“Akang!” gumam Sova lirih. Tak terasa, air mata nya jatuh menghiasi dia sisi pipinya yang mulus. Entah mengapa, setelah pernikahan Sova mudah sekali merasa. Ia berubah menjadi seorang yang mudah tersinggung. Perasa, jadi sifat yang kini cocok disematkan kepadanya. “Anakmu aja belum dikasih nama, Kang. Tapi... “ Sova terdiam sesaat, memikirkan suatu hal yang menurutnya harus Ia ingat juga. “Salah Aku. Aku yang salah karena hadir diantara kalian. Tapi, Aku enggak tahu kalau mbak Dania masih hidup, Kang. Aku juga yakin kalau Akang pun enggak tahu, sama halnya dengan Aku. Tapi, kita harus bagaimana?” monolog Sova dengan suara yang tak Ia sadari bisa didengar oleh orang yang berjarak dekat dengannya. “Aku enggak yakin dengan perempuan itu,” ucap seseorang yang tetiba saja terasa dekat di sisi Sova. Sova menoleh, memastikan pendengaran nya tak salah. Ia ingin mempertegas bahwa ucapan orang yang Ia dengar barusan, memang ditujukan untuk mengajaknya berbicara. “Pak Beni?” Sova cuk
Saat mengajak Sova untuk menemui Dania, dengan ekor matanya, Ia melihat Sova menoleh ke arah Beni yang sedari tadi berdiri di sampingnya. Sova pun baru mau mengikuti langkah Roy, setelah Beni menganggukkan kepalanya.Melihat interaksi keduanya, tanpa sadar Roy mengepalkan tangan kanannya cukup keras. Tangan yang tidak Ia gunakan untuk menarik Sova menarik Sova. "Pelan-pelan, Kang!" pinta Sova karena Roy menarik dirinya dengan langkah lebar, meninggalkan Beni yang masih mematung di tempat Ia berdiri. "Ah ya, maaf!" ucap Roy saat Ia menyadari kekeliruannya. Ia baru menyadari bahwa Sova baru saja ditindak caesar dan saat ini sedang dalam masa pemulihan. Tapi, melihat Sova dan Beni saling memberi kode, Ia dibakar api cemburu. "Hai, Mbak!" sapa Sova setelah Ia berada di hadapan Dania. Saat berbicara dengan Beni, pikiran Sova mulai terbuka untuk tetap mempertahankan apa yang Ia miliki saat ini. Ia mulai mengklaim bahwa dirinya tidak bersalah karena Ia tak mengetahui bahwa Dania, mantan i
Orang-orang yang berada di sekitar lorong rumah sakit itu pun, mulai melirik ke arah mereka. Bagaimana tidak, posisi mereka berada di lorong Rumah Sakit. Meskipun lorong itu berhadapan langsung dengan kantin yang cukup padat dengan lalu lalang orang, tapi teriakan Dania mampu membuat semua orang mengalihkan atensinya kepada mereka.Kasak kusuk pun mulai terdengar, membuat Dania merasa akan mendapatkan simpati dari orang yang mendengarkannya. "Aku siapa, Mas?” tanya Dania sekali lagi, dengan suara yang lebih lirih dan terdengar penuh luka. Bahkan, kali ini Ia memanggil Roy dengan sebutan 'Mas.’ Padahal biasanya, Dania memanggil suaminya dengan menyebut nama saja.Bertahun-tahun Kita hidup bersama, dari hidup kita susah sampai berada di Puncak, Aku yang selalu menemani kamu dalam keadaan apapun. Lalu, sekarang apa balasan kamu Mas? " ucap Dania dengan berurai air mata wajahnya yang Ia arahkan ke arah pengunjung yang nampak sedang merekam perdebatan di antar
Dania menoleh ke arah suara. Betapa terkejutnya Ia, karena mendengar pembelaan dari orang kepercayaan Roy yaitu Beni. Beni menoleh ke arah Dania, kemudian tersenyum penuh arti. Wanita itu masih ternganga karena kaget dengan kalimat pembelaan yang diucapkan oleh Beni barusan. Ia pikir, Beni akan selalu berada di pihak Roy sebagaimana biasanya tanpa tapi, namun perkiraannya salah. "Bu Dania tenang saja, Saya pastikan bahwa Saya akan menegakkan cinta sejati! " ucap Beni meraya mengepalkan tangan kirinya ke atas, menyemangati Dania. "Sungguh?" tanya Dania masih butuh diyakinkan. "Ya. Sekarang Ibu pulang saja dulu! Nanti, urusan pak Roy dan Bu Sova biar Saya yang menyelesaikan. Ibu terima beres saja, " ucap Beni lagi begitu meyakinkan. "Ya. Terima kasih banyak, Ben! " ucap Dania dengan senyum sumringahnya. Bahkan, wanita itu memeluk Beni, saking senangnya. Beni segera melepaskan pelukan Dania karena tak ingin dianggap menjadi pebinor bos-nya sendiri. Lebih dari itu, Ia merasa risih de
