“Ini rumah sakit besar. Apa harus seperti itu menangani pasien darurat?” tanya Roy dengan mata tajam. “Maksudnya, kami ingin meminta persetujuan untuk melakukan tindakan dengan dokter lain. Jika memungkinkan, dokter Nina... “ “Lakukan saja yang terbaik!” perintah Roy tanpa menunggu persetujuan. “Baik. Kami akan segera membawa pasien ke ruangan tindakan.” Bidan itu pun segera berlalu, sedangkan perawat yang membersamainya menyiapkan Sova untuk dibawa ke ruang bersalin. “Saya boleh menemani kan?” tanya Roy dengan penuh harap. Perawat itu memicingkan matanya. Tadi, hanya bidan yang mendengar jika Roy adalah suami Sova, sehingga Ia masih mengira bahwa Roy adalah ayah Sova. “Izinkan suami Saya masuk!” pinta Sova yang segera memegang kencang tangan Roy. Entah kemana amarah yang sedari tadi membelenggunya. Kali ini, Ia menginginkan Roy untuk berada di sampingnya. “Oh, iya. Tentu saja,” sahut perawat tersebut setelah mendengar permintaan Sova. Ia menyadari bahwa pikirannya salah yang m
Sova terus merapalkan do'a saat tim dokter sedang berupaya kuat menyelamatkan bayi melalui operasi caesar. Kesadarannya tak hilang sepenuhnya. Ia sadar dengan tangan dalam genggaman Roy, sedangkan bagian perutnya di halangi oleh semacam tirai. “Berdo’a, Sayang. Yang kuat, kamu dan Dede bayi kuat!” ucap Roy di sela-sela do’anya, selalu menguatkan hati Sova. “Iya, Kang!” lirih Sova sesekali, di sela do’a yang Ia rapalkan juga. “Sayang, apa kamu akan pergi meninggalkan Kami?” tanya Sova lirih, namun terdengar jelas oleh Roy. Bahkan, oleh tim dokter yang sedang melakukan operasi. “Tidak, Sayang. Kita akan membesarkan anak kita sama-sama,” ucap Roy yang kini tak mampu menahan air matanya. Ada salah satu perawat yang membantu berjalannya operasi melirik sinis saat mendengar ucapan Sova tersebut. Baginya yang pernah dikhianati, ucapan Sova menyiratkan ucapan seorang pelakor yang sedang berusaha menggaet lelaki dari istri dah nya. Namun, sebagian besar lagi lebih memilih abai dengan masal
“Sova!” Pak Harun tiba-tiba datang dan langsung memeluk Sova. Lelaki yang bergelar ayah bagi Sova itu menitikkan air matanya kala memeluk sang anak. Ia begitu terharu karena mendapati anak perempuannya sehat setelah melalui proses lahiran. “Pak, tolong jangan begitu! Non Sova baru saja operasi caesar,” pinta bi Ais menahan pak Harun terus membawa Sova dalam dekapannya. “Hah, operasi?” kaget pak Harun saat mendengar penuturan bi Ais. “Sebelah mana yang dikupas?” tanya pak Harun seraya menjauhkan Sova dari pelukannya, namun Ia memindai keadaan anaknya. “Ayah... masa dikupas!” protes Sova seraya tertawa geli. “Kok, udah duduk lagi? Ini beneran operasi?” sanksi pak Harun. Pasalnya, Ia baru tadi malam mendengar kabar jika Sova melahirkan, masa pagi kaya begini sudah bisa duduk lagi, sambil disuapin makan sama bi Ais. “Iya atuh Pak, kan sekarang operasi lebih canggih lagi. Bisa langsung sehat. Tapi... harganya yang bikin enggak sehat kalau buat Bibi,” kekeh bi Ais membuat Sova ikut te
“Kenapa sama Mama?” tanya Sova antusias. Bagaimanapun, Sova masih memiliki rasa sayang kepada bu Devi. Meskipun Ia sudah mengucapkan janji pada dirinya sendiri untuk tak peduli lagi dengan wanita yang berstatus sebagai ibu tirinya itu, tapi hatinya terlalu lembut untuk bersikap keras."Mamamu,..." Pak Harun menghentikan ucapannya sesaat, kemudian ia menatap lurus ke depan menghindari kontak mata dengan Sova." Kenapa dengan mama, Yah? " tanya Sova sekali lagi, karena Ia tidak mendapatkan jawaban dari pak Harun, seolah ada yang disembunyikan oleh lelaki paruh baya itu." Sekarang mamamu sudah nggak ada di rumah sakit ini. " Pak Harun memberikan jawaban yang tidak ada kaitannya dengan pertanyaan Sova, meskipun itu memberikan informasi lain kepadanya"Memangnya kemarin ada apa sama mama, Yah? Terus sekarang mama udah sehat? " lanjut Sova.Pak Harun menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian Ia pun menatap intens ke arah Sova. “Mamamu,
