Roy mengusap-usap pundak Sova, berusaha menenangkan kegelisahan istrinya. Setelah terapi, Sova memang masih memiliki sentimentil berlebih untuk hal-hal tertentu. Bahkan, Roy pun belum berani untuk memberikan ciuman di bibir Sova. Saat sesi hypnotherapy, Sova seringkali menolak verbal ataupun visual yang merangsang otak seseorang untuk masuk ke dalam halusinasi hipnosis. Bahkan, Sova pernah dibawa ke terapis lain, namun lebih gagal. “Maafin Ayah!” pinta pak Harun yang merasa bersalah karena telah menyebut kata ibumu. Padahal, sebenarnya pak Harun ingin membahas Atikah, ibu kandung Sova. Namun, karena selama Ia hidup hanya mengenal Devi sebagai seorang Ibu, tentu saja yang diterima oleh otak Sova adalah nama Devi. “Ayo. Kita berangkat ya!” ajak Roy seraya membawa Sova pergi, meninggalkan pak Harun di meja makan seorang diri. Sova naik ke dalam mobil high MPV itu terlebih dahulu. Ia merasa lelah setelah pikirannya mengingat dendam dan sakit hati terhadap Devi. “Bos!” panggil Hari, me
“Kamu siap, Sayang?” tanya Roy seraya menyunggingkan senyum termanisnya. Senyum matikan dari seorang pria matang nan elegan, membuat banyak wanita cantik terhipnotis dengan ketampanannya, apalagi uangnya. “Huuffhh... Aku siap!” jawab Sova tanpa menoleh ke arah suaminya. Ia membayangkan hal yang selalu diajarkan oleh Meri, untuk menjadi wanita elegan. “Ayo!” ajak Roy seraya menyerahkan lengannya untuk dipegang Sova. “Kang!” panggil Sova. Ia pun menatap manik mata Roy yang menunggu kalimat lanjutan darinya. “Apa Aku sudah terlihat lebih dewasa?” tanya Sova terdengar sedikit khawatir. “Maksudnya, Sayang?” tanya Roy tak mengerti. “Akang lebih suka kalau kamu imut. Bikin Akang pengen uwel-uwel,” ucap Roy seraya terkekeh. “Itu kalau di rumah aja Kang. Kalau di sini, apa iya kalau Aku harus imut? Entar, Aku enggak dihargai sebagai istri CEO? Aku enggak diperhitungkan sebagai wanita berkelas? Bukankah Aku harus berdiri kuat di atas kakiku sendiri, biar Akang tenang?!” tanya Sova s
Sova mengikuti langkah kaki Roy, memasuki ruangan CEO. Ruangan yang didesain sangat apik serta homey. “Kayaknya, ruangan Akang punya konsep yang mirip sama tempat prakteknya Kak Hilda.” Sova terus memindai setiap sudut ruangan yang menurutnya sangat menenangkan. Terlebih, Roy menaruh air terjun dinding model klasik di salah satu sudut ruangannya, menambah keasrian ruangan. “Aku suka ini, Kang! Kayak pulang kampung.” Sova tertawa seraya memasukkan telunjuknya diantara air yang terus terjatuh. “Kamu suka, Sayang?” tanya Roy seraya memeluk Sova dari belakang. Lelaki itu mencium wangi gourmand dari parfume yang dikenakan gadis itu. “Akang!” sahut Sova kaget. Ia masih belum terbiasa diperlakukan begitu manis oleh Roy. “Biarkan dulu seperti ini!” pinta Roy saat Sova berusaha melepaskan diri. Wangi vanilla yang dipakai Sova sungguh memabukkan dirinya. “Kang!” panggil Sova yang berusaha membiasakan diri dengan perlakuan Roy. “Iya, Sayang!” sahut Roy lirih. “Aku... Sepertinya
Tuk... tuk... tuk...“Hey, ja**ng! Cepat buka!” Sova tersentak tak terima saat Ia dikatai oleh seseorang yang Ia tak tahu siapa, di kantor milik suaminya. Apalagi, Ia yang sedang menunaikan hajat kecilnya, merasa terganggu dan tak nyaman. Namun, Ia tetap berusaha berpikiran positif. “Mbak, jangan bikin pintu toilet ini rusak! Anda salah orang,” sahut Sova terpaksa. Ia khawatir pintu terbuka dengan terpaksa, apalagi dia sedang ada dalam kondisi memalukan. Sova segera menyudahi kegiatannya, kemudian Ia menekan tombol flush. Byurrrr... Terdengar suara siraman air setelah tombol flush itu Sova tekan. “Hey, ja**ng! Buka! Aku enggak salah orang. Kalau enggak, Aku dobrak pintu ini, biar bos tahu betapa bar-barnya cewek kampung kaya lu!” teriak seorang wanita dari balik pintu toilet sebelah luar. Sova baru paham bahwa wanita yang sedari tadi memanggilnya dengan sebutan yang tak mengenakkan itu memang bukan orang yang salah sasaran. “Oh, r
