“Rahasia apa, Yah?” tanya Sova yang langsung berdiri di dekat pak Harun, demi memperjelas pendengarannya. “A... ap. Huhuhuhuhu... “ tangis pak Harun malah pecah saat mengatakan permintaan maafnya. “Ayah minta maaf kenapa? Rahasia apa Yah?” tanya Sova semakin penasaran. Bukannya berusaha mengatakan sesuatu lagi, pak Harun malah semakin terisak dan jatuh ke dalam tangisan pilu. Sova tak bisa berbuat banyak, apalagi jika Ia harus menekan sang Ayah untuk bicara. Ia malah khawatir jika kondisi pak Harun akan semakin memburuk. Bukankah dokter sudah memperingatkan dirinya agar membuat seorang penderita stroke tidak memiliki beban pikiran. Ya, diagnosa pak Harun saat ini sudah jelas, lelaki yang berstatus Ayah-nya tersebut terkena stroke, bahkan hampir keseluruhan badan bagian pentingnya. Semua itu terjadi karena keterlambatan dalam penanganan. Sova hanya mengingat bahwa awalnya pak Harun hanya tak bisa menggerakkan anggota badan sebelah kanan saja, namun lama kelamaan, ke
Sepanjang mereka berjalan, Sova tak dapat berpikir dengan jernih. Bahkan, sampai dia kali, kakinya terantuk sesuatu sehingga membuatnya hampir terjatuh. Dengan cekatan, Roy selalu menggagalkan tragedi jatuhnya Sova. Hanya saja, tak seromantis di film-film. Sesampainya di kontrakan, Sova segera membuka pintu rumah dengan kunci yang Ia selipkan di saku bajunya. “Ada kamar mandi kan?” tanya Roy yang sudah tak tahan ingin membuang hajatnya. Sesuatu hal yang sering Roy lakukan ketika dia sedang dalam kondisi tertekan, atau terlalu banyak berpikir. “Loh. Akang bukannya udah lihat dalamnya?” tanya Sova heran. Tapi, tetap saja Ia menjawab pertanyaan Roy. “Ada, kok. Ada kamar mandinya.”Saat pintu terbuka, Roy segera masuk ke dalam rumah kontrakan mereka. Ia langsung berlari ke ujung tembok. “Akang, toiletnya di sana!” tunjuk Sova ke arah pintu lain di ruangan itu. Roy langsung melihat ke arah telunjuk Sova mengarah. Ia pun berlari ke sana. Sova heran
“Apa? Kejutan apa?” tanya Sova seraya mundur sedikit. Ia betul-betul merasa takut dengan Roy. “Ya Tuhan, apa aku berdosa karena tak menginginkan ini?” tanya Sova di dalam hatinya sendiri. “Kamu mau kan...?” “Tunggu! Sebelumnya, kita harus ngobrol dulu! Ada banyak hal yang membuat kita harus saling mengenal. Kita belum saling mengenal, Kang!” tolak Sova dengan tegas. Sova terus mundur sampai dirinya tertentu pintu, bahkan dalam keadaan duduk. “Kamu merem dulu. Kalau Akang udah bilang buat buka mata, baru kamu buka!” ucap Roy. Lelaki itu kini duduk tepat di hadapan Sova. Jika dalam keadaan duduk seperti itu, setidaknya Sova bisa melawan dengan ilmu bela diri yang Ia bisa. “Merem!” pinta Roy lagi. Kali ini, tangan Roy memegang tas ransel yang tadi Ia bawa pulang. “Enggak. Tolong, jangan minta Aku merem. Aku takut gelap!” ungkap Sova sebagai alasan. Padahal, dia hanya ingin tetap berada dalam mode waspada. “Oh.kamu takut gelap? Maaf, Akang enggak tahu.” Nampak penyesalan da
Sova terbangun saat suara adzan subuh berkumandang. Ia merasa ada sesuatu yang asing di atas tubuhnya. “Heh... “Sova melepaskan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Ia teringat jika semalam tak ada selimut yang Ia pakai. Ia pun terbangun dengan cepat saat ingatannya tertuju pada sosok lelaki yang tidur di ruangan yang sama dengannya. Sova pun segera duduk dan memindai seisi ruangan. Tak ada siapapun. “Kang!” panggilnya sambil terus memindai seisi ruangan. Saat tak mendengar jawaban apapun, Sova langsung memeriksa seluruh tubuhnya. “Lengkap,” ucapnya saat mendapati seluruh tubuhnya masih terbungkus baju yang sama. Ia pun menarik nafas lega karenanya. Sova kembali memindai seisi ruangan. “Kang!” kembali Ia memanggil suaminya, namun tetap tak ada sahutan. Sova pun segera berdiri, mengambil ikat rambut yang Ia simpan di atas lemari plastik, kemudian mengikat rambutnya. Selanjutnya, Ia menuju dapur dan kamar mandi. “Kang, Akang di toilet?” tanya Sova. Lagi-lagi Sova dibuat kelimp
