Sari mengotak-atik ponselnya, tanpa memperhatikan obrolan ketiga orang di dekatnya. “Hey!” Sova menepuk pundak Sari cukup kencang. Sari mencengkeram kerah baju Sova dan membuatnya berada dalam posisi kuncian di Sari. “Apaan ini?” kesal Sova, namun Ia tak mampu berbuat banyak karena sudah berada di dalam kuncian Sari. Sova hanya mengerang dan memukul papan kayu tempat mereka duduk dengan tangan kanannya. “Maaf, Nya. Maaf!” ucap Sari buru-buru melepaskan Sova. Sova hendak memukul Sari karena kesal, namun tangan kanan yang sudah mengepal itu Ia biarkan tergantung di udara, sampai akhirnya Ia pukulkan ke arah angin. Sari yang mengerti bahwa Sova akan membalasnya, masih menutup mata tanpa melawan sedikit pun. Ia sadar bahwa dirinya salah, serta tahu tuan-nya siapa. Saat tak ada pukulan yang mendarat sedikitpun di pipi, kepala atau bagian tubuh manapun, Sari mengintip dengan membuka matanya sedikit. “Nyonya, maafkan saya!” ucap Sari sekali lagi, saat Ia melihat Sova masih me
Mendengar suara kegaduhan dari ruang makan, Roy yang baru keluar dari lift dengan menggunakan baju yang lebih santai, segera bergegas untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. “Ada apa ini?” tanya Roy yang langsung menghentikan segala tanya, saat netranya melihat bu Devi, sang Ibu mertua berada di dapur. “Maafkan Saya, tadi Saya nemuin istri Saya di dekat pasar. Tanpa minta izin dulu, Saya bawa ke sini,” ucap Pak Harun yang langsung menghampiri Roy. Lelaki paruh baya itu terus saja mencuri pandang ke arah Sova yang wajahnya sudah memerah dan bersimbah air mata. Roy mengerti perasaan Sova karena lelaki itu pernah meminta anak buahnya untuk menyelidiki Sova secara keseluruhan, sebelum akhirnya memutuskan untuk menikahinya. “Ayo, Sayang! Kita bicara di dalam dengan kepala dingin.” Roy memapah Sova agar mengikuti langkahnya. Ia tak ingin membuat wanita muda itu bertambah stress. “Bagaimana, apa boleh Saya membawa istri Saya ke sini?” tanya pak Harun lagi ka
“Sova!” lirih suara Roy memanggil nama Sova, dengan suara yang terdengar berat. Bagaimana pun usianya terpaut jauh dari Sova, Ia hanya lelaki biasa yang bisa berhasrat, terlebih dengan gadis yang begitu seksi di hadapannya. “Aku mau pernikahan yang sebenarnya, Kang! Aku ingin dengar dari mulut Akang, kalau Aku bukan hanya dijadikan alat untuk menyelamatkan semua harta Akang. Aku ingin jadi istri, Kang!” ucap Sova sambil tertunduk menahan air matanya agar tak lolos. Melihat Roy yang hanya diam saja di tempatnya, Sova mengira bahwa suaminya itu akan menolak dirinya. Dan yang pasti, Ia hanyalah seorang kacung yang dianggap tak punya hati. Berawal dari pernikahan paksaan, berlanjut dengan Ia yang berusaha ikhlas dan memberikan hati untuk suami, kini harus menelan pil pahit jika suaminya menolak. Harga dirinya sebagai seorang wanita runtuh seketika. Ia merasa menjadi seorang pel**ur yang keinginannya tak penting. “Maaf, Kang. Rupanya anganku terlalu jauh. Kita bisa menikah kontra
“Sova!”Sova yang masih menangis dengan tangan kanan tergantung ke handle pintu walk in closet, sedangkan tangan kirinya Ia biarkan memeluk Kedua lutut yang tak lagi sanggup berdiri, tak langsung menoleh saat Ia mendengar panggilan seseorang. Orang itu baru saja membuka pintu kamar miliknya. Rasanya semua suara terdengar seperti suara Roy. Bisa jadi, suara jangkrik pun akan Ia anggap seperti nyanyian suaminya. “Sayang. Ada apa?” tanya seseorang yang terdengar lebih dekat dan nyata. Akhirnya Sova mengangkat pandangannya. Namun, sebelum Ia melihat sosok yang ada di hadapannya, lelaki itu sudah lebih dulu membawanya ke dalam pelukan. “Sayang, ada apa? Apa kamu menyesal? Maafkan Akang!” ucapnya begitu lirih. “Akang, ini betulan Akang kan? Aku enggak mimpi?” Sova berusaha melepaskan diri dari pelukan Roy. Ia hanya ingin memastikan bahwa Ia dipeluk oleh orang yang benar, orang yang Ia cari sedari terjaga tadi. Roy pun melepaskan pelukannya, mengikuti keinginan Sova. “Iya, ini A
