“Tunggu! Saya belum sepenuhnya faham dengan maksud perkataan Ibu. Tadi Ibu bilang kalau suami saya adalah... bos besar?” tanya Sova dengan memicingkan matanya. “Iya, Nyonya,” sahut bu Ais yang merasa serba salah. “Hehehehe... “ Sova terkekeh saat mendengar ucapan dari bu Ais. “Jangan ngadi-ngadi, Bu. Aneh rasanya, suami saya yang tukang ojol bisa jadi bos besar dalam semalam. Simsalabim... boommmbbb,” kolah Sova seraya menggerakkan tangan kanannya seolah seorang peri yang sedang memantrai sesuatu dengan tongkatnya. “Nyonya sengaja ingin menjadi nyonya kan? Makanya mendekati Tuan Roy,” ada sinisme di ucapan bu Ais, meskipun wanita paruh baya itu ragu mengatakannya. Sova memandangi semua ruangan dengan penuh tanya, tanpa menghiraukan tuduhan bu Ais. Otaknya bekerja untuk berpikir jika ucapan bu Ais bohong, lantas bagaimana dengan mobil semalam? Bagaimana dengan kamar yang mirip istana raja ini? “Dimana suami saya?” tanya Sova mulai serius dengan mimik wajahnya. “Tuan sedang
Hari berjalan dengan tegap sambil membawa sebuah tas kantor. Penampilannya pun lengkap dengan jas dan kaca mata hitam yang pas sekali di badannya. “Kalian ini, sebenarnya perawat atau apa?” tanya Sova seraya menunjuk kepada saudara kembar itu bergantian. “Siang, Nyonya!” sapa Hari, persis seperti saat Sari menyapa dirinya. “Mimpi apa Aku semalam?!” keluh Sova seraya memutar bola matanya. Perawat kembar Sari dan Hari yang beberapa minggu ini sudah seperti sahabat baginya, kini berubah menjadi kaki dan sangat formal. “Tolong, antar Aku nemuin Ayah. Setelah itu, terserah!” titah Sova dengan mimik wajah yang lebih tegas. “Baik,” sahut Hari yang tak menyulitkan permintaan Sova. “Mari, Nyonya!” ajak Hari seraya merentangkan tangan kanannya, mempersilakan Sova untuk berjalan lebih dulu. “Kamu duluan! Saya enggak tahu denah rumah ini, sama sekali,” ucap Sova yang malah menahan langkah kakinya, memberi kesempatan untuk Hari berjalan lebih dulu. “Ka..
Roy kembali terkejut dengan tingkah Sova, padahal ini adalah yang kedua kalinya. Kali ini, ada rasa kesal dalam hati Roy. Lelaki itu mengira bahwa Sova sengaja melakukan hal tersebut, demi tak melakukan hal intim bersamanya. “Kalau kamu memang enggak mau besok kamu bisa pulang sama Ayahmu!” kesal Roy. Entah dari mana pesan ancaman itu keluar dari bibir Roy. Padahal, selama ini Ia begitu sabar memperlakukan Sova. Bahkan, Ia pun tahu bahwa Sova begitu menerima dirinya dengan segala kurangnya. Tapi, hasrat yang sedang meletup-letup dan tak bisa tersalurkan, membuat Roy tak berpikir panjang. Ya, berada dengan Sova membuat Ia bersikap kekanak-kanakan. Melihat Sova menangis dengan memeluk lututnya di pojokan, tak membuat Roy merasa kasihan. Justru, Ia menganggap bahwa Ia baru mengenal sifat Sova yang sebenarnya. Lelaki itu pun pergi meninggalkan Sova yang sedang menangis sendiri, menuju ruang kerjanya. Bahkan, Ia tak ingin tidur bersama Sova. Roy menekan tombol li
Roy mengerutkan keningnya cukup dalam saat mendengar kalimat pembuka dari bu Ais. Lelaki itu pun menyenderkan punggungnya ke kursi kebesaran miliknya, berusaha bersikap rileks. “Jadi... bagaimana?” tanya Roy lebih tenang. Ia hanya ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh bu Ais. “Tuan, bolehkah saya duduk? Ini... Emmmhh, Saya akan runtut cerita dari awal.” Bu Ais meminta duduk, demi menurunkan detak jantungnya yang berpacu semakin kencang. Roy teringat kala menemukan Sova yang sedang duduk bersama bu Ais, masih hari kemarin. Ya, kejadian demi kejadian berjalan begitu cepatcepat, tepatnya terasa begitu cepat. “Oke. Silakan duduk di sofa!” titahnya seraya berdiri memutari meja kerjanya, menuju sofa yang berada di ruang kerja tersebut. Bu Ais menunggu Roy duduk di sana lebih dulu, sebelum akhirnya Ia ikut duduk di sana. Bu Ais memang diperlakukan sangat baik oleh mendiang Dania, tapi tidak terlalu dekat dengan Roy. “Duduklah, Bi!” titah Roy menunjuk ke arah sofa yang bersebrangan den