“Aku hanya mau dengar cerita tentang Ibu Yah.”Pak Harun menelan ludahnya, khawatir jika sang anak mengetahui kejadian sebenarnya. Di dalam benaknya, Ia merutuki Roy yang menurut perkiraannya sudah menceritakan kisah tentang Ibu Sova yang sebenarnya. “Permisi!” Obrolan mereka diinterupsi oleh seorang perawat yang datang. Pak Harun menghembuskan nafasnya lega, karena ada orang yang bisa mencegah Sova untuk terus mencercanya tentang ibu kandungnya."Bu Sova! " panggil perawat itu seraya mendekati brankar yang ditempati oleh Sova.Bi Ais yang masih memegang piring makanan untuk menyuapi Sova pun ikut menengok ke arah perawat tersebut, menunggu apa yang akan disampaikan oleh sang perawat. Tak jauh berbeda dengan bi Ais, Sari yang tadinya berada di luar ruangan pun segera masuk dengan wajah yang sumringah, mengikuti langkah perawat. "Ada apa, Sus? Saya harus minum obat lagi? " tanya Sova, menebak apa yang akan disampaikan oleh perawat yang baru saja datang menghampirinya."Tida
Sova mendadak tremor saat kakinya melangkah masuk ke dalam ruang NICU. Baginya, ini kali pertama memasuki ruangan steril dengan menggunakan baju rumah sakit dan penutup kepala. Apalagi, ruang steril rumah sakit, yang dikhususkan untuk bayiSofa menyambut hangat disambut hangat oleh Roy yang bersiap untuk keluar dari ruangan tersebut titik aturannya, mereka hanya boleh masuk ke ruangan itu sendiri-sendiri pergantian." Sayang! " ucap Roy seraya menghentikan langkahnya saat Ia berpapasan dengan sang istri yang baru memasuki ruangan itu.Sova menoleh ke arah Roy, kemudian menatapnya dengan tatapan penuh keharuan. Ia tak menyangka akan menjadi seorang ibu di usianya yang masih sangat belia, bahkan dengan kehamilan yang harus melahirkan anak prematur dengan usia kandungan kurang dari 32 minggu.Roy merengkug Sova, membawanya ke dalam pelukan. "Anak kita lagi nunggu Mamanya," ucap Roy tepat di sisi telinga Sova.Sova hanya menganggukkan kepalanya, tanda bahwa dirinya mengerti dengan ucapan
“Akang!” gumam Sova lirih. Tak terasa, air mata nya jatuh menghiasi dia sisi pipinya yang mulus. Entah mengapa, setelah pernikahan Sova mudah sekali merasa. Ia berubah menjadi seorang yang mudah tersinggung. Perasa, jadi sifat yang kini cocok disematkan kepadanya. “Anakmu aja belum dikasih nama, Kang. Tapi... “ Sova terdiam sesaat, memikirkan suatu hal yang menurutnya harus Ia ingat juga. “Salah Aku. Aku yang salah karena hadir diantara kalian. Tapi, Aku enggak tahu kalau mbak Dania masih hidup, Kang. Aku juga yakin kalau Akang pun enggak tahu, sama halnya dengan Aku. Tapi, kita harus bagaimana?” monolog Sova dengan suara yang tak Ia sadari bisa didengar oleh orang yang berjarak dekat dengannya. “Aku enggak yakin dengan perempuan itu,” ucap seseorang yang tetiba saja terasa dekat di sisi Sova. Sova menoleh, memastikan pendengaran nya tak salah. Ia ingin mempertegas bahwa ucapan orang yang Ia dengar barusan, memang ditujukan untuk mengajaknya berbicara. “Pak Beni?” Sova cuk
Saat mengajak Sova untuk menemui Dania, dengan ekor matanya, Ia melihat Sova menoleh ke arah Beni yang sedari tadi berdiri di sampingnya. Sova pun baru mau mengikuti langkah Roy, setelah Beni menganggukkan kepalanya.Melihat interaksi keduanya, tanpa sadar Roy mengepalkan tangan kanannya cukup keras. Tangan yang tidak Ia gunakan untuk menarik Sova menarik Sova. "Pelan-pelan, Kang!" pinta Sova karena Roy menarik dirinya dengan langkah lebar, meninggalkan Beni yang masih mematung di tempat Ia berdiri. "Ah ya, maaf!" ucap Roy saat Ia menyadari kekeliruannya. Ia baru menyadari bahwa Sova baru saja ditindak caesar dan saat ini sedang dalam masa pemulihan. Tapi, melihat Sova dan Beni saling memberi kode, Ia dibakar api cemburu. "Hai, Mbak!" sapa Sova setelah Ia berada di hadapan Dania. Saat berbicara dengan Beni, pikiran Sova mulai terbuka untuk tetap mempertahankan apa yang Ia miliki saat ini. Ia mulai mengklaim bahwa dirinya tidak bersalah karena Ia tak mengetahui bahwa Dania, mantan i