Sova menoleh ke arah sumber suara. Di sana, nampak Hilda yang sedang berjalan ke arahnya seraya merentangkan kedua tangannya. Sedangkan Sari, ia meletakkan beberapa paper bag yang dibawa oleh Hilda sebagai hadiah atas kelahiran baby boy Sova dan Roy." Apa kabar, Mama muda? " ucap Hilda seraya memeluk Sova. Psikiater muda itu begitu antusias saat mendengar bahwa Sova telah melahirkan dengan selamat, meskipun dengan keadaan bayi yang prematur. "Baik mbak Hilda. Mbak sendiri apa kabar? " tanya balik Sova."Baik. Dan lebih baik lagi karena sudah punya keponakan," ucap Hilda dengan tawanya yang lebar. Sedangkan matanya, Ia memindai ke seluruh ruangan. Ia mencari keberadaan ranjang bayi yang mungkin saja disimpan sekamar dengan ibu-nya. “Bayi kita di NICU, Mbak,” ucap Sova sekedar memberikan informasi. Ia tahu bahwa psikiater cantik itu sedang mencari keberadaan bayinya. “Oh... Terus, gimana keadaannya? Bisa ditengok enggak?“ sahut Hilda seraya memperpanjang dengan rentetan pertany
"Hei!" ucap Roy seraya mengibaskan tangannya di depan Hilda.Psikiater muda itu pun segera mengerjapkan matanya, kemudian mengulas sedikit senyum.Beni segera berdiri dari kursi, kemudian Ia pamit undur diri dan pergi bersama Bi Ais."Baru datang atau udah lama?" tanya Roy sekali lagi. Setelah itu, Ia pun segera duduk di brankar, tepat di samping Sova. Lelaki paruh baya itu pun memeluk pinggang Sova yang sedang duduk menjuntaikan kakinya, kemudian melirik ke arahnya. “Sayang, kok nggak bilang-bilang Kalau ada Hilda?” tanya Roy kepada Sova."Baru aja datang, Kang!” sahut Sova seraya melirik ke arah Hilda. “ Iya kan?" tanya Sova kepada Hilda."Iii...iya, " sahut Hilda. Lidahnya seolah latah mengikuti apa yang diucapkan oleh Sova."Wah, makasih banyak Hil ... tantenya udah nengokin, tapi baby boy masih di ruang NICU." Roy menghembuskan nafasnya pelan. "Iya nih."Hilda tak bisa banyak bicara karena pikirannya terbagi dengan ucapan Beni tadi. Di hatinya, Ia ingin membahas tentang apa yang
"Bibi senang banget diajakin nengok Den Rafa di rumah sakit. Kelihatannya... Den Rafa sudah semakin sehat ya, Non? " ucap Bi Ais dengan wajah penuh senyuman. Di pelupuk matanya, Ia seolah masih melihat dengan jelas bagaimana Rafa, Baby Boy milik Sova dan Roy itu nampak semakin sehat. Bahkan, tangisannya sudah mengeluarkan suara. " Iya, Bi." Hanya kalimat itu yang Sova ucapkan, tanpa memperpanjang basa-basi. Pandangannya fokus ke arah handphone yang membuka GPS, arah cafe yang menjadi tempat janji bertemu antara dia dan Hilda.Sebenarnya, Sova tak serta-merta mengajak Bi Ais untuk menengok baby Rafa, selain karena permintaan Hilda untuk membawanya. Entahlah, dia tak begitu memahami keinginan Hilda untuk bertemu dengannya sekaligus dengan bi Ais. Ia hanya mengiyakan saja."Nah, ini kayaknya," gumam Sova seraya melirik ke sebelah kiri, ke cafe yang menjadi tujuannya."Tujuan anda berada di sebelah kiri. "Terdengar suara wanita memberitahunya bahwa ia telah sampai. Suara wanita yan
“Ada apa dengan mbak Dania? Apa kalian memintaku untuk mundur?” tanya Sova terdengar sarkas. Semua orang yang berada di meja itu pun saling berpandangan mendengar kalimat sarkas dari Sova. Tak sempat terpikir oleh mereka jika Sova akan berpikiran demikian. Mereka hanya sibuk dengan pikiran dan teka-teki mereka sendiri. “Aku memang masih muda. Aku bisa pergi dari kehidupan Akang dan mengejar cita-cita yang sempat tertunda. Aku juga bisa jadi janda muda yang kaya raya karena Akang pasti akan memberiku kehidupan yang layak. Tapi, apa kalian pernah memikirkan Rafa? Bayi yang baru saja melewati masa kritisnya, akan kalian paksa untuk kehilangan orang tuanya yang utuh?” tanya Sova menggebu-gebu. Matanya memerah dengan rahang mengeras, menahan amarah di kepalan tangannya. “Kalian memang paling dekat dengan mbak Dania, tapi jangan sampai kedekatan kalian membuat hati kalian mati!” ucap Sova seraya berdiri. Ia tak ingin berlama-lama duduk di sana, jika hanya akan mendapatka