“Darah?” Sari menekan rasa paniknya, agar Sova bisa lebih tenang. Sari bertekad untuk membuka pintu toilet sambil mempersiapkan segala macam yang bisa saja terjadi. Krieett... Sari mengintip sedikit keluar. Netranya tak menemukan siapapun di luar. Sikap waspada ya semakin Ia tampakkan agar tak terlihat lemah di depan musuh, namun tetap tenang dan seolah tak ada hal genting terjadi. Pintu pun kini telah dibuka dengan lebar. “Ayo, Non!” ajak Sari seraya menarik kursi roda Sova. Setelah berada di depan toilet, Dari mengawasi sekeliling untuk memastikan keamanan. Bagaimana pun, baru saja ada orang yang mengetuk pintu toilet yang Ia tak tahu apa kepentingannya. Semoga saja hanya orang yang ingin ke toilet disabilitas. Setelah dikira aman, Sari berpindah ke belakang Sova dan mendorong kursi roda nya. Sekilas, Sari melihat Sova yang mulai meringis kesakitan. Dengan segera, Sari mendorong Sova ke IGD. “Tolong, pasien hamil dan sekarang pendarahan.” Setengah berlari, Sari sudah berbic
Sova membuka matanya perlahan. Rasanya lemas sekali, badannya pun terasa remuk. Tapi, ada satu hal yang begitu mengganjal pikirannya. “Bayiku?” tanyanya seraya membuka mata dengan lebar, dengan tangan mengusap perut yang masih rata. “Tenang! Tenang, Nona!” seseorang menenangkan Sova yang kini gelisah dan tak bisa diam. Tangannya terus mencari-cari sesuatu di dalam perut, seraya berusaha untuk duduk. “Bayiku!” seru Sova. Ia pun menoleh ke arah suara yang menenagkannya. “Bi Ais, mana bayiku?” “Bayi Non baik-baik saja. Non tenang aja!” pinta bi Ais seraya tersenyum tenang. Entah kata-kata sihir atau apa, ucapan bi Ais mampu membuat Sova berangsur tenang. Ia pun tak lagi gelisah dan ingin mencabut selang infus yang terpasang di tangan kirinya. Ia terdiam dan lebih tenang. “Non makan ya!” pinta bi Ais seraya mengambil kotak makan yang disediakan rumah sakit. Sova meliriknya sekilas, tak ada selera sama sekali. Nasi tim, sayur tahu berwarna kuning pucat
Bi Ais berpikir tentang apa yang harus Ia lakukan saat ini. Tak mungkin jika Ia harus mempertaruhkan keselamatan Sova dengan rasa percaya di atas bimbang yang Ia rasakan. “Ya Allah, Bibi harus gimana ini?” tanyanya pelan seraya mondar-mandir di ruangan Sova. “Bi!” lirih Sova memanggil namanya, membuat bi Ais menghentikan langkahnya tak pastinya. “Non!” sapa bi Ais seraya mendekati Sova yang masih nampak lemah. “Gimana perasaannya? Apa yang masih dirasain?” tanya bi Ais tak sabar. “Bi, beneran dede bayi baik-baik aja? Aku... Aku pendarahan Bi,” ucap Sova seraya menahan air matanya. “Bener Non, dede bayinya selamat alhamdulillah. Tapi, Non enggak boleh punya beban pikiran, biar kondisi dede bayinya stabil,” ucap bi Ais lagi. Sova terdiam, ingin mengatakan jika Ia tak baik-baik saja karena memikirkan keadaan Roy. Sedangkan, di sisi hatinya yang lain ada kekhawatiran tentang keselamatan sang jabang bayi. Entahlah, apakah bi Ais berkata jujur atau tidak tentang kondisi bayinya. “Non!
