“Entahlah. Mamamu seperti orang linglung. Ayah tak tega membiarkan Mamamu di jalanan dekat pasar lagi makan di tempat sampah,” ucap pak Harun membuat Sova tak mampu mengatupkan mulutnya. Ia kaget mengingat bahwa bu Devi merupakan pemilih untuk makanan. Saat mereka hidup bersama, Sova lah yang menjadi penanggung jawab makanan bu Devi. Makanan enak kan lezat harus selalu tersedia, bagaimana pun caranya. Dan semua itu adalah tugas Sova. Lezat versi keluarga mereka. “Maksudnya? Bu Devi makan makanan dari sampah?” tanya Roy memastikan. “Iya. Bahkan, saat Ayah menghampiri nya, Mamamu tak mengenali Ayah. Maaf kalau Ayah membawanya ke sini, Ayah janji kalau usaha Ayah sudah membuahkan hasil dan Ayah mendapat bagian dari sana, Ayah akan membawa Mamamu pergi dari sini. Maaf, Ayah selalu merepotkan!” ucap pak Harun menunduk. “Dia bukan Mamaku, Yah. Enggak perlu menekankan kata ‘Mamamu' terus pada Sova.” Sova menghembuskan nafas panjang setelah mengatakan hal itu. Setelah siang kemarin da
Roy mengerutkan kening, menerka-nerka siapa orang yang berani mengatai dirinya, terlebih wanita yang terlihat seperti ondel-ondel bagi Roy itu, menyebutnya pria tua dan miskin. Itu artinya, ondel-ondel itu tak mengenali dirinya. “Yulia?” tanya Sova sambil mengerutkan keningnya, persis seperti Roy. Ia mencoba meyakinkan apa yang Ia lihat, khawatir salah. “Sayang, kamu kenal dia?” tanya Roy melirik ke arah Sova. Roy pun mulai menahan tawa karena melihat penampilan wanita itu yang tak berubah, tetap seperti ondel-ondel di mata Roy. “Dia... “ Sova menjeda kalimatnya, kemudian menoleh ke arah wanita itu, “Yulia kan?” tanya Sova berusaha mendapatkan jawaban yang belum Ia dapat. “Haduh, jadi istri kakek tua plus kere aja sombongnya minta ampun!” ketus Yulia sambil menepuk jidatnya sendiri. “Asal kamu tahu ya, perempuan sombong macam kamu yang cuma bisa morotin lelaki tua macam dia, mau dinikahi demi uang lima juta doang, aduh... Capek deh!” ledek Yulia yang me
“Katanya, hari ini pak Roy ada meeting.” Bu Ais mengatakan hal itu dengan sungguh-sungguh. “Ada calon apa baru... gitu, dari Suwiss. Ah, susah ngomongnya.” Bu Ais terkekeh sambil menepok mulutnya sendiri pelan. “Calon investor?” tanya Sova sambil menghapus air matanya. “Emmhhh... kayaknya tadi bukan gitu bilangnya.” Bu Ais nampak berpikir dengan kata yang baru saja Ia dengar dari Sova, membandingkannya dengan ucapan Roy tadi pagi. Lelaki paruh baya itu memang sengaja mengatakan apa yang akan Ia lakukan kepada Sova, karena tahu pasti bahwa Sova akan mencarinya dan menanyakan keberadaan dirinya kepada bi Ais. “Apa ya? Kolega kali?” tanya Sova seraya bersender pada sandaran king bed miliknya. “Nah, itu dia. Kayaknya tadi bilang itu!” ungkap bi Ais sambil berdiri, menyiapkan apa yang Ia bawa dan tadi disimpan di atas nakas. Bibirnya tersenyum puas karena menemukan kata yang sesuai dengan apa yang diucapkan Roy sebelum Ia berangkat ke kantor. “Oooh. Lagian, Swiss Bi. Bukan Suwi
Sova tak bisa berpikir jernih saat mendengar suara perempuan dari nomor telepon Roy. Otaknya sudah traveling kemana-mana, apakah suaminya selingkuh? “Ya Tuhan, cobaan hidup macam apa ini?” lirihnya dalam hati, seraya menahan buliran bening yang ingin terjun bebas dari sudut matanya. Bi Ais tak bisa berbicara banyak karena Ia pun merasa geram dengan Roy. Tapi, mau tak mau Ia harus membuat Sova tenang agar kehamilannya tak terganggu. “Maaf, saya harus menghubungi nomor anda karena di kontak ini ditulis nama My wife. Apa betul?” tanya perempuan di sebrang telepon yang mampu merubah kecurigaan Sova menjadi rasa waswas. “Ya. Ini nomor suami saya. Mbak siapa? Kenapa ponsel suami saya ada di Mbak?” tanya Sova dengan suara bergetar. “Suami Ibu ada di rumah sakit kota karena mengalami kecelakaan tunggal di jalan tol.”“Astaghfirullah!” Sova menutup mulutnya, menahan histeris di balik air matanya. “Mohon keluarga yang bersangkutan agar segera datang, karena pasien harus segera mendap
