Sova terbangun saat suara adzan subuh berkumandang. Ia merasa ada sesuatu yang asing di atas tubuhnya. “Heh... “Sova melepaskan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia teringat jika semalam tak ada selimut yang Ia pakai. Ia pun terbangun dengan cepat saat ingatannya tertuju pada sosok lelaki yang tidur di ruangan yang sama dengannya. Sova pun segera duduk dan memindai seisi ruangan. Tak ada siapapun. “Kang!” panggilnya sambil terus memindai seisi ruangan. Saat tak mendengar jawaban apapun, Sova langsung memeriksa seluruh tubuhnya. “Lengkap,” ucapnya saat mendapati seluruh tubuhnya masih terbungkus baju yang sama. Ia pun menarik nafas lega karenanya. Sova kembali memindai seisi ruangan. “Kang!” kembali Ia memanggil suaminya, namun tetap tak ada sahutan. Sova pun segera berdiri, mengambil ikat rambut yang Ia simpan di atas lemari plastik, kemudian mengikat rambutnya. Selanjutnya, Ia menuju dapur dan kamar mandi. “Kang, Akang di toilet?” tanya Sova. Lagi-lagi Sova dibuat kelimp
Sova berada di gedung SD yang menaungi sekolah satu atap, tempat di mana sofa mengenyam pendidikan SMA. Biasanya sofa berangkat ke sekolah siang, masuk sekolah setelah anak SD bubar. Namun kali ini, karena persiapan ujian akhir sedang dilakukan, mereka melaksanakan pembelajaran persiapan sekolah di kantor guru SD, pada pagi hari berbarengan dengan waktu sekolah pemilik gedung. Minggu depan, selama pelaksanaan ujian akhir, baik itu praktek maupun ujian tertulis, akan dilaksanakan di SMA yang selama ini menaungi sekolah satu atap Sova. Untung saja, letak SMA itu berada di kota dan tak jauh dari rumah sakit tempat Pak Harun dirawat."Hai!" Suara bariton seseorang menyadarkan lamunan Sova yang sedang mengotak-atik ponsel miliknya."Eh... Hai Rud!" Sahut Sova seraya meletakkan ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas.Saat ini mereka sedang beristirahat. Sebenarnya, jumlah siswa yang harus mengikuti ujian itu ada sekitar 28 siswa, termasuk Yulia. Namun diantara mereka, jarang yang mas
Sova menyuapi pak Harun yang sudah cukup lahap makan, meskipun masih memakan bubur tim dari rumah sakit. Bahkan, saat ini lelaki tua itu sudah bisa duduk bersender di atas brankar. “Bagus banget mbak Sari, makasih banyak karena sudah menyiapkan segala kebutuhan Ayah dengan sepenuh hati. Lihat, Ayah bisa tersenyum walaupun sedikit!” ucap Sova sambil terkekeh. “Sudah kewajiban saya, Bu!” tolak Sari saat dirinya mendapatkan pujian dari Sova. “Ah, mbak Sari. Jangan panggil Saya Ibu dong! Serasa udah menjadi paling tua sedunia,” protes Sova karena wanita di sampingnya itu, yang tak pernah mau menerima pujian darinya, selalu memanggil dirinya dengan embel-embel Ibu. “Tapi kan, memang... ““Sova. Memang enak kalau kita manggil bu Sova dengan nama saja. Serasa lebih dekat. Betul begitu kan, Sova?” tanya Hari yang sedari tadi sibuk membaca sebuah novel. Lelaki yang menjadi satu dari dua perawat yang menjaga pak Harun itu, bukannya malas dalam bekerja. Justru dia sudah menyelesaikan
