanpa menunggu jawaban Dania, Beni pun segera mengikuti langkah Roy meninggalkan kediaman pak Tejo. *** Sova menangis seraya membelakangi Roy. Ia masih mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit bersalin ternama ibukota. “Sayang, maafin Akang yang enggak jujur sama kamu. Akang takut kalau kamu bakalan salah faham. Akang cinta sama kamu, tolong jangan begini!” mohon Roy seraya duduk di tepi brankar Sova dan terus mengelus-elus pinggang Sova. “Aduh. Huhuhuhuhu... “ tangisan Sova semakin terdengar, membuat Roy semakin merasa bersalah. “Sayang
Roy menatap nanar ke arah Sova. Biasanya, istrinya itu selalu membela dan mengatakan jika Roy adalah suaminya. Tapi kali ini tidak. Sova memilih diam, meskipun terlihat tak sedang merasakan sakit. “Permisi ya, Saya mau periksa dulu bukaannya.” Bidan kepala yang berjaga di sana memberikan kode agar Roy keluar dari ruangan. “Baik. Saya permisi dulu,” Sahut bi Ais yang segera berlalu dari ruangan itu. Bidan tersebut tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Namun, Ia tak serta merta melakukan pemeriksaan karena melihat Roy masih terdiam di sana. “Pak...!” panggil bidan tersebut, membuyarkan lamunan Roy. “Ah iya. Silakan!” Roy mempersilakan bidan untuk segera melakukan tindakan awal kepada Sova. “Bapak masih di sini? Apa enggak masalah?” tanya bidan itu lagi, kali ini langsung kepada Sova. Sova hanya mengangguk sekilas, pertanda Ia tak memiliki masalah jika ada Roy di sana. Bagaimana dia bermasalah dengan keberadaan Roy, toh lelaki paruh baya itu adalah suaminya. Bidan itu pun segera
“Ini rumah sakit besar. Apa harus seperti itu menangani pasien darurat?” tanya Roy dengan mata tajam. “Maksudnya, kami ingin meminta persetujuan untuk melakukan tindakan dengan dokter lain. Jika memungkinkan, dokter Nina... “ “Lakukan saja yang terbaik!” perintah Roy tanpa menunggu persetujuan. “Baik. Kami akan segera membawa pasien ke ruangan tindakan.” Bidan itu pun segera berlalu, sedangkan perawat yang membersamainya menyiapkan Sova untuk dibawa ke ruang bersalin. “Saya boleh menemani kan?” tanya Roy dengan penuh harap. Perawat itu memicingkan matanya. Tadi, hanya bidan yang mendengar jika Roy adalah suami Sova, sehingga Ia masih mengira bahwa Roy adalah ayah Sova. “Izinkan suami Saya masuk!” pinta Sova yang segera memegang kencang tangan Roy. Entah kemana amarah yang sedari tadi membelenggunya. Kali ini, Ia menginginkan Roy untuk berada di sampingnya. “Oh, iya. Tentu saja,” sahut perawat tersebut setelah mendengar permintaan Sova. Ia menyadari bahwa pikirannya salah yang m
Sova terus merapalkan do'a saat tim dokter sedang berupaya kuat menyelamatkan bayi melalui operasi caesar. Kesadarannya tak hilang sepenuhnya. Ia sadar dengan tangan dalam genggaman Roy, sedangkan bagian perutnya di halangi oleh semacam tirai. “Berdo’a, Sayang. Yang kuat, kamu dan Dede bayi kuat!” ucap Roy di sela-sela do’anya, selalu menguatkan hati Sova. “Iya, Kang!” lirih Sova sesekali, di sela do’a yang Ia rapalkan juga. “Sayang, apa kamu akan pergi meninggalkan Kami?” tanya Sova lirih, namun terdengar jelas oleh Roy. Bahkan, oleh tim dokter yang sedang melakukan operasi. “Tidak, Sayang. Kita akan membesarkan anak kita sama-sama,” ucap Roy yang kini tak mampu menahan air matanya. Ada salah satu perawat yang membantu berjalannya operasi melirik sinis saat mendengar ucapan Sova tersebut. Baginya yang pernah dikhianati, ucapan Sova menyiratkan ucapan seorang pelakor yang sedang berusaha menggaet lelaki dari istri dah nya. Namun, sebagian besar lagi lebih memilih abai dengan masal