“Entahlah. Mamamu seperti orang linglung. Ayah tak tega membiarkan Mamamu di jalanan dekat pasar lagi makan di tempat sampah,” ucap pak Harun membuat Sova tak mampu mengatupkan mulutnya. Ia kaget mengingat bahwa bu Devi merupakan pemilih untuk makanan. Saat mereka hidup bersama, Sova lah yang menjadi penanggung jawab makanan bu Devi. Makanan enak kan lezat harus selalu tersedia, bagaimana pun caranya. Dan semua itu adalah tugas Sova. Lezat versi keluarga mereka. “Maksudnya? Bu Devi makan makanan dari sampah?” tanya Roy memastikan. “Iya. Bahkan, saat Ayah menghampiri nya, Mamamu tak mengenali Ayah. Maaf kalau Ayah membawanya ke sini, Ayah janji kalau usaha Ayah sudah membuahkan hasil dan Ayah mendapat bagian dari sana, Ayah akan membawa Mamamu pergi dari sini. Maaf, Ayah selalu merepotkan!” ucap pak Harun menunduk. “Dia bukan Mamaku, Yah. Enggak perlu menekankan kata ‘Mamamu' terus pada Sova.” Sova menghembuskan nafas panjang setelah mengatakan hal itu. Setelah siang kemarin da
Roy mengerutkan kening, menerka-nerka siapa orang yang berani mengatai dirinya, terlebih wanita yang terlihat seperti ondel-ondel bagi Roy itu, menyebutnya pria tua dan miskin. Itu artinya, ondel-ondel itu tak mengenali dirinya. “Yulia?” tanya Sova sambil mengerutkan keningnya, persis seperti Roy. Ia mencoba meyakinkan apa yang Ia lihat, khawatir salah. “Sayang, kamu kenal dia?” tanya Roy melirik ke arah Sova. Roy pun mulai menahan tawa karena melihat penampilan wanita itu yang tak berubah, tetap seperti ondel-ondel di mata Roy. “Dia... “ Sova menjeda kalimatnya, kemudian menoleh ke arah wanita itu, “Yulia kan?” tanya Sova berusaha mendapatkan jawaban yang belum Ia dapat. “Haduh, jadi istri kakek tua plus kere aja sombongnya minta ampun!” ketus Yulia sambil menepuk jidatnya sendiri. “Asal kamu tahu ya, perempuan sombong macam kamu yang cuma bisa morotin lelaki tua macam dia, mau dinikahi demi uang lima juta doang, aduh... Capek deh!” ledek Yulia yang me
“Katanya, hari ini pak Roy ada meeting.” Bu Ais mengatakan hal itu dengan sungguh-sungguh. “Ada calon apa baru... gitu, dari Suwiss. Ah, susah ngomongnya.” Bu Ais terkekeh sambil menepok mulutnya sendiri pelan. “Calon investor?” tanya Sova sambil menghapus air matanya. “Emmhhh... kayaknya tadi bukan gitu bilangnya.” Bu Ais nampak berpikir dengan kata yang baru saja Ia dengar dari Sova, membandingkannya dengan ucapan Roy tadi pagi. Lelaki paruh baya itu memang sengaja mengatakan apa yang akan Ia lakukan kepada Sova, karena tahu pasti bahwa Sova akan mencarinya dan menanyakan keberadaan dirinya kepada bi Ais. “Apa ya? Kolega kali?” tanya Sova seraya bersender pada sandaran king bed miliknya. “Nah, itu dia. Kayaknya tadi bilang itu!” ungkap bi Ais sambil berdiri, menyiapkan apa yang Ia bawa dan tadi disimpan di atas nakas. Bibirnya tersenyum puas karena menemukan kata yang sesuai dengan apa yang diucapkan Roy sebelum Ia berangkat ke kantor. “Oooh. Lagian, Swiss Bi. Bukan Suwi
Sova tak bisa berpikir jernih saat mendengar suara perempuan dari nomor telepon Roy. Otaknya sudah traveling kemana-mana, apakah suaminya selingkuh? “Ya Tuhan, cobaan hidup macam apa ini?” lirihnya dalam hati, seraya menahan buliran bening yang ingin terjun bebas dari sudut matanya. Bi Ais tak bisa berbicara banyak karena Ia pun merasa geram dengan Roy. Tapi, mau tak mau Ia harus membuat Sova tenang agar kehamilannya tak terganggu. “Maaf, saya harus menghubungi nomor anda karena di kontak ini ditulis nama My wife. Apa betul?” tanya perempuan di sebrang telepon yang mampu merubah kecurigaan Sova menjadi rasa waswas. “Ya. Ini nomor suami saya. Mbak siapa? Kenapa ponsel suami saya ada di Mbak?” tanya Sova dengan suara bergetar. “Suami Ibu ada di rumah sakit kota karena mengalami kecelakaan tunggal di jalan tol.”“Astaghfirullah!” Sova menutup mulutnya, menahan histeris di balik air matanya. “Mohon keluarga yang bersangkutan agar segera datang, karena pasien harus segera mendap