Tak ada yang berubah dari kebiasaan baru mereka. Meskipun sesekali Roy sering terdiam saat mengingat usianya yang terpaut jauh dengan Sova, tapi kebiasaan barunya yang hanya berselera dengan makanan hasil dari masakan Sova, masih berjalan seperti biasa. Hal itu juga yang membuat Ia sulit untuk tak pulang ke kontrakan Sova. Bisa-bisa Ia mati berdiri karena tak bisa makan masakan yang Ia rasa hambar. Minggu-minggu pun berlalu, hari ini Sova mematut dirinya di cermin. Ia memandangi wajah dan baju seragam yang akan segera Ia tanggalkan setelah selesai ujian. Hari ini adalah hari terakhir Ia melaksanakan ujian. Hari ini juga, hari dimana Roy sudah merasa yakin seratus persen dengan Sova. Untuk itu, selama tiga hari ke depan, Roy sudah menyiapkan guru privat kepribadian untuk Sova. Bukan karena Roy tak suka dengan sikap kekanakkan Sova, tapi Ia harus mempersiapkan Sova agar gadis itu siap masuk ke dunia milik Roy yang sebenarnya. “Anak kecil, ngaca mulu!” ledek Roy seraya mengacak rambu
“Kenapa?” Sova semakin tak karuan dibuat Roy. Ia merasa tak punya harga diri di hadapan Roy, untuk kali ini. Gara-gara ucapannya, Roy sampai berteriak dan menyugar rambutnya. “Akang. Maaf, Aku enggak bakalan pernah lancang lagi,” ucap Sova seraya tergugu. Tangisan Sova kali ini terdengar oleh Roy. Ia tak ingin ada setetes air mata pun yang turun dari kelopak mata istrinya. “Sova, kamu kenapa?” tanya Roy yang belum menyadari penyebab tangisan Sova pecah. “Akang, maafin Sova! Sova janji enggak akan ngomong yang aneh-aneh lagi. Sova kapok! Maafin Sova ya!” ucap Sova tergugu. “Aneh?” tanya Roy keheranan. “Aneh yang mana?” tanya Roy lagi. Tiba-tiba pintu kontrakan mereka terbuka dari luar. “Siapa yang teriak?” tanya Hari sambil memasang kuda-kuda. Lelaki yang saat ini berprofesi sebagai perawat, sedangkan pekerjaan aslinya adalah bodyguard itu pun menatap penuh tanya ke arah Roy. Namun sayang, tatapan tajam yang Ia dapatkan dari Roy. “Eh, maaf. Enggak ada yang teriak ya!” ucap Hari
“Rudi, lepas!” teriak Sova seraya berontak. Hari ini adalah hari terakhir Sova melaksanakan Ujian di Sekolah. Tadi pagi, Ia telah menawarkan diri untuk menjadi istri seutuhnya kepada Roy. Namun, rasanya kejadian naas malah menghampiri dirinya. “Lepasin Aku, bangs*t!” teriak Sova berkali-kali. Rudi menekan titik lemah Sova sehingga gadis itu sulit untuk melepaskan diri dari dekapannya. “Emmmmhhh... “ Rudi berhasil menyesap bibir ranum Sova. Ia menyerang Sova dengan sangat buas. Bahkan, tangan kirinya berhasil menarik kerah baju Sova ke arah bawah sampai beberapa kancing atasnya terlepas. Sova terus berontak dengan sekuat tenaga. Saking putus adanya, Ia sempat lupa bahwa dirinya mampu melakukan bela diri. Rudi semakin liar menyesap bibir Sova, bahkan tangan kanannya kini mulai tutun dan menyusuri dada Sova. Saat Sova menyadari hal itu, dia semakin berontak. Kedua kaki Sova dikunci oleh kaki Rudi sehingga Ia kesulitan bergerak. Ditambah, rasa putus asa membuat tenaga Sova h
“Kamu benar-benar tak mengenali ada siapa saja tadi?” tanya Ibu itu lagi. Sova kembali menggelengkan kepalanya. “Memangnya siapa? Apa Aku kenal?” tanya Sova pada akhirnya. “Neng, baru di sini?” tanya si Ibu sambil mengerutkan kening. “Saya udah sebulanan di sini, kurang sih.” Sahut si Ibu lagi. Wanita paruh baya itu mengangguk-anggukkan kepalanya, memahami bahwa gadis yang berada di sampingnya merupakan gadis polos yang masih beruntung karena bertemu dengannya. “Jadi Neng, hidup di kota itu, enggak kayak hidup di kampung. Di sini banyak orang jahat, kita harus selalu mawas diri. Oya, kenalkan, nama saya bu Ais. Nama neng siapa?” tanya bu Ais seraya mengulurkan tangannya. “Oh, iya. Salam kenal Bu Ais. Nama saya, Sova,” sahut Sova menyambut uluran tangan wanita tua tersebut.“Jadi, lelaki yang tadi duduk di samping kamu itu copet. Tadi dia mepet kamu, sedangkan sebelah kanannya masih kosong. Saya... eemmmhh, Saya suka lihat di tivi kalau tingkah lakunya seperti itu ya copet