“Kalau kamu enggak mau sakit, maka jangan menghalangi jalan!” ucap Roy seraya masuk ke toilet wanita, tanpa menghiraukan Rania yang wajahnya masih nampak pucat. Tak ada kata apapun yang keluar dari mulut Rania. Ia nampak masih shock karena tetiba muncul Roy dan jajarannya di sana. “Pak Bos. Di kantor ini telah terjadi pembulian. Korban masih terduduk di sana! Kami mau menang... “ “Sayang, kamu enggak apa-apa?” tanya Roy seraya mendekati Sova. Bahkan, di hadapan kedua sekuriti itu, Roy memperlakukan Sova begitu manis dan penuh kekhawatiran. “Menang? Menang apa?” Beni mewakili Roy bertanya kepada dua sekuriti yang nampak sangat terkejut. “Itu... emmhhh... “ salah satu sekuriti yang memiliki kumis baplang, mendadak gagu dan tak mampu menjawab pertanyaan mudah dari Beni. “Ben, laporkan perempuan yang sedang duduk di hadapan kloset ke polisi. Dia sudah menghina dan berusaha memfitnah istri saya.” Mendengar ucapan Roy, wanita yang sedari tadi tak bergerak dari tempatnya, demi memperton
“Minggir, Sari! Minggirkan mobilnya!” titah Sova yang sudah merasa panas di dadanya. “Nyonya, ini di jalan tol,” tolak Sari yang tentu saja tak bisa dibantah lagi oleh Sova. Sova mendengus kesal. Bahkan, Ia pun mengusap kasar wajahnya yang cantik. “Cari tempat makan dulu!” titah Sova pada akhirnya. “Tapi ini masih... ““Aku bilang cari tempat makan. Cari pintu tol terdekat!” titah Sova dengan mata mendelik tajam. Sari yang terbiasa mengintimidasi orang, tak bisa berbuat banyak karena Ia pun tahu jika Sova juga pemegang sabuk hitam di salah satu perguruan. Hanya saja, gadis yang kini duduk di sampingnya ini memiliki kehidupan yang tak seberuntung saat ini. Entahlah, Sari hanya bisa menganggukkan kepala dan menyimpan respek lebih besar kepada Sova. “Baik.” Sari segera memacu gas, demi mempercepat laju kendaraan mewah yang Ia kendarai. Bahkan, Ia mengendarainya cukup ugal-ugalan, melakukan zigzag dan menyalip setiap mobil yang berada lebih depan dari mereka. Sova tak pedul
Sari mengotak-atik ponselnya, tanpa memperhatikan obrolan ketiga orang di dekatnya. “Hey!” Sova menepuk pundak Sari cukup kencang. Sari mencengkeram kerah baju Sova dan membuatnya berada dalam posisi kuncian di Sari. “Apaan ini?” kesal Sova, namun Ia tak mampu berbuat banyak karena sudah berada di dalam kuncian Sari. Sova hanya mengerang dan memukul papan kayu tempat mereka duduk dengan tangan kanannya. “Maaf, Nya. Maaf!” ucap Sari buru-buru melepaskan Sova. Sova hendak memukul Sari karena kesal, namun tangan kanan yang sudah mengepal itu Ia biarkan tergantung di udara, sampai akhirnya Ia pukulkan ke arah angin. Sari yang mengerti bahwa Sova akan membalasnya, masih menutup mata tanpa melawan sedikit pun. Ia sadar bahwa dirinya salah, serta tahu tuan-nya siapa. Saat tak ada pukulan yang mendarat sedikitpun di pipi, kepala atau bagian tubuh manapun, Sari mengintip dengan membuka matanya sedikit. “Nyonya, maafkan saya!” ucap Sari sekali lagi, saat Ia melihat Sova masih me
Mendengar suara kegaduhan dari ruang makan, Roy yang baru keluar dari lift dengan menggunakan baju yang lebih santai, segera bergegas untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. “Ada apa ini?” tanya Roy yang langsung menghentikan segala tanya, saat netranya melihat bu Devi, sang Ibu mertua berada di dapur. “Maafkan Saya, tadi Saya nemuin istri Saya di dekat pasar. Tanpa minta izin dulu, Saya bawa ke sini,” ucap Pak Harun yang langsung menghampiri Roy. Lelaki paruh baya itu terus saja mencuri pandang ke arah Sova yang wajahnya sudah memerah dan bersimbah air mata. Roy mengerti perasaan Sova karena lelaki itu pernah meminta anak buahnya untuk menyelidiki Sova secara keseluruhan, sebelum akhirnya memutuskan untuk menikahinya. “Ayo, Sayang! Kita bicara di dalam dengan kepala dingin.” Roy memapah Sova agar mengikuti langkahnya. Ia tak ingin membuat wanita muda itu bertambah stress. “Bagaimana, apa boleh Saya membawa istri Saya ke sini?” tanya pak Harun lagi ka