“Kang, jadi malam kemarin kita naik mobil mewah itu nyata ya? Bukan Cuma halusinasiku aja?!” Sova terus saja berbicara seperti kereta api yang tak kunjung berhenti. Matanya terus Ia edarkan ke setiap sudut jalanan, mencari apa yang menarik dan pantas untuk dikomentari. Bahkan, Ia sudah membicarakan hal ini ke tujuh kalinya selama di perjalanan. “Iya, Sayang. Ini udah ke sekian kali Akang jawab iya, ya!” kekeh Roy yang merasa gemas dengan tingkah laku Sova. Sepanjang perjalanan pun tak luput dari canda dan tawa sejoli itu. Bahkan, Agus yang merupakan sopir Roy hanya bisa berpura-pura tuli dan bisu. Tuli dari obrolan majikan yang mengarah pada mesra. Bisu dari keinginannya yang kuat untuk berkomentar. Akhirnya, mobil pun masuk ke pelataran sebuah klinik yang bernuansa taman dan homey.“Kita kemana? Ini... kayak bukan restoran, Kang!” tanya Sova keheranan. “Kamu lapar? Mau makan dulu?” tanya Roy yang merasa bersalah karena tak membawa Sova ke tempat makan terlebih dahulu. Se
Sova masih menangis dengan tangisan yang terdengar sangat pilu. Hilda pun mendudukkannya di sebuah sofa panjang, agar gadis itu menghabiskan semua rasa sedihnya. "Ambilkan minum! " titah Hilda kepada seorang asisten pribadinya yang baru saja masuk ke dalam ruangan, setelah dipanggil oleh Roy. "Baik, dok!" sahut asisten pribadinya tersebut. Tak lama, asisten berseragam hijau tua itu pun memberikan segelas air putih hangat kepada Sova. “Ayo, Mbak. Diminum dulu ya!” Pintanya seraya tersenyum hangat, sambil terdiam tak bergeming. Sova yang masih terisak di atas Sofa dengan kaki terangkat dan Ia peluk, menggelengkan kepalanya. Tak ada celah bagi asisten perawat itu untuk memberi Sova air hangat. Di saat itulah, Sova mengucapkan beberapa patah kata yang sudah mulai tersambung. Beberapa detik berjalan, Sova fokus dengan suara Hilda yang menuntunnya masuk ke alam yang Ia kehendaki. Perlahan tapi pasti, Sova pun semakin diam dan tak lagi mengeluarkan air mata. Roy yang menyaksikan keja
“Sova! Sova! Sayang!” Sova menggeliat saat pendengarannya menangkap suara bariton yang beberapa waktu ini sudah mengisi hari-harinya. “Kang!” panggilnya saat Ia mendapati wajah suaminya terbingkai dekat dengan wajah miliknya. “Sayang, bolehkah?” tanya Roy dengan mata sayu. “Jangan. Ini di tempatnya temen Akang. Geser, please!” minta Sova dengan memperlihatkan mata kucingnya. Roy menjauhkan dirinya dari Sova, kemudian duduk. Sova memindai ruangan tempat saat ini Ia berada. “Ini kan...?” Sova langsung duduk dari tidurnya, kemudian menepuk-nepuk ranjang yang tadi Ia tiduri. “Ini rumah Akang?” tanya Sova seolah tak percaya. “Rumah kita,” ralat Roy sambil tersenyum manis. Lelaki itu merasa gemas melihat tingkah polos istrinya. “Kan, semalem Aku masih di tempatnya dokter Hilda, nungguin Akang. Kok, sekarang... “ “Di tempat kita. Di tempat peraduan kita,” sahut Roy sambil menjawil dagu Sova dengan gemas. “Ya ampun, kenapa saat ada di samping Sova, Aku kaya anak kecil ya?