“Tuan Roy!” seru bu Ais dengan mulut menganga. Pasalnya, Ia tak percaya dengan apa yang Ia lihat. Hari ini, bu Ais berniat untuk kembali ke rumah Roy setelah lima tahun lalu Ia meninggalkan rumah itu. Berpulangnya Dania, sang majikan perempuan, yang diiringi dengan berpulangnya anak perempuan satu-satunya, membuat Ia menjadi tumpuan satu-satunya buat Ira, cucu yang sebulan lalu meninggal karena kasus penganiayaan. Bukankah dia akan kembali bekerja di rumah Roy? Tapi mengapa sang calon majikan menjadi ojol? Apakah Ia telah bangkrut? Lalu, dengan siapa Ia akan bekerja? Saat di telepon, dengan jelas Ia berbicara dengan Roy, majikannya lima tahun ke belakang. Lantas, siapa orang yang saat ini berdiri di hadapannya? “Eh, Ibu. Apa kabar? Apa hari ini Ibu akan kembali order ojol saya? Tapi maaf, hari ini saya harus mengantar istri saya dulu!” jelas Roy seraya mengedipkan matanya berkali-kali. Ia sadar betul kalau Sova sedang menatap bu Ais saat Ia sedang berbicara. Jadi, tentu saja Ia bera
"Jadi benar?" desis Roy. Matanya masih menatap hampir tak berkedip pada rekaman-rekaman yang sedang terputar di sana. "Apanya Kang?" tanya Sova saat Ia melihat wajah tegang suaminya. "Akang, benar apanya?" tanya Sova sekali lagi, karena Ia tak mendapatkan jawaban apapun dari Roy. "Akang sudah salah menilai, Sayang." Roy menatap Sova seraya mengelus pipi wanita itu, meminta kekuatan dalam hatinya. "Menilai apa?" tanya Sova. Namun, lagi-lagi Roy tak memberinya jawaban. Sova mencebik, kesal karena merasa diabaikan. Bukankah Ia yang seharusnya masih marah dan mendiamkan Roy? Kenapa malah terjadi hal sebaliknya? Sova mengambil ponsel miliknya dari tangan Roy, penasaran dengan apa yang dilihat oleh suaminya. Sedangkan Roy, Ia tak lagi berusaha mengambil lagi ponsel tersebut. Semua kejadian dimana Lina datang sampai Ia membawa Dania pergi, terekam jelas oleh CCTV yang terkoneksi dengan ponsel Sova. Sedangkan, di CCTV rumah yang sengaja Ia pasang, tak ada satu pun bayangan Lina masuk ke
"Apa maksudnya, Kang? Masa pak Beni resign? Mbak Hilda gimana? Mana mbak Hilda?" tanya Sova beruntun. "Mereka memfitnah Lina. Padahal, Beni... ah, entahlah. Apa dia sedang dekat dengan Hilda? Jadi dia selingkuh?" desis Roy namun masih bisa didengar oleh Sova. "Rupanya ini karena mbak Lina? Selingkuh? Benarkah? Jadi, mereka menjebakku agar mau menerima mbak Dania di rumah ini?" tanya Sova sangat lirih, namun masih jelas terdengar oleh Roy. "Apa? Jadi mereka yang memintamu untuk memasukkan Dania ke rumah? Memintamu untuk menerima Dania di rumah ini?" tanya Roy seraya menatap Sova, mencari kebenaran di kedalaman mata istrinya. "Emmhhh... iya, Kang." Sova akhirnya jujur akan hal yang tak Ia bicarakan kepada Roy. Bahkan, Ia cenderung melakukan hal itu di belakang Roy. Roy menyugar rambutnya frustasi. Kesalahan adalah kata yang tepat untuk apa yang telah dilakukan Sova, itu menurut Roy. "Tapi kenapa? Kenapa kamu lakukan itu semua, Sayang? Kau undang penyakit ke dalam rumah tangga kit