“Sova!” Pak Harun tiba-tiba datang dan langsung memeluk Sova. Lelaki yang bergelar ayah bagi Sova itu menitikkan air matanya kala memeluk sang anak. Ia begitu terharu karena mendapati anak perempuannya sehat setelah melalui proses lahiran. “Pak, tolong jangan begitu! Non Sova baru saja operasi caesar,” pinta bi Ais menahan pak Harun terus membawa Sova dalam dekapannya. “Hah, operasi?” kaget pak Harun saat mendengar penuturan bi Ais. “Sebelah mana yang dikupas?” tanya pak Harun seraya menjauhkan Sova dari pelukannya, namun Ia memindai keadaan anaknya. “Ayah... masa dikupas!” protes Sova seraya tertawa geli. “Kok, udah duduk lagi? Ini beneran operasi?” sanksi pak Harun. Pasalnya, Ia baru tadi malam mendengar kabar jika Sova melahirkan, masa pagi kaya begini sudah bisa duduk lagi, sambil disuapin makan sama bi Ais. “Iya atuh Pak, kan sekarang operasi lebih canggih lagi. Bisa langsung sehat. Tapi... harganya yang bikin enggak sehat kalau buat Bibi,” kekeh bi Ais membuat Sova ikut te
“Kenapa sama Mama?” tanya Sova antusias. Bagaimanapun, Sova masih memiliki rasa sayang kepada bu Devi. Meskipun Ia sudah mengucapkan janji pada dirinya sendiri untuk tak peduli lagi dengan wanita yang berstatus sebagai ibu tirinya itu, tapi hatinya terlalu lembut untuk bersikap keras."Mamamu,..." Pak Harun menghentikan ucapannya sesaat, kemudian ia menatap lurus ke depan menghindari kontak mata dengan Sova." Kenapa dengan mama, Yah? " tanya Sova sekali lagi, karena Ia tidak mendapatkan jawaban dari pak Harun, seolah ada yang disembunyikan oleh lelaki paruh baya itu." Sekarang mamamu sudah nggak ada di rumah sakit ini. " Pak Harun memberikan jawaban yang tidak ada kaitannya dengan pertanyaan Sova, meskipun itu memberikan informasi lain kepadanya"Memangnya kemarin ada apa sama mama, Yah? Terus sekarang mama udah sehat? " lanjut Sova.Pak Harun menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian Ia pun menatap intens ke arah Sova. “Mamamu,
“Aku hanya mau dengar cerita tentang Ibu Yah.”Pak Harun menelan ludahnya, khawatir jika sang anak mengetahui kejadian sebenarnya. Di dalam benaknya, Ia merutuki Roy yang menurut perkiraannya sudah menceritakan kisah tentang Ibu Sova yang sebenarnya. “Permisi!” Obrolan mereka diinterupsi oleh seorang perawat yang datang. Pak Harun menghembuskan nafasnya lega, karena ada orang yang bisa mencegah Sova untuk terus mencercanya tentang ibu kandungnya."Bu Sova! " panggil perawat itu seraya mendekati brankar yang ditempati oleh Sova.Bi Ais yang masih memegang piring makanan untuk menyuapi Sova pun ikut menengok ke arah perawat tersebut, menunggu apa yang akan disampaikan oleh sang perawat. Tak jauh berbeda dengan bi Ais, Sari yang tadinya berada di luar ruangan pun segera masuk dengan wajah yang sumringah, mengikuti langkah perawat. "Ada apa, Sus? Saya harus minum obat lagi? " tanya Sova, menebak apa yang akan disampaikan oleh perawat yang baru saja datang menghampirinya."Tida
Sova mendadak tremor saat kakinya melangkah masuk ke dalam ruang NICU. Baginya, ini kali pertama memasuki ruangan steril dengan menggunakan baju rumah sakit dan penutup kepala. Apalagi, ruang steril rumah sakit, yang dikhususkan untuk bayiSofa menyambut hangat disambut hangat oleh Roy yang bersiap untuk keluar dari ruangan tersebut titik aturannya, mereka hanya boleh masuk ke ruangan itu sendiri-sendiri pergantian." Sayang! " ucap Roy seraya menghentikan langkahnya saat Ia berpapasan dengan sang istri yang baru memasuki ruangan itu.Sova menoleh ke arah Roy, kemudian menatapnya dengan tatapan penuh keharuan. Ia tak menyangka akan menjadi seorang ibu di usianya yang masih sangat belia, bahkan dengan kehamilan yang harus melahirkan anak prematur dengan usia kandungan kurang dari 32 minggu.Roy merengkug Sova, membawanya ke dalam pelukan. "Anak kita lagi nunggu Mamanya," ucap Roy tepat di sisi telinga Sova.Sova hanya menganggukkan kepalanya, tanda bahwa dirinya mengerti dengan ucapan