Roy mengusap-usap pundak Sova, berusaha menenangkan kegelisahan istrinya. Setelah terapi, Sova memang masih memiliki sentimentil berlebih untuk hal-hal tertentu. Bahkan, Roy pun belum berani untuk memberikan ciuman di bibir Sova. Saat sesi hypnotherapy, Sova seringkali menolak verbal ataupun visual yang merangsang otak seseorang untuk masuk ke dalam halusinasi hipnosis. Bahkan, Sova pernah dibawa ke terapis lain, namun lebih gagal. “Maafin Ayah!” pinta pak Harun yang merasa bersalah karena telah menyebut kata ibumu. Padahal, sebenarnya pak Harun ingin membahas Atikah, ibu kandung Sova. Namun, karena selama Ia hidup hanya mengenal Devi sebagai seorang Ibu, tentu saja yang diterima oleh otak Sova adalah nama Devi. “Ayo. Kita berangkat ya!” ajak Roy seraya membawa Sova pergi, meninggalkan pak Harun di meja makan seorang diri. Sova naik ke dalam mobil high MPV itu terlebih dahulu. Ia merasa lelah setelah pikirannya mengingat dendam dan sakit hati terhadap Devi. “Bos!” panggil Hari, me
"Jadi benar?" desis Roy. Matanya masih menatap hampir tak berkedip pada rekaman-rekaman yang sedang terputar di sana. "Apanya Kang?" tanya Sova saat Ia melihat wajah tegang suaminya. "Akang, benar apanya?" tanya Sova sekali lagi, karena Ia tak mendapatkan jawaban apapun dari Roy. "Akang sudah salah menilai, Sayang." Roy menatap Sova seraya mengelus pipi wanita itu, meminta kekuatan dalam hatinya. "Menilai apa?" tanya Sova. Namun, lagi-lagi Roy tak memberinya jawaban. Sova mencebik, kesal karena merasa diabaikan. Bukankah Ia yang seharusnya masih marah dan mendiamkan Roy? Kenapa malah terjadi hal sebaliknya? Sova mengambil ponsel miliknya dari tangan Roy, penasaran dengan apa yang dilihat oleh suaminya. Sedangkan Roy, Ia tak lagi berusaha mengambil lagi ponsel tersebut. Semua kejadian dimana Lina datang sampai Ia membawa Dania pergi, terekam jelas oleh CCTV yang terkoneksi dengan ponsel Sova. Sedangkan, di CCTV rumah yang sengaja Ia pasang, tak ada satu pun bayangan Lina masuk ke
"Apa maksudnya, Kang? Masa pak Beni resign? Mbak Hilda gimana? Mana mbak Hilda?" tanya Sova beruntun. "Mereka memfitnah Lina. Padahal, Beni... ah, entahlah. Apa dia sedang dekat dengan Hilda? Jadi dia selingkuh?" desis Roy namun masih bisa didengar oleh Sova. "Rupanya ini karena mbak Lina? Selingkuh? Benarkah? Jadi, mereka menjebakku agar mau menerima mbak Dania di rumah ini?" tanya Sova sangat lirih, namun masih jelas terdengar oleh Roy. "Apa? Jadi mereka yang memintamu untuk memasukkan Dania ke rumah? Memintamu untuk menerima Dania di rumah ini?" tanya Roy seraya menatap Sova, mencari kebenaran di kedalaman mata istrinya. "Emmhhh... iya, Kang." Sova akhirnya jujur akan hal yang tak Ia bicarakan kepada Roy. Bahkan, Ia cenderung melakukan hal itu di belakang Roy. Roy menyugar rambutnya frustasi. Kesalahan adalah kata yang tepat untuk apa yang telah dilakukan Sova, itu menurut Roy. "Tapi kenapa? Kenapa kamu lakukan itu semua, Sayang? Kau undang penyakit ke dalam rumah tangga kit