Roy tak peduli saat Hilda mengejar Beni untuk keluar dari sana. Ia segera melangkahkan kakinya menuju lift. Ia berniat untuk menyusul Sova, membiarkan masalah Dania diurus oleh anak buahnya, sedangkan dia hanya akan menyelesaikan masalahnya dengan Sova. Roy hendak meraih handle pintu saat pintu itu terbuka dari dalam. Di hadapannya ada suster Rina yang membawa botol susu bekas pakai. "Sus, biarkan kami dulu ya. Nanti kalau kami perlu, baru akan Saya panggil lagi," ucap Roy dengan tatapan mengintimidasi. Dia tak ingin terganggu oleh orang lain saat sedang bicara dengan Sova. "Emmhhh," Suster Rina menoleh ke dalam, memastikan keadaan Rafa baik-baik saja. "Tapi Pak... " tolak Suster Rina, berusaha memberikan argumen. "Enggak ada tapi-tapian... " kesal Roy saat perawat yang Ia pekerjakan hendak menolak titahnya. "Ba... baik, Pak," sahutnya cepat, kemudian berlalu dari kamar tersebut. Sova yang begitu serius mengurusi Rafa,
SLTC 103"Ada apa?" tanya Roy setelah Beni duduk di sebrangnya. "Maafkan Saya, Pak. Tapi Saya enggak tahu lagi harus berbuat apa," ucap Beni membuat Roy mengerutkan keningnya. "Katakanlah!" titah Roy seraya memandangi Beni lebih seksama. Ia curiga akan ada hal tak beres yang diceritakan oleh Beni. "Saya sangat mencintai Lina," ucap Beni pada akhirnya. "Lantas?" tanya Roy merasa apa yang disampaikan oleh Beni bukanlah poin utamanya. Beni hanya diam. Lelaki yang telah lama mengabdi pada Roy itu tak lagi mengatakan apapun, membuat Roy tak sabar. "Jangan bilang gara-gara Lina belum juga hamil, kamu berniat poligami. Begitu?" tanya Roy membuat Beni mengangkat wajahnya kaget, menatap Roy dengan tatapan tak percaya. "Tuh kan, ketebak." Roy terkekeh seraya geleng-geleng kepala. "Bukan Pak Bos, bukan itu," ucap Beni buru-buru. "Jangan berkilah, Ben. Apa kurangnya Lina sampai-sampai kamu tega mau menduakannya? Apa kau sudah menemukan perempuan lain? Apa kau sudah memberi tahu Lina renc
SLTC 102Roy masih tertegun setelah mendengar ucapan Sova barusan. Ia berpikir jika apa yang dikatakan Sova sangat masuk akal dan memungkinkan dan memiliki nilai kebenaran. "Apa benar seperti apa yang istriku bilang, Ben?" tanya Roy benar-benar meminta pendapat. "Menurutku demikian," sahut Beni membuat Roy kaget. Roy tak menyangka jika jawaban Beni begitu singkat, padat dan langsung pada point nya. "Ya sudah, ayo kita kembali ke ruang kerja!" ajak Roy. "Ben, Aku mengizinkanmu untuk membongkar makam Dania dan mengambil sampel dna-nya, untuk dites dan dibandingkan dengan DNA perempuan itu, " ucap Roy tiba-tiba.Beni yang sedang memikirkan baik-baik apa yang dilaporkan oleh anak buahnya tadi tentang Lina, tak mendengar apa yang diucapkan oleh Roy. Bahkan pandangan Beni nampak kosong di hadapan Roy."Ben" Ucap Roy lagi seraya menepuk pundaknya cukup keras. "Ada apa?" teriak Beni Karena ia merasa kaget dengan tepukan di bahunya."Sejak kapan kamu hobi melamun?" Ucap Roy yang sebenarny
Mata Roy berkilat merah. Ia begitu marah dengan apa yang disampaikan oleh anak buahnya barusan. "Jaga kedua tua bangka ini, jangan sampai mereka berdua kabur!" titah Roy membuat semua orang yang berada di sana saling melemparkan pandangan. "Siapa yang kau sebut dengan tua bangka?! " teriak Pak Tejo dengan geram. Namun, Roy tak mendengarkannya sama sekali. Ia terus melenggang pergi, keluar dari ruang kerja. Beni mengikuti Roy dengan segera. ia belum tahu apa yang terjadi, namun Ia tak merecoki Roy dengan berbagai macam pertanyaan. Saat tiba di kamar tamu, Roy langsung masuk ke dalam kamar dengan pintu yang memang sudah terbuka. Begitupun dengan Beni, Ia langsung ikut masuk ke dalam kamar dan mendapati kesalahan apa yang telah terjadi. "Mana dia? " tanya Roy dengan mata yang masih berkilat merah."A... Ampun Tuan! Kami tidak tahu, kami betul-betul tidak tahu! " ucap anak buah Roy yang seharusnya ditugaskan berjaga di sana.Saat Roy dan Beni keluar dari ruang kerja tadi, sebenarnya