Sova berada di gedung SD yang menaungi sekolah satu atap, tempat di mana sofa mengenyam pendidikan SMA. Biasanya sofa berangkat ke sekolah siang, masuk sekolah setelah anak SD bubar. Namun kali ini, karena persiapan ujian akhir sedang dilakukan, mereka melaksanakan pembelajaran persiapan sekolah di kantor guru SD, pada pagi hari berbarengan dengan waktu sekolah pemilik gedung. Minggu depan, selama pelaksanaan ujian akhir, baik itu praktek maupun ujian tertulis, akan dilaksanakan di SMA yang selama ini menaungi sekolah satu atap Sova. Untung saja, letak SMA itu berada di kota dan tak jauh dari rumah sakit tempat Pak Harun dirawat."Hai!" Suara bariton seseorang menyadarkan lamunan Sova yang sedang mengotak-atik ponsel miliknya."Eh... Hai Rud!" Sahut Sova seraya meletakkan ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas.Saat ini mereka sedang beristirahat. Sebenarnya, jumlah siswa yang harus mengikuti ujian itu ada sekitar 28 siswa, termasuk Yulia. Namun diantara mereka, jarang yang mas
Sova menyuapi pak Harun yang sudah cukup lahap makan, meskipun masih memakan bubur tim dari rumah sakit. Bahkan, saat ini lelaki tua itu sudah bisa duduk bersender di atas brankar. “Bagus banget mbak Sari, makasih banyak karena sudah menyiapkan segala kebutuhan Ayah dengan sepenuh hati. Lihat, Ayah bisa tersenyum walaupun sedikit!” ucap Sova sambil terkekeh. “Sudah kewajiban saya, Bu!” tolak Sari saat dirinya mendapatkan pujian dari Sova. “Ah, mbak Sari. Jangan panggil Saya Ibu dong! Serasa udah menjadi paling tua sedunia,” protes Sova karena wanita di sampingnya itu, yang tak pernah mau menerima pujian darinya, selalu memanggil dirinya dengan embel-embel Ibu. “Tapi kan, memang... ““Sova. Memang enak kalau kita manggil bu Sova dengan nama saja. Serasa lebih dekat. Betul begitu kan, Sova?” tanya Hari yang sedari tadi sibuk membaca sebuah novel. Lelaki yang menjadi satu dari dua perawat yang menjaga pak Harun itu, bukannya malas dalam bekerja. Justru dia sudah menyelesaikan
Tak ada yang berubah dari kebiasaan baru mereka. Meskipun sesekali Roy sering terdiam saat mengingat usianya yang terpaut jauh dengan Sova, tapi kebiasaan barunya yang hanya berselera dengan makanan hasil dari masakan Sova, masih berjalan seperti biasa. Hal itu juga yang membuat Ia sulit untuk tak pulang ke kontrakan Sova. Bisa-bisa Ia mati berdiri karena tak bisa makan masakan yang Ia rasa hambar. Minggu-minggu pun berlalu, hari ini Sova mematut dirinya di cermin. Ia memandangi wajah dan baju seragam yang akan segera Ia tanggalkan setelah selesai ujian. Hari ini adalah hari terakhir Ia melaksanakan ujian. Hari ini juga, hari dimana Roy sudah merasa yakin seratus persen dengan Sova. Untuk itu, selama tiga hari ke depan, Roy sudah menyiapkan guru privat kepribadian untuk Sova. Bukan karena Roy tak suka dengan sikap kekanakkan Sova, tapi Ia harus mempersiapkan Sova agar gadis itu siap masuk ke dunia milik Roy yang sebenarnya. “Anak kecil, ngaca mulu!” ledek Roy seraya mengacak rambu
“Kenapa?” Sova semakin tak karuan dibuat Roy. Ia merasa tak punya harga diri di hadapan Roy, untuk kali ini. Gara-gara ucapannya, Roy sampai berteriak dan menyugar rambutnya. “Akang. Maaf, Aku enggak bakalan pernah lancang lagi,” ucap Sova seraya tergugu. Tangisan Sova kali ini terdengar oleh Roy. Ia tak ingin ada setetes air mata pun yang turun dari kelopak mata istrinya. “Sova, kamu kenapa?” tanya Roy yang belum menyadari penyebab tangisan Sova pecah. “Akang, maafin Sova! Sova janji enggak akan ngomong yang aneh-aneh lagi. Sova kapok! Maafin Sova ya!” ucap Sova tergugu. “Aneh?” tanya Roy keheranan. “Aneh yang mana?” tanya Roy lagi. Tiba-tiba pintu kontrakan mereka terbuka dari luar. “Siapa yang teriak?” tanya Hari sambil memasang kuda-kuda. Lelaki yang saat ini berprofesi sebagai perawat, sedangkan pekerjaan aslinya adalah bodyguard itu pun menatap penuh tanya ke arah Roy. Namun sayang, tatapan tajam yang Ia dapatkan dari Roy. “Eh, maaf. Enggak ada yang teriak ya!” ucap Hari