Roy tak peduli saat Hilda mengejar Beni untuk keluar dari sana. Ia segera melangkahkan kakinya menuju lift. Ia berniat untuk menyusul Sova, membiarkan masalah Dania diurus oleh anak buahnya, sedangkan dia hanya akan menyelesaikan masalahnya dengan Sova. Roy hendak meraih handle pintu saat pintu itu terbuka dari dalam. Di hadapannya ada suster Rina yang membawa botol susu bekas pakai. "Sus, biarkan kami dulu ya. Nanti kalau kami perlu, baru akan Saya panggil lagi," ucap Roy dengan tatapan mengintimidasi. Dia tak ingin terganggu oleh orang lain saat sedang bicara dengan Sova. "Emmhhh," Suster Rina menoleh ke dalam, memastikan keadaan Rafa baik-baik saja. "Tapi Pak... " tolak Suster Rina, berusaha memberikan argumen. "Enggak ada tapi-tapian... " kesal Roy saat perawat yang Ia pekerjakan hendak menolak titahnya. "Ba... baik, Pak," sahutnya cepat, kemudian berlalu dari kamar tersebut. Sova yang begitu serius mengurusi Rafa,
SLTC 103"Ada apa?" tanya Roy setelah Beni duduk di sebrangnya. "Maafkan Saya, Pak. Tapi Saya enggak tahu lagi harus berbuat apa," ucap Beni membuat Roy mengerutkan keningnya. "Katakanlah!" titah Roy seraya memandangi Beni lebih seksama. Ia curiga akan ada hal tak beres yang diceritakan oleh Beni. "Saya sangat mencintai Lina," ucap Beni pada akhirnya. "Lantas?" tanya Roy merasa apa yang disampaikan oleh Beni bukanlah poin utamanya. Beni hanya diam. Lelaki yang telah lama mengabdi pada Roy itu tak lagi mengatakan apapun, membuat Roy tak sabar. "Jangan bilang gara-gara Lina belum juga hamil, kamu berniat poligami. Begitu?" tanya Roy membuat Beni mengangkat wajahnya kaget, menatap Roy dengan tatapan tak percaya. "Tuh kan, ketebak." Roy terkekeh seraya geleng-geleng kepala. "Bukan Pak Bos, bukan itu," ucap Beni buru-buru. "Jangan berkilah, Ben. Apa kurangnya Lina sampai-sampai kamu tega mau menduakannya? Apa kau sudah menemukan perempuan lain? Apa kau sudah memberi tahu Lina renc
SLTC 102Roy masih tertegun setelah mendengar ucapan Sova barusan. Ia berpikir jika apa yang dikatakan Sova sangat masuk akal dan memungkinkan dan memiliki nilai kebenaran. "Apa benar seperti apa yang istriku bilang, Ben?" tanya Roy benar-benar meminta pendapat. "Menurutku demikian," sahut Beni membuat Roy kaget. Roy tak menyangka jika jawaban Beni begitu singkat, padat dan langsung pada point nya. "Ya sudah, ayo kita kembali ke ruang kerja!" ajak Roy. "Ben, Aku mengizinkanmu untuk membongkar makam Dania dan mengambil sampel dna-nya, untuk dites dan dibandingkan dengan DNA perempuan itu, " ucap Roy tiba-tiba.Beni yang sedang memikirkan baik-baik apa yang dilaporkan oleh anak buahnya tadi tentang Lina, tak mendengar apa yang diucapkan oleh Roy. Bahkan pandangan Beni nampak kosong di hadapan Roy."Ben" Ucap Roy lagi seraya menepuk pundaknya cukup keras. "Ada apa?" teriak Beni Karena ia merasa kaget dengan tepukan di bahunya."Sejak kapan kamu hobi melamun?" Ucap Roy yang sebenarny
Mata Roy berkilat merah. Ia begitu marah dengan apa yang disampaikan oleh anak buahnya barusan. "Jaga kedua tua bangka ini, jangan sampai mereka berdua kabur!" titah Roy membuat semua orang yang berada di sana saling melemparkan pandangan. "Siapa yang kau sebut dengan tua bangka?! " teriak Pak Tejo dengan geram. Namun, Roy tak mendengarkannya sama sekali. Ia terus melenggang pergi, keluar dari ruang kerja. Beni mengikuti Roy dengan segera. ia belum tahu apa yang terjadi, namun Ia tak merecoki Roy dengan berbagai macam pertanyaan. Saat tiba di kamar tamu, Roy langsung masuk ke dalam kamar dengan pintu yang memang sudah terbuka. Begitupun dengan Beni, Ia langsung ikut masuk ke dalam kamar dan mendapati kesalahan apa yang telah terjadi. "Mana dia? " tanya Roy dengan mata yang masih berkilat merah."A... Ampun Tuan! Kami tidak tahu, kami betul-betul tidak tahu! " ucap anak buah Roy yang seharusnya ditugaskan berjaga di sana.Saat Roy dan Beni keluar dari ruang kerja tadi, sebenarnya