“Darah?” Sari menekan rasa paniknya, agar Sova bisa lebih tenang. Sari bertekad untuk membuka pintu toilet sambil mempersiapkan segala macam yang bisa saja terjadi. Krieett... Sari mengintip sedikit keluar. Netranya tak menemukan siapapun di luar. Sikap waspada ya semakin Ia tampakkan agar tak terlihat lemah di depan musuh, namun tetap tenang dan seolah tak ada hal genting terjadi. Pintu pun kini telah dibuka dengan lebar. “Ayo, Non!” ajak Sari seraya menarik kursi roda Sova. Setelah berada di depan toilet, Dari mengawasi sekeliling untuk memastikan keamanan. Bagaimana pun, baru saja ada orang yang mengetuk pintu toilet yang Ia tak tahu apa kepentingannya. Semoga saja hanya orang yang ingin ke toilet disabilitas. Setelah dikira aman, Sari berpindah ke belakang Sova dan mendorong kursi roda nya. Sekilas, Sari melihat Sova yang mulai meringis kesakitan. Dengan segera, Sari mendorong Sova ke IGD. “Tolong, pasien hamil dan sekarang pendarahan.” Setengah berlari, Sari sudah berbic
Sova membuka matanya perlahan. Rasanya lemas sekali, badannya pun terasa remuk. Tapi, ada satu hal yang begitu mengganjal pikirannya. “Bayiku?” tanyanya seraya membuka mata dengan lebar, dengan tangan mengusap perut yang masih rata. “Tenang! Tenang, Nona!” seseorang menenangkan Sova yang kini gelisah dan tak bisa diam. Tangannya terus mencari-cari sesuatu di dalam perut, seraya berusaha untuk duduk. “Bayiku!” seru Sova. Ia pun menoleh ke arah suara yang menenagkannya. “Bi Ais, mana bayiku?” “Bayi Non baik-baik saja. Non tenang aja!” pinta bi Ais seraya tersenyum tenang. Entah kata-kata sihir atau apa, ucapan bi Ais mampu membuat Sova berangsur tenang. Ia pun tak lagi gelisah dan ingin mencabut selang infus yang terpasang di tangan kirinya. Ia terdiam dan lebih tenang. “Non makan ya!” pinta bi Ais seraya mengambil kotak makan yang disediakan rumah sakit. Sova meliriknya sekilas, tak ada selera sama sekali. Nasi tim, sayur tahu berwarna kuning pucat
Bi Ais berpikir tentang apa yang harus Ia lakukan saat ini. Tak mungkin jika Ia harus mempertaruhkan keselamatan Sova dengan rasa percaya di atas bimbang yang Ia rasakan. “Ya Allah, Bibi harus gimana ini?” tanyanya pelan seraya mondar-mandir di ruangan Sova. “Bi!” lirih Sova memanggil namanya, membuat bi Ais menghentikan langkahnya tak pastinya. “Non!” sapa bi Ais seraya mendekati Sova yang masih nampak lemah. “Gimana perasaannya? Apa yang masih dirasain?” tanya bi Ais tak sabar. “Bi, beneran dede bayi baik-baik aja? Aku... Aku pendarahan Bi,” ucap Sova seraya menahan air matanya. “Bener Non, dede bayinya selamat alhamdulillah. Tapi, Non enggak boleh punya beban pikiran, biar kondisi dede bayinya stabil,” ucap bi Ais lagi. Sova terdiam, ingin mengatakan jika Ia tak baik-baik saja karena memikirkan keadaan Roy. Sedangkan, di sisi hatinya yang lain ada kekhawatiran tentang keselamatan sang jabang bayi. Entahlah, apakah bi Ais berkata jujur atau tidak tentang kondisi bayinya. “Non!
3 Bulan kemudianRoy mendorong Sova yang menduduki kursi roda dengan sangat hati-hati. Ini hari pertama bagi mereka berdua untuk kembali menghirup udara Jakarta setelah beberapa bulan ini mereka mendapatkan perawatan intensif di negri singa. “Akang, tuh lihat! Semuanya ngelihatin Aku, enggak enak banget, malu!” cebik Sova seraya menunduk dan menutup wajahnya dengan tas yang Ia bawa. “Aku kan bisa jalan,” keluhnya lagi dengan suara yang dikecilkan sebisa mungkin. “Sssttt...!!! Nikmati aja. Akang aja pegel harus jalan jauh. Kasihan yang di perut,” ucapnya membuat Sova kini terdiam tak lagi mendebat. Sova mengalihkan pandangannya ke perutnya yang kini sudah membuncit. Ia pun mengelus-elus perut, tersenyum bahagia karena bayinya kini sudah mulai memberikan tendangan-tendangan kecil. “Ya udah, demi Dede, Bunda mau dibikin malu karena pake kursi roda,” ucapnya sambil nyengir kuda. “Memangnya... kenapa mesti malu? Kamu enggak merugikan orang lain kan? Enggak berbuat salah sama or