3 Bulan kemudianRoy mendorong Sova yang menduduki kursi roda dengan sangat hati-hati. Ini hari pertama bagi mereka berdua untuk kembali menghirup udara Jakarta setelah beberapa bulan ini mereka mendapatkan perawatan intensif di negri singa. “Akang, tuh lihat! Semuanya ngelihatin Aku, enggak enak banget, malu!” cebik Sova seraya menunduk dan menutup wajahnya dengan tas yang Ia bawa. “Aku kan bisa jalan,” keluhnya lagi dengan suara yang dikecilkan sebisa mungkin. “Sssttt...!!! Nikmati aja. Akang aja pegel harus jalan jauh. Kasihan yang di perut,” ucapnya membuat Sova kini terdiam tak lagi mendebat. Sova mengalihkan pandangannya ke perutnya yang kini sudah membuncit. Ia pun mengelus-elus perut, tersenyum bahagia karena bayinya kini sudah mulai memberikan tendangan-tendangan kecil. “Ya udah, demi Dede, Bunda mau dibikin malu karena pake kursi roda,” ucapnya sambil nyengir kuda. “Memangnya... kenapa mesti malu? Kamu enggak merugikan orang lain kan? Enggak berbuat salah sama or
"Suami?" Suami siapa? " tanya wanita itu seraya melirik ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari sosok suami yang disebutkan oleh Sova. “ Ibu belum mengerti juga?" tanya Sova seraya mengangkat alisnya, seolah mempertanyakan dan mencela wanita itu."Mas, Memang menantu kamu ikut?" tanya wanita itu kepada Roy dengan suara yang mendayu-dayu. Sova melirik tajam ke arah Roy seolah dia sudah bersiap untuk melahapnya. Dan ia pun mengangkat tangannya “Saya suaminya Bu, Bukan ayahnya. " Kali ini Roy memberikan senyuman termanisnya kepada wanita itu.Wanita itu terdiam sesaat, kemudian Ia pun tertawa terbahak-bahak "Enggak usah bercanda deh, Mas!” ucap wanita itu masih tertawa terbahak-bahak. "Bilang sama anak perempuanmu...", wanita itu mencondongkan badannya kepada Roy, kemudian membisikinya sesuatu “ Bilangin kalau aku, Tania sang pengusaha sukses menyukai kamu Mas, menyukai kamu dari pandangan pertama dan aku jamin hidupmu sama anakmu akan Sejahtera. " Setelah mengucapkan kalimat itu, Ia
“Ayah!” sahut Sova seraya tersenyum ramah. Ia sungguh senang melihat pak Harun dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Sova menghampiri pak Harun kemudian mengalaminya. “Sova, anakku!” Pak Harun memeluk Sova serta menitikkan air mata. Ia sempat mengira bahwa Sova melarikan diri karena sudah tak kuat menghadapi cobaan, atau parahnya diculik. Pak Harun tak berhenti mencari Sova meskipun cara mencarinya dengan melaporkan pada polisi dan mencari olehnya sendiri. Untuk laporan polisi, Ia hanya berkomunikasi dengan petugas yang sudah bekerjasama melindungi Sova, berdasarkan permintaan dan laporan Beni. Jadi, pak Harun tak pernah mendapatkan kabar apapun dari polisi selain bahwa mereka kehilangan jejak. Sedangkan, pencariannya oleh diri sendiri, Ia sering mencari ke tempat-tempat yang Ia kira didatangi Sova. Sampai hari tadi, Ia dihubungi oleh Beni bahwa Sova akan pulang. Sova menikmati pelukan pak Harun. Terasa hangat. Pelukan yang begitu lama tak Ia rasakan, pelukan seorang Ayah.
“Lina kenapa?” tanya Roy memicingkan matanya. Rasanya, pak Harun tidak terlalu mengenal Lina sehingga Ia bisa berpendapat tentang siapa wanita itu. “Ah, sudahlah. Mungkin nanti pak Beni yang akan menceritakannya langsung. Ayah takut salah,” putus pak Harun pada akhirnya. Roy tak memaksa. Ia tak begitu ingin mendengar kejelekan Lina dari pak Harun, orang yang jelas-jelas tak terlalu dekat dengan Lina dan Beni. Mereka pun makan dengan tenang, menikmati hidangan soto betawi yang sebelumnya sudah dipesan oleh Sova. Rasanya, sudah lama Ia tak menikmati soto betawi yang menurutnya sangat nikmat seperti yang ada di sini. “Bagaimana kabar bu Devi?” Tiba-tiba pertanyaan Roy memecah keheningan. Sebenarnya lelaki itu sudah tahu semua hal yang terjadi di Indonesia saat Ia tak ada, tapi Ia ingin mendengar cerita menurut versi pak Harun. Pak Harun langsung meletakkan sendoknya. Ia menarik nafas berat, sebelum akhirnya Ia berkata “Ya, keadaannya belum membaik.” Setelah mengatakan itu, Ia pun ke
“Tidak. Bukan begitu maksud Ayah,” tukas pak Harun membela diri. Ia memang tidak berniat untuk menghancurkan hubungan baik antara Roy dan Beni. Justru Ia ingin mengatakan kepada Roy bahwa Lina sepertinya bukan yang terbaik untuk Beni. “Lantas, Apa maksud Anda pak Harun?” Roy menekan setiap kata yang Ia ucapkan seraya mengernyitkan mukanya, berharap ada jawaban yang bisa memuaskan hatinya dari Pak Harun. “Entahlah, apakah maksud Ayah baik atau tidak di mata Roy, tapi di dalam hati, Ayah hanya ingin mengungkapkan apa yang Ayah lihat. Ayah hanya ingat jasa-jasa Pak Beni kepada Ayah.” Pak Harun seolah menerawang ke belakang, mengingat apa yang terjadi saat Ia tak berdaya dalam keadaan sakit. “Kalau pak Harun ingat akan jasa Beni, mengapa sekarang seolah ingin membuat Beni hancur?” Roy tersenyum mengejek. “Maksud pak Harun ingin memecah belah hubungan antara Beni dan Lina kan? Rasanya Anda salah alamat!” Roy kini betul-betul memantik rokoknya dengan pemantik yang sudah ia siapkan. Ia pu