"Ap...pa maksudmu?" Tanya Pak Tejo tergagap."Sudah jelas saya katakan barusan bahwa Anda berdua tidak mengenali siapa Dania. Anda berdua sudah abai kepadanya dari dulu Lalu, kenapa sekarang kalian begitu mati-matian membela? Itu karena anda hanya menginginkan harta milik Roy dan kalian tidak mengenali yang mana anak kalian. " Hilda mengatakan hal itu dengan tenggebu-gebu. Ia puas karena telah mengeluarkan unek-uneknya selama ini terhadap Pak Tejo dan istrinya. Sedari Dulu, Ia selalu menjadi tumpuan bagi Dania. Bahkan, seringkali ia membagi uang sakunya untuk Dania meskipun Dania sendiri menolaknya."Jangan berburuk sangka kamu sama kami, Roy. Siapa lagi yang akan menyayangi Dania selain daripada kami, hah? " ucap Bu Tejo seraya memalingkan mukanya. Ia Sedikit lega karena dari perkataan Hilda, menyiratkan bahwa wanita tersebut bukan mencurigai tentang siapa Dania, tetapi mencurigai bahwa dirinya tidak begitu memperhatikan Dania saja. "Ya Sudahlah, jangan terlalu diperpanjang. Sekar
SLTC 99"Pelakor miskin sepertimu tak perlu ikut bicara! Tak ada kepatutan dari setiap ucapanmu," hardik pak Tejo dengan mata nyalang. "Jangan pernah menghina istriku! Wanita yang kau sebut miskin ini adalah is-tri-ku. Camkan itu!" sahut Roy membalas tatapan nyalang pak Tejo seraya menunjuk tepat ke arah wajahnya. "Jangan lupa kalau istrimu adalah Dania. Hanya Dania," teriak bu Tejo dengan mata melotot. "Dan ya... selama pernikahanku dengan mendiang Dania, Saya baru ingat bahwa kalian tak pernah peduli padanya. Hanya jika kalian menginginkan sesuatu, maka kalian akan mencari istriku, Dania. Tapi sekarang apa? Kalian begitu membabi buta membela Dania. Ada apa sebenarnya?" tanya Roy dengan raut wajah sinis. Pasangan suami istri lanjut usia itu pun menelan salivanya, kaget dengan tuduhan yang diucapkan oleh Roy. Benar, karena itu memang kenyataannya. Dania kecil tak pernah mendapatkan kasih sayang seperti yang mereka limpahkan pada Rania, anak kandung mereka yang hadir setelah bebera
SLTC 98"Siapa?" semua orang bertanya dengan serempak. "Hemmhhh... " Sova menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. "Siapa?" tanya Roy sekali lagi. Sova meliriknya, kemudian memalingkan lagi mukanya dari Roy. "Coba kalian ingat-ingat, apa selama ini kalian bertemu... "Brakkk... Tiba-tiba pintu ruang kerja tersebut dibuka dengan kasar. Nampak pak Tejo mengepalkan tangannya seraya mencari sosok Roy. "Ada apa?" tanya Roy berdiri menghadap ke arah pak Tejo. Akhirnya, tanpa bersusah payah mencari keberadaan Roy, lelaki yang pernah menjadi menantunya itu berdiri dengan sendirinya, memudahkan Ia untuk menemukan Roy. Pak Tejo langsung meringsek masuk dan langkahnya mengarah pada Roy. Ia sudah bersiap untuk menghantamkan bogem mentah kepada lelaki yang kini berstatus sebagai suami Sova itu. "Dasar b****at!" Langkahnya ditahan oleh Beni dan Hari yang langsung