"Ap...pa maksudmu?" Tanya Pak Tejo tergagap."Sudah jelas saya katakan barusan bahwa Anda berdua tidak mengenali siapa Dania. Anda berdua sudah abai kepadanya dari dulu Lalu, kenapa sekarang kalian begitu mati-matian membela? Itu karena anda hanya menginginkan harta milik Roy dan kalian tidak mengenali yang mana anak kalian. " Hilda mengatakan hal itu dengan tenggebu-gebu. Ia puas karena telah mengeluarkan unek-uneknya selama ini terhadap Pak Tejo dan istrinya. Sedari Dulu, Ia selalu menjadi tumpuan bagi Dania. Bahkan, seringkali ia membagi uang sakunya untuk Dania meskipun Dania sendiri menolaknya."Jangan berburuk sangka kamu sama kami, Roy. Siapa lagi yang akan menyayangi Dania selain daripada kami, hah? " ucap Bu Tejo seraya memalingkan mukanya. Ia Sedikit lega karena dari perkataan Hilda, menyiratkan bahwa wanita tersebut bukan mencurigai tentang siapa Dania, tetapi mencurigai bahwa dirinya tidak begitu memperhatikan Dania saja. "Ya Sudahlah, jangan terlalu diperpanjang. Sekar
SLTC 99"Pelakor miskin sepertimu tak perlu ikut bicara! Tak ada kepatutan dari setiap ucapanmu," hardik pak Tejo dengan mata nyalang. "Jangan pernah menghina istriku! Wanita yang kau sebut miskin ini adalah is-tri-ku. Camkan itu!" sahut Roy membalas tatapan nyalang pak Tejo seraya menunjuk tepat ke arah wajahnya. "Jangan lupa kalau istrimu adalah Dania. Hanya Dania," teriak bu Tejo dengan mata melotot. "Dan ya... selama pernikahanku dengan mendiang Dania, Saya baru ingat bahwa kalian tak pernah peduli padanya. Hanya jika kalian menginginkan sesuatu, maka kalian akan mencari istriku, Dania. Tapi sekarang apa? Kalian begitu membabi buta membela Dania. Ada apa sebenarnya?" tanya Roy dengan raut wajah sinis. Pasangan suami istri lanjut usia itu pun menelan salivanya, kaget dengan tuduhan yang diucapkan oleh Roy. Benar, karena itu memang kenyataannya. Dania kecil tak pernah mendapatkan kasih sayang seperti yang mereka limpahkan pada Rania, anak kandung mereka yang hadir setelah bebera
SLTC 98"Siapa?" semua orang bertanya dengan serempak. "Hemmhhh... " Sova menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. "Siapa?" tanya Roy sekali lagi. Sova meliriknya, kemudian memalingkan lagi mukanya dari Roy. "Coba kalian ingat-ingat, apa selama ini kalian bertemu... "Brakkk... Tiba-tiba pintu ruang kerja tersebut dibuka dengan kasar. Nampak pak Tejo mengepalkan tangannya seraya mencari sosok Roy. "Ada apa?" tanya Roy berdiri menghadap ke arah pak Tejo. Akhirnya, tanpa bersusah payah mencari keberadaan Roy, lelaki yang pernah menjadi menantunya itu berdiri dengan sendirinya, memudahkan Ia untuk menemukan Roy. Pak Tejo langsung meringsek masuk dan langkahnya mengarah pada Roy. Ia sudah bersiap untuk menghantamkan bogem mentah kepada lelaki yang kini berstatus sebagai suami Sova itu. "Dasar b****at!" Langkahnya ditahan oleh Beni dan Hari yang langsung